Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 15 April 2022

Takdir Cinta Mayra #8

Cerita bersambung

Mayra menatap ke luar jendela. Senja benar-benar telah berganti malam. Air mata masih mengalir, membasahi pipi mulusnya. Setelah mengaktifkan ponsel, Mayra melihat ratusan panggilan tidak terjawab dari Zidan, Andini, Karin, dan juga ibunya, serta ribuan pesan di aplikasi whatsApp.
Pesan pertama yang dibaca Mayra adalah dari sang ibu.

“Ayah masuk rumah sakit, Nak. Pulanglah.”

Pesan singkat itu serasa menghantam dada Mayra. Ketakutan, kecemasan dan penyesalan menggedor ruang hatinya secara beruntun. Dengan berurai air mata, gadis itu langsung memasukkan pakaian dan barang-barangnya yang tidak seberapa ke dalam ransel. Ditemuinya Mak Tuo yang sedang mengaji di ruang tengah. Atan juga terlihat sedang khusyuk dengan mushabnya.
Dengan pipi yang basah, Mayra pamit untuk pulang ke Pekanbaru. Mak Tuo dan Atan terkejut mendengar permintaan Mayra yang begitu mendadak. Mak Tuo merengkuh tubuh Mayra dan menepuk-nepuk pundak gadis itu dengan lembut. Setelah sedikit tenang, Mayra pun menceritakan jika Ayahnya, Pak Rais, masuk rumah sakit.

“Aku akan mengantarmu ke Pekanbaru.” Atan tiba-tiba menyelesaikan bacaannya.
 
Laki-laki itu meletakkan mushabnya di atas lemari kayu. Di lemari itu tersusun puluhan buku-buku agama dan beberapa kitab suci AlQuran. Di lacinya, terlipat rapi beberapa lembar sajadah, sarung dan mukena.

“Tidak usah Atan, aku bisa pulang sendiri.” Mayra menolak keinginan Atan dengan tegas. Suaranya terdengar serak.
“Jika mau cepat sampai ke Pekanbaru, biar aku antar, May. Besok sehabis subuh, kita langsung berangkat. Malam ini aku akan ke rumah Pak Wali, aku akan sewa mobilnya untuk beberapa hari.” Atan melipat sarungnya dan melangkah meninggalkan ruang tengah.
“Nak, tak apa diantar Atan. Mak Tuo akan ikut menemani. Mak Tuo juga ingin membezuk Ayahmu.” Mak Tuo mengusap bahu Mayra dengan lembut.
 
Beberapa saat Mayra terpekur memikirkan ucapan Mak Tuo. Akhirnya Mayra mengangguk. Gadis ini merasa tidak enak jika harus menolak keinginan perempuan yang telah dianggapnya sebagai orang tua sendiri itu.

“Mari kita makan, setelah itu sholat isya. Kita harus cepat istirahat malam ini. Perjalanan ke Pekanbaru cukup jauh.” Mak Tuo bangkit dan meletakkan AlQuran di atas lemari.
Setelah melipat sarung dan mukena, perempuan paruh baya itu pun menuntun Mayra menuju meja makan.

“Jangan menangis lagi. Doakan saja yang baik-baik untuk Ayahmu. Insyaallah besok kita akan segera berjumpa dengan beliau.” Mak Tuo mendudukkan Mayra di kursi dan mengusap kepala gadis itu dengan penuh kasih sayang.
“Ya, Mak Tuo.” Mayra mengangguk dan menghapus air mata dengan ujung jilbabnya.

Mak Tuo menghidangkan asam pedas baung, goreng teri kentang serta tumis kacang panjang. Ma Tuo menyendokkan nasi untuk Mayra, meski Mayra mengatakan tidak lapar dan tidak ingin makan. Tetapi, perempuan yang sehari-harinya membuat ikan salai dan ikan asin itu, tidak menghiraukan penolakan Mayra.

“Makanlah meski sedikit.” Mak Tuo mengambil tempat di samping Mayra. Mayra masih diam. Pikirannya sudah berada di Pekanbaru. Gadis itu benar-benar menyesal. Pastilah ayahnya sakit karena kepergiannya yang tanpa kabar.

“Besok sampai di Pekanbaru, kamu tentu harus mengurus dan menjaga Ayahmu. Oleh sebab itu, kamu harus kuat. Tidak boleh lemah dan sakit.” Mak Tuo mengangsurkan asam pedas baung ke depan Mayra. 
 
Mayra merasa tidak enak melihat perhatian Mak Tuo yang begitu tulus kepadanya. Akhirnya, gadis itu mengambil sepotong ikan baung. Setelah mencuci tangan dan membaca basmallah, ia pun mulai makan.

“Assalammualaikum.” Atan mengucapkan salam dan masuk tanpa menunggu maknya membukakan pintu.
“Waalaikummusalam.” Mak Tuo menjawab dari meja makan.
 
Melihat lampu yang terang di ruang makan, Atan langsung melangkah menuju ke sana.

“Ayo, Nak. Makan sekalian.” Mak Tuo bangkit dan meletakkan piring di depan Atan berdiri.
“Ya, Mak.” Atan duduk dan langsung menyendok nasinya.
“Dapat mobilnya, Nak?” Mak Tuo menggeser lauk ke dekat Atan.
“Alhamdulillah, dapat, Mak.” Atan mengangguk.
“Alhamdulillah. Syukurlah, Nak. Habis makan dan sholat isya di mesjid, segeralah tidur. Besok kamu harus membawa mobil ke Pekanbaru.”
“Iya, Mak.” Atan kembali mengangguk.
“Lalu bagaimana dengan jadwal di Puskesmas?”
“Tadi Atan sudah minta izin sama Dokter Husni, Mak. Beliau nanti yang menggantikan jadwal Atan.”
“Sukurlah ada kemudahan.” Mak Tuo menarik napas lega.

Atan mengangkat wajahnya dan menatap Mayra dengan lekat. Hati laki-laki itu ikutan sedih melihat air mata yang masih membekas di pipi Mayra. Andai bisa, Atan ingin mengambil semua kesedihan gadis di depannya itu. Sementara Mayra hanya menunduk, berusaha menghabiskan nasi di piringnya. Meski nasi yang dimakannya tidak ada rasa sama sekali di lidahnya.
***

Zidan berdiri di depan pintu yang baru dibukakan oleh seorang sekretaris. Dalam jarak tiga meter di depannya, sahabat sekaligus musuh bebuyutannya terlihat sedang duduk menyandarkan punggung ke sandaran kursi kerjanya. Mata laki-laki di depan Zidan terlihat membara melihat kedatangan Zidan.

Zidan melangkah masuk meski tidak dipersilakan. Sementara sang sekretaris telah menghilang tanpa permisi.
Zidan mengentikan langkahnya tepat di depan meja Raka. Raka bangkit dan menatap Zidan dengan tajam.

“Aku minta maaf.” Zidan berucap dengan suara bergetar.
Sekuat tenaga laki-laki tampan itu mencoba membunuh ego dan rasa dendamnya.

“Sudah tidak ada gunanya lagi.” Raka menjawab dengan dingin.
“Aku akan mencari Mayra dan akan membawanya pulang. Jika dia memang mencintaimu, aku akan melepaskannya.”
 
Zidan menunduk, ada yang terasa perih di sudut hatinya. Mata laki-laki itu pun tiba-tiba terasa panas. Sementara Raka tersentak, ucapan Zidan serasa menghamtan dadanya. Kilatan amarah dan kebencian di mata Raka berangsur-angsur mulai memudar. Laki-laki dengan alis tebal itu memperhatikan Zidan dengan mata menyipit. Raka bisa melihat jika penampilan Zidan terlihat sangat kacau.

Ada rasa perih juga di sudut hati Raka. Cinta dan dendam telah menghancurkan mereka semua. Perlahan hati Raka mulai melunak. Ada rasa kasihan di sudut hatinya melihat kondisi Zidan saat ini. Bagaimanapun juga, dahulu mereka berdua adalah sahabat baik. Mereka pernah begitu dekat.

“Tiga bulan kamu bersama dengannya, ternyata kamu tidak juga bisa memahami dia. Dia mencintaimu. Carilah dan bahagiakan dia.” Suara Raka terdengar parau.
 
Laki-laki itu berjalan mengitari meja dan berlalu meninggalkan ruangan. Meninggalkan Zidan yang masih berdiri terpaku di depan meja kerjanya.
Zidan bergeming. Mayra mencintainya? Mengapa Raka bisa mengatakan hal itu? Tetapi, andai itu benar, toh semuanya telah hancur berantakan. Tidak ada lagi yang tersisa. Di hati Mayra saat ini pastilah hanya kebencian. Dua tetes bening mengalir membasahi rahang kokoh Zidan. Beberapa waktu belakangan Zidan merasa benar-benar telah menjadi laki-laki lemah. Entah sudah berapa kali ia menangis. Menangisi Mayra.

Raka pun sama. Memasuki lift, mata laki-laki itu mengembun. Dihapusnya dengan kasar. Kini Raka harus mengiklaskan Mayra dan Zidan bersama. Karena Raka bisa melihat keduanya telah sama-sama mencinta. Tangisan Mayra dan luka di mata gadis itu beberapa waktu lalu di ruangan kerja Zidan, telah membuktikan jika gadis itu sudah mencintai Zidan dengan cukup dalam.

Lalu sekarang, penampilan Zidan yang terlihat sangat kacau, juga menjadi bukti jika laki-laki itu telah mencintai Mayra. Lalu apalagi yang bisa dilakukan Raka selain mengiklaskan cintanya? Mengiklaskan Mayra. Toh cinta sejati adalah rasa cinta yang tanpa pamrih. Rasa cinta yang membuat hati merasakan bahagia jika melihat orang yang kita cintai juga bahagia.

Zidan berbalik dan meninggalkan ruangan kerja Raka. Laki-laki yang terlihat amat kusut itu, tidak tahu lagi harus melakukan apa. Satu sisi hatinya ingin memperjuangkan cintanya pada Mayra. Namun sisi hatinya yang lain ingin mengiklaskan Mayra untuk meraih kebahagiaannya.

Hari ini, Pak Rais akan dipindahkan ke ruang perawatan. Kondisi mertuanya itu sudah mulai membaik. Zidan merasa sudah saatnya untuk mencari Mayra. Laki-laki itu akan meminta alamat saudara-saudara sang mertua yang ada di Riau maupun yang ada di Sumatera Barat. Ia akan cuti untuk satu minggu ke depan.

Zidan meninggalkan ruangan Raka. Laki-laki itu berjalan ke parkiran dan langsung menuju rumah sakit. Zidan akan mengutarakan niatnya sekaligus berpamitan pada sang mertua. Esok pagi, ia akan segera menyusuri satu demi satu saudara-saudara mertuanya.

Sampai di ruangan ICU, perawat yang berjaga mengatakan jika Pak Rais telah dipindahkan ke ruang Aster, 502. Zidan pun berbalik dan masuk kembali ke dalam lift.

Setelah bertanya kepada perawat yang bertugas, Zidan akhirnya sampai di depan kamar sang mertua. Zidan membuka pintu kamar dengan pelan. Begitu Zidan berdiri di ambang pintu, semua mata memandang ke arahnya. Zidan yang sudah akan melangkah masuk, tiba-tiba terpaku. Tubuh laki-laki itu membeku. Mayra sedang berdiri di samping ranjang sang ayah dan juga sedang memandang ke arahnya. Beberapa detik tatapan mata mereka bertemu. Jantung Zidan berdegub kencang.

Mayra buru-buru mengalihkan tatapannya. Perempuan muda itu pura-pura sibuk membetulkan selimut sang ayah. Zidan meneguk ludah. Tiba-tiba kerongkongannya terasa sakit. laki-laki bercelana hitam dan berkemeja biru muda itu melangkah pelan memasuki kamar yang tiba-tiba menjadi hening dan senyap.

“Mayra, salam dulu dengan suamimu.” Tiba-tiba suara Bu Diah memecahkan keheningan.
 
Mayra mengangkat wajahnya dengan kaget. Lalu Mayra mengalihkan tatapan matanya pada sang ayah. Ayahnya terlihat sedang menatapnya dengan tatapan kosong. Mayra merasa tidak tega. Ayahnya seperti ini pastilah karena ulah dirinya. Akhirnya Mayra beringsut dan melangkah pelan mendekati Zidan yang telah sampai di ujung ranjang.

“Mas.” Mayra mengulurkan tangan.
 
Zidan menerima uluran tangan istrinya dengan tangan gemetar. Detak jantung laki-laki itu semakin kencang.

“Mayra …” suara Zidan terdengar seperti bisikan.
 
Mayra mencium tangan Zidan dengan takzim. Meski sebenarnya hati perempuan itu enggan untuk melakukannya. Zidan merasakan hangat bibir Mayra di punggung tangannya. Betapa Zidan ingin merengkuh tubuh di depannya ini. Memeluknya dan mendekapnya di dada. Tetapi, Zidan tidak memiliki keberanian. Hanya matanya yang terasa kembali mengabur.

Sungguh, laki-laki ini serasa bermimpi melihat istrinya berada di sini, dihadapannya. Mata Zidan masih lekat memandang sang istri. Rindu … betapa ia sangat rindu. Tetapi, Mayra terlihat hanya acuh, tidak memandang sedikitpun kepadanya.

“Oh, ini ternyata menantu Mak Tuo.” Mak Tuo berjalan mendekati Zidan dan mengulurkan tangan pada laki-laki tampan itu. Zidan membungkukkan badan dan menerima uluran tangan Mak Tuo dengan sopan.

“Oh, iya, kenalkan ini anak Mak Tuo, Sultan.” Mak Tuo menarik tangan anaknya agar mendekat.
 
Zidan dan Atan bertatapan untuk beberapa saat. Tidak ada senyum di bibir mereka. Lalu keduanya sama-sama mengulurkan tangan dan saling memperkenalkan diri.

“Mak Tuo ini kakak angkat Ibu, Nak Zidan. Dulu Ayah dan Ibu tinggal di Sungai Apit, jarak beberapa rumah dari rumah Mak Tuo. Dan Atan ini adalah teman masa kecil Mayra sewaktu tinggal di sana.” Bu Diah menerangkan siapa Mak Tuo dan Atan pada Zidan.
“Oh, iya, Bu.” Zidan mengangguk sopan.
“Dan ternyata, kemarin itu, Mayra pergi mengunjungi Mak Tuonya. Barangkali Mayra merasa rindu dengan kampung tempat ia dilahirkan.” Bu Diah mencoba memberikan pengertian pada Zidan.
Entah mengapa, Bu Diah mulai menyayangi Zidan. Perempuan paruh baya itu tidak ingin sang menantu salah paham dengan kepergian Mayra.

“Iya, Bu, tidak apa. Yang penting sekarang Mayra telah pulang dengan selamat.” Zidan tersenyum dan merengkuh bahu Mayra dengan lembut.
 
Meski dalam hati ada rasa tidak suka mengetahui Mayra pergi ke rumah orang yang tidak dikenal Zidan. Dan di rumah itu ada laki-laki lumayan tampan seperti Atan. Laki-laki yang menurut Zidan sangat layak untuk disukai oleh kaum wanita.
Tubuh Mayra mendadak terasa kaku menerima rangkulan Zidan di bahunya. Namun, untuk melepaskan rangkulan tangan Zidan, Mayra juga tidak punya keberanian. Berpasang-pasang mata sedang menatap dan memperhatikan mereka.

Atan memalingkan wajah. Hatinya sakit melihat kemesraan perempuan yang dicintainya dengan sang suami. Ada rasa tidak rela di dasar hati Atan jika mengingat Mayra telah memiliki suami.
Andini dan Karin senyum-senyum melihat wajah merah sang kakak. Keduanya mengedipkan mata menggoda Mayra.

“Mayra …” tiba-tiba terdengar suara lirih Pak Rais memanggil anak gadisnya.
“Ayah!” Mayra mendekat dan memegang tangan ayahnya dan menggenggamnya dengan erat.
“Maafkan Mayra, ya, Ayah.” Mayra menunduk dan mencium kening sang ayah dengan lembut.
 
Entah sudah berapa kali Mayra meminta maaf pada sang ayah sejak kedatangannya tadi.
Pak Rais mengangguk. Dua tetes bening mengambang di sudut-sudut matanya.

“Jangan pergi lagi.” Terbata Pak Rais berucap pada Mayra.
“Iya, Ayah. Mayra janji tidak akan pernah meninggalkan ayah lagi.” Mayra kembali terisak.
“Zidan …” Pak Rais memanggil Zidan dengan suara yang hampir tidak terdengar.
 
Zidan mendekat dengan jantung berdebar. Laki-laki itu berdiri tepat di samping Mayra.

“Katakan jika kamu sudah tidak menginginkan Mayra.” Pak Rais berkata dengan napas tersengal.
 
Laki-laki 56 tahun itu mencoba mengerahkan segenap tenaganya untuk bisa mengucapkan kalimat sepanjang itu. Namun, akibatnya laki-laki itu terlihat menjadi kesulitan untuk bernapas.

“Pak, saya …”
“Pak, sebaiknya Bapak istirahat dulu. Bapak belum boleh banyak bicara.” Atan tiba-tiba telah berada di samping kepala Pak Rais.
 
Dokter muda itu memotong ucapan Zidan karena melihat kondisi Pak Rais yang cukup mengkhawatirkan. Atan memasukkan kembali selang oksigen yang ternyata telah dilepaskan oleh Ayah Mayra itu. Andini, Karin dan Bu Diah ikut mendekat.

“Sudah, Yah. Jangan pikirkan apa-apa dulu. Ayah harus banyak istirahat. Mayra dan Zidan baik-baik saja.” Bu Diah membelai tangan suaminya dengan lembut.
 
Pak Rais mencoba mencerna ucapan sang istri. Laki-laki yang biasanya selalu terlihat tegas dan keras itu mencoba menenangkan hati dan pikirannya. Istrinya benar, ia tidak boleh emosi dan terbawa amarah lagi. Sudah cukup ia merasakan dinginnya ruang ICU. Sudah cukup ia merepotkan istri dan anak-anaknya selama hampir dua minggu ini. Pak Rais memejamkan mata dan mengucapkan istigfar berulang kali. Rasa sesak di dadanya mulai berkurang. Ditambah lagi dengan bantuan pernapasan dari selang oksigen.

Zidan kembali menegakkan punggung. Kata-kata yang akan diucapkannya tadi masih menggantung di tenggorokan. Padahal Zidan ingin mengungkapkan isi hatinya di hadapan semua orang. Zidan ingin mengungkapkan perasaannya di hadapan Mayra, di hadapan kedua mertuanya, dan yang terpenting di hadapan laki-laki di depannya ini. Zidan bisa melihat jika laki-laki muda itu menyimpan rasa pada Mayra. Dan Zidan tidak akan membiarkan itu terjadi.

Sementara Mayra hanya diam membeku. Rasanya masih sulit bagi gadis itu untuk bersikap baik dan manis pada Zidan. Meski Mayra sadar, sebagai seorang istri ia tidak boleh bersikap seperti itu kepada suaminya. Apalagi melihat kondisi suaminya yang nampak sangat kacau. Andini dan Karin tadi sempat bercerita bahwa Zidan benar-benar mengurus ayah mereka dengan baik.

Hati Mayra berada di persimpangan. Antara rasa sakit yang masih juga belum sembuh dan rasa kasihan melihat kondisi Zidan yang sangat menyedihkan. Tetapi, Mayra akan menyerahkan seluruh urusan hidupnya pada Yang Maha Kuasa. Biarlah Alloh yang akan memberikan ketetapan hati kepadanya.

--- TAMAT ---


NB penulis : Terima kasih untuk seluruh pembaca yang telah mengikuti cerita ini dari awal sampai kepada episode 15 ini. InsyaAlloh kelanjutan dari kisah Mayra bisa dibaca di novel “Takdir Cinta Mayra”.

1 komentar:

  1. episode nya sampe 8 tapi ditu
    lisan bawah yg NB itu kok sampe 15?

    BalasHapus

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER