Cerita bersambung
Seminggu ini Mayra sibuk mengurus rumah karena Bi Darna sekeluarga pulang ke Taluk Kuantan. Mayra melakukan semua pekerjaan itu dengan senang hati. Menyapu, mengepel, memasak, menyiram bunga, mencuci piring, mencuci pakaian dan segala tetek bengek lainnya.
Setelah sholat subuh, hal pertama yang dilakukannya adalah menyiapkan pakaian, sarapan, dan minum sang suami. Entah mengapa, Mayra malah merasa senang seperti ini. Ia merasa benar-benar menjadi seorang istri.
Zidan pun siap sedia membantu. Mayra tidak menyangka suaminya itu juga bisa masak, cuci piring dan bersih-bersih. Mayra sebenarnya sudah melarang Zidan untuk ikut turun ke dapur. Tetapi, laki-laki itu tidak mengindahkannya. Ia tetap membantu Mayra mengerjakan segala sesuatunya.
Seperti pagi ini, setelah sholat subuh, Mayra sudah terlihat sibuk di dapur.
“Hai, masak apa pagi ini?” tiba-tiba Zidan telah berdiri di samping Mayra. Mayra menoleh dan tersenyum.
“Bihun goreng, Mas.”
“Wah, pasti enak nih. Apa yang bisa aku bantu.”
“Nggak usah, Mas duduk aja. Bentar aku bikinkan kopi susu, ya.” Mayra menarik tangan Zidan dan mendudukkan laki-laki itu di kursi meja makan.
Zidan menurut. Tidak berapa lama, Mayra datang membawakan kopi susu untuk laki-laki itu.
“Silakan, Mas.” Mayra meletakkan cangkir berisi kopi susu panas di depan Zidan.
“Makasih, ya.” Mata Zidan tidak lepas dari paras cantik Mayra. Mayra pura-pura tidak tahu. Perempuanitu segera berlalu dan kembali terlihat sibuk di dapur.
Dari tempat duduknya, Zidan memperhatikan semua gerak gerik Mayra. Memakai baju tidur berwarna navy, kulit putihnya terlihat bersinar. Rambut sebahunya diikat seadanya ke atas, menyisakan anak-anak rambut di tengkuk. Dari belakang, tubuh perempuan itu terlihat begitu indah. Zidan menelan ludah.
Setelah meminum kopi susunya beberapa teguk, Zidan bangkit dan melangkah menuju ruang tamu. Dimatikannya semua kontak lampu. Lalu diambilnya sapu dan ia mulai membersihkan semua ruangan. Laki-laki itu merasa harus menyibukkan diri agar pikirannya tidak ke mana-mana.
“Mas, sarapan sudah selesai. Mau mandi dulu apa mau langsung sarapan?” tiba-tiba Mayra telah berdiri di samping Zidan.
“Boleh langsung sarapan?” Zidan meletakkan sapu di samping pintu belakang.
“Boleh. Ayo.” Mayra melangkah menuju meja makan.
“Silakan, Mas.” Mayra meletakkan cangkir berisi kopi susu panas di depan Zidan.
“Makasih, ya.” Mata Zidan tidak lepas dari paras cantik Mayra. Mayra pura-pura tidak tahu. Perempuanitu segera berlalu dan kembali terlihat sibuk di dapur.
Dari tempat duduknya, Zidan memperhatikan semua gerak gerik Mayra. Memakai baju tidur berwarna navy, kulit putihnya terlihat bersinar. Rambut sebahunya diikat seadanya ke atas, menyisakan anak-anak rambut di tengkuk. Dari belakang, tubuh perempuan itu terlihat begitu indah. Zidan menelan ludah.
Setelah meminum kopi susunya beberapa teguk, Zidan bangkit dan melangkah menuju ruang tamu. Dimatikannya semua kontak lampu. Lalu diambilnya sapu dan ia mulai membersihkan semua ruangan. Laki-laki itu merasa harus menyibukkan diri agar pikirannya tidak ke mana-mana.
“Mas, sarapan sudah selesai. Mau mandi dulu apa mau langsung sarapan?” tiba-tiba Mayra telah berdiri di samping Zidan.
“Boleh langsung sarapan?” Zidan meletakkan sapu di samping pintu belakang.
“Boleh. Ayo.” Mayra melangkah menuju meja makan.
Mayra telah menyiapkan sepiring bihun goreng lengkap dengan telur mata sapi, irisan tomat dan irisan timun. Zidan mengekor dari belakang. Setelah Zidan duduk, Mayra menuangkan air putih dan meletakkannya di samping piring laki-laki itu.
“Kok Cuma satu piring? Buat kamu mana?” Zidan menoleh pada Mayra.
“Aku puasa, Mas. Mengganti puasa tahun lalu.” Mayra tersenyum dan duduk di samping suaminya.
“Jadi kamu cuma masakin buat aku?” Zidan menoleh dan menatap Mayra dengan tatapan heran.
“Iya, Mas.” Mayra mengangguk dan tersenyum.
“Ya, ampun, tahu gitu aku sarapan di luar aja. Kamu repot-repot cuma untuk masakin satu piring ini.” Zidan merasa kasihan juga pada Mayra.
“Nggak apa-apa, Mas. Aku bahagia masih diberi kesempatan untuk mengurus dan melayani kamu.” Mayra berkata lirih seraya menunduk.
“Kok Cuma satu piring? Buat kamu mana?” Zidan menoleh pada Mayra.
“Aku puasa, Mas. Mengganti puasa tahun lalu.” Mayra tersenyum dan duduk di samping suaminya.
“Jadi kamu cuma masakin buat aku?” Zidan menoleh dan menatap Mayra dengan tatapan heran.
“Iya, Mas.” Mayra mengangguk dan tersenyum.
“Ya, ampun, tahu gitu aku sarapan di luar aja. Kamu repot-repot cuma untuk masakin satu piring ini.” Zidan merasa kasihan juga pada Mayra.
“Nggak apa-apa, Mas. Aku bahagia masih diberi kesempatan untuk mengurus dan melayani kamu.” Mayra berkata lirih seraya menunduk.
Zidan yang sudah akan menyendok bihun gorengnya terpaku. Laki-laki itu kembali meletakkan sendoknya.
“Kok kamu ngomong begitu?”
“Ya, namanya hidup Mas, kita kan nggak tahu apa yang akan terjadi nanti, esok atau lusa. Bisa saja Mas pergi jauh ninggalin aku. Atau sebaliknya, bisa juga aku yang harus pergi jauh meninggalkan Mas.”
“Mayra …” Zidan terbata, ada rasa sedih yang merambati hatinya mendengar ucapan perempuan di sampingnya ini.
“Sudah, jangan ngobrol lagi. Ayo, dimakan sarapannya.” Mayra menepuk pelan lengan Zidan.
“Kok kamu ngomong begitu?”
“Ya, namanya hidup Mas, kita kan nggak tahu apa yang akan terjadi nanti, esok atau lusa. Bisa saja Mas pergi jauh ninggalin aku. Atau sebaliknya, bisa juga aku yang harus pergi jauh meninggalkan Mas.”
“Mayra …” Zidan terbata, ada rasa sedih yang merambati hatinya mendengar ucapan perempuan di sampingnya ini.
“Sudah, jangan ngobrol lagi. Ayo, dimakan sarapannya.” Mayra menepuk pelan lengan Zidan.
Zidan menurut. Pelan laki-laki itu mulai menyuap bihun goreng di depannya.
“Rasanya enak. Makasih, ya.” Zidan berkata di sela-sela suapannya.
“Rasanya enak. Makasih, ya.” Zidan berkata di sela-sela suapannya.
Mayra tersenyum. Ada rasa bahagia yang menjalari relung hatinya mendengar ucapan Zidan.
Tidak butuh waktu lama, piring Zidan benar-benar telah licin.
“Alhamdulillah.” Zidan menangkupkan sendok dan garpunya ke piring.
“Mau nambah lagi, Mas?”
“Sudah. Kenyang banget.”
Zidan mengusap perutnya. Lagi-lagi Mayra tersenyum. Mayra bangkit dan mengambil piring kotor dari depan Zidan.
“Biar aku saja. Kamu kan lagi puasa.” Zidan ikutan bangkit dan mengambil piring dari tangan Mayra. Mayra mengangkat wajahnya dan menatap Zidan dengan tatapan haru.
“Cuma satu ini, Mas. Sudah, sana kamu mandi. Pakaian sudah aku siapkan tadi.” Mayra melepaskan tangan Zidan dari piring. Untuk sekian detik Zidan terpaku. Sentuhan tangan Mayra menghadirkan desiran halus di dadanya.
“Oke, aku mandi, ya.” Akhirnya Zidan melepaskan tangannya dan berbalik. Laki-laki itu melangkah tergesa menuju tangga. Berada berdua saja di rumah sebesar ini membuat pikiran Zidan berkelana ke mana-mana. Tuhan, apa yang harus dilakukannya? Zidan mengusap wajahnya dengan kasar begitu kakinya menginjak anak tangga pertama.
***
Sore harinya, sepulang dari kantor, Mayra kembali sibuk di dapur. Ia ingin menyiapkan makan malam yang spesial untuk Zidan. Ia akan memasak ayam rica-rica, capcai seafood dan bakwan jagung. Semua bahan itu tersedia di kulkas.
Hampir satu jam perempuan itu berkutat di dapur. Ayam rica-ricanya telah berada di atas kompor, bakwan jagungnya tinggal goreng. Sementara capcai tinggal tumis. Mayra menyalakan kompor, meletakkan kuali dan menuang minyak goreng. Menunggu ayam rica-ricanya empuk, ia akan menggoreng bakwan jagung dulu. Setelah itu, baru menumis capcai.
Setengah jam sebelum azan magrib, semua masakan sudah terhidang di meja. Mayra merasa lega. Perempuan itu bergegas naik ke kamarnya untuk mandi. Begitu Zidan pulang, ia telah rapi dan wangi. Mayra tersenyum. Hari-hari terasa makin indah. Ia dan Zidan sama-sama mencoba membuka diri. Hubungan mereka berdua semakin baik. Mayra pelan-pelan mulai bisa melupakan perasaannya pada Raka. Saat ini, hanya Zidan yang ada dalam hati dan pikirannya.
Jika ingat bagaimana dulu hancur dan terpuruknya ia ketika harus berpisah dari Raka, Mayra serasa tidak percaya jika ia bisa melupakan Raka secepat ini. Jika ingat betapa besar rasa cintanya pada laki-laki berdarah Minang itu, Mayra seakan tidak yakin akhirnya ia bisa membuka hatinya untuk Zidan. Barangkali tidak hanya membuka hati, tetapi ia benar-benar telah terjatuh dalam pesona laki-laki tampan itu.
Mayra memang belum tahu bagaimana perasaan Zidan kepadanya. Apakah laki-laki itu juga telah mulai menyukainya? Tetapi, Mayra yakin, Allah tidak akan menyia-nyiakan perasaan tulus seorang istri terhadap pasangan halalnya. Karena itulah, dalam sujud-sujudnya, Mayra tak henti berdoa agar Allah menghadirkan cinta di hati mereka masing-masing. Bagi perempuan ini, pernikahan cukup satu kali.
Mayra keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit tubuhnya. Ia mengambil pakaian dalam dari lemari. Entah mengapa, semua pakaian dalamnya semua berwarna hitam. Menurutnya, warna hitam itu seksi. Mayra tersenyum sumbang, berpenampilan seksi pun, apa ada gunanya? Sampai saat ini ia masih belum bisa menggoda sang suami untuk meminta haknya.
Tetapi, Mayra mencoba mengerti. Barangkali mereka masih butuh sedikit waktu lagi. Ia akan tetap bersabar. Mayra mengambil baju tidur yang cukup seksi dari dalam paper bag. Kemarin pulang dari kantor ia mampir ke sebuah counter baju tidur. Mayra membeli beberapa baju tidur berbahan satin tanpa lengan.
Mumpung Bi Darna sekeluarga masih di luar kota, Mayra ingin memakai baju tidur baru itu. Ia mengambil yang berwarna hitam. Bahannya terasa begitu lembut di tangan. Mayra tersenyum, ia pasti akan terlihat cantik memakai baju tidur selutut ini.
“Mayra, aku bawain ini untuk …” suara Zidan terhenti. Mata laki-laki itu terpaku menatap tubuh Mayra yang hanya memakai CD dan bra. Mayra pun tidak kalah kagetnya. Cepat-cepat disarungkannya baju tidur yang masih berada di tangannya.
“Maaf, aku nggak tahu kalau kamu baru selesai mandi.” Zidan tergagap dan segera berbalik. Dada laki-laki itu bergemuruh. Untuk pertama kali setelah tiga bulan menikah, ia melihat pemandangan indah itu dari jarak yang sangat dekat. Zidan mencoba mengatur pernapasannya sebelum menuruni anak tangga.
Mayra merasakan pipinya panas. Ini untuk pertama kali Zidan melihat tubuh polosnya. Biasanya mereka memang sama-sama menjaga privaci masing-masing. Misalnya dengan membawa baju ganti langsung ke kamar mandi. Terlalu ribet sebenarnya. Namun, karena Zidan telah melakukan hal tersebut sejak hari pertama Mayra pindah ke rumah ini, Mayra tentu ikut melakukan hal yang sama. Bukankah laki-laki itu mengatakan jika mereka perlu waktu untuk saling mengenal?
Tetapi, reaksi Zidan tadi entah mengapa membuat Mayra merasa sedih. Kenapa Zidan meminta maaf? Apakah laki-laki itu tidak tertarik sedikitpun kepada dirinya? Lalu mengapa menikahinya?
Masih dengan berbagai pertanyaan yang menggayuti hati, Mayra turun ke bawah. Terlihat Zidan sedang menuangkan sesuatu ke dalam mangkuk. Mayra mendekat tanpa suara. Bersamaan dengan itu azan magrib pun berkumandang.
“Alhamdulillah, ayo buka.” Zidan meletakkan segelas teh hangat di depan Mayra. Setelah itu semangkuk es rumput laut. Meski tadi Mayra merasa sedih, tetapi melihat perhatian Zidan tak dapat dipungkiri ada rasa bahagia yang memenuhi rongga dada Mayra.
“Makasih, Mas.” Mayra mengambil tempat duduk di samping Zidan yang masih berdiri menuangkan es rumput laut ke mangkuk satunya lagi.
“Ya, makan yang banyak, ya.” Zidan menyentuh puncak kepala Mayra dan mengusap rambut istrinya dengan lembut. Hati Mayra kembali berdesir. Mayra mencoba menenangkan hatinya dengan mulai membaca doa buka puasa. Setelah itu, diraihnya gelas teh hangat yang telah disiapkan Zidan. Mayra meminumnya beberapa teguk. Rasa hangat menjalari kerongkongannya sampai ke rongga dada. Mengobati dahaga yang dirasakannya seharian tadi.
Zidan ikut duduk di samping Mayra.
“Kamu masak semua ini sendiri?” Zidan menatap hidangan di depannya.
“Iya, Mas.” Mayra mengangguk.
“Kalau nggak kuat, beli saja di restoran. Kamu kan lagi puasa, pasti lemes.”
“Ayo, Mas temani bukanya.” Zidan mulai menyendok es rumput laut di depannya. Es rumput laut ini sengaja dibelinya jauh-jauh ke Simpang Tiga. Memang hanya di kaki lima, tetapi rasanya sangat enak. Kalau di bulan Ramadhan, selalu antri yang membeli. Dan Zidan sengaja pulang cepat hanya demi membelikan bukaan untuk Mayra.
Mayra ikut menyendok es rumput laut di depannya. Rasa santannya segar dan susunya juga pas.
“Enak, Mas.” Mayra mengacungkan jempol pada Zidan. Zidan tersenyum.
“Makanya aku belikan buat kamu.” Zidan mengacak rambut Mayra. Mayra menoleh dan tatapan mereka bertemu. Ya, Tuhan … lagi-lagi desiran halus itu membuat dada Mayra terasa sesak.
“Sholat magrib dulu, yuk, Mas.” Mayra bangkit dari duduknya.
“Nggak makan dulu?” Zidan bertanya namun laki-laki itu juga ikut bangkit.
“Nanti aja habis sholat, Mas.” Mayra melangkah menuju tempat wudu di halaman belakang. Halaman belakang itu tidak terlalu luas, tetapi Zidan menatanya dengan apik. Ada tempat jemur kain, ada taman, ada ayunan, dan ada keran untuk berwudu.
Zidan mengikuti dari belakang. Mereka wudu secara bergantian. Setelah itu keduanya kembali ke ruang sholat. Sampai di sana, Mayra segera memakai mukenanya.
“Mau sholat berjamaah?” Zidan yang sudah menghadap kiblat berbalik dan menatap Mayra dengan ragu. Mayra yang telah rapi dengan mukenanya terpaku. Laki-laki ini mengajaknya menjadi makmum?
“Tapi, surat-surat yang aku hapal cuma surat-surat yang sangat pendek.” Zidan tersenyum lembut. Entah mengapa tiba-tiba mata Mayra terasa panas.
“Iya, Mas, nggak apa-apa. Nanti kita belajar sama-sama.” Mayra membalas senyum suaminya dengan penuh rasa syukur. Zidan berbalik. Dada laki-laki ini membuncah, penuh oleh rasa bahagia. Untuk pertama kali, setelah sekian lama mereka menikah, ia akan menjadi imam untuk sang istri.
Zidan meluruskan tubuhnya menghadap kiblat. Setelah itu mengangkat tangan dan beratkbiratul ikram. Mayra mengikuti dari belakang. Adakah yang lebih membahagiakan selain menghadirkan taman-taman surga di rumah sendiri?
***
Mayra melirik jam di dinding kamar. Sudah pukul 23.10. tetapi, Zidan belum juga pulang. Mayra mengambil ponselnya dan membuka aplikasi whatshapp. Pesan yang dikirim sejak pukul 20.00 tadi masih juga centang satu. Dicobanya kembali menelepon suaminya itu. Lagi-lagi Mayra harus menarik napas kecewa. Ponsel Zidan tidak aktif.
Mayra akhirnya membaringkan tubuhnya di ranjang. Perempuan itu mencoba memejamkan mata. Namun, pikirannya masih saja ke mana-mana. Ke mana sebenarnya Zidan? Bagaimana jika terjadi sesuatu yang buruk pada suaminya itu? Mayra merasa sangat cemas. Tuhan, lindungi di manapun dia berada, Mayra mengucapkan doa dalam hati. Entah pukul berapa akhirnya Mayra tertidur juga.
Hanya tertidur beberapa saat, Mayra kembali terbangun. Ia melihat jam di dinding kamar. Pukul 03.15. Mayra bangun dan turun dari tempat tidur. Ia ingin sholat tahajud. Beberapa waktu belakangan ini, Mayra memang mulai membiasakan diri untuk sholat malam. Dan hatinya terasa lebih tenang dan tentram.
Selesai membersihkan diri dan berwudu, Mayra membentangkan sajadah dan mengambil mukenanya. Tidak berapa lama, perempuan itu terlihat sudah khusyuk dalam sholatnya.
Sampai saat azan subuh berkumandang, Mayra masih duduk di atas sajadahnya. Pipinya basah oleh air mata. Hatinya resah memikirkan sang suami. Perempuan itu tidak tahu harus bertanya pada siapa.
Tetapi, sebelum ia ke kantor, ia akan mampir ke kantor laki-laki itu. Semoga ia bisa bertemu dengan sang suami dan mendapatkan jawaban atas semua pertanyaan yang telah memenuhi kepalanya sejak tadi malam. Kenapa tidak pulang? Lalu tidur di mana? Kenapa tidak berkirim kabar? Kenapa ponsel mati. Kenapa … Mayra kembali terisak. Air matanya luruh membasahi pipi. Ya, Tuhan … kenapa ia begitu mengkhawatirkan laki-laki itu?
==========
Mayra ke luar dari kantor Zidan dengan wajah menunduk. Hatinya resah. Zidan tidak ada di kantor. Sekretarisnya mengatakan sejak ke luar kantor siang kemarin, Zidan belum kembali sampai pagi ini. Ke manakah laki-laki itu?
Mayra masuk ke mobil dan mengusap matanya yang basah. Beberapa detik kemudian, mobil ke luar dari parkiran kantor. Mobil memasuki jalan raya yang tidak terlalu padat. Mayra membelok ke jalan Sudirman, lalu masuk ke jalan Hangtuah. Melewati rumah sakit umum, Fakultas Kedokteraan, sekolahan, kantor-kantor dinas, hotel, dan rumah-rumah besar yang berdiri megah mata. Mata Mayra kembali mengembun. Ke mana ia harus mencari Zidan?
Hampir setengah jam berkendara, akhirnya Mayra sampai di perumahan penduduk yang tidak terlalu padat. Mobil menuju sebuah rumah tembok besar dengan model yang sederhana. Beberapa pohon rambutan menaungi halaman depan dan belakangnya. Mayra menghentikan mobil di bawah salah satu pohon.
Rumah di depan Mayra terlihat sepi. Mayra turun dan berjalan perlahan menuju teras. Sampai di depan pintu, Mayra mengucapkan salam. Tidak terlalu lama menunggu, terdengar suara langkah kaki mendekat. Pintu terbuka.
“Nak Mayra?” perempuan paruh baya di depan Mayra mengerutkan kening.
“Bude.” Mayra mengambil tangan perempuan itu dan menciumnya dengan takzim.
“Kamu sendiri? Ayo, masuk.” Bude menarik tangan Mayra dan membawanya duduk di kursi ruang tamu.
“Duduk dulu, ya. Bude bikinkan minum untuk kamu.”
“Tidak usah repot-repot, Bude.”
“Tidak repot, kamu santai sebentar di sini, ya.”
Bude Atik bergegas ke belakang meninggalkan Mayra seorang diri di ruang tamu. Mayra memperhatikan seisi rumah. Sehari setelah menikah, Zidan pernah membawa Mayra bersilaturahmi ke rumah ini. Hanya sekali itu saja. Alhamdulillah, Mayra masih mengingat jalan ke sini.
Tidak berapa lama, Bude Atik ke luar dengan nampan berisi dua gelas teh hangat dan sepiring kerupuk emping. Bude Atik menatanya di depan Mayra.
“Ayo, minum dulu. Biar badan kamu hangat.”
“Makasih, Bude.” Mayra menjangkau gelas di depannya dan meminumnya beberapa teguk.
Tidak butuh waktu lama, piring Zidan benar-benar telah licin.
“Alhamdulillah.” Zidan menangkupkan sendok dan garpunya ke piring.
“Mau nambah lagi, Mas?”
“Sudah. Kenyang banget.”
Zidan mengusap perutnya. Lagi-lagi Mayra tersenyum. Mayra bangkit dan mengambil piring kotor dari depan Zidan.
“Biar aku saja. Kamu kan lagi puasa.” Zidan ikutan bangkit dan mengambil piring dari tangan Mayra. Mayra mengangkat wajahnya dan menatap Zidan dengan tatapan haru.
“Cuma satu ini, Mas. Sudah, sana kamu mandi. Pakaian sudah aku siapkan tadi.” Mayra melepaskan tangan Zidan dari piring. Untuk sekian detik Zidan terpaku. Sentuhan tangan Mayra menghadirkan desiran halus di dadanya.
“Oke, aku mandi, ya.” Akhirnya Zidan melepaskan tangannya dan berbalik. Laki-laki itu melangkah tergesa menuju tangga. Berada berdua saja di rumah sebesar ini membuat pikiran Zidan berkelana ke mana-mana. Tuhan, apa yang harus dilakukannya? Zidan mengusap wajahnya dengan kasar begitu kakinya menginjak anak tangga pertama.
***
Sore harinya, sepulang dari kantor, Mayra kembali sibuk di dapur. Ia ingin menyiapkan makan malam yang spesial untuk Zidan. Ia akan memasak ayam rica-rica, capcai seafood dan bakwan jagung. Semua bahan itu tersedia di kulkas.
Hampir satu jam perempuan itu berkutat di dapur. Ayam rica-ricanya telah berada di atas kompor, bakwan jagungnya tinggal goreng. Sementara capcai tinggal tumis. Mayra menyalakan kompor, meletakkan kuali dan menuang minyak goreng. Menunggu ayam rica-ricanya empuk, ia akan menggoreng bakwan jagung dulu. Setelah itu, baru menumis capcai.
Setengah jam sebelum azan magrib, semua masakan sudah terhidang di meja. Mayra merasa lega. Perempuan itu bergegas naik ke kamarnya untuk mandi. Begitu Zidan pulang, ia telah rapi dan wangi. Mayra tersenyum. Hari-hari terasa makin indah. Ia dan Zidan sama-sama mencoba membuka diri. Hubungan mereka berdua semakin baik. Mayra pelan-pelan mulai bisa melupakan perasaannya pada Raka. Saat ini, hanya Zidan yang ada dalam hati dan pikirannya.
Jika ingat bagaimana dulu hancur dan terpuruknya ia ketika harus berpisah dari Raka, Mayra serasa tidak percaya jika ia bisa melupakan Raka secepat ini. Jika ingat betapa besar rasa cintanya pada laki-laki berdarah Minang itu, Mayra seakan tidak yakin akhirnya ia bisa membuka hatinya untuk Zidan. Barangkali tidak hanya membuka hati, tetapi ia benar-benar telah terjatuh dalam pesona laki-laki tampan itu.
Mayra memang belum tahu bagaimana perasaan Zidan kepadanya. Apakah laki-laki itu juga telah mulai menyukainya? Tetapi, Mayra yakin, Allah tidak akan menyia-nyiakan perasaan tulus seorang istri terhadap pasangan halalnya. Karena itulah, dalam sujud-sujudnya, Mayra tak henti berdoa agar Allah menghadirkan cinta di hati mereka masing-masing. Bagi perempuan ini, pernikahan cukup satu kali.
Mayra keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit tubuhnya. Ia mengambil pakaian dalam dari lemari. Entah mengapa, semua pakaian dalamnya semua berwarna hitam. Menurutnya, warna hitam itu seksi. Mayra tersenyum sumbang, berpenampilan seksi pun, apa ada gunanya? Sampai saat ini ia masih belum bisa menggoda sang suami untuk meminta haknya.
Tetapi, Mayra mencoba mengerti. Barangkali mereka masih butuh sedikit waktu lagi. Ia akan tetap bersabar. Mayra mengambil baju tidur yang cukup seksi dari dalam paper bag. Kemarin pulang dari kantor ia mampir ke sebuah counter baju tidur. Mayra membeli beberapa baju tidur berbahan satin tanpa lengan.
Mumpung Bi Darna sekeluarga masih di luar kota, Mayra ingin memakai baju tidur baru itu. Ia mengambil yang berwarna hitam. Bahannya terasa begitu lembut di tangan. Mayra tersenyum, ia pasti akan terlihat cantik memakai baju tidur selutut ini.
“Mayra, aku bawain ini untuk …” suara Zidan terhenti. Mata laki-laki itu terpaku menatap tubuh Mayra yang hanya memakai CD dan bra. Mayra pun tidak kalah kagetnya. Cepat-cepat disarungkannya baju tidur yang masih berada di tangannya.
“Maaf, aku nggak tahu kalau kamu baru selesai mandi.” Zidan tergagap dan segera berbalik. Dada laki-laki itu bergemuruh. Untuk pertama kali setelah tiga bulan menikah, ia melihat pemandangan indah itu dari jarak yang sangat dekat. Zidan mencoba mengatur pernapasannya sebelum menuruni anak tangga.
Mayra merasakan pipinya panas. Ini untuk pertama kali Zidan melihat tubuh polosnya. Biasanya mereka memang sama-sama menjaga privaci masing-masing. Misalnya dengan membawa baju ganti langsung ke kamar mandi. Terlalu ribet sebenarnya. Namun, karena Zidan telah melakukan hal tersebut sejak hari pertama Mayra pindah ke rumah ini, Mayra tentu ikut melakukan hal yang sama. Bukankah laki-laki itu mengatakan jika mereka perlu waktu untuk saling mengenal?
Tetapi, reaksi Zidan tadi entah mengapa membuat Mayra merasa sedih. Kenapa Zidan meminta maaf? Apakah laki-laki itu tidak tertarik sedikitpun kepada dirinya? Lalu mengapa menikahinya?
Masih dengan berbagai pertanyaan yang menggayuti hati, Mayra turun ke bawah. Terlihat Zidan sedang menuangkan sesuatu ke dalam mangkuk. Mayra mendekat tanpa suara. Bersamaan dengan itu azan magrib pun berkumandang.
“Alhamdulillah, ayo buka.” Zidan meletakkan segelas teh hangat di depan Mayra. Setelah itu semangkuk es rumput laut. Meski tadi Mayra merasa sedih, tetapi melihat perhatian Zidan tak dapat dipungkiri ada rasa bahagia yang memenuhi rongga dada Mayra.
“Makasih, Mas.” Mayra mengambil tempat duduk di samping Zidan yang masih berdiri menuangkan es rumput laut ke mangkuk satunya lagi.
“Ya, makan yang banyak, ya.” Zidan menyentuh puncak kepala Mayra dan mengusap rambut istrinya dengan lembut. Hati Mayra kembali berdesir. Mayra mencoba menenangkan hatinya dengan mulai membaca doa buka puasa. Setelah itu, diraihnya gelas teh hangat yang telah disiapkan Zidan. Mayra meminumnya beberapa teguk. Rasa hangat menjalari kerongkongannya sampai ke rongga dada. Mengobati dahaga yang dirasakannya seharian tadi.
Zidan ikut duduk di samping Mayra.
“Kamu masak semua ini sendiri?” Zidan menatap hidangan di depannya.
“Iya, Mas.” Mayra mengangguk.
“Kalau nggak kuat, beli saja di restoran. Kamu kan lagi puasa, pasti lemes.”
“Ayo, Mas temani bukanya.” Zidan mulai menyendok es rumput laut di depannya. Es rumput laut ini sengaja dibelinya jauh-jauh ke Simpang Tiga. Memang hanya di kaki lima, tetapi rasanya sangat enak. Kalau di bulan Ramadhan, selalu antri yang membeli. Dan Zidan sengaja pulang cepat hanya demi membelikan bukaan untuk Mayra.
Mayra ikut menyendok es rumput laut di depannya. Rasa santannya segar dan susunya juga pas.
“Enak, Mas.” Mayra mengacungkan jempol pada Zidan. Zidan tersenyum.
“Makanya aku belikan buat kamu.” Zidan mengacak rambut Mayra. Mayra menoleh dan tatapan mereka bertemu. Ya, Tuhan … lagi-lagi desiran halus itu membuat dada Mayra terasa sesak.
“Sholat magrib dulu, yuk, Mas.” Mayra bangkit dari duduknya.
“Nggak makan dulu?” Zidan bertanya namun laki-laki itu juga ikut bangkit.
“Nanti aja habis sholat, Mas.” Mayra melangkah menuju tempat wudu di halaman belakang. Halaman belakang itu tidak terlalu luas, tetapi Zidan menatanya dengan apik. Ada tempat jemur kain, ada taman, ada ayunan, dan ada keran untuk berwudu.
Zidan mengikuti dari belakang. Mereka wudu secara bergantian. Setelah itu keduanya kembali ke ruang sholat. Sampai di sana, Mayra segera memakai mukenanya.
“Mau sholat berjamaah?” Zidan yang sudah menghadap kiblat berbalik dan menatap Mayra dengan ragu. Mayra yang telah rapi dengan mukenanya terpaku. Laki-laki ini mengajaknya menjadi makmum?
“Tapi, surat-surat yang aku hapal cuma surat-surat yang sangat pendek.” Zidan tersenyum lembut. Entah mengapa tiba-tiba mata Mayra terasa panas.
“Iya, Mas, nggak apa-apa. Nanti kita belajar sama-sama.” Mayra membalas senyum suaminya dengan penuh rasa syukur. Zidan berbalik. Dada laki-laki ini membuncah, penuh oleh rasa bahagia. Untuk pertama kali, setelah sekian lama mereka menikah, ia akan menjadi imam untuk sang istri.
Zidan meluruskan tubuhnya menghadap kiblat. Setelah itu mengangkat tangan dan beratkbiratul ikram. Mayra mengikuti dari belakang. Adakah yang lebih membahagiakan selain menghadirkan taman-taman surga di rumah sendiri?
***
Mayra melirik jam di dinding kamar. Sudah pukul 23.10. tetapi, Zidan belum juga pulang. Mayra mengambil ponselnya dan membuka aplikasi whatshapp. Pesan yang dikirim sejak pukul 20.00 tadi masih juga centang satu. Dicobanya kembali menelepon suaminya itu. Lagi-lagi Mayra harus menarik napas kecewa. Ponsel Zidan tidak aktif.
Mayra akhirnya membaringkan tubuhnya di ranjang. Perempuan itu mencoba memejamkan mata. Namun, pikirannya masih saja ke mana-mana. Ke mana sebenarnya Zidan? Bagaimana jika terjadi sesuatu yang buruk pada suaminya itu? Mayra merasa sangat cemas. Tuhan, lindungi di manapun dia berada, Mayra mengucapkan doa dalam hati. Entah pukul berapa akhirnya Mayra tertidur juga.
Hanya tertidur beberapa saat, Mayra kembali terbangun. Ia melihat jam di dinding kamar. Pukul 03.15. Mayra bangun dan turun dari tempat tidur. Ia ingin sholat tahajud. Beberapa waktu belakangan ini, Mayra memang mulai membiasakan diri untuk sholat malam. Dan hatinya terasa lebih tenang dan tentram.
Selesai membersihkan diri dan berwudu, Mayra membentangkan sajadah dan mengambil mukenanya. Tidak berapa lama, perempuan itu terlihat sudah khusyuk dalam sholatnya.
Sampai saat azan subuh berkumandang, Mayra masih duduk di atas sajadahnya. Pipinya basah oleh air mata. Hatinya resah memikirkan sang suami. Perempuan itu tidak tahu harus bertanya pada siapa.
Tetapi, sebelum ia ke kantor, ia akan mampir ke kantor laki-laki itu. Semoga ia bisa bertemu dengan sang suami dan mendapatkan jawaban atas semua pertanyaan yang telah memenuhi kepalanya sejak tadi malam. Kenapa tidak pulang? Lalu tidur di mana? Kenapa tidak berkirim kabar? Kenapa ponsel mati. Kenapa … Mayra kembali terisak. Air matanya luruh membasahi pipi. Ya, Tuhan … kenapa ia begitu mengkhawatirkan laki-laki itu?
==========
Mayra ke luar dari kantor Zidan dengan wajah menunduk. Hatinya resah. Zidan tidak ada di kantor. Sekretarisnya mengatakan sejak ke luar kantor siang kemarin, Zidan belum kembali sampai pagi ini. Ke manakah laki-laki itu?
Mayra masuk ke mobil dan mengusap matanya yang basah. Beberapa detik kemudian, mobil ke luar dari parkiran kantor. Mobil memasuki jalan raya yang tidak terlalu padat. Mayra membelok ke jalan Sudirman, lalu masuk ke jalan Hangtuah. Melewati rumah sakit umum, Fakultas Kedokteraan, sekolahan, kantor-kantor dinas, hotel, dan rumah-rumah besar yang berdiri megah mata. Mata Mayra kembali mengembun. Ke mana ia harus mencari Zidan?
Hampir setengah jam berkendara, akhirnya Mayra sampai di perumahan penduduk yang tidak terlalu padat. Mobil menuju sebuah rumah tembok besar dengan model yang sederhana. Beberapa pohon rambutan menaungi halaman depan dan belakangnya. Mayra menghentikan mobil di bawah salah satu pohon.
Rumah di depan Mayra terlihat sepi. Mayra turun dan berjalan perlahan menuju teras. Sampai di depan pintu, Mayra mengucapkan salam. Tidak terlalu lama menunggu, terdengar suara langkah kaki mendekat. Pintu terbuka.
“Nak Mayra?” perempuan paruh baya di depan Mayra mengerutkan kening.
“Bude.” Mayra mengambil tangan perempuan itu dan menciumnya dengan takzim.
“Kamu sendiri? Ayo, masuk.” Bude menarik tangan Mayra dan membawanya duduk di kursi ruang tamu.
“Duduk dulu, ya. Bude bikinkan minum untuk kamu.”
“Tidak usah repot-repot, Bude.”
“Tidak repot, kamu santai sebentar di sini, ya.”
Bude Atik bergegas ke belakang meninggalkan Mayra seorang diri di ruang tamu. Mayra memperhatikan seisi rumah. Sehari setelah menikah, Zidan pernah membawa Mayra bersilaturahmi ke rumah ini. Hanya sekali itu saja. Alhamdulillah, Mayra masih mengingat jalan ke sini.
Tidak berapa lama, Bude Atik ke luar dengan nampan berisi dua gelas teh hangat dan sepiring kerupuk emping. Bude Atik menatanya di depan Mayra.
“Ayo, minum dulu. Biar badan kamu hangat.”
“Makasih, Bude.” Mayra menjangkau gelas di depannya dan meminumnya beberapa teguk.
Benar saja, rasa hangat mengaliri kerongkongan hingga ke dada perempuan itu.
“Bagaimana kabarmu? Sehat? Kenapa tidak ajak Zidan ke sini?” Bude memberondong Mayra dengan pertanyaan. Mayra tertegun. Berarti berarti Zidan tidak ke sini.
“Oh, baik, Bude. Alhamdulillah kami baik dan sehat.” Mayra mencoba tersenyum.
“Kamu tidak sedang ada masalah, kan?” Bude menyentuh tangan Mayra dengan lembut.
“Tidak, Bude. Tidak ada masalah.” Lagi-lagi Mayra tersenyum, meski matanya tiba-tiba terasa panas.
“Bagaimana kabarmu? Sehat? Kenapa tidak ajak Zidan ke sini?” Bude memberondong Mayra dengan pertanyaan. Mayra tertegun. Berarti berarti Zidan tidak ke sini.
“Oh, baik, Bude. Alhamdulillah kami baik dan sehat.” Mayra mencoba tersenyum.
“Kamu tidak sedang ada masalah, kan?” Bude menyentuh tangan Mayra dengan lembut.
“Tidak, Bude. Tidak ada masalah.” Lagi-lagi Mayra tersenyum, meski matanya tiba-tiba terasa panas.
Tidak, ia tidak boleh menangis. Perempuan ini mereasa malu jika harus berbagi cerita pada Bude Atik. Karena selama ini ia tidak pernah datang berkunjung ke sini. Rasanya sangat tidak baik, ia datang hanya ketika sedang ada masalah.
“Alhamdulillah, syukurlah. Zidan memang anak yang baik. Sejak orang tuanya meninggal, Zidanlah yang membantu biaya hidup Bude sekeluarga. Zidan juga yang membiayai kuliah adik-adiknya di sini.” suara Bude Atik terdengar parau. Mayra tertegun. Ada rasa haru dan bangga yang memenuhi ruang dada mendengar ucapan perempuan paruh baya di sampingnya ini.
“Kamu beruntung mendapatkannya.” Bude Atik menepuk punggung tangan Mayra pelan.
“Ya, Bude.” Mayra mengangguk pelan.
Tidak berapa lama pak de pulang dari pasar. Menurut cerita bude, pak de berjualan tempe dan tahu di pasar. Bude mengajak Mayra makan siang bersama. Padahal hari masih pukul 11.00. Ditambah lagi, Mayra tidak memiliki selera untuk makan. Tetapi, demi menghormati perempuan lembut itu, Mayra menurut juga.
Mayra hanya makan beberapa suap. Ia benar-benar tidak berselera.
“Kenapa, Nak? Kamu sepertinya sedang punya masalah.” Bude Atik menatap Mayra dengan prihatin. Pak de melakukan hal yang sama. Mayra menunduk. Mereka baru bertemu tiga kali, tetapi entah mengapa Mayra sudah merasa dekat dengan kedua orang tua ini.
“Tidak ada apa-apa, Bude. Semua baik-baik saja.” Mayra menjawab dengan mata mengembun.
“Kalau kamu membutuhkan bantuan Bude dan Pak De, katakan saja. Insyaallah, Bude dengan Pak De akan selalu siap membantu.” Bude Atik mengusap kepala Mayra yang tertutup jilbab.
“Ya, Bude. Terima kasih.” Mayra mengangguk.
Setelah membantu Bude Atik membersihkan meja makan, Mayra pamit. Bude Atik memeluk Mayra dengan penuh kasih. Mayra tidak dapat lagi menahan isaknya. Tangisnya pecah dalam pelukan Bude Zidan itu.
“Sabar ya, setiap rumah tangga pasti memiliki masalah. Selesaikan baik-baik, ya.” Bude mengusap kepala Mayra dengan lembut.
“Ya, Bude.” Mayra menghapus pipinya yang basah dengan ujung jilbab. Mayra menyalami Bude Atik sekali lagi. Lalu perempuan cantik itu berbalik dan berjalan menuju mobil. Duduk di belakang kemudi, Mayra mencoba menenangkan diri. Setelah merasa agak tenang, Mayra menjalankan mobil meninggalkan halaman rumah bude menuju ke jalan raya.
***
Mayra bergelung di dalam selimut. Ini sudah malam kedua Zidan tidak pulang. Mata Mayra sudah bengkak karena menangis. Perempuan itu tidak tahu lagi harus mencari ke mana, harus bertanya pada siapa.
Pikirannya tidak bisa lepas dari Zidan. Bagaimana kalau sesuatu yang buruk terjadi pada laki-laki itu? Mereka baru saja membuka hati, mereka baru saja menghapus jarak yang tercipta. Tetapi, mengapa harus seperti ini? Mayra kembali terisak.
Di meja makan tadi, ketika Bi Darna menyiapkan makan malam, Mayra hanya diam mematung. Ia tidak menyentuh sedikitpun makanan di depannya. Biasanya ada Zidan yang makan bersamanya.
Meski sikap laki-laki itu selalu berubah-ubah, kadang manis dan kadang dingin, tetapi, Mayra sudah terbiasa berada di dekatnya. Mayra sudah terbiasa menyiapkan pakaian, makanan dan minuman buat suaminya itu. Mayra memang tidak tahu bagaimana perasaan Zidan kepadanya, tetapi Mayra tahu kalau hatinya mulai menyayangi laki-laki itu. Buktinya sekarang, Mayra merasa sangat cemas, merasa sangat sedih dan merasa sangat takut.
Akhirnya Mayra tertidur juga karena lelah menangis. Ia bangun pukul 03.15. Bergegas Mayra turun dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi. Ia ingin berwudu dan mengadukan kesedihannya pada Yang Maha Kuasa. Hanya dengan sholat hatinya menjadi tenang.
Sampai sholat subuh, seperti biasa Mayra masih duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Untaian doa-doa terbaik telah ia mohonkan pada sang Pencipta. Agar Allah melindungi suaminya, agar Allah mempertemukan mereka kembali dalam keadaan yang baik. Hanya doa dan air mata pada sang Khalik yang bisa dilakukan Mayra untuk saat ini.
Setelah sholat subuh, Mayra mandi dan berganti pakaian. Ia ingin berangkat lebih awal ke kantor. Karena sudah dua hari ini Mayra tidak masuk kantor. Mayra ingin menemui Pak Arifin pagi ini, ingin menceritakan masalah yang menimpanya pada laki-laki paruh baya itu. Semoga Pak Arifin bisa memberikan solusi pada Mayra. Atau siapa tau laki-laki itu tahu di mana keberadaan Zidan.
Tepat pukul 07.00, Mayra turun ke ruang makan. Bi darna terlihat telah menyiapkan sarapan untuk Mayra. Sepiring nasi goreng dan teh hangat.
“Ini sarapan saya, Bi?” Mayra menarik kursi meja makan.
“Ya, Non. Silakan makan.” Bi Darna datang tergopoh dari arah dapur.
“Makasih, ya, Bi.” Mayra mengangguk sopan pada Bi Darna.
“Ya, Non.” Bi Darna juga mengangguk sopan dan segera kembali ke dapur. Mayra mencoba menikmati sarapannya. Meski masih terasa tidak enak di lidahnya karena ia memang tidak berselera, tetapi, Mayra mencoba memaksakan diri untuk menghabiskan isi piring di depannya. Ia harus makan jika tidak ingin sakit.
Akhirnya Mayra bisa juga menghabiskan nasi goreng di piringnya. Lalu diminumnya teh yang telah disediakan oleh Bi Darna. Tubuh Mayra yang dari kemarin terasa lemas, pagi ini mulai kembali bertenaga. Mayra membereskan bekas makannya dan membawanya ke dapur. Bi Darna yang melihat Mayra membaca piring dan gelas kotornya, buru-buru mendekat dan mengambilnya dari tangan Mayra.
Bi Darna selalu merasa tidak enak jika majikannya ikut turun ke dapur. Sebaliknya, Mayra merasa tidak nyaman jika semua hal harus dilayani. Buat Mayra, mana yang bisa dikerjakannya akan dikerjakannya sendiri.
“Bi, aku pamit, ya.” Mayra mengambil tas selempangnya dari atas meja makan.
“Ya, Non. Hati-hati di jalan.” Bi Darna mengikuti langkah Mayra menuju pintu depan.
“Baik, Bi. Makasih, Bi.” Mayra melangkah ke luar menuju mobilnya yang telah dikeluarkan dari garase oleh Pak De Timan, suami Bi Darna. Mayra masuk ke mobil. Mobil ke luar dari halaman rumah masuk ke jalan perumahan. Tidak berapa lama, Mayra telah berbaur dengan kendaraan-kendaraan di jalan Soekarno Hatta.
Sampai di kantor, Mayra lagi-lagi tidak bisa konsentrasi dengan pekerjaannya. Fifi berulang kali memanggil namanya begitu melihat ia bengong dan termenung. Sampai jam istirahat siang, tidak satupun pekerjaan yang bisa diselesaikan oleh Mayra.
Mayra mematikan laptop, membereskan barang-barang dan mengambil tas selempangnya.
“Fi, aku ke luar bentar, ya.” Mayra pamit pada Fifi yang masih asyik di depan laptop.
“Ke mana? Aku temani, ya?” Fifi bersiap mematikan laptop.
“Tidak usah, aku nggak lama, kok.” Mayra bergegas menuju pintu dan keluar dari ruangan.
Fifi hanya terpaku menatap kepergian sahabatnya itu. Mereka sudah hampir tiga bulan bersama, tetapi Mayra masih juga tertutup. Tidak mau membagi cerita ataupun masalah yang sedang dihadapinya. Padahal Fifi tahu, perempuan cantik itu sedang tidak baik-baik saja.
Mayra mengemudikan mobilnya menuju jalan Sudirman. Ia tidak akan menyerah untuk menemukan Zidan. Mayra akan mendatangi kantor laki-laki itu setiap hari.
Setelah setengah jam berkendara, Mayra sampai di kantor Zidan. Memasuki gedung bernuansa Melayu itu, dada Mayra menjadi berdebar. Akankah hari ini ia bisa bertemu dengan suaminya itu? Atau jika tidak juga bertemu, ia bisa mendapatkan kabar tentang sang suami.
Jika nanti Mayra masih belum mendapatkan informasi apa-apa, Mayra akan langsung ke kantor polisi untuk membuat pengaduan orang hilang. Siapa tahu suaminya sedang bermasalah dengan kelompok penjahat yang akan mengancam keselamatan hidupnya. Bukankah suaminya seorang pengusaha yang sukses?
“Pak Zidan ada?” Mayra bertanya pada Sherli, sang sekretaris.
“Ada, Mbak.” Sherli menjawab dengan ragu.
“Alhamdulillah, syukurlah. Zidan memang anak yang baik. Sejak orang tuanya meninggal, Zidanlah yang membantu biaya hidup Bude sekeluarga. Zidan juga yang membiayai kuliah adik-adiknya di sini.” suara Bude Atik terdengar parau. Mayra tertegun. Ada rasa haru dan bangga yang memenuhi ruang dada mendengar ucapan perempuan paruh baya di sampingnya ini.
“Kamu beruntung mendapatkannya.” Bude Atik menepuk punggung tangan Mayra pelan.
“Ya, Bude.” Mayra mengangguk pelan.
Tidak berapa lama pak de pulang dari pasar. Menurut cerita bude, pak de berjualan tempe dan tahu di pasar. Bude mengajak Mayra makan siang bersama. Padahal hari masih pukul 11.00. Ditambah lagi, Mayra tidak memiliki selera untuk makan. Tetapi, demi menghormati perempuan lembut itu, Mayra menurut juga.
Mayra hanya makan beberapa suap. Ia benar-benar tidak berselera.
“Kenapa, Nak? Kamu sepertinya sedang punya masalah.” Bude Atik menatap Mayra dengan prihatin. Pak de melakukan hal yang sama. Mayra menunduk. Mereka baru bertemu tiga kali, tetapi entah mengapa Mayra sudah merasa dekat dengan kedua orang tua ini.
“Tidak ada apa-apa, Bude. Semua baik-baik saja.” Mayra menjawab dengan mata mengembun.
“Kalau kamu membutuhkan bantuan Bude dan Pak De, katakan saja. Insyaallah, Bude dengan Pak De akan selalu siap membantu.” Bude Atik mengusap kepala Mayra yang tertutup jilbab.
“Ya, Bude. Terima kasih.” Mayra mengangguk.
Setelah membantu Bude Atik membersihkan meja makan, Mayra pamit. Bude Atik memeluk Mayra dengan penuh kasih. Mayra tidak dapat lagi menahan isaknya. Tangisnya pecah dalam pelukan Bude Zidan itu.
“Sabar ya, setiap rumah tangga pasti memiliki masalah. Selesaikan baik-baik, ya.” Bude mengusap kepala Mayra dengan lembut.
“Ya, Bude.” Mayra menghapus pipinya yang basah dengan ujung jilbab. Mayra menyalami Bude Atik sekali lagi. Lalu perempuan cantik itu berbalik dan berjalan menuju mobil. Duduk di belakang kemudi, Mayra mencoba menenangkan diri. Setelah merasa agak tenang, Mayra menjalankan mobil meninggalkan halaman rumah bude menuju ke jalan raya.
***
Mayra bergelung di dalam selimut. Ini sudah malam kedua Zidan tidak pulang. Mata Mayra sudah bengkak karena menangis. Perempuan itu tidak tahu lagi harus mencari ke mana, harus bertanya pada siapa.
Pikirannya tidak bisa lepas dari Zidan. Bagaimana kalau sesuatu yang buruk terjadi pada laki-laki itu? Mereka baru saja membuka hati, mereka baru saja menghapus jarak yang tercipta. Tetapi, mengapa harus seperti ini? Mayra kembali terisak.
Di meja makan tadi, ketika Bi Darna menyiapkan makan malam, Mayra hanya diam mematung. Ia tidak menyentuh sedikitpun makanan di depannya. Biasanya ada Zidan yang makan bersamanya.
Meski sikap laki-laki itu selalu berubah-ubah, kadang manis dan kadang dingin, tetapi, Mayra sudah terbiasa berada di dekatnya. Mayra sudah terbiasa menyiapkan pakaian, makanan dan minuman buat suaminya itu. Mayra memang tidak tahu bagaimana perasaan Zidan kepadanya, tetapi Mayra tahu kalau hatinya mulai menyayangi laki-laki itu. Buktinya sekarang, Mayra merasa sangat cemas, merasa sangat sedih dan merasa sangat takut.
Akhirnya Mayra tertidur juga karena lelah menangis. Ia bangun pukul 03.15. Bergegas Mayra turun dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi. Ia ingin berwudu dan mengadukan kesedihannya pada Yang Maha Kuasa. Hanya dengan sholat hatinya menjadi tenang.
Sampai sholat subuh, seperti biasa Mayra masih duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Untaian doa-doa terbaik telah ia mohonkan pada sang Pencipta. Agar Allah melindungi suaminya, agar Allah mempertemukan mereka kembali dalam keadaan yang baik. Hanya doa dan air mata pada sang Khalik yang bisa dilakukan Mayra untuk saat ini.
Setelah sholat subuh, Mayra mandi dan berganti pakaian. Ia ingin berangkat lebih awal ke kantor. Karena sudah dua hari ini Mayra tidak masuk kantor. Mayra ingin menemui Pak Arifin pagi ini, ingin menceritakan masalah yang menimpanya pada laki-laki paruh baya itu. Semoga Pak Arifin bisa memberikan solusi pada Mayra. Atau siapa tau laki-laki itu tahu di mana keberadaan Zidan.
Tepat pukul 07.00, Mayra turun ke ruang makan. Bi darna terlihat telah menyiapkan sarapan untuk Mayra. Sepiring nasi goreng dan teh hangat.
“Ini sarapan saya, Bi?” Mayra menarik kursi meja makan.
“Ya, Non. Silakan makan.” Bi Darna datang tergopoh dari arah dapur.
“Makasih, ya, Bi.” Mayra mengangguk sopan pada Bi Darna.
“Ya, Non.” Bi Darna juga mengangguk sopan dan segera kembali ke dapur. Mayra mencoba menikmati sarapannya. Meski masih terasa tidak enak di lidahnya karena ia memang tidak berselera, tetapi, Mayra mencoba memaksakan diri untuk menghabiskan isi piring di depannya. Ia harus makan jika tidak ingin sakit.
Akhirnya Mayra bisa juga menghabiskan nasi goreng di piringnya. Lalu diminumnya teh yang telah disediakan oleh Bi Darna. Tubuh Mayra yang dari kemarin terasa lemas, pagi ini mulai kembali bertenaga. Mayra membereskan bekas makannya dan membawanya ke dapur. Bi Darna yang melihat Mayra membaca piring dan gelas kotornya, buru-buru mendekat dan mengambilnya dari tangan Mayra.
Bi Darna selalu merasa tidak enak jika majikannya ikut turun ke dapur. Sebaliknya, Mayra merasa tidak nyaman jika semua hal harus dilayani. Buat Mayra, mana yang bisa dikerjakannya akan dikerjakannya sendiri.
“Bi, aku pamit, ya.” Mayra mengambil tas selempangnya dari atas meja makan.
“Ya, Non. Hati-hati di jalan.” Bi Darna mengikuti langkah Mayra menuju pintu depan.
“Baik, Bi. Makasih, Bi.” Mayra melangkah ke luar menuju mobilnya yang telah dikeluarkan dari garase oleh Pak De Timan, suami Bi Darna. Mayra masuk ke mobil. Mobil ke luar dari halaman rumah masuk ke jalan perumahan. Tidak berapa lama, Mayra telah berbaur dengan kendaraan-kendaraan di jalan Soekarno Hatta.
Sampai di kantor, Mayra lagi-lagi tidak bisa konsentrasi dengan pekerjaannya. Fifi berulang kali memanggil namanya begitu melihat ia bengong dan termenung. Sampai jam istirahat siang, tidak satupun pekerjaan yang bisa diselesaikan oleh Mayra.
Mayra mematikan laptop, membereskan barang-barang dan mengambil tas selempangnya.
“Fi, aku ke luar bentar, ya.” Mayra pamit pada Fifi yang masih asyik di depan laptop.
“Ke mana? Aku temani, ya?” Fifi bersiap mematikan laptop.
“Tidak usah, aku nggak lama, kok.” Mayra bergegas menuju pintu dan keluar dari ruangan.
Fifi hanya terpaku menatap kepergian sahabatnya itu. Mereka sudah hampir tiga bulan bersama, tetapi Mayra masih juga tertutup. Tidak mau membagi cerita ataupun masalah yang sedang dihadapinya. Padahal Fifi tahu, perempuan cantik itu sedang tidak baik-baik saja.
Mayra mengemudikan mobilnya menuju jalan Sudirman. Ia tidak akan menyerah untuk menemukan Zidan. Mayra akan mendatangi kantor laki-laki itu setiap hari.
Setelah setengah jam berkendara, Mayra sampai di kantor Zidan. Memasuki gedung bernuansa Melayu itu, dada Mayra menjadi berdebar. Akankah hari ini ia bisa bertemu dengan suaminya itu? Atau jika tidak juga bertemu, ia bisa mendapatkan kabar tentang sang suami.
Jika nanti Mayra masih belum mendapatkan informasi apa-apa, Mayra akan langsung ke kantor polisi untuk membuat pengaduan orang hilang. Siapa tahu suaminya sedang bermasalah dengan kelompok penjahat yang akan mengancam keselamatan hidupnya. Bukankah suaminya seorang pengusaha yang sukses?
“Pak Zidan ada?” Mayra bertanya pada Sherli, sang sekretaris.
“Ada, Mbak.” Sherli menjawab dengan ragu.
Dada Mayra bergemuruh mendengar jawaban gadis cantik di depannya. Jadi suaminya itu ada di kantor?
“Oke, makasih, ya.” Mayra berusaha tersenyum semanis mungkin. Lalu dengan langkah lebar ia meninggalkan meja Sherli.
“Tapi, Mbak.” Sherli mencoba mengejar Mayra. Tetapi, Mayra telah berdiri di depan pintu ruangan Zidan yang hanya berjarak beberapa langkah dari meja Sherli. Dengan tangan gemetar Mayra membuka pintu di depannya.
“Balaskan dendammu padaku. Jangan pada Mayra!” suara teriakan menyambut kedatangan Mayra. Tubuh Mayra membeku. Di depannya sedang berdiri Zidan dan Raka dalam posisi saling berhadapan. Dan seorang perempuan cantik berada di antara keduanya. Mayra melangkah masuk dengan dada berdegup kencang.
“Mayra?” Raka dan Zidan serentak berucap. Jantung keduanya serasa copot melihat siapa yang sedang berdiri di hadapan mereka.
“Oh, jadi ini yang namanya Mayra? Kenalkan, aku Viona, calon istri Mas Zidan.” Perempuan dengan rambut sepunggung itu berjalan dengan anggun mendekati Mayra dan mengulurkan tangannya.
“Oke, makasih, ya.” Mayra berusaha tersenyum semanis mungkin. Lalu dengan langkah lebar ia meninggalkan meja Sherli.
“Tapi, Mbak.” Sherli mencoba mengejar Mayra. Tetapi, Mayra telah berdiri di depan pintu ruangan Zidan yang hanya berjarak beberapa langkah dari meja Sherli. Dengan tangan gemetar Mayra membuka pintu di depannya.
“Balaskan dendammu padaku. Jangan pada Mayra!” suara teriakan menyambut kedatangan Mayra. Tubuh Mayra membeku. Di depannya sedang berdiri Zidan dan Raka dalam posisi saling berhadapan. Dan seorang perempuan cantik berada di antara keduanya. Mayra melangkah masuk dengan dada berdegup kencang.
“Mayra?” Raka dan Zidan serentak berucap. Jantung keduanya serasa copot melihat siapa yang sedang berdiri di hadapan mereka.
“Oh, jadi ini yang namanya Mayra? Kenalkan, aku Viona, calon istri Mas Zidan.” Perempuan dengan rambut sepunggung itu berjalan dengan anggun mendekati Mayra dan mengulurkan tangannya.
Tetapi, Mayra tidak menghiraukannya. Mata perempuan itu hanya terpaku pada Zidan. Zidan menunduk dengan napas yang tiba-tiba terasa sesak.
“Katakan, Mas. Katakan, ada apa ini?” suara Mayra terdengar serak.
“Katakan, Mas. Katakan, ada apa ini?” suara Mayra terdengar serak.
Matanya mulai terasa kabur. Zidan mengangkat wajahnya.
“Mayra, aku …” Zidan tergagap dan tak mampu melanjutkan ucapannya.
“Hai, biar aku jelaskan nona cantik. Mas Zidan menikahimu hanya untuk membalaskan dendamnya pada Raka. Dendam seperti apa, nanti bisa kamu tanyakan pada mantan kekasihmu ini.” Viona berucap dengan lantang.
“Mayra, aku …” Zidan tergagap dan tak mampu melanjutkan ucapannya.
“Hai, biar aku jelaskan nona cantik. Mas Zidan menikahimu hanya untuk membalaskan dendamnya pada Raka. Dendam seperti apa, nanti bisa kamu tanyakan pada mantan kekasihmu ini.” Viona berucap dengan lantang.
Mayra terhuyung ke belakang. Zidan mencoba menjangkau istrinya. Tetapi, Mayra mengangkat telapak tangannya.
“Kamu bisa menganalisa, kenapa Mas Zidan tidak pernah menyentuhmu? Karena ia tidak pernah menginginkanmu.”
“Viona, cukup!” Zidan berteriak pada Viona.
“Kenapa, Mas? Apa yang aku katakan salah? Bukankah kamu tidak pernah menyentuhnya karena kamu tidak mencintainya? Kamu tidak ingin ada benih yang tumbuh di rahimnya, yang kelak akan memanggilmu Ayah?” Viola tersenyum sinis.
“Kamu bisa menganalisa, kenapa Mas Zidan tidak pernah menyentuhmu? Karena ia tidak pernah menginginkanmu.”
“Viona, cukup!” Zidan berteriak pada Viona.
“Kenapa, Mas? Apa yang aku katakan salah? Bukankah kamu tidak pernah menyentuhnya karena kamu tidak mencintainya? Kamu tidak ingin ada benih yang tumbuh di rahimnya, yang kelak akan memanggilmu Ayah?” Viola tersenyum sinis.
Mayra memejamkan mata, buliran-buliran bening mengalir membasahi pipinya.
“Mayra …” Raka mendekati tubuh perempuan yang amat dicintainya itu.
“Mayra …” Raka mendekati tubuh perempuan yang amat dicintainya itu.
Sungguh, Raka tidak sanggup melihat perempuan itu terluka. Namun, Mayra mundur dengan tubuh yang terasa melayang.
“Skenarionya adalah, Zidan akan membuat kamu jatuh cinta, lalu setelah itu ia akan mencampakkanmu begitu saja.” Viona berucap tanpa perasaan.
“Viona!” Zidan dan Raka membentak Viona bersamaan.
“Aku hanya membantu kalian untuk mengungkapkan kebenaran. Bukankah selama ini kalian memang ingin mengatakan hal ini? Bukankah kalian berdua sedang menunggu waktu yang tepat? Dan aku pikir, sekaranglah waktunya.”
Zidan melangkah mendekati Viona dan memegang tangan perempuan itu dengan keras.
“Kamu tidak tahu apa-apa, Viona.” Zidan berkata dengan hati yang berdarah. Tetapi, Viona tidak menghiraukan ucapan Zidan. Perempuan itu tetap menatap Mayra dengan tatapan penuh kebencian.
“Semua telah berakhir Mayra. Aku datang untuk mengambil calon suamiku kembali. Calon suami yang telah kamu pinjam selama tiga bulan. Pergilah! Pergilah sejauh-jauhnya dari kehidupan kami!”
“Viona. Sekali lagi kamu bicara, aku akan menyeretmu ke luar dari ruangan ini!” Zidan berteriak pada Viona.
“Wow, kamu membentakku? Jangan-jangan kamu mulai menyukai perempuan ini? Tetapi, tidak apa. Seperti kata orang-orang, memang selalu saja ada ujian dan godaan sebelum menikah.” Viona berkata seraya melepaskan tangan Zidan dari pergelangan tangannya.
Mayra memegang tali tasnya kuat-kuat. Ia mencoba mencari kekuatan agar tubuhnya tidak benar-benar ambruk ke lantai. Lalu tanpa bicara, Mayra berbalik. Kakinya yang tiba-tiba terasa berat melangkah menuju pintu.
“Mayra!” Zidan ikut melangkah dan mencoba meraih tangan istrinya itu. Namun, Viona tiba-tiba telah berada di hadapan Zidan. Raka yang sedari tadi terlihat mengepalkan tangannya, bergegas mengikuti langkah Mayra.
“Mas, biarkan dia pergi. Bukankah ini yang kamu inginkan dari awal? Melukainya demi membalaskan sakit hatimu pada Raka?” Viona memegang kedua tangan Zidan.
“Skenarionya adalah, Zidan akan membuat kamu jatuh cinta, lalu setelah itu ia akan mencampakkanmu begitu saja.” Viona berucap tanpa perasaan.
“Viona!” Zidan dan Raka membentak Viona bersamaan.
“Aku hanya membantu kalian untuk mengungkapkan kebenaran. Bukankah selama ini kalian memang ingin mengatakan hal ini? Bukankah kalian berdua sedang menunggu waktu yang tepat? Dan aku pikir, sekaranglah waktunya.”
Zidan melangkah mendekati Viona dan memegang tangan perempuan itu dengan keras.
“Kamu tidak tahu apa-apa, Viona.” Zidan berkata dengan hati yang berdarah. Tetapi, Viona tidak menghiraukan ucapan Zidan. Perempuan itu tetap menatap Mayra dengan tatapan penuh kebencian.
“Semua telah berakhir Mayra. Aku datang untuk mengambil calon suamiku kembali. Calon suami yang telah kamu pinjam selama tiga bulan. Pergilah! Pergilah sejauh-jauhnya dari kehidupan kami!”
“Viona. Sekali lagi kamu bicara, aku akan menyeretmu ke luar dari ruangan ini!” Zidan berteriak pada Viona.
“Wow, kamu membentakku? Jangan-jangan kamu mulai menyukai perempuan ini? Tetapi, tidak apa. Seperti kata orang-orang, memang selalu saja ada ujian dan godaan sebelum menikah.” Viona berkata seraya melepaskan tangan Zidan dari pergelangan tangannya.
Mayra memegang tali tasnya kuat-kuat. Ia mencoba mencari kekuatan agar tubuhnya tidak benar-benar ambruk ke lantai. Lalu tanpa bicara, Mayra berbalik. Kakinya yang tiba-tiba terasa berat melangkah menuju pintu.
“Mayra!” Zidan ikut melangkah dan mencoba meraih tangan istrinya itu. Namun, Viona tiba-tiba telah berada di hadapan Zidan. Raka yang sedari tadi terlihat mengepalkan tangannya, bergegas mengikuti langkah Mayra.
“Mas, biarkan dia pergi. Bukankah ini yang kamu inginkan dari awal? Melukainya demi membalaskan sakit hatimu pada Raka?” Viona memegang kedua tangan Zidan.
Tetapi, Zidan mengibaskannya. Kata-kata Viona itu kembali menghujam jantung Mayra.
“Mayra, aku antar.” Raka telah berada di sisi Mayra. Mayra diam seperti tak mendengar apa-apa. Tubuhnya memang masih berjalan menuju lobi dan ke luar menuju parkiran. Tetapi, hati dan jiwanya sudah tidak berada lagi dalam tubuhnya.
Mayra membuka pintu mobilnya, namun Raka menahan pintu itu dengan tangannya.
“Kamu tidak bisa menyetir dalam keadaan seperti ini, Mayra. Kumohon, kali ini saja, biarkan aku mengantarmu pulang.” Raka memohon dengan mata yang tiba-tiba terasa panas. Hati laki-laki itu hancur melihat luka di mata perempuan yang dicintainya ini.
Tetapi, lagi-lagi Mayra tidak menjawab. Perempuan itu masuk ke dalam mobil tanpa suara. Terdengar mobil distater, lalu perlahan mobil city car berwarna putih itu bergerak perlahann meninggalkan parkiran. Raka berteriak seraya memukulkan tinjunya ke udara. Laki-laki itu merasa marah, sakit hati dan sekaligus terluka. Zidan benar-benar telah berhasil menghancurkan gadis terkasihnya. Bagaimana ia akan memperbaiki hati yang telah berkeping-keping itu? Apa ia sanggup menghapus air mata gadis berhati lembut itu?
Bersambung #6
“Mayra, aku antar.” Raka telah berada di sisi Mayra. Mayra diam seperti tak mendengar apa-apa. Tubuhnya memang masih berjalan menuju lobi dan ke luar menuju parkiran. Tetapi, hati dan jiwanya sudah tidak berada lagi dalam tubuhnya.
Mayra membuka pintu mobilnya, namun Raka menahan pintu itu dengan tangannya.
“Kamu tidak bisa menyetir dalam keadaan seperti ini, Mayra. Kumohon, kali ini saja, biarkan aku mengantarmu pulang.” Raka memohon dengan mata yang tiba-tiba terasa panas. Hati laki-laki itu hancur melihat luka di mata perempuan yang dicintainya ini.
Tetapi, lagi-lagi Mayra tidak menjawab. Perempuan itu masuk ke dalam mobil tanpa suara. Terdengar mobil distater, lalu perlahan mobil city car berwarna putih itu bergerak perlahann meninggalkan parkiran. Raka berteriak seraya memukulkan tinjunya ke udara. Laki-laki itu merasa marah, sakit hati dan sekaligus terluka. Zidan benar-benar telah berhasil menghancurkan gadis terkasihnya. Bagaimana ia akan memperbaiki hati yang telah berkeping-keping itu? Apa ia sanggup menghapus air mata gadis berhati lembut itu?
Bersambung #6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel