Cerita bersambung
Mayra akhirnya bekerja di sebuah konsultan pengawas. Ia mendapatkan pekerjaan ini karena bantuan Zidan. Sebagai lulusan sarjana ekonomi, Mayra ditempatkan di bagian keuangan. Tetapi, karena asisten pimpinan sedang cuti melahirkan, Mayra diminta untuk menggantikan posisi tersebut sementara waktu.
Mayra terlihat sangat senang dengan pekerjaannya. Pagi-pagi Zidan akan mengantarnya ke kantor, sore suaminya itu menjemputnya kembali. Jika laki-laki itu pulang malam, maka Mayra pulang dengan taksi online.
Hari-hari Mayra terasa lebih bermakna. Hubungan Mayra dan Zidan juga baik-baik saja. Mereka benar-benar mencoba menjadi sahabat. Namun, Mayra sedikit demi sedikit mulai memposisikan dirinya sebagai seorang istri. Perempuan itu pelan-pelan mulai mengurus kebutuhan dan keperluan Zidan. Mulai dari makan, minum, sampai urusan pakaian. Zidan sepertinya juga menerima dan menikmati perlakuan sang istri.
Saat ini, Zidan sedang terlibat dalam sebuah proyek besar dengan dua perusahaan kontruksi lainnya. Salah satunya adalah perusahaan Raka. Proyek pembangunan fly over di jalan Riau ini baru berjalan satu bulan. Dan seperti biasa, secara berkala, para direktur akan bertemu dengan konsultan pengawas yang telah ditunjuk pemilik proyek untuk mendampingi para perusahaan kontraktor.
Ketiga direktur dengan asisten masing-masing telah berada di ruangan meeting kantor konsultan pengawas, PT. Asta Bangun Persada. Zidan duduk tepat di depan Raka. Untuk beberapa detik mereka saling bertatapan. Terlihat sekali ketegangan di antara keduanya. Di saat bersamaan, pintu ruangan terbuka. Pimpinan PT. Asta Bangun Persada masuk ke ruangan dengan dua orang asistennya. Dua pasang mata yang sama-sama melihat ke arah pintu sama-sama terpaku. Di belakang sang pimpinan berjalan anggun perempuan yang sama-sama sedang mereka pikirkan.
Mayra melangkah masuk dengan dua bundel berkas yang lumayan tebal. Sementara seorang lagi, perempuan yang sepertinya sebaya dengan Mayra juga membawa setumpuk kertas laporan. Mayra yang akan duduk di samping sang pimpinan mengangkat wajahnya. Dan perempuan cantik itu tidak dapat menyembunyikan rasa kagetnya. Namun, secepatnya perempuan dengan blazer berwarna coklat itu menguasi diri.
Mayra tersenyum dan mengangguk santun pada Zidan. Zidan membalasnya dengan kedipan mata. Dan semua itu tidak luput dari tatapan tajam Raka. Andai menurutkan kata hati, ingin sekali Raka menarik tangan Mayra, membawanya ke luar dan mengatakan kebenaran yang diketahuinya. Tetapi, sekuat tenaga laki-laki itu mencoba menahan diri. Sementara, Zidan meliriknya dan tersenyum mengejek. Raka mengepalkan tangannya dan urat lehernya terlihat menegang. Zidan tersenyum puas.
Pak Arifin, pimpinan PT. Asta Bangun Persada mulai membuka rapat. Tidak lupa laki-laki senior itu memperkenalkan Mayra sebagai asisten barunya. Pak Arifin sebenarnya mengetahui jika Mayra adalah istri dari Zidan, Direktur Wiraka Gemilang. Tetapi, laki-laki paruh baya itu mencoba untuk bersikap professional dengan tidak membahasa hal tersebut.
Mayra mengangguk sopan pada semua tamu yang hadir di ruangan tersebut. Lagi-lagi Raka tidak dapat menyembunyikan kekagumannya. Mayra terlihat amat berbeda. Pakaian yang dikenankannya, dandanannya, dan caranya tersenyum, membuat perempuan cantik itu terlihat amat mempesona. Padahal dulu, Mayra yang dikenal Raka adalah perempuan sederhana. Ternyata Zidan telah banyak mengubahnya. Raka menelan ludahnya yang tiba-tiba terasa pahit.
Hampir dua jam pihak konsultan pengawas dan tiga perusahaan yang terlibat dalam proyek fly over itu membicarakan tentang pengerjaan proyek yang telah dimulai. Pak Arifin kembali mengingatkan ketiga perusahaan kontraktor yang berada di bawah kepengawasannya untuk dapat mengikuti semua butir-butir yang telah tertuang di dalam kontrak kerja sama.
Setelah meeting selesai, Pak Arifin mempersilakan para tamu untuk menikmati kopi dan snack yang telah disediakan. Fifi, salah seorang asisten Pak Arifin juga, langsung bangkit dan mengambilkan kopi untuk sang pimpinan. Sementara Mayra langsung mendekati Zidan.
“Mas mau minum kopi atau teh?” Mayra telah berada di samping Zidan.
“Kopi aja, Yang.” Zidan menjawab dengan senyum yang menawan.
“Baik, Mas.” Mayra berjalan menuju meja kopi dan kue.
Mayra mengambil cangkir, namun gerakannya terhenti ketika seseorang juga akan mengambil cangkir yang sama. Mayra menoleh. Perempuan itu langsung membeku melihat siapa yang sedang berdiri di sampingnya. Raka menatapnya dengan lekat.
“Hai, bagaimana kabarmu?” Raka mencoba tersenyum.
“Aku baik.” Mayra mengangguk kaku.
“Syukurlah.” Raka memberikan cangkir di tangannya pada Mayra.
“Silakan, kamu ambil duluan.” Tatapan Raka masih tidak beranjak dari wajah Mayra.
Mayra menunduk, tatapan Raka masih sama seperti hari-hari lalu. Seperti bulan-bulan lalu, bahkan seperti tahun-tahun lalu. Mayra menggigit bibirnya. Ya, Tuhan, kenapa ia harus berada dalam situasi seperti ini.
“Sayang, kopinya kok lama banget?” tiba-tiba Zidan telah berada di samping Mayra. Tangan laki-laki itu memeluk pinggang Mayra dengan santai. Mayra menoleh kaget.
“Iya, Mas. Ini sudah mau aku antar ke tempat, Mas.” Mayra menjawab gugup.
Apalagi tangan Zidan yang berada di pinggangnya membuat perempuan ini merasa risih, karena mereka sedang berada di kantor dan masih dalam jam kerja. Namun, Mayra mencoba menenangkan dirinya. Dituangkannya kopi dari teko kaca ke dalam cangkir.
Dengan jumawa, Zidan kembali ke tempat duduknya. Tidak berapa lama, Mayra datang membawakan kopi. Zidan menerimanya dan mengucapkan terima kasih.
Zidan menyeruput kopinya dengan nikmat. Mayra mengumpulkan berkas-berkas yang berserakan di atas meja. Dua pasang mata sama-sama memperhatikan gerakan perempuan cantik itu. Setelah semuanya rapi, Mayra pamit kepada Pak Arifin dan juga Zidan. Perempuan dengan blazer berwarna coklat itu lalu beranjak meninggalkan ruangan.
Mayra berjalan tergesa menuju ruangannya di lantai dua. Perempuan cantik itu merasa kegerahan berada di ruangan meeting dengan dua laki-laki yang sama-sama menjadi bagian penting dalam hidupnya. Bagian penting di masa lalu dan bagian penting di masa depannya.
Mayra baru saja akan menekan tombol lift, ketika seseorang memanggil namanya. Untuk kedua kalinya tubuh Mayra membeku. Laki-laki pemilik hatinya itu sudah berada tepat di sampingnya.
“Kita harus bicara. Ada yang harus kamu ketahui.” Raka berkata dengan napas sedikit terengah.
“Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Bang.” Mayra memalingkan wajahnya.
Namun, perempuan ini tidak dapat mendustai dirinya sendiri, hatinya masih saja bergetar melihat laki-laki di sampingnya ini.
“Ini demi kebaikanmu, Mayra.” Suara Raka memelas.
“Aku sudah lebih dari baik sekarang. Kamu lihat sendiri kan? Aku menjalani hidupku dengan bahagia.” Mayra kembali menatap Raka dan memberikan senyum terbaiknya.
“Mayra …”
“Sayang, ternyata kamu masih di sini. Mas mau ajak kamu makan siang.” Tiba-tiba Zidan telah berada di antara Mayra dan Raka. Laki-laki itu merengkuh bahu Mayra dengan mesra. Raka memalingkan wajahnya. Hatinya terasa terbakar melihat kemunafikan Zidan.
“Tapi, Mas … belum jam istirahat siang.” Mayra melirik jam di pergelangan tangannya.
“Biar Mas yang izinkan kamu sama Pak Arifin, ya.” Zidan mengedipkan matanya pada Mayra.
“Baiklah, Mas.” Dengan berat hati akhirnya Mayra mengangguk. Dalam hati lagi-lagi perempuan dengan bibir indah ini merasa bingung. Kenapa Zidan jadi begitu mesra padanya.
“Oke, Mas tunggu di lobi ya. Kamu letakkan dulu berkas-berkasnya.” Zidan mencium pipi Mayra dengan tiba-tiba. Mata Mayra membulat sempurna. Sementara Raka mengepalkan tinjunya. Kalau tidak ingat mereka sedang berada di mana sekarang, sudah dihajarnya laki-laki kurang ajar di hadapannya ini.
“Ya, Mas.” Lagi-lagi Mayra hanya bisa mengangguk. Lalu perempuan itu menekan tombol lift. Lift terbuka, Mayra melangkah masuk dengan ribuan tanya di kepalanya.
Pintu lift tertutup kembali. Zidan dan Raka berdiri berhadap-hadapan.
“Kamu dengar baik-baik Raka Wardana, aku Zidan Adiwijaya akan membuat Mayra Larasati jatuh cinta dan bertekuk lutut kepadaku. Setelah itu, kamu lihat apa yang akan aku lakukan pada wanita terkasihmu itu.” Zidan berkata dengan penuh percaya diri. Senyum mengejek di sudut bibirnya membuat Raka tidak dapat lagi menahan diri.
“Aku pastikan kamu akan menyesal seumur hidup jika kamu berani menyakiti Mayra.” Raka memegang kerah baju Zidan dengan wajah merah.
“Lepaskan tanganmu.” Zidan menatap Raka dengan tajam. Bersamaan dengan ucapan Zidan, Pak Arifin dan Fifi berjalan ke arah mereka. Raka segera melepaskan cengkraman tangannya. Keduanya lalu sama-sama berjalan dengan arah yang berlawanan.
***
Zidan dan Mayra duduk berhadapan di sebuah resto, di jalan Ahmad Yani. Mereka memilih duduk di saung yang menghadap ke parkiran.
Mayra memesan tongseng daging dan tumis kangkung. Zidan minta menunya disamain aja. Zidan mengaku tidak terlalu pilih-pilih dalam urusan makan. Mayra sedikit lega mendengarnya.
“Mayra, apa dia masih memiliki arti penting untukmu?” Tiba-tiba Zidan menyentuh tangan Mayra dan menggenggamnya eret. Mayra terpaku dan lidahnya terasa kelu, apa yang harus dikatakannya?
“Apa yang Mas ketahui tentang Raka?” Mayra menatap Zidan dengan hati berkecamuk.
“Cukup banyak. Terutama tentang rasa cinta di antara kalian yang terhalang adat.” Zidan menjawab santai.
“Dia sudah menjadi masa laluku.” Mayra akhirnya menjawab lirih.
“Baguslah, aku senang mendengarnya. Namun satu hal yang ingin aku pesankan, Raka sepertinya sulit menerima kenyataan bahwa sekarang kamu telah menjadi istri sah Zidan Adiwijaya. Jadi, apapun nanti yang dikatakannya tentang suamimu ini, aku ingin kamu tidak mempercayainya. Cukup dengarkan aku.” Zidan mengangkat jemari tangan Mayra dan menciumnya lembut.
Untuk beberapa detik Mayra terpana. Dalam dua puluh enam tahun umurnya, baru kali ini ia disentuh seorang laki-laki. Wajar jika perempuan itu merasakan sesuatu yang berbeda. Ada debaran halus di dadanya.
Pelayan datang membawakan pesanan mereka. Zidan melepaskan genggaman tangannya. Laki-laki itu bisa melihat jika perempuan di depannya ini menjadi merona dan salah tingkah. Zidan tersenyum dalam hati.
==========
Sudah hampir dua bulan Mayra bekerja. Ia menikmati hari-harinya sebagai seorang karyawan dan juga seorang istri. Selama itu, Zidan selalu bersikap baik kepadanya. Meski terkadang sikap laki-laki itu suka berubah-ubah. Sekali waktu terlihat sangat kaku dan di lain waktu terlihat sangat manis dan romantis. Tetapi, Mayra tidak berkecil hati. Mayra menganggap semua itu sebagai proses penyesuaian diri.
Seperti malam ini, sehabis sholat magrib, Mayra berdiri di depan jendela kamar. Rinai hujan di luar sana membuat hati perempuan ini tiba-tiba ingat akan masa kecilnya. Ia selalu suka dengan rinai. Jika butiran-butiran halus itu turun membasahi bumi, ia akan berlari ke luar rumah dan menikmati kelembutan tetesannya. Titik-titik halus itu terlihat amat indah di matanya.
“Kamu sedang apa?” tiba-tiba sebuah tangan melingkari pinggangnya dari samping.
Untuk sekian detik Mayra membeku. Ini untuk kesekian kalinya Zidan memperlakukannya seintim ini. Tetapi, biasanya hanya sampai segitu. Tidak pernah lebih. Terkadang Mayra bertanya dalam hati, apakah laki-laki yang menikahinya ini normal? Mengapa ia tidak pernah mencoba untuk meningkatkan hubungan mereka?
“Kamu menyukai hujan?” Zidan berbisik di telinganya.
Mayra menggigit bibirnya menahan debaran aneh yang akhir-akhir ini sering datang tanpa permisi.
“Aku menyukai rinai.” Mayra menjawab dengan suara sedikit parau.
“Apa ada bedanya?” Zidan meletakkan dagunya di bahu kanan Mayra.
Mayra memejamkan mata. Susah payah perempuan itu menenangkan detak jantungnya yang semakin kencang.
“Rinai itu indah dan juga romantis. Aku suka melihat rintiknya turun ke bumi.”
“Lalu hujan?” Zidan menggeser wajahnya lebih rapat pada wajah Mayra. Lembut bibirnya menyentuh pipi sang istri dari samping. Mulut Mayra yang sudah terbuka untuk menjawab, akhirnya hanya menggantung tanpa mengeluarkan suara apa-apa.
“Mas mau makan sekarang?” Mayra menggeliat mencoba melepaskan diri dari pelukan Zidan.
“Ayo, tadi sebenarnya memang mau ngajak kamu makan.” Zidan melepaskan pelukannya dan berbalik meninggalkan Mayra yang masih berdiri mematung.
Di meja makan, seperti biasa, Mayra melayani Zidan dengan baik. Sejak perempuan cantik ini mencoba menerima takdirnya dengan iklas, ia merasa lebih tenang dan bahagia. Sementara Zidan terlihat menikmati perlakuan Mayra dengan senang hati. Makannya juga terlihat lahap.
Bi Darna pernah bercerita pada Mayra kalau sebelumnya Zidan tidak pernah makan malam di rumah. Tetapi, sejak Mayra tinggal di rumah ini, Zidan selalu rutin makan malam di rumah. Hanya beberapa kali laki-laki itu makan di luar, jika ada pertemuan dengan klien atau dengan teman-teman sesama pengusaha. Entah mengapa, Mayra merasa senang mendengar cerita dari Bi Darna tersebut.
***
Mayra melirik jam di pergelangan tangannya. Pukul 09.45. Masih ada waktu lima belas menit lagi untuk menyiapkan berkas-berkas rapat Pak Arifin. Hari ini bosnya itu akan kembali mengadakan pertemuan dengan perusahaan-perusahaan yang berada di bawah pengawsannya. Tetapi, laki-laki yang telah dianggapnya seperti ayahnya itu hanya meminta Fifi yang mendampingi. Mayra ditugaskan untuk membantu bagian keuangan menyelesaikan laporan akhir tahun.
Setelah mengumpulkan semua berkas dan file yang diperlukan, Mayra mengantarkan semuanya ke meja Fifi. Namun baru saja Mayra akan menjawab ucapan terima kasih Fifi, ponsel di kantong rok Mayra bergetar. Perempuan itu mengambilnya dan membuka layar ponsel. My suami tertera di depan matanya.
“Assalammualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
“Aku di parkiran.”
“Di parkiran?”
“Iya, coba lihat dari jendela ruanganmu.”
Mayra setengah berlari menuju ruangannya. Dalam hati ada sedikit rasa heran, tumben juga suaminya ini menghubungi jika telah berada di kantor Pak Arifin. Sebelumnya, beberapa kali datang untuk rapat dan bertemu dengan bosnya itu, Zidan tidak pernah menghubunginya.
Dengan rasa penasaran, Mayra membuka tirai jendela ruangannya.
“Aku melihatmu.” Mayra berbicara di telepon.
Zidan mendongak dan tangannya mengancungkan sesuatu. Mayra mengernyitkan kening. Matanya tidak dapat menangkap dengan jelas apa yang diacungkan Zidan padanya.
“Turunlah, aku punya sesuatu untukmu.” Suara Zidan terdengar amat manis di telinga Mayra.
Tanpa mematikan sambungan teleponnya, Mayra berlari ke luar ruangan. Menekan tombol lift dan masuk dengan dada berdebar-debar. Ya, Tuhan … kenapa ia selalu begini. Tidak butuh waktu lama, Mayra telah berdiri tegak di hadapan Zidan.
“Ini untukmu.” Zidang mengulurkan sebuah kunci kontak pada Mayra.
“Apa ini?” Mayra menatap kunci kontak itu dengan perasaan bingung.
“Mulai hari ini, mobil ini menjadi milikmu.” Zidan menyentuh mobil city car putih di sampingnya dengan senyum mengembang. Mata Mayra membulat sempurna.
“Mobil untukku?” Mayra berucap dengan wajah bodoh. Zidan kembali tersenyum dan mengangguk.
“Ya Alloh, Mas, terima kasih.” Mayra melompat dan langsung memeluk Zidan dengan perasaan bahagia.
Zidan membalas pelukan istrinya itu. Tiba-tiba ada rasa bahagia di hatinya melihat kebahagian perempuan di pelukannya ini.
“Kamu suka?” Zidan merenggangkan pelukannya.
“Suka banget, Mas. Aku nggak pernah mimpi akan punya mobil sendiri, nyetir sendiri dan bisa ke mana-mana sendiri.” Mata Mayra berbinar indah.
Untuk beberapa saat Zidan terpana. Mata itu begitu tulus menatapnya. Seperti ada tamparan keras di pipinya.
“Syukurlah kalau kamu suka. Kamu sudah bisa nyetir kan?”
“Sudah, Mas. Kan waktu kuliah sudah pernah diajarin Ayah, pakai mobil tua Ayah. Dan setelah bisa, aku sering antarin Ibu pergi belanja ke pasar atau pergi arisan.” Suara Mayra terdengar riang.
“Baiklah. Nanti pulangnya aku temani dulu kamu nyetir ke rumah.” Zidan mengambil tangan Mayra dan meletakkan kunci mobil itu di tangan Mayra.
“Makasih, Mas.” Mayra menerimanya dan menggenggamnya dengan erat.
Beriringan mereka berjalan menuju gedung PT. Asta Bangun Persada. Sampai di depan lobi, langkah Mayra terhenti.
“Mayra, aku ingin bicara.” Raka menghadang jalan Mayra dan Zidan.
“Benar-benar tidak tahu malu.” Zidan mendorong tubuh Raka dan menggandeng tanganMayra melewati tubuh Raka yang terdorong ke samping.
“Kamu dengar Zidan, aku akan tetap akan mengungkapkan kebenaran pada Mayra!” Raka berteriak dengan lantang.
Zidan menggenggam tangan Mayra makin erat. Emosi laki-laki itu telah sampai ke ubun-ubun, namun ia berusaha menahan diri. Ia tidak boleh terpancing.
“Kamu nggak ikut rapat?” Zidan mengantarkan Mayra sampai ke ruangannya.
“Nggak, Mas. Pak Arifin cuma menugaskan Fifi.” Mayra tersenyum meski hatinya tidak enak.
Melihat Raka sudah beberapa kali meminta waktu kepadanya untuk bicara, membuat Mayra kepikiran juga. Sebenarnya apa yang ingin disampaikan laki-laki itu padanya?
Jujur, ia sedang berusaha melupakan laki-laki yang telah mengambil seluruh hatinya itu. Meski amat sulit, tetapi sedikit demi sedikit, Zidan mulai mengisi ruang hatinya. Sedikit demi sedikit rasa sakit itu mulai digantikan oleh debar, tawa, dan rasa bahagia.
“Kamu masih memikirkannya?” Zidan menatap Mayra lekat begitu mereka sampai di ruangan Mayra.
“Memikirkan siapa?” Mayra balik bertanya dengan wajah polos.
Tiba-tiba Zidan merasa gemas melihat wajah lugu istrinya itu.
“Siapa lagi, mantan kamu lah.” Zidan bersandar di bingkai pintu.
“Mas cemburu?” Mayra menatap Zidan dengan mata menggoda. Zidan gelagapan.
“Aku ke ruangan rapat dulu, ya. Jangan lupa nanti sore tunggu aku sebelum pulang. Aku harus pastikan cara mengemudimu sebelum melepas kamu berkendara seorang diri.”
“Siap,Bos!” Mayra mengacungkan jempolnya. Zidan berbalik dan berjalan tergesa menuju ruang meeting.
Sepeninggal suaminya itu, Mayra tersenyum bahagia. Zidan semakin terlihat tampan di matanya.
***
Tepat pukul 17.00, Mayra meninggalkan ruangannya. Zidan telah mengirim pesan jika ia dalam perjalanan menuju kantor Mayra. Dan perempuan itu ingin menunggu sang suami di lobi, agar begitu laki-laki itu datang, mereka bisa langsung pergi. Ke luar dari lift, Mayra berjalan dengan bersenandung. Mayra sudah tidak sabar ingin segera mencoba duduk di belakang kemudi.
“Mayra!” lagi-lagi suara yang ingin dilupakan oleh Mayra itu membuat tubuh Mayra mematung. Laki-laki itu berjalan mendekati.
“Kita harus bicara.” Raka menatap Mayra dengan tatapan memohon.
“Bang, sudahlah. Semua sudah berakhir. Bukankah Abang yang ingin seperti ini?” Mayra memalingkan wajahnya.
Ia tidak ingin menatap mata yang telah bertahun-tahun hadir dalam mimpi-mimpi indahnya.
“Mayra, aku ingin menyelamatkanmu dari kehancuran.”
“Justru aku saat ini sedang bangkit dari kehancuran, Bang.”
“Mayra, dengarkan …”
“Hai, Sayang. Lama menunggu?” Sebuah tangan kokoh melingkari pinggang Mayra dari samping. Mayra hampir terlonjak karena kaget.
“Eh, Mas. Aku juga baru turun.” Mayra menoleh dan tersenyum manis.
“Ayo!” Zidan menurunkan tangan dan beralih menggandeng tangan sang istri.
Mayra mengikuti langkah Zidan tanpa menoleh lagi pada Raka. Raka menggusar rambutnya dengan kasar.
“Mayra, buka blokir telepon dan WA-mu. “ Raka setengah berteriak pada Mayra.
Mayra merasakan hatinya semakin sekit, kenapa baru sekarang laki-laki itu peduli padanya? Mengapa baru sekarang laki-laki itu memperjuangkannya?
Sampai di pintu, Zidan melepaskan genggaman tangannya.
“Kamu duluan ke mobil, ya.” Zidan berkata pada Mayra.
Mayra mengangguk dan kembali melanjutkan langkahnya.
Sementara Zidan berbalik dan berjalan mendekati Raka yang masih berdiri mematung.
“Aku peringatkan sekali lagi, ini untuk terakhir kalinya kamu mengganggu istriku. Jika tidak, kamu akan berurusan dengan pihak berwajib.” Zidan berkata dengan nada penuh ancaman.
“Silakan. Lakukan apa yang ingin kamu lakukan. Tetapi, kamu tidak akan bisa menghentikanku untuk menyelamatkan Mayra dari dendam kesumatmu.” Raka menatap Zidan dengan tatapan menantang.
“Kita lihat saja siapa yang akan keluar sebagai pemenang.” Zidan tersenyum mengejek pada Raka.
“Baik. Aku akan buktikan, jika cinta suci akan mengalahkan kelicikan dan kemunafikan.” Raka menunjuk hidung Zidan dengan wajah penuh amarah.
Zidan berbalik dan berjalan santai menuju pintu ke luar. Zidan tidak habis pikir, mengapa Raka tidak mau berhenti mengganggu Mayra. Apakah laki-laki itu benar-benar peduli pada istrinya itu? Atau laki-laki itu benar-benar menyesal telah melepaskan perempuan cantik itu dan ingin mengambilnya kembali?
Sampai di mobil, Zidan membuka pintu mobil dengan perasaan kesal. Baru saja duduk di samping Mayra, Zidan menadahkan tangannya pada istrinya itu.
“Sini ponselmu.” Suara Zidan terdengar dingin dan kaku.
Mayra menatap Zidan dengan dengan heran. Namun, perempuan itu merogoh juga tas yang diletakkannya di belakang ia duduk. Sedetik kemudian, Mayra mengulurkan benda pipih itu pada sang suami. Zidan menerimanya tanpa bicara. Seujurus kemudian terlihat laki-laki itu membuka tempat kartu, mengeluarkan benda kecil itu dari sarangnya dan membuangnya ke luar jendela. Mata Mayra membulat sempurna.
“Kenapa dibuang, Mas? Itu kontak telepon semuanya di sana.” Mayra tiba-tiba merasa geram pada laki-laki di sampingnya ini.
“Nanti kalau lihat orang jual pulsa, berhenti, ya. Kita beli kartu baru.” Zidan menjawab tanpa menoleh.
“Jika kamu mengira Raka akan menghubungiku, kamu salah Mas. Aku sudah lebih dulu memblokir nomor teleponnya.” Suara Mayra terdengar bergetar.
“Kamu memang memblokir nomornya, tetapi tidak memblokir nomor-nomor yang lainnya, kan? Bisa saja dia membeli nomor baru dan menghubungimu dengan nomor itu.” Zidan menjawab dengan santai.
Uh, Mayra mendengus kesal dalam hati. Lalu apa kabar dengan kontak teman-temannya yang sebagian besar disimpannya di kartu teleponnya itu? Laki-laki aneh, Mayra membatin dalam hati.
Bersambung #4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel