Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 14 April 2022

Takdir Cinta Mayra #7

Cerita bersambung

“May?” Laki-laki di depan Mayra mendesiskan namanya. Mayra tertegun. Hanya satu orang yang memanggilnya dengan sebutan May.

“Atan …” Mayra tanpa sadar mengucapkan nama itu kembali. Namanya Sulthan, tetapi orang-orang memanggilnya Atan.

“Hai, apa kabar?” laki-laki di ujung ruang tamu tak melepaskan tatapan matanya dari Mayra.
“Baik. Kamu apa kabar?” Mayra mencoba tersenyum meski rasa hatinya tidak menentu.
“Seperti yang kamu lihat, aku masih di sini, menjadi penjaga setia Mak Tuomu.” Laki-laki yang bernama Atan itu tertawa di ujung kalimatnya.
“Wah, kalian ternyata masih saling mengingat, meski belasan tahun tidak bertemu.” Mak Tuo tampak semringah.
“Manalah Atan bisa lupa sama gadis kecil ini, Mak. Dia dulu kan nggak bisa hidup kalau nggak ada Atan.” Atan mengambil tempat duduk di depan Mayra.
Mayra melotot. Namun ingatan perempuan cantik ini kembali ke masa-masa 17 tahun silam. Ya, Atan anak Mak Tuo ini, selalu siap sedia membantunya. Anak laki-laki yang dulu bertubuh gempal itu menjadi teman sekaligus kakak untuknya. Apapun yang diinginkan Mayra, Atan selalu siap mengabulkannya.

“Kamu tidak banyak berubah ya, May. Masih tetap kurus dan jelek seperti dulu.” Atan mamkin menjadi-jadi menggoda Mayra.
Mayra kembali melotot, laki-laki di depannya ini juga tidak banyak berubah. Meski laki-laki itu sangat sayang pada Mayra, tetapi, ia senang juga menjahili Mayra. Terkadang sampai membuat Mayra menangis saking kesalnya.

“Sudah, jangan ganggu lagi adikmu. Dia bukan lagi gadis kecil yang manja. Dia sekarang sudah dewasa. Tentu tidak membutuhkan kamu lagi.” Mak Tuo mengibaskan tangan pada anak bungsunya.
“Eh, siapa tahu, Mak. Siapa tahu dia datang mau minta bantuan Atan lagi. Barangkali ada yang sudah menjahatinya. Kalau nggak, angin apa pula yang akan membawa gadis kecil ini ke sini.” Atan kembali menatap Mayra dengan tatapan menggoda.
Ditambah dengan senyum jahil, persis seperti waktu mereka kecil dulu.

Mayra tercekat, laki-laki yang terlihat makin gagah ini memukul telak jantung hati Mayra. Tebakannya benar-benar jitu. Mayra menunduk. Ingatannya kembali ke Pekanbaru. Perempuan dengan hijab tosca itu kembali teringat Zidan. Sedang apa laki-laki itu sekarang? Apakah sedang merayakan kemenangannya? Tiba-tiba mata Mayra kembali terasa panas.

“Atan, kamu bicara apa? Jangan membuat Mayra sedih.” Mak Tuo merengkuh bahu gadis di sampingnya. Atan tersadar, melihat Mayra yang hanya menunduk, Atan memukul mulutnya sendiri.

“Ya Alloh, maafkan aku May. Aku hanya asal bicara. Bukankah dari dulu kita juga seperti ini?” Atan menatap Mayra dengan rasa bersalah. Mayra mengangkat wajahnya. Dan pipi gadis itu telah basah.

“May, maaf …” Suara Atan bergetar.
“Nggak apa-apa Atan. Aku hanya merasa lelah. Kalau boleh, Mayra mau istirahat dulu Mak Tuo.” Mayra menoleh pada perempuan paruh baya di sampingnya.
“Ayo, Nak. Tidur di kamar Kak Minda. Kak Minda sejak ikut suaminya ke Malaysia, sudah sangat jarang pulang. Syukurlah Atan mau tetap berada di kampung ini. Kalau tidak, Mak Tuo mungkin hanya hidup sendiri di hari tua.” Mak Tuo bangkit dan menuntun Mayra menuju bilik di belakang ruang tamu. Atan hanya memperhatikan langkah maknya yang membawa Mayra menjauh.

Atan memukul sofa yang didudukinya. Baru juga bertemu setelah kian lama berpisah, dia sudah melakukan kesalahan. Berarti tebakannya memang benar, sehingga gadis kecilnya itu menjadi bersedih. Gadis kecil? Ya, Tuhan … kenapa ia masih menganggap Mayra gadis kecil?

Mak Tuo mengantarkan Mayra ke kamar anak perempuannya. Mayra masuk dan meletakkan tas ranselnya di sudut kamar. Setelah itu, Mayra membaringkan tubuhnya di atas ranjang besi. Seprai katun lembut berwarna putih dengan hiasan bunga-bunga berwarna merah. Mayra mencoba memejamkan mata. Tiba-tiba tubuhnya terasa sangat lelah. Ia benar-benar ingin tidur. Ia ingin melupakan sejenak kegalauan hatinya.
***

Sore hari, setelah mandi dan sholat asyar, Mayra pamit kepada Mak Tuo untuk jalan-jalan ke dermaga. Mak Tuo mengatakan Atan sedang pergi ke ujung kampung. Ada seorang penduduk desa yang sedang sakit dan keluarganya memanggil Atan untuk mengobati. Mayra baru tahu, ternyata Atan seorang dokter. Dokter di Puskemas Sungai Apit.

Menurut cerita Mak Tuo, Atan mendapatkan beasiswa dari pemda setempat. Mayra tahu, Atan memang anak yang pintar. Laki-laki itu pantas mendapatkannya.

Mayra merasa ikut bahagia, ternyata teman masa kecilnya itu berhasil meraih cita-cita. Dulu, setiap Atan ditanya, mau jadi apa jika besar nanti, anak laki-laki itu selalu menjawab, ingin menjadi dokter. Sementara Mayra waktu itu selalu menjawab, ingin jadi guru. Dan ternyata, Mayra tidak berhasil mewujudkan cita-cita masa kecilnya. ‘

Mayra sampai di dermaga. Cahaya matahari telah condong ke barat. Mayra duduk di kursi panjang yang terbuat dari kayu tebal. Tatapannya lepas ke ulu sungai. Warna air sungai terlihat makin coklat. Tetapi, tidak jauh dari dermaga, terlihat beberapa orang anak-anak sedang mandi dan berenang. Suara gelak tawa mereka terdengar sampai ke tempat Mayra duduk.

Mayra tersenyum. Dulu teman-temannya juga suka sekali berenang di sungai. Hampir setiap sore kadang. Mayra pernah ikut berenang seperti mereka. Tetapi, entah mengapa sekali itu, Mayra terseret arus sungai. Kapal tengker memang baru lewat, sehingga air sungai menjadi berombak besar. Mungkin saat itu, kondisi badannya sedang tidak fit juga, sehingga tidak kuat menahan gelombang arus sungai. Mayra sudah merasakan tubuhnya melayang ketika sebuah tangan merengkuh tubuhnya dan membawanya naik ke pinggir sungai. Dan orang itu adalah Atan.

Mayra tidak bisa membayangkan, bagaimana cara Atan membawanya naik ke atas. Pastilah sangat sulit sekali. Tetapi, anak laki-laki itu selalu saja ada di saat Mayra membutuhkan. Sejak itu, Mayra dan Atan semakin akrab. Mereka berdua selalu berbagi makanan, berbagi PR, dan berbagi cerita tentang apa saja.

Dan Mayra ingat, di hari terakhir Mayra berada di kampung ini, Atan tidak mau menemuinya. Ketika Mayra akan naik pompong dengan kedua Ayah dan Ibunya serta adiknya Andini, Atan terlihat berlari sekencang-kencangnya menjauh dari dermaga. Tidak ada kata-kata perpisahan, tidak ada ucapan selamat tinggal dan selamat jalan. Mereka berpisah begitu saja.

“Apa yang kamu ingat tentang dermaga ini?” Tiba-tiba seseorang telah duduk di samping Mayra. Mayra menoleh dengan kaget. Ternyata Sultan telah duduk dengan santai di sampingnya.

“Banyak.” Mayra kembali memandang ke sungai. Sebuah perahu terlihat sedang membelah aliran sungai, jauh di hilir sana.

“Salah satunya?” Sultan mengejar Mayra dengan pertanyaan.
“Ketika kita dan teman-teman main di sungai. Berenang, tertawa, dan bercanda. Waktu itu, hidup kita seakan hanya untuk beriang gembira. Tidak ada beban dan air mata.”
“Tapi, itu sebelum kamu pergi. Setelah kamu pergi dan tidak pernah lagi kembali ke dermaga ini, tidak ada lagi keriangan dalam hari-hariku.” Suara Sultan terdengar pekat. Mayra menoleh.
“Atan, kamu lucu. Kamu bicara seolah-oleh waktu itu kita sudah bukan kanak-kanak.” Mayra tertawa pelan.
“Apakah kanak-kanak tidak boleh punya perasaan sayang pada sahabatnya? Pada seseorang yang sangat istimewa untuknya?”
“Atan, aku waktu itu baru berusia delapan tahun dan kamu sembilan tahun.”
“Lalu, apa salah jika anak-anak seusia itu sudah merasakan kehilangan atas orang yang disayanginya?”
“Atan …” Mayra tergagap. Gadis itu bingung harus mengatakan apa. Sebenarnya, dulu ia juga sedih ketika harus meninggalkan kampung ini. Ia juga sedih ketika harus berpisah dengan laki-laki kecil di sampingnya ini.

“Kamu tahu Mayra, sejak kamu pergi, setiap sore aku selalu duduk di dermaga ini. Menunggu pompong yang datang. Aku berharap salah satu pompong itu membawamu pulang. Tetapi, ternyata kamu tidak pernah datang lagi.” Ada keharuan dalam nada suara Atan. Mayra menunduk. Ia tidak pernah menyangka sahabat masa kecilnya ini begitu menyayanginya kala itu.

“Maafkan aku, Atan. Bapak dan Ibu terlalu sibuk, sehingga tidak pernah punya waktu untuk mengunjungi kamu dan Mak Tuo di sini.” Suara Mayra terdengar lirih.
“Tidak apa, yang penting sekarang kamu sudah kembali.” Atan tersenyum dengan wajah bahagia. Mayra tertegun.
“Atan, aku lupa berkabar, jika aku telah menikah beberapa bulan lalu.” Mayra merasakan pandangannya mengabur. Ingatannya kembali pada Zidan. Ah, sedang apa laki-laki itu sekarang? Sementara Sultan membeku.

“Kamu sudah menikah? Tetapi, kamu datang sendiri saat ini. Berarti ada sesuatu kan dengan pernikahanmu?” Sultan bangkit dan berdiri tegak di depan Mayra. Mayra memalingkan wajahnya. Perempuan itu tidak ingin Sultan melihat kesedihannya.

“Mayra, aku tahu. Sejak kecil jika ada yang nakal, jika kamu mendapatkan kesulitan, jika kamu sedang bersedih, kamu selalu mencariku. Dan, aku tahu, saat ini kamu pasti juga sedang menghadapi masalah sehingga kamu kembali mencariku.” Ada secercah harapan di hati Atan.
“Atan, tolong jangan bicara lagi. Kata-katamu membuat aku sedih.” Mayra terisak. Atan mematung di tempatnya. Ya, Tuhan, lagi-lagi ia menyakiti perasaan gadis kecilnya.

“Mayra, maafkan aku. Ayo, kita pulang. Sebentar lagi magrib. Nanti Mak Tuo resah menantimu.” Atan mengulurkan tangan. Tetapi, Mayra bangkit tanpa menerima uluran tangan laki-laki itu. Mereka bukan kanak-kanak lagi, yang boleh saling mengaitkan jari kelingking, yang boleh berpegangan tangan ketika menyusuri sungai, yang boleh saling mendengarkan cerita masing-masing.

Senja makin temaram. Mayra melangkah cepat meninggalkan dermaga. Atan mengikuti langkah Mayra dari belakang. Mereka melewati rumah-rumah penduduk yang bentuknya tidak jauh berbeda dengan rumah Atan. Bangunan semi permanen, yang berbentuk rumah panggung. Setiap rumah memiliki kandang di bagian bawah dan tangga di bagian depan. Dan hampir setiap rumah memiliki pohon besar yang tumbuh di halaman samping atau di halaman belakang rumah.

Suara mengaji terdengar dari mesjid di ujung kampung. Anak-anak terlihat berlarian dari rumah-rumah panggung menuju ke mesjid. Di bahu mereka terselempang kain sarung. Semua yang berpapasan menegur Atan dengan sebutan Abang Dokter. Atan menjawab dengan ramah. Walau dalam hati laki-laki itu sedang resah.

Atan mendesah. Gadis kecilnya ternyata telah banyak berubah. Dia bukan lagi gadis periang, yang penuh tawa, canda, dan manja. Waktu tujuh belas tahun ternyata telah mengubah gadis kecilnya menjadi wanita dewasa yang tegas, namun tetap terlihat lembut.

Atan menekuri tanah yang dilaluinya. Laki-laki berkulit kecoklatan itu tidak tahu, mengapa ia masih juga menunggu gadis kecil di masa lalunya itu. Banyak perempuan yang mencoba mendekatinya, tetapi Atan tidak pernah menanggapi. Harapannya hanya satu, bertemu kembali dengan Mayra, dan mengungkapkan perasaan yang telah dipendamnya selama tujuh belas tahun.

Aneh mungkin. Atan yakin tidak ada orang yang seperti dirinya. Memiliki perasaan suka pada seorang di usia yang masih sangat belia. Dan perasaan itu masih tetap tumbuh subur sampai ia dewasa. Atan menyimpan rapat-rapat perasaan cintanya pada Mayra. Mak Atan pun pasti tidak tahu, jika Atan menyukai gadis itu.

Sebelum berangkat kuliah ke tanah Jawa, Atan pernah mencoba mencari Mayra dan keluarganya di Pekanbaru. Tetapi, ia tidak berhasil menemukan keluarga Mayra. Entah mengapa, silaturahmi keluarganya dan keluarga Mayra terputus begitu saja. Memang, ketika keluarga Mayra pindah dulu, telepon genggam belum seramai sekarang keberadaannya. Sehingga keluarga mereka kesulitan untuk berkomunikasi dan menyambung tali silaturahmi.

Tujuh belas tahun, ia menunggu saat-saat sepert ini. Mendapati gadis itu duduk kembali di dermaga. Namun, sayang … ketika hal itu benar-benar terjadi, ternyata keadaan sudah tidak seperti dulu lagi. Mayra ternyata telah menjadi milik orang lain. Ada rasa nyeri yang menusuk ulu hati Sultan.
***

Sudah empat hari Pak Rais dirawat. Dan Zidan selalu setia menunggui. Zidan memilih waktu jaga malam hari agar ia bisa tetap pergi ke kantor. Ibu Diah dan kedua adik iparnya mendapat giliran jaga siang hari.

Sebenarnya, Bu Diah tidak ingin melibatkan Zidan terlalu banyak dalam urusan perawatan sang suami. Tetapi, menantunya itu selalu memaksa. Kata menantunya itu, jangan sampai Bu Diah ikutan sakit karena menunggui Pak Rais seharian penuh di rumah sakit. Sepertinya, perempuan yang masih terlihat cantik itu memang harus mendengarkan kata-kata sang menantu. Karena sejak suaminya dirawat dan Mayra belum juga diketahui keberadaannya, Bu Diah mulai merasakan pusing-pusing dan badan terasa lemas.

Zidan benar-benar hadir seperti layaknya seorang anak laki-laki. Zidan mengurus semua keperluan Pak Rais, menyelesaikan semua urusan rumah sakit, membawakan makanan setiap sore dan menyediakan mobil beserta supir untuk mertua perempuan beserta adik iparnya itu. Sehingga Bu Diah mulai berpikir, apa laki-laki sebaik Zidan sanggup menyakiti anaknya Mayra? Bu Diah merasa tidak percaya. Perempuan paruh baya itu malah berpikir, jangan-jangan Mayralah yang telah melakukan kesalahan.

Melihat perlakuan Zidan kepada suaminya, kepada dirinya, kepada Andini dan Karin, Bu Diah jadi merasa memiliki anak laki-laki. Tak dapat dipungkiri, pelan-pelan perempuan lembut itu mulai menyayangi menantunya. Bu Diah mulai membutuhkan kehadiran Zidan. Sendainya tidak ada menantunya itu, entah bagaimana ia dan anak-anaknya akan menghadapi semua ini.

Sementara Zidan, berusaha sebisa mungkin menjalani kehidupannya dengan iklas. Laki-laki itu semakin rajin sholat berjmaah ke masjid. Ketika waktu subuh, Zidan menitipkan mertuanya kepada perawat yang jaga di ICU, dan Zidan sholat ke masjid Ar-Rahman di Jalan Sudirman. Karena masjid itulah yang terdekat dengan rumah sakit tempat mertuanya dirawat dan di masjid itu juga selalu ada ceramah rutin setelah sholat subuh.

Banyak hal yang didapatkan Zidan sejak rutin sholat berjamaah. Yang paling utama adalah ketenangan hati. Hal kedua adalah, ia bisa berdoa dengan lebih khusyuk. Ia meminta agar Allah mempertemukannya kembali dengan istrinya. Zidan ingin menyelesaikan masalahnya dengan baik. Jika memang Mayra sudah tidak bisa menerimanya kembali, maka Zidan akan melepaskan perempuan itu. Zidan iklas. Namun, meski Zidan mencoba untuk iklas, tetap saja matanya terasa panas setiap mengingat hal itu. Ada yang terasa sakit di sudut hatinya mengingat ia akan berpisah dengan Mayra.
Akan tetapi, lagi-lagi Zidan mengembalikan semua urusannya pada sang pemilik jiwa. Dialah yang mengatur segalanya. Dialah yang membolak balikkan hati manusia. Dan Zidan telah membuktikannya. Berawal dari rasa benci dan dendam, akhirnya ia berbalik mencintai dan menyayangi istrinya.

Dari ceramah-cermah ustad di Mesjid Ar-Rahman, Zidan semakin bisa memahami akan takdir dan ketentuan dari Allah. Bukankah selembar daun yang gugur pun tidak terlepas dari izin Allah? Sehingga Zidan mencoba menerima semuanya dengan sabar dan iklas.

Pagi ini, Zidan memberanikan diri menemui sang ustad setelah sesi ceramah berakhir. Zidan menceritakan secara garis besar apa yang telah dilakukan dan dialaminya. Setelah mendengarkan cerita Zidan, ustad tersenyum dan mengucapkan Alhamdulillah. Zidan merasa heran.

“Kita harus bersyukur, karena Alloh telah melimpahkan hidayah kepada Mas Zidan. Genggam terus hidayah ini, jangan sampai dilepaskan. Apapun nanti yang akan terjadi ke depannya, tetaplah di jalan hidayah ini. Jangan pernah berpaling lagi.” Ustad Alfian menyentuh lembut pundak Zidan.
Suara lembut namun tegas itu telah membuat Zidan terpana. Ada keharuan yang menyeruak ke dalam rongga dadanya. Ya, Tuhan, begitu banyak dosa yang telah diperbuatnya. Akankah Allah membukakan pintu maaf untuknya? Zidan terisak.

“Laksanakan sholat taubat, mohon ampunan pada sang pengasih.” Ustad Alfian menepuk bahu Zidan sekali lagi, seolah-olah ustad tersebut bisa membaca isi hati Zidan. Zidan mengangguk dengan mata yang telah basah. Ya Allah, genggamlah hati ini, jangan engkau lepaskan lagi. Zidan mengucapkan doa dalam hati.

==========

Mak Tuo mengajak Mayra ke pasar Sungai Apit. Tetapi, sebelumnya mereka berdua akan singgah dulu ke puskesmas, mengantar bekal makan siang Atan. Kata Mak Tuo, Atan lebih suka makan makanan dari rumah. Hari ini Mak Tuo memasak goreng ikan selais, tumis kangkung dan sambal balacan.

Sampai di puskesmas, Mayra dan Mak Tuo harus menunggu beberapa saat karena Atan sedang memeriksa pasien. Puskesmas terlihat mulai sepi, mungkin karena hari sudah beranjak siang. Hanya beberapa perawat dan bidan yang terlihat di ruangannya masing-masih. Tidak berapa lama, pasien dari ruang periksa ke luar bersama seorang perawat.

“Nak Hanum!” Mak Tuo bangkit dan memanggil perawat tersebut.

Mayra ikut berdiri. Perawat yang dipanggil Hanum mendekat. Mayra menatap wajah cantik di depannya yang dibalut hijab lebar menutup dada.

“Hanum?” mata Mayra menyipit.
“Mayra?” gadis yang dipanggil Hanum semakin dekat. Kini mereka berdiri berhadap-hadapan. Dan sedetik kemudian keduanya saling melebarkan tangan, lalu berpelukan dengan erat.

“Lama sekali kamu pergi, Ra.” Hanum merenggangkan pelukan.
“Sekarang aku sudah kembali, Num.” Mayra tersenyum.
“Iya, aku senang kita bisa ketemu lagi. Kamu makin cantik, Ra.” Hanum memperhatikan Mayra dengan mata basah.
“Kamu juga, Num. Kamu makin cantik dan sholeha.” Mata Mayra juga telah basah.

Bertemu teman masa kecil, rasanya seperti ditarik kembali ke masa lalu. Masa kanak-kanak yang indah dan penuh tawa.

“Eh, Mak Tuo. Maaf, jadi melupakan Mak Tuo. Ayo, silakan masuk Mak Tuo. Pak Dokter sudah selesai.” Hanum tersadar dan segera menyalami Mak Tuo.
“Iya, Nak Hanum. Nggak apa-apa. Namanya baru bertemu teman lama.” Mak Tuo mengusap puncak kepala Hanum yang tertutup hijab.
“Ayo, Mak Tuo, Hanum antar.” Hanum mengangguk sopan pada Mak Tuo.
“Ya, Nak. Makasih.” Mak Tuo mengikuti langkah Hanum menuju ruang dokter. Tiba-tiba Hanum menghentikan langkahnya dan berbalik.

“Ra, kamu ngapain bengong di situ. Ayo, sini, ikut ke ruang dr Sultan.” Hanum melambaikan tangan pada Mayra. Sedikit ragu, Mayra melangkah mendekati Hanum. Bertiga mereka masuk ke ruang Atan.

Atan baru saja membuka jas kerja ketika pintu ruangan terbuka. Mata laki-laki itu langsung berbinar.

“May, kamu ikut juga. Ayo silakan duduk.” Atan menunjuk kursi di depannya.
“Mak tidak disuruh duduk nih?” Mak Tuo pura-pura merajuk.
“Ya, Mak. Biasanya juga langsung duduk.” Atan tergelak. Sementara Hanum mencoba mencerna sikap Atan yang terlihat begitu manis pada Mayra.

Mak Tuo meletakkan rantang yang dibawanya di atas meja kerja Atan. Mayra masih berdiri di samping Hanum.

“Mak masak apa nih hari ini?” Atan membuka rantang kuning di depannya dengan penuh semangat. Masakan Mak buat Atan selalu yang terlezat.

“Loh, kok masih pada berdiri? Ayo, duduk Mak, May.” Atan mengalihkan tatapan dari rantang kepada orang-orang di depannya.
“Mak tak bisa lama-lama Atan. Mak mau ke pasar sama Mayra. Kamu makanlah, ajak Hanum sekalian. Itu sudah Mak lebihkan tadi.” Mak Lalu menggamit tangan Mayra. Atan tiba-tiba menutup rantangnya kembali.

“Ya, Mak kok buru-buru.” Wajah Atan terlihat kecewa. Sementara matanya tidak lepas dari Mayra yang sudah berbalik dan mengikuti langkah Mak Tuo menuju pintu.

Mak Tuo tidak menjawab lagi ucapan anaknya. Dari kemarin malam, wanita paruh baya ini mulai melihat gelagat aneh Atan. Sebagai orang tua yang sudah lama makan asam garam kehidupan, tentu Mak Tuo paham jika anaknya menyimpan perasaan pada Mayra. Dan Mak Tuo tentu saja tidak ingin hal tersebut semakin berlarut-larut. Sebab Mayra telah menikah.

Sampai di luar ruangan, Mak Tuo menghentikan langkahnya dan menoleh pada Hanum.

“Hanum, nanti sepulang dinas mainlah ke rumah. Kamu dan Mayra sudah lama tidak bertemu. Tentu banyak yang bisa kalian bicarakan.” Mak Tuo menyentuh bahu Hanum dengan lembut.
“Iya, Mak Tuo. Insyaallah nanti sore Hanum ke rumah. Tunggu aku ya, Ra.” Hanum mengerling pada Mayra.
“Iya, Num. Aku rindu ingin bercerita dan bercakap-cakap dengan kamu. Aku tunggu, ya.” Mayra tersenyum pada Hanum.
“Siap!” Hanum mengacungkan jempol pada Mayra.
***

Sore sehabis asyar, Hanum datang menjemput Mayra. Mereka main ke dermaga. Sebelumnya Hanum membeli kuwaci dan minuman dingin di kedai Along, di sudut pasar Sungai Apit. Setelah itu, mereka berjalan beriringan menuju dermaga.

Duduk berdua di atas Sungai Siak yang keruh, Hanum dan Mayra makan kuwaci dengan dengan suka hati. Dulu, mereka juga sering seperti ini, membeli kuwaci dan minuman dingin, lalu memakannya beramai-ramai di sini. Di dermaga kecil ini.

Setelah puas makan kuwaci, Hanum dan Mayra mulai berbagi cerita. Hanum ternyata kuliah keperawatan di Pekanbaru. Hanum dan Mayra merasa heran, mengapa mereka tidak pernah bertemu di kota Bertuah itu.

Puas mendengarkan cerita Hanum, Mayra mulai bercerita tentang pernikahannya. Hanum mendengarkan dengan penuh perhatian. Mata Mayra basah selama bercerita, Hanum pun sama. Gadis ayu dan lembut itu ikutan sedih mendengar kisah pilu sahabatnya.

Mayra terisak ketika ceritanya sampai pada keputusannya untuk pergi. Hanum memeluk Mayra dengan lembut. Lama Hanum membiarkan sahabatnya itu menumpahkan tangis di bahunya. Setelah tangis Mayra reda, Hanum melepaskan pelukannya.

“Ra, aku turut prihatin mendengar ceritamu. Kalau aku di posisi kamu, aku juga nggak tahu akan melakukan apa.” Hanum berhenti sejenak. Diambilnya lagi tisu dari dalam tas dan diulurkannya pada Mayra. Mayra menerimanya dengan senyum lemah.

“Tapi, Ra. Pergi meninggalkan rumah, tanpa memberi kabar, menurutku itu bukan sikap yang bijak. Zidan memang salah. Sangat salah malah. Namun, dengan pergi jauh seperti ini tentu tidak akan menyelesaikan masalah.” Hanum kembali berhenti.

Dada gadis dengan hijab lebar itu juga sesak sebenarnya. Tetapi, sebagai seorang sahabat, ia harus memberikan nasihat yang baik untuk Mayra.

“Lalu, aku harus bagaimana, Num? Hatiku sakit sekali, Num. Aku mulai menyukainya, bahkan mungkin rasa cinta itu sudah mulai ada.” Mayra kembali terisak.

Jauh di lubuk hatinya, ada rasa rindu yang sangat menyesakkan dada.

“Iya, Ra. Aku tahu. Aku mengerti. Tetapi, kamu salah telah pergi meninggalkan rumah. Pulanglah, Ra. Selesaikan masalah kalian baik-baik. Jika memang kamu sudah tidak bisa memaafkan kesalahan suamimu, mintalah berpisah secara baik-baik. Tetapi, jika kamu sudah mulai menyayanginya, mungkin kamu bisa memberinya kesempatan kedua.” Hanum menggenggam jemari tangan Mayra dengan erat. Hanum ingin memberi kekuatan pada sahabatnya.

“Entahlah, Num. Aku bingung.” Mayra melepaskan pandangannya jauh ke hilir.

Beberapa anak-anak terlihat mandi dan berenang di pinggir sungai. Tidak jauh dari tempat mereka duduk.

“Ra, jika kamu merasa resah dan galau, bawalah sholat dan mengaji. Adukan semua resahmu pada Yang Maha Kuasa. Minta padaNya jalan keluar terbaik untuk masalahmu.”
“Iya, Num. Sebenarnya beberapa waktu belakangan ini, aku sudah mulai memperbaiki diri. Aku mulai melaksanakan sholat malam. Aku mulai membaca alquran setelah sholat magrib. Tetapi, di saat aku sudah mulai mendekatkan diri kepada Allah, aku malah diberikan ujian berat seperti ini, Num.”
“Astagfirullah, Ra. Istigfar. Ujian yang kamu alami bukan karena kamu sudah mulai memperbaiki diri atau karena kamu sudah mulai berproses menjadi pribadi yang lebih baik. Tetapi, ujian ini menimpamu, karena Allah sayang kepadamu, Ra. Karena Alloh ingin mengangkat derajatmu.”
“Astagfirullahalazim. Ya, Alloh, ampuni hamba yang fakir ini.” Mayra memejamkan mata dan dua tetes air mata kembali mengalir membasahi pipi mulusnya.

“Ra, pulanglah. Temui suamimu. Bicarakan semuanya dengan baik-baik.” Hanum berjongkok di depan Mayra.
Digenggamnya kedua tangan Mayra dengan erat.
“Tapi, Num …” Hati Mayra menjadi bimbang.
“Berapa usiamu sekarang, Ra? Dua puluh lima tahun, kan? Harusnya kamu sudah lebih dewasa dalam menghadapi masalah. Bukannya lari dari masalah.” Hanum menatap tepat ke manik mata Mayra.
“Num …”
“Ra, selain Zidan, kamu juga mempunyai keluarga, kan? Kamu punya ayah dan ibu. Lalu kamu pergi seperti ini, tanpa memberi kabar. Bagaimana perasaan orang tuamu, Ra? Bagimana jika terjadi sesuatu yang buruk dengan orang tuamu? Apa kamu nggak akan menyesal nantinya?”
“Jangan menakut-nakuti kayak gitu, Num.” Perasaan Mayra tiba-tiba merasa tidak enak.
“Lagian kamu tinggal di rumah Mak Tuo. Ada anak laki-lakinya di sana. Apa menurutmu itu baik? Tinggal serumah dengan yang bukan mahrom?”
“Tapi, kan ada Mak Tuo, Num.”
“Jangan mencari alasan dan pembenaran, Ra. Hati kecilmu pasti tahu, kalau hal itu tidak baik.”
“Iya, Num.” Mayra menunduk menghindari tatapan mata sahabatnya.
“Dan kamu pasti bisa merasakan, kalau Atan menyimpan hati padamu. Jika kamu tidak segera pergi, akan muncul polemik baru, Ra. Sementara masalahmu dengan Zidan saja belum selesai. Jangan menambah-nambah masalah.” Hanum bangkit dan mengusap puncak kepala Mayra yang berbalut hijab.
“Ya, Num. Besok aku pulang ke Pekanbaru. Sepertinya kamu tidak suka aku di sini.” Mayra mengerucutkan bibirnya. Hanum tertawa.

“Benar, aku memang tidak suka kamu di sini dalam kondisi seperti ini. Aku akan suka jika nanti kamu ke sini dengan Mas Zidan.” Hanum mengerling pada Mayra.
“Aku nggak mau, Num. Dia laki-laki jahat.” Nada suara Mayra penuh kebencian.
“Jahat-jahat, tetapi, kamu cinta kan?” Hanum lagi-lagi tergelak seraya cepat-cepat berlalu dari hadapan sahabatnya.
“Num, ternyata sekarang kamu jahat juga, ya, seperti Zidan.” Mayra bangkit dan mengejar Hanum yang telah berjalan meninggalkannya. Tiba-tiba Hanum berhenti dan berbalik.

“Eits, dosa mengatakan suami sendiri jahat. Durhaka itu namanya.” Hanum menggoyang-goyang jari telunjuknya di depan hidung Mayra.
“Ih, suami apaan kayak gitu, Num. Niat menikah untuk menyakiti. Niat menikah untuk berpisah.” Mayra berkata dengan hati perih.

Berdua mereka berjalan menyusuri jalan kampung. Senja perlahan mulai turun. Anak-anak masih terlihat bermain di halaman rumah. Lampu-lampu di teras rumah terlihat mulai menyala. Suara Muhammad Toha terdengar merdu dari corong masjid di ujung kampung. Sebentar lagi magrib akan segera tiba.

“Ra, nanti jika jodohmu masih panjang dengan Mas Zidan, tanyakan sama Pak Ustad, apakah pernikahan kalian perlu diperbaharui agar tidak menimbulkan dosa. Jika memang niat awal Zidan menikahimu tidak baik.”
“Siapa juga yang masih mau baikan sama dia, Num.” Mayra memalingkan muka. Hanum tersenyum.
“Kamu tahu, Ra. Cinta itu bisa mengalahkan segalanya. Kita lihat saja nanti.” Hanum menowel hidung mancung Mayra.
Mayra lagi-lagi mengerucutkan bibirnya. Nanum, Mayra tidak lagi menjawab. Pikirannya kini tertuju pada kedua orang tuanya. Bagaimana jika yang dikatakan Hanum tadi benar? Terjadi sesuatu pada orang tuanya?
Keduanya berhenti di depan rumah Mak Tuo.

“Num, makasih, ya. Besok insyaallah aku pulang ke Pekanbaru. Aku akan menyelesaikan masalahku dengan Zidan. Doakan aku bisa mendapatkan jalan terbaik untuk masalahku ini.” Mayra mengulurkan tangan pada Hanum. Hanum menerimanya. Sedetik kemudian mereka telah berpelukan. Ada haru yang menyeruak di senja yang mulai temaram.

“Ya, Ra. Jika masalahmu telah selesai, kembalilah lagi ke sini. Tetapi, aku berharap kamu kembali dengan suamimu.” Hanum menepuk pundak Mayra dengan lembut.
“Aku tidak tahu, Num. Biarlah Allah saja nanti yang memberikan jalan keluar terbaik untuk aku dan Zidan.”
“Alhamdulillah, tidak butuh waktu lama untuk membuat kamu menjadi baik dan sholeha. Selalu sandarkan masalah dan urusanmu pada Allah. Insyaallah kamu akan selamat dunia dan akhirat.”
“Insyaallah, Num. Doakan aku mampu melewati ujian ini dengan baik, ya, Num.”
“Amin. Aku yakin kamu bisa keluar sebagai pemenang.”

Keduanya berpegangan tangan. Mayra merasa sedih, baru juga bertemu dengan sahabatnya, esok sudah harus berpisah kembali.

“Num, simpan nomor telepon aku, ya. Besok kalau kamu ke Pekanbaru, jangan lupa hubungi aku.”
“Baik, Ra.” Hanum merogoh tasnya untuk mengambil ponsel.
“Masukkan nomormu, Ra.” Hanum menyerahkan ponselnya pada Mayra. Mayra menerima ponsel Hanum dan segera mengetikkan nomor teleponnya.
***

Sudah hampir sepuluh hari Pak Rais dirawat. Kondisi Pak Rais sudah mulai membaik. Tetapi, laki-laki paruh baya itu masih harus tetap berada di ruang ICU. Sebab kata dokter, Pak Rais masih memerlukan beberapa alat untuk membantu kesembuhannya.

Zidan selalu menunggui sang mertua dengan sabar. Laki-laki itu masih berganti sift dengan ibu mertua dan kedua adik iparnya. Siang ini, Zidan pamit pulang untuk istirahat. Karena hari libur, Zidan tiba-tiba ingin pulang ke rumah mertuanya. Kerinduannya pada Mayra benar-benar telah membuncah. Rasanya dengan pulang ke rumah istrinya itu dan tidur di kamar sang istri, kerinduan di dada akan sedikit terobati.

Apalagi Zidan benar-benar malas pulang ke rumah. Viona setiap hari selalu mencarinya. Padahal Zidan telah mencoba memberi pengertian pada gadis cantik itu, jika hubungan mereka telah berakhir. Zidan telah bicara jujur pada Viona, bahwa ia mencintai Mayra dan tidak akan berpisah dengan istrinya itu.

“Bu, bolehkah saya pulang ke rumah, Ibu?” Zidan bertanya dengan dada berdebar. Bu Diah mengangkat wajahnya dengan kaget. Untuk beberapa detik perempuan dengan hijab syari itu menatap menantunya dengan lekat. Namun, tidak berapa lama perempuan lima puluh tahun itu merogoh tas hitam di pangkuannya.

“Ini kunci rumah.” Bu Diah menyerahkan kunci pada Zidan. Zidan terpana. Tidak menyangka ibu mertuanya akan berbaik hati kepadanya.

“Makasih, Bu.” Zidan menerima kunci dari tangan Bu Diah dengan tangan gemetar.
“Ya.” Bu Diah menjawab singkat.
“Saya, pamit, Bu.” Zidan bangkit dari duduknya.
“Ya, istirahatlah di rumah.” Kali ini Bu Diah tersenyum tulus.
Hati Zidan langsung menghangat menerima senyum manis dari sang mertua.

“Ya, Bu. Makasih, Bu.” Zidan mengangguk sopan lalu segera berlalu dari hadapan Bu Diah. Bu Diah memandangi punggung menantunya yang berjalan menjauh. Menantunya laki-laki baik, Bu Diah bergumam dalam hati.

Sampai di rumah sang mertua, Zidan mengunci pintu dan segera menuju kamar Mayra. Entah mengapa, hatinya menjadi berdebar memasuki kamar istrinya itu. Terbayang kembali beberapa bulan lalu, ia memasuki kamar ini dengan dendam di dada. Terbayang beberapa bulan lalu, ia tidur satu ranjang dengan Mayra di kamar ini.

Zidan melangkah menuju meja belajar. Beberapa buah foto tersusun rapi di atasnya. Foto Mayra berseragam putih abu-abu dengan lima orang temannya, foto wisuda, foto keluarga, dan juga foto pernikahan mereka. Zidan menjangkau foto itu. Di dalam foto itu, mereka terlihat sangat serasi. Mayra tersenyum tipis, namun dengan senyum seperti itu, Mayra terlihat semakin cantik.

Zidan tersenyum dengan hati perih melihat foto tersebut. Ia laki-laki bodoh yang telah membunuh senyum indah sang istri. Zidan meletakkan foto itu kembali. Ya, Tuhan, ke mana ia harus mencari istrinya? Bagaimana ia akan pergi dalam kondisi mertuanya yang masih belum pulih.

Bapak mertuanya memang telah sadar sejak tiga hari lalu. Tetapi, kondisinya masih lemah. Karena itu, sang mertua belum dipindahkan dari ICU. Dokter mengatakan dalam dua hari ke depan, insyaallah Pak Rais sudah bisa dipindahkan ke ruang perawatan. Jika kondisi mertuanya telah membaik, Zidan akan pergi mencari Mayra. Rasanya ia tidak bisa hidup tenang sebelum menemukan istrinya itu dan mengungkapkan isi hatinya.
Namun, andai Mayra tidak bisa memaafkan, Zidan akan mencoba untuk iklas. Bukankah terkadang kita mendapatkan ganjaran dari apa yang telah kita perbuat?

Bersambung #8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER