Cerita bersambung
Mayra masuk kamar dengan secangkir kopi susu. Baru saja ia meletakkan cangkir tersebut di nakas samping tempat tidur, Zidan ke luar dari kamar mandi dengan celana pendek dan kaos warna putih tanpa lengan. Dengan rambut basah, Zidan terlihat sangat segar dan tampan.
“Minum, Mas.” Mayra tersenyum seraya duduk di pinggir tempat tidur.
“Ya, makasih.” Zidan ikut duduk di samping Mayra.
Laki-laki itu mengambil cangkir kopi susu dan meminumnya beberapa teguk.
“Mas, aku mau izin ke rumah Ibu hari ini.”
“Oh, iya. Sendiri?”
“Iya, Mas. Kecuali kalau kamu mau ikut.”
“Aku nggak bisa. Aku harus ke kantor hari ini.”
“Ini hari minggu lho, Mas.”
“Aku sudah lama tidak mengenal hari. Senin atau Minggu sama saja bagiku.” Suara Zidan terdengar datar.
Mayra tertegun. Beberapa hari ini sikap suaminya itu berubah dingin dan kaku. Entah apa penyebabnya.
“Mas, apa aku punya salah?” Mayra akhirnya mengungkapkan apa yang dirasakannya. Mata perempuan itu tiba-tiba terasa panas.
“Tidak ada.” Zidan menjawab singkat lalu bangkit dari duduknya. Tanpa menoleh pada Mayra, laki-laki berjalan ke luar kamar. Mayra menggigit bibirnya. Tak dapat ditahan lagi, buliran bening itu mengalir dari sudut-sudut matanya.
Minggu lalu hubungan mereka begitu manis. Zidan mencandainya, memperhatikannya dan mencemburuinya. Tetapi, dua tiga hari ini, laki-laki itu mengacuhkannya. Bahkan seperti menganggap Mayra tidak ada. Entah mengapa, Mayra merasa amat sedih melihat perubahan sikap Zidan. Setiap saat ia bertanya dalam hati, apa yang salah dengan dirinya?
Mayra mengganti baju rumahnya dengan kulot lebar dan tunik berwarna pastel. Tubuh semampainya terlihat anggun. Ditambah lagi dengan pashmina berwarna senada. Setelah menyapukan bedak dan lipstik sekadarnya, Mayra menatap wajahnya di kaca. Terlihat pucat dan kuyu. Mayra mencoba tersenyum, ia tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan. Ia harus tetap kuat dan bersemangat.
Perempuan itu ke luar kamar dan menuruni anak tangga dengan pelan. Sampai di ruang keluarga, terlihat Zidan sedang menonton televisi. Sebuah acara sport membuat mata laki-laki itu fokus ke layar kaca. Mayra mendekat.
“Mas, aku pamit, ya.” Mayra mengulurkan tangan. Zidan mengangkat wajahnya dan menatap Mayra sekilas. Lalu laki-laki itu menerima uluran tangan sang istri.
“Ya, hati-hati.” Zidan menjawab singkat.
“Ya, Mas.” Mayra mencoba tersenyum manis. Tetapi, senyum perempuan itu kembali hilang begitu tak mendapat balasan. Mayra berbalik dan berjalan menuju pintu depan. Air mata kembali mengenang di pelupuk matanya. Mengapa begitu sulit bagi mereka untuk menyatu? Padahal Mayra sudah berusaha membuka diri. Tetapi, Zidan tetap saja seperti tak terjangkau. Laki-laki itu begitu sulit untuk dipahami dan dimengerti.
Mayra masuk ke mobil. Begitu duduk di belakang kemudi, perempuan itu tak dapat lagi menahan tangisnya. Hatinya begitu nelangsa. Disaat ia ingin memperbaiki diri, memperbaiki hubungannya dengan Zidan, Zidan malah menjauh darinya. Setelah puas menumpahkan kesedihannya, Mayra menghapus air matanya dengan tisu. Lalu perlahan mobil mulai bergerak mundur ke luar dari halaman. Suami Bi Darni telah membukakan pintu gerbang begitu melihat Mayra masuk ke mobil.
***
Mayra menatap ponsel di tangannya. Sudah lewat waktu isya, tetapi tidak ada panggilan telepon dari Zidan. Tidak juga pesan melalui whatshapp. Ibu dan kedua adiknya sudah berulang kali masuk kamar dan menanyakan mau menginap apa mau pulang. Mayra menjawab, kalau ia menunggu telepon dari Zidan dulu. Namun, sampai Mayra tertidur setelah lewat tengah malam, telepon dari laki-laki itu tidak juga datang.
Paginya Mayra berangkat ke kantor langsung dari rumah orang tuanya. Bu Diah bertanya, apa ia ada masalah dengan Zidan. Mayra hanya menggeleng lemah. Bu Diah tidak mau bertanya lebih jauh lagi. Perempuan paruh baya itu ingin memberikan waktu pada anaknya untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Sebagai orang tua, ia tidak ingin ikut campur masalah anak dan menantunya. Kecuali Mayra sendiri yang bercerita dan minta pendapat kepadanya.
Sampai di kantor, Mayra hanya termenung menatap layar laptop. Bayangan wajah Zidan terpampang di sana. Baru satu malam ia tidak melihat laki-laki itu, ada kerinduan yang menyesakkan ruang dadanya. Apa ia sudah mulai mencintai suaminya itu? Apa sebegitu cepat rasa itu hadir?
“Pagi!” pintu terkuak, Mayra mendongak. Mata indahnya terpaku melihat sosok yang tengah berdiri gagah di depannya.
“Mas …” Mayra mendesis pelan.
“Kenapa tidak pulang tadi malam?” Zidan menatapnya lekat. Mayra meneguk ludahnya.
“Aku ketiduran di rumah Ibu, Mas.” Akhirnya Mayra hanya bisa menjawab dengan alasan yang mungkin tidak masuk akal sama sekali.
“Apa ponselmu tidak bisa digunakan?” Zidan terlihat tidak suka dengan jawaban sang istri.
“Mas juga tidak menghubungiku.” Mayra menjawab lirih sambil memalingkan wajahnya.
Entahlah, rasanya ia tidak sanggup bertatapan dengan laki-laki yang beberapa hari ini selalu mengganggu pikirannya.
“Sudah sarapan?” suara Zidan tiba-tiba melunak.
“Aku nggak lapar, Mas.” Mayra menjawab pelan.
“Tetapi, aku lapar. Temani Mas sarapan, ya?” Zidan menatap Mayra penuh harap. Mayra menyipitkan matanya. Laki-laki ini berubah lagi. Ia kembali terlihat lembut dan penuh perhatian.
“Maaf, Mas. Sudah jam kerja.” Mayra menolak halus. Zidan berjalan mendekati meja Mayra. Dengan santai laki-laki itu mengambil jemari tangan sang istri lalu menariknya lembut.
“Ayolah, temani sebentar saja. Biar Mas yang izinkan sama Pak Arifin.”
Mayra bangkit dengan dada berdebar. Genggaman tangan Zidan membuat pipinya menyemburatkan rona merah. Mereka lalu berjalan bersisian menuju lift di ujung ruangan Mayra. Beberapa karyawan yang berpapasan mengangguk hormat pada Zidan dan tersenyum pada Mayra. Zidan menggandeng tangan istrinya sampai ke parkiran.
Dan untuk pertama kalinya sejak, mereka menikah, Zidan membukakan pintu mobil untuk sang istri. Untuk beberapa detik, Mayra terpaku. Ada bunga-bunga mawar yang beterbangan memenuhi rongga dadanya.
“Silakan Nyonya Zidan.” Zidan mengedipkan mata.
“Sudah sarapan?” suara Zidan tiba-tiba melunak.
“Aku nggak lapar, Mas.” Mayra menjawab pelan.
“Tetapi, aku lapar. Temani Mas sarapan, ya?” Zidan menatap Mayra penuh harap. Mayra menyipitkan matanya. Laki-laki ini berubah lagi. Ia kembali terlihat lembut dan penuh perhatian.
“Maaf, Mas. Sudah jam kerja.” Mayra menolak halus. Zidan berjalan mendekati meja Mayra. Dengan santai laki-laki itu mengambil jemari tangan sang istri lalu menariknya lembut.
“Ayolah, temani sebentar saja. Biar Mas yang izinkan sama Pak Arifin.”
Mayra bangkit dengan dada berdebar. Genggaman tangan Zidan membuat pipinya menyemburatkan rona merah. Mereka lalu berjalan bersisian menuju lift di ujung ruangan Mayra. Beberapa karyawan yang berpapasan mengangguk hormat pada Zidan dan tersenyum pada Mayra. Zidan menggandeng tangan istrinya sampai ke parkiran.
Dan untuk pertama kalinya sejak, mereka menikah, Zidan membukakan pintu mobil untuk sang istri. Untuk beberapa detik, Mayra terpaku. Ada bunga-bunga mawar yang beterbangan memenuhi rongga dadanya.
“Silakan Nyonya Zidan.” Zidan mengedipkan mata.
Mayra terpana. Namun, buru-buru Mayra masuk ke mobil. Duduk menyandarkan punggung untuk menenangkan debaran di dada. Zidan menutupkan pintu mobil lalu berjalan memutar menuju pintu satunya lagi. Laki-laki itu naik dan duduk di belakang kemudi. Sebelum menghidupkan mobil, Zidan menoleh pada Mayra.
“Jangan tegang begitu. Aku kan nggak gigit.” Zidan tertawa kecil di ujung ucapannya. Mayra mencoba tersenyum.
“Mau sarapan, apa?” Zidan bertanya begitu mobil bergerak meninggalkan halaman parkir.
“Terserah, Mas aja. Aku kan cuma nemani, Mas.”
“Kalau Cuma nemani, nggak jadilah.” Zidan tiba-tiba menghentikan mobilnya begitu saja. Bibir Mayra melongo.
“Kamu juga harus makan.” Zidan menyentuh tangan Mayra. Mayra menoleh, tatapan mereka bertemu. Mayra kembali memalingkan wajahnya. Dia bisa jantungan kalau begini terus. Zidan tersenyum lalu segera menjalankan mobil kembali.
“Jadi mau makan apa?” Zidan menatap lurus ke jalan raya.
“Mie ayam gimana?” Wajah Mayra mulai terlihat ceria.
“Siap! Aku ajak ke tempat mie ayam paling enak di Pekanbaru.” Zidan mengacungkan jempolnya. Mata Mayra berbinar.
Sampai di tempat mie ayam Mas Amin, Zidan dan Mayra mencari tempat duduk yang kosong. Mereka mendapatkan tempat duduk di pojok. Zidan memesan dua mangkuk mie ayam dan jeruk panas.
Tidak berapa lama pesanan mereka pun sampai. Mayra langsung lapar melihat hidangan di depannya. Tanpa banyak bicara perempuan yang mengenakan blazer warna hitam dengan pasmina berwarna marun itu makan dengan lahap.
Zidan memperhatikan tingkah istrinya itu dengan sudut matanya.
"Kamu tadi malam nggak makan, ya?" Suara Zidan menghentikan suapan Mayra. Mayra balik menatap suaminya itu.
"Makan, eh ... nggak." Mayra tergagap. Zidan tertawa.
"Kenapa nggak makan?" Laki-laki itu menatap perempuan di depannya lekat.
"Nggak selera, Mas." Mayra menjawab seraya meringis.
"Pesan satu lagi, ya?" Zidan mengusap kepala Mayra yang tertutup jilbab.
“Jangan tegang begitu. Aku kan nggak gigit.” Zidan tertawa kecil di ujung ucapannya. Mayra mencoba tersenyum.
“Mau sarapan, apa?” Zidan bertanya begitu mobil bergerak meninggalkan halaman parkir.
“Terserah, Mas aja. Aku kan cuma nemani, Mas.”
“Kalau Cuma nemani, nggak jadilah.” Zidan tiba-tiba menghentikan mobilnya begitu saja. Bibir Mayra melongo.
“Kamu juga harus makan.” Zidan menyentuh tangan Mayra. Mayra menoleh, tatapan mereka bertemu. Mayra kembali memalingkan wajahnya. Dia bisa jantungan kalau begini terus. Zidan tersenyum lalu segera menjalankan mobil kembali.
“Jadi mau makan apa?” Zidan menatap lurus ke jalan raya.
“Mie ayam gimana?” Wajah Mayra mulai terlihat ceria.
“Siap! Aku ajak ke tempat mie ayam paling enak di Pekanbaru.” Zidan mengacungkan jempolnya. Mata Mayra berbinar.
Sampai di tempat mie ayam Mas Amin, Zidan dan Mayra mencari tempat duduk yang kosong. Mereka mendapatkan tempat duduk di pojok. Zidan memesan dua mangkuk mie ayam dan jeruk panas.
Tidak berapa lama pesanan mereka pun sampai. Mayra langsung lapar melihat hidangan di depannya. Tanpa banyak bicara perempuan yang mengenakan blazer warna hitam dengan pasmina berwarna marun itu makan dengan lahap.
Zidan memperhatikan tingkah istrinya itu dengan sudut matanya.
"Kamu tadi malam nggak makan, ya?" Suara Zidan menghentikan suapan Mayra. Mayra balik menatap suaminya itu.
"Makan, eh ... nggak." Mayra tergagap. Zidan tertawa.
"Kenapa nggak makan?" Laki-laki itu menatap perempuan di depannya lekat.
"Nggak selera, Mas." Mayra menjawab seraya meringis.
"Pesan satu lagi, ya?" Zidan mengusap kepala Mayra yang tertutup jilbab.
Mayra membeku. Sendok yang sudah akan masuk ke mulutnya menggantung di udara. Namun, cepat-cepat perempuan bermata indah ini menguasai diri.
"Sudah, Mas. Sudah kenyang." Mayra menjawab seraya melanjutkan makannya. Zidan tersenyum. Entah mengapa ia menjadi begitu peduli pada perempuan ini. Tapi, benarkah ia peduli? Zidan bertanya pada dirinya sendiri.
Sementara Mayra menyelesaikan makannya dan mengucapkan alhamdulillah.
Dalam hati, perempuan itu berdoa agar Zidan selalu menjadi laki-laki yang baik dan perhatian di setiap waktu.
***
Sebelum jam makan siang, Pak Arifin mengajak Mayra dan Fifi untuk mengantarkan berkas pemeriksaan proyek ke kantor Raka. Mayra sebenarnya ragu, antara menerima atau menolak. Tetapi, perempuan cantik ini merasa tidak enak juga menolak ajakan si bos. Karena jarang-jarang bosnya itu mengajak ia dan Fifi ikut serta.
Berempat dengan supir pribadi Pak Arifin, mereka meninggalkan kantor menuju jalan Soekarno Hatta. Baru beberapa menit berkendara, ponsel Mayra bergetar. Mayra mengambil ponselnya dari dalam tas. Terlihat panggilan masuk dari Zidan.
“Assalammulaikum.”
“Waalaikumsalam, Mas.”
“Kamu di mana?”
“Lagi di jalan, Mas. Dengan Pak Arifin dan Fifi.”
“Mau ke mana?”
“Ke jalan Soekarno Hatta."
“Soekarno Hatta? Ada urusan apa?”
“Ini, mau mengantarkan berkas ke PT. Gemilang Utama, Mas.”
“Turun sekarang!”
“Mas?!”
“Turun. Katakan di mana posisi kalian sekarang.”
“Di jalan Sudirman, Mas.” Suara Mayra bergetar. Lalu Mayra mematikan ponselnya.
“Pak, maaf …” Mayra memanggil bosnya dengan perasaan bingung.
“Ya, ada apa?”
“Maaf, Pak. Mas Zidan ada perlu sama saya. Dia minta saya turun dan nunggu di sini, Pak. Mayra berkata dengan suara terbata.
“Berhenti, Pak Dirta.” Pak Arifin memerintahkan supirnya untuk berhenti.
“Kami nggak mungkin ninggalin kamu sendirian di jalan. Kita tunggu saja sampai Pak Zidan datang.” Pak Arifin berkata begitu mobil berhenti di pinggir jalan Sudirman.
“Tidak apa, Pak. Biar saya nunggu aja di halte depan, Pak.” Mayra berkata dengan perasaan tidak enak.
“Sudah, kamu duduk aja baik-baik sampai Pak Zidan datang.” Pak Arifin mengangkat tangan kanannya memberi tanda agar Mayra tidak lagi menolak.
"Sudah, Mas. Sudah kenyang." Mayra menjawab seraya melanjutkan makannya. Zidan tersenyum. Entah mengapa ia menjadi begitu peduli pada perempuan ini. Tapi, benarkah ia peduli? Zidan bertanya pada dirinya sendiri.
Sementara Mayra menyelesaikan makannya dan mengucapkan alhamdulillah.
Dalam hati, perempuan itu berdoa agar Zidan selalu menjadi laki-laki yang baik dan perhatian di setiap waktu.
***
Sebelum jam makan siang, Pak Arifin mengajak Mayra dan Fifi untuk mengantarkan berkas pemeriksaan proyek ke kantor Raka. Mayra sebenarnya ragu, antara menerima atau menolak. Tetapi, perempuan cantik ini merasa tidak enak juga menolak ajakan si bos. Karena jarang-jarang bosnya itu mengajak ia dan Fifi ikut serta.
Berempat dengan supir pribadi Pak Arifin, mereka meninggalkan kantor menuju jalan Soekarno Hatta. Baru beberapa menit berkendara, ponsel Mayra bergetar. Mayra mengambil ponselnya dari dalam tas. Terlihat panggilan masuk dari Zidan.
“Assalammulaikum.”
“Waalaikumsalam, Mas.”
“Kamu di mana?”
“Lagi di jalan, Mas. Dengan Pak Arifin dan Fifi.”
“Mau ke mana?”
“Ke jalan Soekarno Hatta."
“Soekarno Hatta? Ada urusan apa?”
“Ini, mau mengantarkan berkas ke PT. Gemilang Utama, Mas.”
“Turun sekarang!”
“Mas?!”
“Turun. Katakan di mana posisi kalian sekarang.”
“Di jalan Sudirman, Mas.” Suara Mayra bergetar. Lalu Mayra mematikan ponselnya.
“Pak, maaf …” Mayra memanggil bosnya dengan perasaan bingung.
“Ya, ada apa?”
“Maaf, Pak. Mas Zidan ada perlu sama saya. Dia minta saya turun dan nunggu di sini, Pak. Mayra berkata dengan suara terbata.
“Berhenti, Pak Dirta.” Pak Arifin memerintahkan supirnya untuk berhenti.
“Kami nggak mungkin ninggalin kamu sendirian di jalan. Kita tunggu saja sampai Pak Zidan datang.” Pak Arifin berkata begitu mobil berhenti di pinggir jalan Sudirman.
“Tidak apa, Pak. Biar saya nunggu aja di halte depan, Pak.” Mayra berkata dengan perasaan tidak enak.
“Sudah, kamu duduk aja baik-baik sampai Pak Zidan datang.” Pak Arifin mengangkat tangan kanannya memberi tanda agar Mayra tidak lagi menolak.
Akhirnya perempuan cantik itu pun diam tidak bicara lagi. Fifi menatap Mayra dengan tatapan bertanya. Mayra hanya mengangkat bahunya.
Sepuluh menit kemudian, ponsel Mayra kembali bergetar.
“Di depan Pangeran, kan?”
“Iya, Mas.”
“Oke, biar aku yang ngomong sama Pak Arifin.”
“Ya, Mas.”
Tidak berapa lama terlihat dari kaca spion, Zidan berjalan mendekati mobil Pak Arifin. Pak Arifin membuka kaca dan mengulurkan tangan pada lelaki muda itu.
“Maaf, Pak. Izin bawa Mayra sebentar ya, Pak.” Zidan mengangkat tangannya memberi hormat pada laki-laki paruh baya itu.
“Silakan, Pak Zidan. Lama-lama juga boleh.” Pak Arifin terkekeh.
“Makasih, Pak.” Zidan mengulurkan tangannya kembali pada laki-laki yang selalu bersikap bijaksana itu.
“Pak, maaf, ya. Saya izin bentar.” Mayra mohon izin lagi ke bosnya sebelum turun.
“Baik, Mbak Mayra. Silakan.” Pak Arifin menoleh ke belakang dan tersenyum pada Mayra.
“Makasih, Pak.” Mayra bergegas turun setelah menepuk lembut tangan Fifi sebagai tanda berpamitan.
Lalu beriringan mereka berjalan menuju mobil Zidan yang diparkir tidak jauh di belakang mobil Pak Arifin. Baru saja masuk ke dalam mobil, Mayra menatap Zidan dengan wajah sedikit kesal.
“Kenapa sih, Mas? Kamu kok nggak bisa profesional banget. Ini kan urusan pekerjaan. Bukan urusan pribadi.” Mayra mengeluarkan uneg-unegnya.
“Kamu dengar ya, aku nggak suka kamu berhubungan dengan Raka meski dalam bentuk apapun juga.”
“Tetapi, perusahaan aku berhubungan dengan perusahaan dia, Mas. Seperti juga dengan perusahaan kamu. Bagaimana aku akan menghindari pertemuan atau berurusan dengan dia.”
“Ya, sudah. Kalau gitu, kamu berhenti saja kerja mulai hari ini.” Zidan berkata dengan tegas.
Mayra melongo.
“Berhenti, Mas? Ya, nggak bisa gitu dong, Mas. Aku kan nggak ngapa-ngapain. Selama ini selalu jaga diri.” Mayra merasa keberatan jika harus berhenti.
“Berapa besar gajimu dengan Pak Arifin? Nanti aku ganti.” Zidan menjawab santai. Mayra merasa makin kesal. Bukan uang permasalahannya.
Akhirnya Mayra memilih diam. Zidan menoleh dan tersenyum penuh kemenangan.
==========
Sampai di rumah, setelah sholat magrib dan makan malam, Mayra mengurung dirinya di ruang baca. Berbagai judul buku dan novel dibacanya asal. Setiap buku dan novel hanya dibacanya beberapa halaman lalu diletakkannya kembali. Entah mengapa, hatinya masih merasa kesal melihat sikap Zidan beberapa hari ini. Laki-laki itu seperti mempermainkan hatinya.
Begitu azan isya berkumandang, Mayra langsung bangkit dan segera melaksanakan kewajiban lima waktunya di ruang sholat. Setelah selesai sholat, perempuan itu kembali ke ruang baca. Ia kembali membenamkan diri di sofa empuk, di samping rak-rak buku yang berjejer rapi.
Sampai jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 21.00. Ia masih tak hendak beranjak. Padahal sudah beberapa kali ia menguap karena rasa kantuk yang mulai menyerang.
“Belum mau tidur?” tiba-tiba sosok Zidan telah berdiri tepat di hadapan Mayra. Mayra mengernyitkan kening, kapan masuknya laki-laki tampan ini?
“Belum ngantuk.” Mayra menjawab singkat.
“Tapi, nguap terus ya dari tadi.” Zidan tersenyum dengan tatapan mata menggoda. Aih, apa laki-laki ini memperhatikannya sedari tadi? Mayra mengerucutkan bibirnya.
“Mas kalau mau tidur, tidur aja. Ada akupun di kamar kan nggak ngapa-ngapain juga.” Mayra bicara dengan asal. Tapi sedetik kemudian, perempuan itu tersadar. Ya, Tuhan, apa yang telah diucapkannya.
“Kamu mau minta jatah?” Zidan menatap Mayra dengan senyum nakal. Mayra bagkit dengan wajah memerah. Perempuan itu berjalan cepat menuju ruang keluarga. Tetapi, sampai di depan tangga, Mayra berbelok ke kamar di samping ruang sholat. Mayra masuk ke kamar tamu tersebut. Zidan mengikuti langkah istrinya dari belakang. Mayra naik ke kasur dan membaringkan tubuhnya. Zidan berdiri di pintu dan menatap tubuh Mayra yang berbaring membelakanginya. Laki-laki itu menghela napas panjang, lalu dengan berat hati menutup pintu. Pelan ia tinggalkan kamar tamu menuju kamarnya di lantai dua.
Sampai di kamar, Zidan menghenyakkan pantatnya di sofa sudut kamar. Laki-laki itu menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Entah mengapa Zidan tiba-tiba merasa resah. Ia serasa ingin menghentikan semua ini. Melihat kelembutan dan keiklasan Mayra membuat Zidan merasa tidak tega untuk menyakitinya. Tetapi, jika membayangkan rasa sakit Raka dan kehancuran laki-laki itu, Zidan tidak ingin menyerah.
Zidan bangkit dan berjalan menuju meja kerjanya di samping lemari pakaian. Dibukanya botol air mineral dan dituangkannya ke dalam pemanas air. Lalu dibukanya kopi, cremer dan gula. Dimasukannya semua ke dalam cangkir. Tidak berapa lama, terdengar bunyi air mendidih. Zidan menuangkan isi ceret ke dalam cangkir. Seketika harum bau kopi menguar ke udara bersamaan dengan asap panas yang mengepul dari cangkir di depan laki-laki itu.
Setelah mengaduknya dan menghirup aromanya Zidan membawa cangkir kopinya ke sofa. Laki-laki itu kembali duduk di sana. Sambil menikmati kopinya, pikiran Zidan berkelana ke mana-mana. Ia ingat Alisya, adiknya. Ia ingat Raka, ingat Mayra. Rasa sedih, marah, menyesal, semua campur aduk menjadi satu.
Entah berapa lama Zidan tercenung seorang diri. Ketika diliriknya jam di dinding kamar, ternyata waktu telah menunjukkan pukul 23.15. Zidan bangkit dan berjalan ke luar kamar. dituruninya anak tangga satu persatu dengan hati sedikit bimbang. Tetapi, langkahnya tetap menuju ke ruang tamu. Sampai di depan pintu, pelan diputarnya handel pintu. Laki-laki itu melongok ke dalam. Terlihat Mayra tidur meringkuk di atas tempat tidur.
Zidan membuka pintu lebih lebar dan melangkah masuk. Diambilnya selimut yang berada di ujung kaki Mayra. Lalu dengan lembut ditutupkannya ke tubuh perempuan itu. Sejenak Zidan terpaku menatap wajah Mayra. Wajah yang cantik, bisik hatinya pelan. Tanpa sadar, tangan Zidan terulur. Diusapnya kepala istrinya itu dengan lembut. Terlihat Mayra bergerak dan mengubah posisi tidurnya. Zidan cepat-cepat menarik tangannya. Laki-laki itupun segera melangkah ke luar kamar.
***
Saat azan subuh, Mayra terbangun. Perempuan itu merasakan sesuatu menutupi tubuhnya. Ketika ia membuka mata, ia mendapati dirinya telah berada di dalam selimut. Mayra berusaha mengingat-ingat. Rasanya ia langsung tertidur tanpa sempat menarik selimut. Apakah laki-laki itu masuk ke kamar tadi malam dan menyelimutinya? Mayra tersenyum. Ada yang terasa hangat di sudut hatinya.
Mayra turun dari ranjang, melipat selimut dan merapikan kembali tempat tidur. Meski di rumah ini ada Bi Darna dan anaknya, Yani, yang selalu siap sedia melakukan semua pekerjaan rumah tangga, namun Mayra tidak pernah berpangku tangan. Apa yang bisa dikerjakannya sendiri, pasti dikerjakannya tanpa minta bantuan pada Bi Darni.
Mayra melaksanakan sholat subuh di ruang sholat. Setelah selesai melaksanakan kewajibannya, perempuan itu segera membuatkan kopi susu untuk Zidan. Bi Darna terlihat sudah sibuk di depan kompor dibantu oleh Yani.
“Ini bawa tiramisu sekalian, ya, Mba?” Bi Darna menyodorkan piring berisi potongan tiramisu dan napan pada Mayra.
“Oh iya, Bi. Makasih, ya.” Mayra menerima piring dari Bi Darna lalu bergegas menuju anak tangga. Dadanya sedikit berdebar begitu menaiki anak tangga. Apalagi begitu membuka pintu kamar. Kening Mayra mengernyit mendapati tempat tidur yang kosong. Perempuan dengan pakaian tidur selutut itu mengedarkan pandangan. Matanya terpaku melihat sosok Zidan yang tertidur di sofa.
Mayra meletakkan napan berisi kue dan kopi susu di atas nakas. Setelah itu, ia berjalan mendekati Zidan.
“Mas, bangun. Sudah subuh, Mas.” Mayra mengguncang pundak suaminya dengan lembut. Zidan menggeliat. Sedetik kemudian terlihat laki-laki itu membuka matanya.
“Hai, kamu sudah bangun?” Zidan tersenyum pada Mayra.
“Sudah, Mas. Kenapa tidur di sofa?” Mayra memungut selimut yang jatuh ke lantai.
“Kamu juga, kenapa tidur di kamar tamu?” Zidan menatap Mayra lekat. Mayra melipat selimut di tangannya dan menghindari tatapan mata suaminya itu.
“Ayo, sholat, Mas. Nanti keburu habis subuhnya.” Mayra membawa selimut yang sudah dilipatnya ke tempat tidur. Ia memang sengaja tidak menjawab pertanyaan Zidan.
“Kamu masih ingin kerja?” Zidan menghentikan gerakan Mayra yang sedang merapikan alas kasur. Perempuan itu berbalik dan menatap suaminya itu dengan mata berbinar.
“Mas masih mengizinkannya?” Mayra berjalan mendekat.
“Jika itu yang akan membuatmu bahagia.” Zidan tersenyum tulus.
“Makasih, Mas.” Mayra menghambur memeluk Zidan. Zidan membeku. Tangannya menggantung di udara.
“Boleh aku mencium, Mas?” Mayra merenggangkan pelukannya. Namun, sebelum laki-laki di depannya menjawab, perempuan itu telah mengecup pipi kiri dan kanannya. Zidan terpana.
“Ayo, sekarang sholat, habis itu mandi. Aku siapin pakaian, Mas.” Mayra berbalik dengan bunga-bunga yang bermekaran di hatinya. Zidan melangkah menuju kamar mandi tanpa bicara. Pipi laki-laki itu masih terasa hangat oleh kecupan bibir Mayra.
Dengan senyum yang menghiasi bibir, Mayra menyiapkan pakaian untuk Zidan. Lalu disiapkannya sajadah dan sarung untuk laki-laki itu. Entah mengapa akhir-akhir ini, ada rasa bahagia yang mengaliri relung hatinya setiap melakukan hal-hal seperti ini. Ada kebahagiaan yang sulit diungkapkannya ketika ia mengurus segala keperluan suaminya itu.
***
Mayra baru saja membereskan pekerjaannya ketika Fifi masuk dan mengajaknya makan di luar. Mayra langsung setuju dan bersiap untuk ikut. Setelah mengambil tasnya, Mayra bangkit. Berdua mereka berjalan menuju lift. Sampai di lobi, terlihat Gina, Dian, Riko, dan Albi. Mayra mencolek Fifi.
“Kita perginya rame-rame?” Mayra berbisik pada Fifi.
“Iya, Riko ultah, dia pengen traktir kita makan siang.” Fifi menjawab dengan wajah riang. Mayra merasa sedikit ragu. Sejak menikah, ia tidak pernah pergi dengan teman-temannya, apalagi ada laki-laki juga.
“Aku telepon Mas Zidan bentar, ya.” Mayra minta waktu pada Fifi.
“Oke.” Fifi mengacungkan jempolnya. Fifi terlihat bergabung dengan Gina CS.
Tidak sampai dua menit, Mayra sudah berjalan mendekati Fifi dan teman-temannya.
“Maaf, aku nggak jadi ikut.” Mayra berkata begitu sampai di samping Fifi.
“Kenapa?” Fifi, Gina dan Dian bertanya serentak.
“Mas Zidan mau ke sini.” Mayra bicara setengah berbisik.
“Oh.” Ketiga teman perempuan kembali menjawab serentak.
“Ya, udah. Kami berangkat, ya.” Teman-teman Mayra pamit seraya melambaikan tangan.
“Di depan Pangeran, kan?”
“Iya, Mas.”
“Oke, biar aku yang ngomong sama Pak Arifin.”
“Ya, Mas.”
Tidak berapa lama terlihat dari kaca spion, Zidan berjalan mendekati mobil Pak Arifin. Pak Arifin membuka kaca dan mengulurkan tangan pada lelaki muda itu.
“Maaf, Pak. Izin bawa Mayra sebentar ya, Pak.” Zidan mengangkat tangannya memberi hormat pada laki-laki paruh baya itu.
“Silakan, Pak Zidan. Lama-lama juga boleh.” Pak Arifin terkekeh.
“Makasih, Pak.” Zidan mengulurkan tangannya kembali pada laki-laki yang selalu bersikap bijaksana itu.
“Pak, maaf, ya. Saya izin bentar.” Mayra mohon izin lagi ke bosnya sebelum turun.
“Baik, Mbak Mayra. Silakan.” Pak Arifin menoleh ke belakang dan tersenyum pada Mayra.
“Makasih, Pak.” Mayra bergegas turun setelah menepuk lembut tangan Fifi sebagai tanda berpamitan.
Lalu beriringan mereka berjalan menuju mobil Zidan yang diparkir tidak jauh di belakang mobil Pak Arifin. Baru saja masuk ke dalam mobil, Mayra menatap Zidan dengan wajah sedikit kesal.
“Kenapa sih, Mas? Kamu kok nggak bisa profesional banget. Ini kan urusan pekerjaan. Bukan urusan pribadi.” Mayra mengeluarkan uneg-unegnya.
“Kamu dengar ya, aku nggak suka kamu berhubungan dengan Raka meski dalam bentuk apapun juga.”
“Tetapi, perusahaan aku berhubungan dengan perusahaan dia, Mas. Seperti juga dengan perusahaan kamu. Bagaimana aku akan menghindari pertemuan atau berurusan dengan dia.”
“Ya, sudah. Kalau gitu, kamu berhenti saja kerja mulai hari ini.” Zidan berkata dengan tegas.
Mayra melongo.
“Berhenti, Mas? Ya, nggak bisa gitu dong, Mas. Aku kan nggak ngapa-ngapain. Selama ini selalu jaga diri.” Mayra merasa keberatan jika harus berhenti.
“Berapa besar gajimu dengan Pak Arifin? Nanti aku ganti.” Zidan menjawab santai. Mayra merasa makin kesal. Bukan uang permasalahannya.
Akhirnya Mayra memilih diam. Zidan menoleh dan tersenyum penuh kemenangan.
==========
Sampai di rumah, setelah sholat magrib dan makan malam, Mayra mengurung dirinya di ruang baca. Berbagai judul buku dan novel dibacanya asal. Setiap buku dan novel hanya dibacanya beberapa halaman lalu diletakkannya kembali. Entah mengapa, hatinya masih merasa kesal melihat sikap Zidan beberapa hari ini. Laki-laki itu seperti mempermainkan hatinya.
Begitu azan isya berkumandang, Mayra langsung bangkit dan segera melaksanakan kewajiban lima waktunya di ruang sholat. Setelah selesai sholat, perempuan itu kembali ke ruang baca. Ia kembali membenamkan diri di sofa empuk, di samping rak-rak buku yang berjejer rapi.
Sampai jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 21.00. Ia masih tak hendak beranjak. Padahal sudah beberapa kali ia menguap karena rasa kantuk yang mulai menyerang.
“Belum mau tidur?” tiba-tiba sosok Zidan telah berdiri tepat di hadapan Mayra. Mayra mengernyitkan kening, kapan masuknya laki-laki tampan ini?
“Belum ngantuk.” Mayra menjawab singkat.
“Tapi, nguap terus ya dari tadi.” Zidan tersenyum dengan tatapan mata menggoda. Aih, apa laki-laki ini memperhatikannya sedari tadi? Mayra mengerucutkan bibirnya.
“Mas kalau mau tidur, tidur aja. Ada akupun di kamar kan nggak ngapa-ngapain juga.” Mayra bicara dengan asal. Tapi sedetik kemudian, perempuan itu tersadar. Ya, Tuhan, apa yang telah diucapkannya.
“Kamu mau minta jatah?” Zidan menatap Mayra dengan senyum nakal. Mayra bagkit dengan wajah memerah. Perempuan itu berjalan cepat menuju ruang keluarga. Tetapi, sampai di depan tangga, Mayra berbelok ke kamar di samping ruang sholat. Mayra masuk ke kamar tamu tersebut. Zidan mengikuti langkah istrinya dari belakang. Mayra naik ke kasur dan membaringkan tubuhnya. Zidan berdiri di pintu dan menatap tubuh Mayra yang berbaring membelakanginya. Laki-laki itu menghela napas panjang, lalu dengan berat hati menutup pintu. Pelan ia tinggalkan kamar tamu menuju kamarnya di lantai dua.
Sampai di kamar, Zidan menghenyakkan pantatnya di sofa sudut kamar. Laki-laki itu menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Entah mengapa Zidan tiba-tiba merasa resah. Ia serasa ingin menghentikan semua ini. Melihat kelembutan dan keiklasan Mayra membuat Zidan merasa tidak tega untuk menyakitinya. Tetapi, jika membayangkan rasa sakit Raka dan kehancuran laki-laki itu, Zidan tidak ingin menyerah.
Zidan bangkit dan berjalan menuju meja kerjanya di samping lemari pakaian. Dibukanya botol air mineral dan dituangkannya ke dalam pemanas air. Lalu dibukanya kopi, cremer dan gula. Dimasukannya semua ke dalam cangkir. Tidak berapa lama, terdengar bunyi air mendidih. Zidan menuangkan isi ceret ke dalam cangkir. Seketika harum bau kopi menguar ke udara bersamaan dengan asap panas yang mengepul dari cangkir di depan laki-laki itu.
Setelah mengaduknya dan menghirup aromanya Zidan membawa cangkir kopinya ke sofa. Laki-laki itu kembali duduk di sana. Sambil menikmati kopinya, pikiran Zidan berkelana ke mana-mana. Ia ingat Alisya, adiknya. Ia ingat Raka, ingat Mayra. Rasa sedih, marah, menyesal, semua campur aduk menjadi satu.
Entah berapa lama Zidan tercenung seorang diri. Ketika diliriknya jam di dinding kamar, ternyata waktu telah menunjukkan pukul 23.15. Zidan bangkit dan berjalan ke luar kamar. dituruninya anak tangga satu persatu dengan hati sedikit bimbang. Tetapi, langkahnya tetap menuju ke ruang tamu. Sampai di depan pintu, pelan diputarnya handel pintu. Laki-laki itu melongok ke dalam. Terlihat Mayra tidur meringkuk di atas tempat tidur.
Zidan membuka pintu lebih lebar dan melangkah masuk. Diambilnya selimut yang berada di ujung kaki Mayra. Lalu dengan lembut ditutupkannya ke tubuh perempuan itu. Sejenak Zidan terpaku menatap wajah Mayra. Wajah yang cantik, bisik hatinya pelan. Tanpa sadar, tangan Zidan terulur. Diusapnya kepala istrinya itu dengan lembut. Terlihat Mayra bergerak dan mengubah posisi tidurnya. Zidan cepat-cepat menarik tangannya. Laki-laki itupun segera melangkah ke luar kamar.
***
Saat azan subuh, Mayra terbangun. Perempuan itu merasakan sesuatu menutupi tubuhnya. Ketika ia membuka mata, ia mendapati dirinya telah berada di dalam selimut. Mayra berusaha mengingat-ingat. Rasanya ia langsung tertidur tanpa sempat menarik selimut. Apakah laki-laki itu masuk ke kamar tadi malam dan menyelimutinya? Mayra tersenyum. Ada yang terasa hangat di sudut hatinya.
Mayra turun dari ranjang, melipat selimut dan merapikan kembali tempat tidur. Meski di rumah ini ada Bi Darna dan anaknya, Yani, yang selalu siap sedia melakukan semua pekerjaan rumah tangga, namun Mayra tidak pernah berpangku tangan. Apa yang bisa dikerjakannya sendiri, pasti dikerjakannya tanpa minta bantuan pada Bi Darni.
Mayra melaksanakan sholat subuh di ruang sholat. Setelah selesai melaksanakan kewajibannya, perempuan itu segera membuatkan kopi susu untuk Zidan. Bi Darna terlihat sudah sibuk di depan kompor dibantu oleh Yani.
“Ini bawa tiramisu sekalian, ya, Mba?” Bi Darna menyodorkan piring berisi potongan tiramisu dan napan pada Mayra.
“Oh iya, Bi. Makasih, ya.” Mayra menerima piring dari Bi Darna lalu bergegas menuju anak tangga. Dadanya sedikit berdebar begitu menaiki anak tangga. Apalagi begitu membuka pintu kamar. Kening Mayra mengernyit mendapati tempat tidur yang kosong. Perempuan dengan pakaian tidur selutut itu mengedarkan pandangan. Matanya terpaku melihat sosok Zidan yang tertidur di sofa.
Mayra meletakkan napan berisi kue dan kopi susu di atas nakas. Setelah itu, ia berjalan mendekati Zidan.
“Mas, bangun. Sudah subuh, Mas.” Mayra mengguncang pundak suaminya dengan lembut. Zidan menggeliat. Sedetik kemudian terlihat laki-laki itu membuka matanya.
“Hai, kamu sudah bangun?” Zidan tersenyum pada Mayra.
“Sudah, Mas. Kenapa tidur di sofa?” Mayra memungut selimut yang jatuh ke lantai.
“Kamu juga, kenapa tidur di kamar tamu?” Zidan menatap Mayra lekat. Mayra melipat selimut di tangannya dan menghindari tatapan mata suaminya itu.
“Ayo, sholat, Mas. Nanti keburu habis subuhnya.” Mayra membawa selimut yang sudah dilipatnya ke tempat tidur. Ia memang sengaja tidak menjawab pertanyaan Zidan.
“Kamu masih ingin kerja?” Zidan menghentikan gerakan Mayra yang sedang merapikan alas kasur. Perempuan itu berbalik dan menatap suaminya itu dengan mata berbinar.
“Mas masih mengizinkannya?” Mayra berjalan mendekat.
“Jika itu yang akan membuatmu bahagia.” Zidan tersenyum tulus.
“Makasih, Mas.” Mayra menghambur memeluk Zidan. Zidan membeku. Tangannya menggantung di udara.
“Boleh aku mencium, Mas?” Mayra merenggangkan pelukannya. Namun, sebelum laki-laki di depannya menjawab, perempuan itu telah mengecup pipi kiri dan kanannya. Zidan terpana.
“Ayo, sekarang sholat, habis itu mandi. Aku siapin pakaian, Mas.” Mayra berbalik dengan bunga-bunga yang bermekaran di hatinya. Zidan melangkah menuju kamar mandi tanpa bicara. Pipi laki-laki itu masih terasa hangat oleh kecupan bibir Mayra.
Dengan senyum yang menghiasi bibir, Mayra menyiapkan pakaian untuk Zidan. Lalu disiapkannya sajadah dan sarung untuk laki-laki itu. Entah mengapa akhir-akhir ini, ada rasa bahagia yang mengaliri relung hatinya setiap melakukan hal-hal seperti ini. Ada kebahagiaan yang sulit diungkapkannya ketika ia mengurus segala keperluan suaminya itu.
***
Mayra baru saja membereskan pekerjaannya ketika Fifi masuk dan mengajaknya makan di luar. Mayra langsung setuju dan bersiap untuk ikut. Setelah mengambil tasnya, Mayra bangkit. Berdua mereka berjalan menuju lift. Sampai di lobi, terlihat Gina, Dian, Riko, dan Albi. Mayra mencolek Fifi.
“Kita perginya rame-rame?” Mayra berbisik pada Fifi.
“Iya, Riko ultah, dia pengen traktir kita makan siang.” Fifi menjawab dengan wajah riang. Mayra merasa sedikit ragu. Sejak menikah, ia tidak pernah pergi dengan teman-temannya, apalagi ada laki-laki juga.
“Aku telepon Mas Zidan bentar, ya.” Mayra minta waktu pada Fifi.
“Oke.” Fifi mengacungkan jempolnya. Fifi terlihat bergabung dengan Gina CS.
Tidak sampai dua menit, Mayra sudah berjalan mendekati Fifi dan teman-temannya.
“Maaf, aku nggak jadi ikut.” Mayra berkata begitu sampai di samping Fifi.
“Kenapa?” Fifi, Gina dan Dian bertanya serentak.
“Mas Zidan mau ke sini.” Mayra bicara setengah berbisik.
“Oh.” Ketiga teman perempuan kembali menjawab serentak.
“Ya, udah. Kami berangkat, ya.” Teman-teman Mayra pamit seraya melambaikan tangan.
Mayra beranjak menuju kursi tamu. Perempuan itu duduk di sana seraya memainkan ponselnya. Iseng Mayra membuka akun facebook Raka. Terlihat sebuah postingan kira-kira sebulan lalu. “Suatu saat, jika kamu tersakiti, datanglah kembali padaku.” Setelah itu, tidak adalagi postingan apa-apa.
Kening Mayra mengernyit. Untuk siapakah status laki-laki itu?
“Nunggunya lama, ya?” Mayra hampir terlonjak karena kaget.
Kening Mayra mengernyit. Untuk siapakah status laki-laki itu?
“Nunggunya lama, ya?” Mayra hampir terlonjak karena kaget.
Buru-buru perempuan itu menutup aplikasi facebooknya.
“Eh, nggak, Mas.” Mayra bangkit seraya tersenyum.
“Berangkat sekarang?” Zidan menatap Mayra dengan senyum khasnya.
“Eh, nggak, Mas.” Mayra bangkit seraya tersenyum.
“Berangkat sekarang?” Zidan menatap Mayra dengan senyum khasnya.
Sekian detik Mayra terpana. Laki-laki di depannya ini selalu terlihat menarik. Memakai celana berwarna abu-abu tua dan kemeja abu-abu terang. Padanan yang sangat pas.
“Hei, ditanyain malah bengong.” Zidan menjentikkan jari tangannya di depan wajah Mayra.
“Eh, iya. Ayo, Mas.” Mayra tergagap dan segera melangkah mendahului. Zidan mengikuti dari belakang. Akhirnya mereka melangkah bersisian ke luar dari gedung menuju parkiran.
Zidan membawa Mayra ke sebuah resto di jalan Soetomo. Mereka memilih tempat duduk lesehan. Begitu pelayan datang membawa daftar menu makanan, Zidan meminta Mayra untuk memilihkan menu untuknya. Mayra terlihat memperhatikan buku daftar menu di tangannya. Diam-diam Zidan memperhatikan semua tingkah dan gerak gerik istrinya itu.
Dari kantor tadi, Zidan sudah berniat untuk mengungkapkan semua kejujuran pada Mayra siang ini. Zidan telah bertekad untuk mengakhiri semuanya hari ini. Entah mengapa ada rasa tidak tega di hati laki-laki itu bermain terlalu jauh. Ada rasa kasihan jika Mayra akan terluka lebih dalam lagi.
Terlihat Mayra memesan beberapa makanan dan minuman. Setelah pelayan berlalu, perempuan itu menatap Zidan dengan mata yang terlihat berbinar.
“Mas, Mas bisa cuti nggak?”
“Cuti?” Zidan menatap wajah Mayra dengan bingung.
“Iya, kita cuti yuk, Mas. Kita bulan madu. Nggak usah jauh-jauh, Bukit Tinggi aja.”
“Bulan madu?” Zidan tergagap. Kerongkongan laki-laki itu tiba-tiba terasa sakit.
“Mas, aku merasa kita perlu waktu dan perlu tempat untuk mendekatkan hati dan perasaan kita. Kita perlu waktu dan tempat agar kita bisa benar-benar menjadi pasangan suami istri yang sempurna.” Suara Mayra terdengar lirih. Namun kata-kata itu serasa menghantam dada Zidan.
“Eh, iya, nanti aku coba liat jadwal aku, ya.” Zidan menjawab tanpa mampu menatap mata Mayra.
“Baik, Mas. Aku tunggu, ya.” Mayra menatap laki-laki di depannya penuh harap. Zidan mengangguk ragu.
Tidak berapa lama, pesanan mereka datang. Zidan tidak hanya kehilangan kata-kata karena ucapan Mayra tadi. Tetapi, laki-laki itu juga jadi kehilangan selera. Sementara Mayra terlihat begitu menikmati makanannya.
Kata-kata yang sudah dirancang Zidan dari kantor tadi, raib begitu saja. Zidan tidak sanggup mengungkapkannya saat ini, di saat mata perempuan di depannya penuh harap dan penuh binar.
Berbagai macam pikiran buruk mengganggu ketenangannya beberapa hari ini. Bagaimana jika Mayra akhirnya mengetahui semua kebohongannya, rencana jahatnya dari Raka? Bukankah itu akan lebih menyakitkan. Tetapi, bukankah ini yang diharapkannya dari awal? Melukai dan menghancurkan wanita yang dicintai oleh laki-laki bernama Raka itu? Mengapa tiba-tiba sekarang ia merasa seperti ketakutan jika hal itu benar-benar terjadi?
“Mas, ayo dihabiskan. Jangan terlalu memikirkan pekerjaan. Pikirkan juga kesehatan Mas. Beberapa hari ini aku lihat Mas seperti nggak berselera. Kadang malah nggak makan apa-apa. Apa ada masalah di kantor, Mas?” Mayra menyentuh tangan Zidan dan mengusapnya pelan. Zidan membeku.
“Tidak, tidak ada masalah.” Zidan mencoba tersenyum.
“Syukurlah. Kalau ada apa-apa, cerita sama aku, Mas. Aku ini kan istri Mas. Istri itu tempat berbagi suka dan duka. Tempat berkeluh kesah. Insyaallah aku akan selalu siap mendengarkan keluh kesah Mas.” Mayra tersenyum tulus. Untuk kesekian kalinya Zidan terpana. Perempuan di depannya ini adalah perempuan yang baik dan juga cantik.
“Tentu. Insyaallah kalau ada apa-apa aku akan berbagi denganmu.” Lagi-lagi Zidan tersenyum canggung.
“Nah, begitu kan lebih baik.” Mayra kembali tersenyum dan mengangguk. Sementara Zidan mendesah resah dalam hati.
Bersambung #5
“Hei, ditanyain malah bengong.” Zidan menjentikkan jari tangannya di depan wajah Mayra.
“Eh, iya. Ayo, Mas.” Mayra tergagap dan segera melangkah mendahului. Zidan mengikuti dari belakang. Akhirnya mereka melangkah bersisian ke luar dari gedung menuju parkiran.
Zidan membawa Mayra ke sebuah resto di jalan Soetomo. Mereka memilih tempat duduk lesehan. Begitu pelayan datang membawa daftar menu makanan, Zidan meminta Mayra untuk memilihkan menu untuknya. Mayra terlihat memperhatikan buku daftar menu di tangannya. Diam-diam Zidan memperhatikan semua tingkah dan gerak gerik istrinya itu.
Dari kantor tadi, Zidan sudah berniat untuk mengungkapkan semua kejujuran pada Mayra siang ini. Zidan telah bertekad untuk mengakhiri semuanya hari ini. Entah mengapa ada rasa tidak tega di hati laki-laki itu bermain terlalu jauh. Ada rasa kasihan jika Mayra akan terluka lebih dalam lagi.
Terlihat Mayra memesan beberapa makanan dan minuman. Setelah pelayan berlalu, perempuan itu menatap Zidan dengan mata yang terlihat berbinar.
“Mas, Mas bisa cuti nggak?”
“Cuti?” Zidan menatap wajah Mayra dengan bingung.
“Iya, kita cuti yuk, Mas. Kita bulan madu. Nggak usah jauh-jauh, Bukit Tinggi aja.”
“Bulan madu?” Zidan tergagap. Kerongkongan laki-laki itu tiba-tiba terasa sakit.
“Mas, aku merasa kita perlu waktu dan perlu tempat untuk mendekatkan hati dan perasaan kita. Kita perlu waktu dan tempat agar kita bisa benar-benar menjadi pasangan suami istri yang sempurna.” Suara Mayra terdengar lirih. Namun kata-kata itu serasa menghantam dada Zidan.
“Eh, iya, nanti aku coba liat jadwal aku, ya.” Zidan menjawab tanpa mampu menatap mata Mayra.
“Baik, Mas. Aku tunggu, ya.” Mayra menatap laki-laki di depannya penuh harap. Zidan mengangguk ragu.
Tidak berapa lama, pesanan mereka datang. Zidan tidak hanya kehilangan kata-kata karena ucapan Mayra tadi. Tetapi, laki-laki itu juga jadi kehilangan selera. Sementara Mayra terlihat begitu menikmati makanannya.
Kata-kata yang sudah dirancang Zidan dari kantor tadi, raib begitu saja. Zidan tidak sanggup mengungkapkannya saat ini, di saat mata perempuan di depannya penuh harap dan penuh binar.
Berbagai macam pikiran buruk mengganggu ketenangannya beberapa hari ini. Bagaimana jika Mayra akhirnya mengetahui semua kebohongannya, rencana jahatnya dari Raka? Bukankah itu akan lebih menyakitkan. Tetapi, bukankah ini yang diharapkannya dari awal? Melukai dan menghancurkan wanita yang dicintai oleh laki-laki bernama Raka itu? Mengapa tiba-tiba sekarang ia merasa seperti ketakutan jika hal itu benar-benar terjadi?
“Mas, ayo dihabiskan. Jangan terlalu memikirkan pekerjaan. Pikirkan juga kesehatan Mas. Beberapa hari ini aku lihat Mas seperti nggak berselera. Kadang malah nggak makan apa-apa. Apa ada masalah di kantor, Mas?” Mayra menyentuh tangan Zidan dan mengusapnya pelan. Zidan membeku.
“Tidak, tidak ada masalah.” Zidan mencoba tersenyum.
“Syukurlah. Kalau ada apa-apa, cerita sama aku, Mas. Aku ini kan istri Mas. Istri itu tempat berbagi suka dan duka. Tempat berkeluh kesah. Insyaallah aku akan selalu siap mendengarkan keluh kesah Mas.” Mayra tersenyum tulus. Untuk kesekian kalinya Zidan terpana. Perempuan di depannya ini adalah perempuan yang baik dan juga cantik.
“Tentu. Insyaallah kalau ada apa-apa aku akan berbagi denganmu.” Lagi-lagi Zidan tersenyum canggung.
“Nah, begitu kan lebih baik.” Mayra kembali tersenyum dan mengangguk. Sementara Zidan mendesah resah dalam hati.
Bersambung #5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel