Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 13 April 2022

Takdir Cinta Mayra #6

Cerita bersambung

Mayra membuka pintu kamar dengan tangan gemetar. Memasuki kamar yang sudah tiga bulan lebih dihuninya, air mata Mayra kembali meleleh. Mayra berdiri di depan kaca, menatap pantulan dirinya di sana. Matanya nampak sembab karena tidak berhenti menangis dari tadi. Jilbabnya sudah tidak berbentuk lagi. Penampilan Mayra benar-benar terlihat kacau.

Mayra beranjak menuju meja kerja Zidan. Diletakkannya kunci kontak di atas meja. Sudah dua bulan lebih ia menggunakan mobil tersebut. Jujur, Mayra mulai menyukai city car berwarna putih mutiara itu. Tetapi, kini Mayra harus mengiklaskannya. Ia merasa tidak memiliki hak apa-apa atas kendaraan tersebut.

Setelah itu, Mayra mengangkat kursi dan menggesernya menuju lemari pakaian. Mayra naik ke kursi dan menjangkau tas pakaian dari atas lemari. Ditatapnya tas berwarna coklat tua itu dengan getir. Ini tas yang dibawanya tiga bulan lalu ketika datang ke rumah Zidan. Dan sekarang, ia akan kembali membawanya pergi dari rumah ini.
Mayra mengambil semua pakaiannya dan memasukkannya ke dalam tas. Berulangkali matanya mengabur. Ia merasa hidupnya telah berakhir. Menikah, lalu menjanda. Hanya dalam waktu tiga bulan saja. Ke mana akan ia surukkan rasa malunya? Ke mana akan ia bawa luka hatinya?

Apa yang salah dengan dirinya sehingga laki-laki itu membalaskan dendam kepadanya? Ia bahkan tidak mengenal laki-laki itu sebelumnya. Apa dosa yang telah diperbuatnya sehingga Allah menghukumnya seberat ini? Ia telah berusaha menjadi anak yang baik, anak yang berbakti pada orang tua dengan menerima laki-laki pilihan ayahnya. Tetapi, mengapa ia hanya dijadikan sebagai pelampiasan rasa sakit hati? Padahal, ia tidak tahu apa-apa. Kenapa ia harus ikut terlibat dalam masalah yang ia sendiri tidak memahaminya?

Jujur, beberapa minggu setelah menikah, Mayra mulai memiliki harapan dengan pernikahannya ini. Mayra mulai membuka hati. Nama Zidan perlahan mulai menggeser nama Raka dari hati dan pikirannya. Mayra mulai menikmati perannya sebagai seorang istri. Melayani makan, minum, dan mengurus pakaian Zidan menjadi kesenangan baru bagi Mayra. Bertatapan dengan laki-laki itu mulai menghadirkan getar-getar aneh di dalam dadanya. Berdekatan dengan laki-laki itu mulai menimbulkan desiran-desiran halus. Dan Mayra menikmati semua itu. Mayra menikmati perasaan cinta yang mulai tumbuh.

Tapi, semua sia-sia. Semuanya hancur berkeping-keping. Tidak ada lagi yang tersisa. Mayra kembali terisak. Perempuan itu menghapus kembali pipinya yang basah dengan ujung jilbab. Jilbab yang dikenakannya mungkin sudah separuh basah karena selalu digunakan untuk menghapus air mata.

Mayra telah selesai mengepak semua barangnya ketika pintu kamar terbuka. Mayra menoleh, sosok Zidan berdiri di ambang pintu. Laki-laki itu masuk dan mendekat. Mayra menghapus kembali mata dan pipinya yang basah. Ia mencoba menegakkan badan. Sudah cukup ia menangis. Ia tidak ingin terlihat rapuh di mata laki-laki ini. Dipegangnya travel bag dengan erat.

“Kamu akan pergi?” suara Zidan terdengar parau.
 
Mayra mengangkat wajah. Dengan mata basah ditatapnya laki-laki didepannya itu. Wajah laki-laki itu terlihat kusut. Matanya merah menyiratkan luka. Tidak tampak sedikitpun kalau dia seorang yang jahat dan kejam. Malah ia terlihat juga hancur. Tetapi, kali ini Mayra tidak akan terpedaya lagi. Perempuan itu sudah tahu siapa laki-laki yang menjadi suaminya selama lebih dari tiga bulan ini. Laki-laki munafik, yang tidak punya perasaan, yang telah mempermainkan sebuah pernikahan.

“Aku tahu, tidak akan ada kata maaf untukku. Tetapi, aku tetap ingin mengatakan, maafkan aku.” Zidan berlutut di sisi Mayra.
 
Mayra lagi-lagi diam seribu bahasa. Dengan tangan lemah ditariknya travel bag menuju pintu. Zidan terpaku.

“Mayra …” Zidan memanggil Mayra dengan suara lemah.
 
Mayra tetap berjalan ke luar kamar dan menuruni anak tangga satu persatu. Semua telah berakhir. Cinta di hatinya berguguran sebelum sempat bermekaran. Ia akan pergi sejauh-jauhnya. Membawa luka dan perih di hati. Ia akan pergi membawa semua kenangan yang sempat terukir di rumah ini.

Sampai di ruang tamu, Mayra mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Lalu dibukanya aplikasi pemesanan taksi online. Selesai mendapatkan kendaraan yang akan membawanya pergi, Mayra berjalan ke luar rumah. Ia tidak ingin menunggu di dalam. Karena ini bukan rumahnya. Ia tidak ingin pamit pada Bi Darna, sebab ia tidak tahu harus mengatakan apa.

Mayra menarik tasnya sampai ke halaman dan ke luar pagar. Terik matahari terasa menyengat. Tetapi, Mayra tetap berjalan. Jalanan perumahan terlihat lengang. Rumah-rumah mewah di kiri dan kanan juga terlihat sepi seperti tak berpenghuni. Sejak tiga bulan lebih berada di sini, Mayra memang belum kenal dengan tetangga kiri dan kanan.

Sementara Zidan yang sedari tadi terduduk di lantai, bangkit dan berjalan menuju jendela kamar. Mata laki-laki itu menangkap sosok Mayra yang berjalan ke luar pagar menuju jalan perumahan. Zidan berbalik dan bergegas ke luar kamar. Dituruninya anak tangga dengan melompati dua anak tangga sekaligus. Laki-laki itu lalu berlari ke luar rumah. Sampai di depan pagar, Zidan terpaku. Mayra terlihat telah masuk ke dalam sebuah mobil minibus berwarna hitam. Beberapa detik kemudian, mobil itu ke luar dari jalan perumahan.

Zidan terhuyung. Perempuan itu telah pergi. Ia telah berhasil menghancurkannya. Ia telah berhasil membalaskan dendamnya pada Raka. Perempuan itu benar-benar telah pergi. Kini ia tinggal sendiri. Zidan terisak. Untuk pertama kali dalam hidupnya, laki-laki itu menangis. Bahkan ketika kedua orang tuanya meninggal, ia tidak mengeluarkan air mata. Karena ayahnya selalu mengatakan anak laki-laki tidak boleh menangis. Laki-laki yang menangis adalah banci. Tetapi, kini ia tidak peduli.

Zidan masuk kembali ke dalam rumah. Tubuhnya serasa tak bertenaga. Dinaikinya anak tangga satu persatu dengan kaki gemetar. Dari arah dapur, Bi Darna memperhatikan Zidan dengan mata yang juga basah. Perempuan paruh baya itu memang tidak tahu apa-apa. tetapi, ketika melihat Mayra tadi ke luar dengan menarik kopernya, lalu beberapa saaat kemudian terlihat Zidan berlari ke luar rumah, Bi Darna sedikit paham apa yang telah terjadi. Tetapi, perempuan sederhana itu tidak punya keberanian untuk mendekat. Apalagi ikut campur.
***

Zidan bangun ketika azan magrib berkumandang. laki-laki itu bangkit dan turun dari tempat tidur. Lalu masuk ke kamar mandi untuk berwudu. Ia benar-benar malas untuk mandi. Ia juga malas untuk berganti pakaian. Jadilah ia tidur dengan memakai kemeja dan celana kerjanya.

Ke luar dari kamar mandi, Zidan mengedarkan pandangan ke seluruh kamar. Kamar tidurnya tiba-tiba terasa begitu luas. Tiga bulan sudah perempuan bernama Mayra itu menemaninya di kamar ini. Hubungan mereka memang belum terlalu intim. Semua masih biasa-biasa saja. Tetapi, kehadiran perempuan itu membuat Zidan merasa nyaman. Merasa memiliki teman, saudara, kekasih. Kekasih? Zidan merasa hatinya tersayat. Benarkah selama ini ia menganggap Mayra sebagai kekasih? Tetapi, tidak satupun sikapnya yang menunjukkan jika ia telah menganggap perempuan itu kekasih hatinya.

Zidan lalu mengambil sajadah dan membentangkannya di samping tempat tidur. Beberapa waktu belakangan, Mayra yang selalu melakukan hal ini. Menyiapkan sajadah dan sarung untuknya. Zidan kemudian mencoba mengkonsentrasikan hati dan pikiran. Ia ingin sholat dengan khusyuk, agar nanti ia bisa berdoa dengan khusyuk juga.

Selesai tiga rakaat, Zidan duduk di atas sajadah. Laki-laki itu menadahkan tangan. Lalu untaian doa-doa mulai mengalir dari mulutnya. Kembali matanya terasa panas ketika mulutnya mengucapkan nama Mayra. Ia menyebut nama istrinya itu berulang kali. Sungguh, ia telah lama tidak memanjatkan doa. Selesai sholat biasanya ia langsung bangkit berdiri, lalu kembali sibuk dengan urusan duniawinya. Tetapi, kali ini Zidan ingin merapalkan semua doa untuk Mayra. Zidan ingin meminta agar Allah selalu melindungi istrinya itu di mana pun istrinya itu berada.

Setelah merasa sedikit tenang, laki-laki itu pun bangkit. Tanpa melipat sajadahnya, ia kembali naik ke tempat tidur. Lalu mencoba lagi memejamkan mata. Selalu saja setiap ia merasa sedih, kecewa, sakit hati, menyesal, tidur menjadi satu-satunya cara untuk menghadapinya.

“Den.” Terdengar panggilan di depan pintu kamar.
“Ya, Bi. Masuk aja, Bi.” Zidan menjawab pealn. Pintu terbuka dan terlihat Bi Darna berdiri di ambang pintu.
“Den, makan malam sudah tersedia.” Bi Darna mengangguk sopan.
“Nanti aja, Bi. Kalau mau makan, saya turun.” Zidan mencoba tersenyum.
“Atau mau Bibi bawakan ke atas makanannya?”
“Nggak usah Bi, belum lapar. Minta tolong bikinkan teh hangat aja, ya, Bi.”
“Baik, Den.”

Bi Darna menutup pintu kembali. Perempuan paruh baya itu merasa tidak tega melihat Zidan yang benar-benar seperti kehilangan semangat. Bi Darna telah mengurus Zidan dari kecil dan telah menganggap Zidan seperti anaknya sendiri.

Tidak berapa lama Bi Darna kembali datang membawa nampan berisi teh hangat dan pisang keju coklat.

“Den, diminum, ya.”
“Iya, Bi. Makasih.”
“Ya, Den. Bibi turun dulu. Kalau ada perlu apa-apa, panggil Bibi, ya, Den.”
“Baik, Bi.”

Setelah Bi Darna ke luar kamar, Zidan bangun dan duduk bersandar di kepala tempat tidur. Diraihnya cangkir teh dan meminumnya beberapa teguk. Rasa hangat menjalari kerongkongan hingga ke dada.
Zidan bangkit dan berjalan ke meja kerjanya untuk mengambil ponsel. Begitu tangannya menjangkau ponsel, mata Zidan terpaku. Di sebelah ponselnya tergeletak kunci kontak mobil Mayra. Zidan meletakkan kembali ponselnya dan mengambil kunci kontak tersebut. Digenggamnya dengan erat. Mata laki-laki itu kembali memanas. Ia teringat waktu dua bulan lalu memberikan mobil ini pada Mayra. Perempuan itu terlihat sangat gembira. Istrinya itu memeluknya dengan mata berbinar. Cantik. Cantik sekali.

Zidan memasukkan kunci kontak itu ke dalam kantong celananya. Lalu diambilnya ponsel dan berjalan ke arah jendela. Di luar sepertinya sedang gerimis. Dari cahaya lampu jalan perumahan, Zidan bisa melihat titik-titik air sedang turun membasahi bumi. Zidan mengetuk-ngetukkan jari tangannya ke kaca jendela.

Zidan menyentuh layar ponselnya. Mencari nama Mayra dan menekannya dengan sedikit ragu. Yang terdengar langsung nada sibuk. Zidan menarik napas kecewa. Ia memang sudah menduga jika ponsel istrinya itu tidak akan aktif. Zidan berbalik dan melangkah ke luar kamar. Dituruninya anak tangga dan mencari Bi Darna ke kamarnya. Zidan pamit ke luar dan meminta Pak De untuk mengunci pintu.

Sampai di garasi, Zidan memilih mobil putih Mayra dan masuk ke dalamnya. Pak De bergegas membukakan pintu pagar. Setelah beberapa saat tercenung, Zidan segera memutar kunci kontak. Perlahan mobil ke luar dari garasi, memasuki jalan perumahan dan akhirnya sampai di jalan Soekarno Hatta.

Pekanbaru di malam hari selalu terlihat ramai. Tempat-tempat makan selalu sesak oleh pengunjung. Kota ini memang menjadi kota kuliner yang sangat menggiurkan. Kafe-kafe, resto-resto, sampai ampera tumbuh subur seperti jamur di musim hujan. Dan setiap muncul kafe baru, resto baru, ampera baru, tidak pernah sepi oleh pengunjung.

Zidan menjalankan mobil dengan pelan. Tiba-tiba ia ingin menikmati suasana Pekanbaru di malam hari. Mobil masuk ke fly over yang baru saja diresmikan. Zidan menuju ke arah jalan Riau. Mall di kiri dan kanan fly over terlihat benderang. Zidan mencengkram stirnya kuat-kuat. Selama tiga bulan menikah, ia belum pernah mengajak istrinya jalan-jalan. Ia belum pernah membawa istrinya itu main ke mall. Ia belum pernah membelikan baju, membelikan bedak, atau kebutuhan lainnya.
Ia memang laki-laki jahat, laki-laki kejam. Bukankah memang ini yang diinginkannya. Bukankah memang ini tujuannya menikahi perempuan itu? Melihat Raka hancur karena perempuan yang dicintainya itu telah hancur berkeping-keping. Tetapi, mengapa rasanya amat sakit melihat perempuan itu terluka? Mengapa rasanya begitu perih melihat air mata berjatuhan dari mata indah istrinya itu?
Istri? Ya, Tuhan. Apa benar ia telah menganggap Mayra sebagai istrinya? Apa ia telah memperlakukan Mayra seperti layaknya seorang istri? Apa ia pernah menyentuh Mayra dengan penuh kasih sayang? Mata Zidan kembali terasa panas.

Bunyi klakson yang cukup keras menyadarkan Zidan dari lamunannya. Zidan beristighfar dan kembali fokus menatap jalan raya. Ternyata mobilnya telah sampai di tepian Sungai Siak. Zidan memarkirkan mobilnya menghadap ke sungai. Jembatan Siak di kiri dan kanan terlihat begitu megah.

Dari balik kemudi, Zidan menatap Sungai Siak yang terlihat kelam. Mungkin sekelam hatinya saat ini. Di sebelah kiri dan kanan, pondok-pondok jagung bakar berjejer di sepanjang sungai. Biasanya pasangan muda mudi menikmati gurihnya jagung bakar seraya menikmati hembusan angin malam.

Zidan tidak tahu apa yang akan dilakukannya esok. Tetapi, sungguh saat ini ia seperti raga yang tidak bernyawa. Hatinya terasa begitu lengang. Apakah ia mulai menyukai Mayra? Apakah waktu tiga bulan telah menghadirkan rasa cinta dan sayang di hatinya untuk perempuan itu? Zidan tidak yakin. Rasanya terlalu singkat waktu kebersamaan mereka untuk menghadirkan sebuah cinta.

Tetapi, mengapa perasaannya terasa begitu asing saat ini? Mengapa ia merasa sendiri? Bukankah tiga bulan lalu, ia juga sendiri? Tidak memiliki siapa-siapa. Zidan menelungkupkan kepalanya di atas stir. Ia benar-benar merasa tak bertenaga. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Zidan mengambilnya dengan tergesa. Tetapi, begitu melihat ke layar ponsel, laki-laki itu mendesah kecewa. Nama Viona yang terpampang di sana. Bukan Mayra.

==========

Hampir pukul 23.00, Zidan sampai di rumah. Ia membuka pintu rumah dengan kunci cadangan yang selalu dibawanya. Jika ia pulang malam, ia tidak perlu membangunkan Bi Darna atau Pak De Triman. Memasuki ruang tamu, Zidan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Ruang tamu dan ruang keluarga terlihat gelap. Hanya ruangan dapur yang terlihat sedikit terang.

Zidan menaiki tangga dengan pelan. Begitu sampai di dalam kamar, rasa sunyi kembali menghinggapi ruang hatinya. Apalagi cahaya lampu kamar yang temaram, membuat hati Zidan ikut menjadi gelap. Bi Darna memang selalu menghidupkan lampu tidur setiap waktu magrib tiba dan Zidan sedang tidak berada di rumah.

Zidan duduk bersandar di kepala tempat tidur. Dirabanya bantal di sisi kiri, bantal yang dipakai Mayra selama lebih dari tiga bulan. Terbayang wajah cantik Mayra yang sedang lelap dalam tidurnya. Begitu indah. Sayang, selama ini ia menyia-nyiakan semua itu.

Zidan mengambil bantal itu dan memeluknya erat. Zidan mencium bantal itu dengan sepenuh jiwa. Khas bau perempuan memenuhi rongga hidungnya. Ternyata inilah bau istrinya. Harum dan lembut. Perasaan rindu di hati Zidan semakin menyesakkan dada. Laki-laki itu lalu membaringkannya tubuhnya yang terasa amat lelah. Bantal Mayra masih dipeluknya erat.

Zidan mencoba memejamkan mata. Tetapi, bayangan wajah Mayra menari-nari di pelupuk matanya. Bayangan wajah Mayra yang tersipu malu, tatapan mata yang selalu terlihat tulus, senyum indah yang kini terasa memabukkan. Lalu, wajah terluka dan mata yang menyiratkan ribuan duka yang membuat Zidan merasakan sesak di dada. Duh, Mayra … di manakah engkau kini, sayang? Zidan meninju kasur di sampingnya dengan berulang kali.

Baru beberapa jam perempuan itu pergi, ia sudah seperti orang gila. Begitu tipiskah batas antara benci, rindu, dan dendam? Hanya dalam hitungan jam, bahkan mungkin menit, rasa benci dan dendam itu telah berganti dengan rasa rindu dan sayang.

Duh, Tuhan, apa yang harus dilakukannya? Ke mana ia akan mencari Mayra? Apakah Mayra pulang ke rumah orang tuanya? Semoga … semoga saja Mayra memang pulang ke rumah bapak dan ibunya.
Akhirnya lewat tengah malam, Zidan tertidur juga dengan segala keresahan hatinya.
***

Zidan mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang menuju batas kota. Rumah orang tua Mayra memang terletak di pinggiran Kota Pekanbaru. Sepanjang jalan, bangunan ruko seperti tak ada habisnya. Ruko sepertinya menjadi ciri khas dari kota bertuah ini. Dan geliat perekonomian menyeruak dari barisan ruko-ruko tersebut di setiap harinya.

Zidan sampai di daerah wisata Alam Mayang. Satu-satunya lokasi wisata yang terlihat asri di kota penghasil minyak ini. Zidan masih melanjutkan perjalanan beberapa waktu lagi sebelum akhirnya sampai di sebuah rumah bercat putih dengan halaman yang lumayan luas. Laki-laki itu memasuki halaman dan parkir di halaman samping yang cukup lapang.

Zidan turun dengan dada berdebar. Laki-laki berkemeja hem kotak-kotak berwarna hitam itu mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Tidak berapa lama terdengar langkah kaki mendekat. Pintu di depan Zidan terbuka.

“Nak Zidan?” wanita paruh baya yang berdiri di depan pintu celingukan seperti mencari sesuatu.
“Ya, Bu.” Zidan mengambil tangan sang mertua dan menciumnya dengan takzim.
“Nak Zidan sendirian? Mayra mana?” Bu Diah menatap menantunya dengan heran.
“Mayra …” ucapan Zidan terputus. Laki-laki beralis tebal itu tidak tahu harus menjawab apa.
“Ayo, masuklah.” Akhirnya sang ibu mertua melebarkan daun pintu dan mempersilakan Zidan untuk masuk.
“Makasih, Bu.” Zidan melangkah masuk. Bu Diah mempersilakan sang menantu duduk begitu Zidan telah berada di dalam.
“Apa ada masalah?” Bu Diah langsung bertanya begitu Zidan telah duduk di hadapannya.
“Mayra tidak pulang ke sini, Bu?” Zidan bertanya dengan tatapan penuh harap.
“Pulang ke sini? Memang apa yang terjadi?” Bu Diah menelisik wajah menantunya dengan rasa khawatir.
“Mayra marah kepada saya, Bu. Dan dia pergi.” Zidan menjawab dengan suara lirih. Laki-laki itu menundukkan wajahnya. Ia tidak berani menatap wajah sang mertua.

“Apa yang telah kamu lakukan pada anakku!” tiba-tiba Pak Rais, Ayah Mayra telah berdiri di ruang tamu dengan wajah merah padam.
Laki-laki paruh baya itu mendengar ucapan Zidan yang mengatakan jika Mayra telah pergi. Amarahnya langsung naik ke ubun-ubun.

“Pak, tenang. Duduklah dulu.” Bu Diah bangkit dan menarik lembut tangan suaminya untuk duduk. Pak Rais menurut. Dengan dada bergemuruh laki-laki yang masih terlihat gagah itu duduk di samping sang istri.

“Katakan, mengapa Mayra bisa pergi?” Pak Rais menatap Zidan dengan tajam. Zidan meneguk ludahnya. Kerongkongannya benar-benar terasa sakit.

“Mayra marah kepada saya, Pak.” Lagi-lagi Zidan tidak sanggup mengangkat wajah untuk menatap mata kedua mertuanya.
“Apa yang telah kamu lakukan pada anakku? Apa kamu menyakitinya?” Suara Pak Rais terdengar bergetar. Zidan mengangkat wajahnya dengan lidah kelu.
“Saya memang telah melakukan kesalahan, Pak. Tetapi, saya akan bertanggung jawab.”
“Kalau begitu, cari Mayra dan bawa dia pulang kembali ke rumah ini.” tangan Pak Rais terkepal, rahangnya terlihat mengeras, terlihat sekali jika laki-laki itu sedang berupaya menahan amarahnya. Lalu ayah mertua Zidan itu bangkit dan melangkah meninggalkan ruang tamu.
Namun baru beberapa langkah, laki-laki paruh baya itu terhuyung. Tangannya menggapai-gapai mencari pegangan.

“Bapak!” Bu Diah yang sedari tadi memperhatikan gerak langkah sang suami berteriak memanggil. Perempuan dengan daster panjang dan hijab instan itu sudah berdiri di belakang suaminya dan memeluk tubuh sang suami dari belakang. Zidan ikutan bangkit. Terlihat Pak Rais memegang dadanya dengan napas tersengal.

“Ayo, Pak. Duduk dulu.” Bu Diah menuntun suaminya kembali ke sofa. Sementara Zidan dengan tangan gemetar ikut memegang tangan sang mertua dan mendudukkannya di sofa.

“Bu …” Pak Rais mengulurkan tangan pada sang istri begitu tubuhnya telah duduk di sofa. Napas laki-laki itu terlihat makin sesak. Wajahnya terlihat meringis.

“Ya, Pak?” Bu Diah memegang tangan suaminya erat. Hatinya cemas melihat kondisi sang suami. Air mata sudah mulai menggenang di pelupuk matanya.

“Kita bawa Bapak ke rumah sakit aja, Bu.” Zidan menatap mertua laki-lakinya dengan perasaan cemas. Hatinya sudah tidak menentu. Zidan benar-benar merasa bersalah.

“Bu …” Pak Rais kembali memanggil istrinya. Namun kali ini makin lemah. Bu Diah terisak.
“Kita ke rumah sakit, ya, Pak.” Bu Diah jongkok di samping sang suami. Tangan perempuan itu ikut memegang dada laki-laki yang amat dicintainya itu.

“Saya siapkan mobil dulu, ya, Bu.” Tanpa menunggu persetujuan dari Bu Diah, Zidan telah melesat ke luar rumah.
 
Sampai di mobil, Zidan membukakan pintu mobil bagian tengah dan meletakkan bantal mobil di ujung kursinya. Lalu laki-laki kembali berlari ke dalam rumah. Sampai di dalam, Pak Rais terlihat sudah tidak sadarkan diri. Sementara Bu Diah memeluk tubuh suaminya dengan isak tangis. Suaminya selama ini selalu sehat walafiat. Suaminya tidak pernah sakit.

“Adek-adek nggak ada, Bu?” Zidan menyentuh pundak mertuanya. Bu Diah mengangkat wajahnya dengan pipi basah.
“Andini sekolah dan Karin ke kampus, Nak.”
“Kalau gitu saya cari bantuan dulu untuk mengangkat Bapak, ya, Bu.” Zidan kembali berlari ke luar sebelum Bu Diah mengucapkan sesuatu.
 
Zidan berlari ke luar pagar rumah, matanya menangkap warung yang berjarak beberapa ratus meter dari rumah mertuanya. Zidan mempercepat gerakannya menuju warung tersebut. Sampai di sana, Zidan memanggil-manggil pemilik warung. Seorang bapak-bapak seumuran dengan mertua laki-lakinya ke luar.
Zidan menceritakan maksud kedatangannya yang ingin meminta pertolongan. Si pemilik warung bergegas ke luar seraya berteriak memanggil seseorang dari dalam rumah. Ternyata anaknya yang akan berangkat kuliah. Bertiga mereka berlarian menuju rumah Pak Rais.

Sampai di rumah Pak Rais, ketiganya mengangkat tubuh mertua Zidan itu ke dalam mobil. Bu Diah mengekor dari belakang masih dengan tangisan. Begitu sang mertua sudah dibaringkan di dalam mobil, Zidan membukakan pintu depan untuk mertua perempuannya.

“Sabar, Bu Diah. InsyaAlah Pak Rais nggak apa-apa.” Bapak pemilik warung mencoba menenangkan Bu Diah, tetangganya.
“Ya, Pak Andi. Makasih, ya, Pak.” Bu Diah mencoba tersenyum dan mengangguk sopan pada tetangganya yang juga teman ngopi suaminya itu.
“Ya, Bu Diah. Sama-sama. InsyaAllah nanti kami menyusul ke rumah sakit.”
“Baik, Pak. Sekali lagi terima kasih.” Bu Diah lalu masuk ke dalam mobil dengan pipi yang basah oleh air mata. Zidan berbalik ke rumah dan mengambil kunci dari balik pintu bagian dalam. Lalu laki-laki itu mengunci pintu dengan tergesa.

Setelah mengucapkan terima kasih pada Pak Andi, Zidan masuk ke dalam mobil. Mobil soprt berwarna putih itu ke luar dari halaman dan masuk ke jalan perkampungan. Pak Andi dan anaknya membantu menutupkan pagar yang masih terbuka lebar.
***

Pak Rais akhirnya dirawat di ruang ICU di salah satu rumah sakit swasta terbaik di Pekanbaru. Awalnya Bu Diah sudah sempat panik, karena pihak rumah sakit mengatakan kamar ICU penuh. Jatah kamar ICU bagi pasien pengguna asuransi kesehatan, sepertinya hanya bisa menampung beberapa orang pasien saja. Akhirnya setelah Zidan mengatakan Pak Rais masuk sebagai pasien umum, barulah mereka mendapatkan kamar ICU.

Bu Diah menatap Zidan dengan khawatir. Jika suaminya dirawat di ruangan khusus seperti itu dengan biaya pribadi, mereka sepertinya tidak akan sanggup membayar. Sebab, berapa lamanya Pak Rais akan berada di sana, tentu tidak ada yang bisa memastikan. Tetapi, Zidan menenangkan ibu mertuanya. Laki-laki itu mengatakan jika dia yang akan membayar semua biaya pengobatan Pak Rais sampai Pak Rais keluar dari rumah sakit.

Dalam hati sebenarnya mertua perempuan Zidan itu masih merasa was-was. Bagaimana jika suaminya harus berada di ruang ICU seminggu, sebulan, atau bahkan berbulan-bulan? Apakah menantunya itu masih akan mau membiayai semuanya? Zidan sepertinya bisa membaca kekhawatiran sang mertua. Laki-laki itu mengatakan dengan penuh keyakinan,

“Bu, saya yang akan membayar seluruh biaya pengobatan Bapak sampai bapak pulih dan dibolehkan ke luar dari rumah sakit. Ibu jangan pikirkan apapun tentang masalah biaya. Ibu fokus saja pada kesembuhan Bapak.”

Mendengar kata-kata menantunya itu, barulah Bu Diah merasa sedikit lega. Tidak berapa lama, Andini dan Karin datang ke rumah sakit. Kedua kakak adik itu mencoba menenangkan sang ibu yang kembali menangis begitu melihat kedatangan kedua anak gadisnya. Apalagi ketika perempuan paruh baya itu bercerita tentang Mayra yang pergi tanpa kabar. Bu Diah menangis sesugukan.

Andin dan Karin memeluk sang ibu dan mengucapkan kata-kata bujukan. Tidak berapa lama, sang ibu pun mulai terlihat tenang. Sementara Zidan duduk tidak jauh dari keluarga sang mertua. Laki-laki itu terlihat amat kusut. Ia tidak beranjak dari kursinya sejak datang tadi. Ponsel pun dimatikan. Zidan tidak ingin diganggu dengan urusan apapun juga.

Andini dan Karin melihat sang ibu sudah tenang, mulai sibuk dengan ponsel masing-masing. Mereka mencoba mencari jejak keberadaan sang kakak. Semua keluarga dan sanak famili telah dihubungi satu persatu. Tetapi, keberadaan Mayra belum juga bisa ditemukan.

Ketika azan zuhur berkumandang, Zidan bangkit dan pamit pada Bu Diah untuk sholat ke masjid. Bu Diah hanya mengangguk lemah.
Zidan berjalan menuju lift dan turun ke lantai dasar. Zidan ke luar dari rumah sakit dan berjalan menuju masjid terdekat. Setelah berwudu, Zidan masuk ke dalam masjid di samping gedung DPRD Pekanbaru. Hatinya yang tadi resah dan gelisah tiba-tiba menjadi sejuk dan tenang begitu masuk ke rumah Allah itu. Dan selama ini, ia sangat jarang sholat berjamaah di masjid ataupun mushalla. Hidupnya terlalu sibuk dengan urusan dunia. Ada rasa penyesalan di sudut hati. Begitu banyak waktu yang telah dibuangnya dengan percuma.

Ke luar dari masjid, Zidan mencari rumah makan terdekat dan membelikan nasi bungkus untuk mertua dan kedua adik iparnya. Sampai di ruang tunggu ICU, Zidan menyerahkan nasi pada Andini.

“Makan dulu, Bu.” Zidan berkata lembut pada ibu mertuanya.
“Ya, Nak. Makasih.” Bu Diah mengangguk seraya tersenyum.
 
Entah mengapa, ia tidak merasa marah atau benci pada menantunya ini. Padahal sang menantu telah membuat anaknya pergi tanpa kabar. Hati ibu mana yang tidak risau ketika tidak mengetahui keberadaan anak gadisnya. Hati ibu mana yang tidak hancur ketika mengetahui pernikahan anaknya, ternyata tidak sedang baik-baik saja. Padahal pernikahan itu baru seumur jagung.
Dan sekarang, suaminya juga terbaring tidak berdaya. Bu Diah kembali terisak. Zidan yang sudah akan duduk di tempatnya semula, tidak jadi melangkah. Laki-laki itu jongkok di depan sang mertua.

“Bu, maafkan saya. Saya telah merusak semuanya. Tapi saya mohon, Bu. Beri saya kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Setidaknya beri saya waktu untuk membawa Mayra kembali ke pangkuan Ibu.” Zidan meraih tangan Bu Diah dan menciumnya dengan takzim. Perempuan yang masih terlihat cantik itu semakin merasa sedih. Air mata semakin deras membasahi pipinya.

“Ibu tidak tahu apa yang sedang terjadi di antara kalian. Tetapi, Ibu mohon, jika kamu memang tidka mencintai Mayra dan tidak menginginkannya, tolong kembalikan lagi Mayra pada kami.” Suara Bu Diah terdengar parau. Zidan tertegun. Kata-kata sang mertua menghujam jantungnya.
***

Mayra duduk di samping jendela pompong. Isi pompong tidak terlalu banyak, hanya beberapa orang saja. Sehingga Mayra bisa duduk dengan leluasa.

Mata indahnya menikmati aliran air Sungai Siak yang berwarna kecoklatan. Suara khas pompong yang ditumpanginya membangkitkan kenangan masa kecilnya. Sewaktu kecil dulu, Mayra dan keluarganya pernah tinggal di Sungai Apit. Ayahnya pernah bertugas di kampung kecil itu. Jika ia dan kedua orang tuanya bepergian ke Kota Siak atau ke Pekanbaru, Mayra dan kedua orang tuanya selalu naik pompong.

Mayra sangat suka menikmati perjalanan di sepanjang Sungai Siak. Udara yang berhembus masuk ke dalam pompong, terasa sejuk dan dingin. Rumah-rumah di kiri dan kanan sungai seperti berlarian ke belakang mereka. Pohon-pohon yang tumbuh di sepanjang pinggiran sungai, terlihat seperti lukisan. Semua itu, tampak begitu indah di mata Mayra.

Sejenak, perempuan cantik itu bisa melupakan duka hatinya. Menikmati kembali perjalanan dengan transportasi tradisional ini begitu melenakan hatinya. Sudah belasan tahun mungkin ia tidak lagi menikmati suasana seperti ini. Ketika ia berumur delapan tahun, ayahnya kembali pindah ke Pekanbaru. Dan sejak itu, ia tidak pernah lagi mendatangi kampung kecil ini.

Hari ini, Mayra beruntung bisa mendapatkan pompong menuju Sungai Apit. Karena sejak dibangunnya jembatan Teluk Mesjid, pompong sudah semakin terpinggirkan. Orang-orang bisa menuju Sungai Apit dan Pakning dengan menggunakan mobil dan sepeda motor. Sehingga tidak ada lagi yang membutuhkan jasa pompong.

Hanya pada hari kamis, ketika sedang hari pasar di Sungai Apit, masyarakat masih bisa mendapatkan tumpangan perahu papan yang digerakkan oleh mesin tersebut. Penumpang biasanya adalah para pedagang yang membawa dagangannya menuju Sungai Apit.

Sebelum tengah hari, Mayra telah sampai di Sungai Apit. Perempuan itu menyandang tas ranselnya dan bergegas turun dari perahu. Mayra meninggalkan kopernya di rumah Dian, teman kuliahnya. Tadi malam, Mayra tidur di rumah sahabat baiknya itu. Dan pagi-pagi sekali, ia telah meninggalkan rumah temannya itu menuju Bandar Sungai.

Mayra naik ke dermaga. Beberapa orang terlihat tengah duduk di kursi panjang, sepertinya sedang menikmati keindahan Sungai Siak juga. Ternyata dermaga ini tidak banyak berubah. Hanya kayunya saja yang telah diganti dengan besi. Mayra tersenyum.

Dulu, ia sering main di dermaga ini dengan teman-teman sekolahnya. Jika teman-temannya terjun ke sungai untuk mandi dan berenang, Mayra hanya duduk-duduk saja di dermaga. Ia betah duduk berlama-lama di kursi panjang dermaga ini. Menyaksikan pompong atau melihat kapal-kapal tangker yang lewat. Kata orang-orang di kampungnya, kapal tangker itu menuju Malaysia. Entahlah, sampai saat ini Mayra tidak tahu kebenarannya. Namun bagi Mayra, semua itu menjadi pemandangan yang sangat indah.

Mayra berjalan memutar agar tidak masuk kedalam pasar. Setelah itu, ia melewati beberapa rumah penduduk. Pada umumnya rumah-rumah penduduk bergaya panggung dengan beberapa anak tangga di depannya. Entah mengapa tiba-tiba ada rasa nyaman di hati Mayra berada didi kampung ini.

Perempuan muda itu menegur orang-orang yang berpapasan dengannya, yang sedang menuju ataupun pulang dari pasar. Dan tanpa disadari, Mayra telah berdiri di depan sebuah rumah bergaya panggung. Rumah kayu yang terbuat dari kayu. Warnanya coklat tua. Bahkan sudah mendekati hitam barangkali. Mayra melangkah masuk ke halaman. Dadanya berdebar ketika menaiki tangga.

“Assalammualaikum.” Mayra mengucapkan salam.
 
Terdengar langkah kaki mendekat. Lalu sedetik kemudian seorang wanita dengan rambut yang mulai terlihat putih di beberapa bagiannya telah berdiri di depan pintu. Perempuan paruh baya itu mengernyit. Diperhatikannya wajah Mayra dengan tatapan bingung.

“Mak Tuo, ini Mayra.” Mayra mendekat dan mengambil tangan perempuan di depannya.
Diciumnya dengan penuh perasaan. Mata perempuan paruh baya di depannya langsung berkabut.

“Mayra …” perempuan yang dipanggil Mak Tuo itu merengkuh tubuh Mayra. Mereka berpelukan dan bertangisan.

“Kamu sudah besar. Berapa tahun Mak Tuo tidak melihatmu. Waktu kamu pergi, kamu masih kecil. Mak Tuo masih kuat menggendongmu waktu kamu pergi.” Mak Tuo berkata dengan air mata meleleh. 
 
Pipi Mayra ikutan basah. Perempuan di depannya ini sudah seperti orang tua bagi Mayra. Sewaktu Mayra lahir, Mak Tuo lah yang selalu siap sedia membantu ibunya. Karena mereka memang tidak punya saudara di kampung ini.

“Ayo, masuk.” Mak Tuo menarik tangan Mayra dan membawa perempuan berjilbab orange itu duduk di ruang tamu.
“Kamu makin cantik. Ya Allah, Mak Tuo rindu sekali sama kamu, sama ibumu. Bagaimana kabar Bu Diah sekarang? “ Mak Tuo Ayin memegang erat tangan Mayra. Mata tuanya tidak lepas dari wajah cantik Mayra.

“Alhamdulillah, se …”
“Siapa, Mak?” sesosok laki-laki dengan garis wajah yang kokoh telah berdiri di depan pintu ruang tamu.
Ucapan Mayra menggantung di udara. Mata indahnya memandang laki-laki beralis tebal yang juga sedang menatap ke arahnya. Untuk beberapa detik tatapan mereka bertemu. Mayra seperti kembali ke masa tujuh belas tahun silam. Tatapan mata itu, mengingatkannya akan seseorang.

Bersambung #7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER