Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 01 April 2022

Binar #3

Cerita bersambung

[POV-Binar]

Aku berlari menyusuri koridor rumah sakit. Perasaan teramat lega dan bahagia. Tersungging bias senyum di bibirku. Akhirnya Intan bangun.

"Intan!" teriakku setelah membuka pintu. Segera suster Anjar menoleh bersamaan dengan adikku yang masih terbaring.
"Intaaaan! Akhirnya kamu bangun." Setelah mendekat, tubuhku menghambur di atasnya.
Kupeluk erat tubuh lemah itu penuh haru dan bahagia.

"Terima kasih, Intan. Kamu sudah mau bangun. Mbak sangat rindu." Tubuhku masih menempel di atasnya, tak terasa air mata bahagia terus berderai di pipi.

"Mbak, maafin Intan, ya," lirihnya.
"Maaf untuk apa, Sayang? Mbak yang harus minta maaf karena tidak bisa menjaga kamu dengan baik."
"Mbak Binar. Intan rindu, sangat rindu."
Adikku turut menangis. Perasaan campur aduk. Sedih, senang, haru, menjadi partikel sendu yang kuharap akan mempererat tali darah antara kami.
Aku biarkan dia menangis sesaat, setelahnya melepaskan pelukan. Kuhapus mata basah di wajah pucatnya.
 
"Intan, percayalah! Setiap ujian selalu ada hikmah di baliknya. Temani Mbak Binar merajut sabar untuk menghadapi kehidupan ini. Percayalah, dengan bersama, kita akan kuat. Yaah," bujukku lirih.

Kulihat bulir bening makin deras mengalir dari netranya. Dia mengangguk disertai senyum tipis di bibir mungil itu. Adikku, Intan, aku sangat menyayangimu.

"Suster, terima kasih telah menjaga adik saya," ucapku kepada suster Anjar yang berdiri di sebelahku.
"Sama-sama Nak Binar. Ini sudah menjadi kewajiban kami untuk menjaga pasien," tuturnya.

Aku tersenyum, menatap raut wajahnya yang terlihat parau memandang kami. Mungkin rasa haru turut bergumul di hatinya usai menyaksikan kami barusan.

"Lalu, bagaimana keadaan Adik saya sekarang, Sus? Kapan dia boleh pulang?"
"Sabar dulu, dia baru saja siuman. Masih butuh waktu untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Kita tunggu pemeriksaan lebih lanjut, nanti dokter yang akan memutuskan kapan adikmu diperbolehkan pulang," jelasnya.
"Baiklah, Sus."
"Sebaiknya, biarkan Intan istirahat dulu. Dia baru sadarkan diri, kondisi tubuh dan organ dalamnya butuh beradaptasi setelah tidur panjang," saran Suster Anjar.

Ya, sebaiknya memang begitu. Setidaknya ini sudah cukup melegakan, akhirnya Intan telah siuman. Setelah melepas rindu dan berbincang beberapa menit, suster Anjar memintaku untuk ke luar dari ruangan. Intan butuh beristirahat dengan maksimal, sembari menunggu dokter datang untuk memeriksanya.

"Ya sudah, kalau begitu saya permisi dulu, Binar," pamit Suster Anjar yang berjalan beriringan denganku keluar dari ruangan.
"Iya Sus, silakan."

Suara-suara bising khas rumah sakit terdengar lebih ramai dari biasanya. Kususuri beberapa ruangan pasien lain. Banyak sanak saudara yang silih berganti berdatangan untuk menjenguk. Tiba-tiba ada yang menyesakkan dada, kurasa aku membutuhkan udara yang lebih segar di sekitar sini.
Aku mengayunkan langkah menuju taman yang masih berada di rumah sakit. Lantas mendaratkan tubuh di atas kursi kayu yang sejajar dengan beberapa tanaman bunga di sekelilingnya. Kutarik napas panjang, untuk mengisi rongga dada yang masih terasa sempit.

Pikiranku melayang, mengingat semua peristiwa yang telah kualami. Juga kejadian yang baru saja terjadi bersama Intan. Lalu tersenyum getir, melihat diri sendiri.
Dalam pikiranku, berkutat berbagai pertanyaan. Kapan Intan bisa pulang? Ke mana aku akan membawa dia pulang? Rumah? Memangnya aku punya rumah? Apalagi yang bisa kulakukan sekarang? Sepeser pun tak ada uang. Sedangkan sekarang aku telah terikat dengan lelaki mes*m itu. Bekerja tanpa gaji, bukan ... bukan tanpa gaji. Jika dipikir balik, sebenarnya aku sudah beruntung lelaki itu mau mengubah kesepakatan untuk perjanjian bodoh itu. Meski entah sampai kapan aku harus menjadi budaknya untuk melunasi hutang. Apalagi yang bisa aku ratapi, inilah hidup yang harus kujalani, maju ataupun berhenti semua sama saja. Pedih.

"Nak Binar." Terdengar panggilan lirih dari suara yang kukenal.
"Suster Anjar," balasku setelah menoleh ke arahnya.
"Boleh saya duduk di sampingmu?" pintanya.
"Tentu saja, Sus, silakan." Aku mempersilakan dia duduk seraya menggeser tubuh sedikit menepi.

Wanita anggun itu terlihat lebih tua beberapa tahun dari Ibu. Dia tersenyum, setelah tubuhnya duduk di sampingku. Posisinya miring, lebih condong ke arahku yang duduk lurus ke arah depan.

"Kamu ngapain di sini?" tanyanya lembut.
"Nyari udara segar," balasku seraya tersenyum ramah menolehnya, lalu kembali menatap ke depan.

Hening sesaat.

"Nak Binar, kalau kamu tidak keberatan, ceritalah! Ungkapkan semua keluh kesahmu. Setidaknya itu akan mengurangi beban yang tertopang di bahumu," tukasnya.

Suaranya lembut, bahkan mampu menembus ke sanubari yang terdalam. Membuat tubuh terasa kaku seketika, belum pernah aku di perlakukan seperti ini oleh seseorang. Bahkan lidah ini kelu tak mampu berucap. Apa lagi yang bisa aku katakan? Sedang dada lebih sibuk dengan gerakan naik turunnya.

"Saya tahu kamu kuat, kamu perempuan hebat. Namun ... adakalanya kita membutuhkan seseorang untuk berbagi, entah itu, senang, susah, ataupun sedih," tuturnya.

Tangannya mulai bergerak mengelus puncak kepalaku.
Membuatku segera menoleh ke arahnya. Ternyata masih ada seseorang selain almarhum Nenek yang akan membelai rambut ini dengan lembut. Aku terus menatap intens wajahnya, tiba-tiba bahu bergetar. Seolah batangan rindu memukul dengan hebat. Sakit.
Wanita itu ... wanita berparas teduh itu menatapku sendu. Ada pancaran kasih sayang yang sekian lama tak pernah kudapatkan.

"Binar." Kembali suara merdu itu terdengar.
 
Tangannya masih sibuk membelai rambutku. Matanya mulai berkaca-kaca menatapku. Entah apa yang tiba-tiba terjadi, wajah wanita itu seakan menjelma menjadi sosok Ibu yang kurindu. Mataku menjadi panas, ada sesuatu yang mendidih di dalam sana. Mungkinkah aku tak sehebat dulu?

"Suster ...!" Aku menghambur di atas pangkuannya.
 
Tangisku pecah tak terkendali. Tak peduli orang-orang di sekitar. Kubenamkan wajah di atas pangkuannya. Lalu menangis sekuat yang kubisa.
Dadaku sesak menahan nyeri yang luar biasa. Biarlah ... biarlah kali ini saja aku kalah melawan arus air mata. Tidak selamanya menangis merupakan bentuk kelemahan, bukan?

Setelah beberapa saat, Suster Anjar masih membiarkanku terseguk dalam tangis di pangkuannya. Tangannya tak berhenti dari usapan lembut di kepalaku, sesekali menepuk ringan bagian bahu.
Cukup lama, hingga tangisku mulai melemah. Aku mencoba bangkit, setelah berusaha menetralkan kembali kondisiku.

"Ma-maafkan saya, Suster," ucapku tanpa menoleh. Wajahku masih menunduk tak berani menatapnya.
"Binar ...." Setelah duduk sempurna, wanita itu meraih jemariku, mengenggamnya lembut.
"Sekarang kamu mau cerita sama saya?" bisiknya lembut. Aku pun mengangguk.

Mata basahnya antusias menatapku, dan akhirnya Suster Anjarlah orang pertama yang mendengar semua cerita memilukan dalam hidupku. Salah, bukan semuanya. Masih ada dua hal yang aku tutupi, tentang Ibu dan tentang aku yang pernah menjual diri. Yang dia tahu, aku harus bekerja tanpa gaji untuk melunasi hutang-hutang.

"Kalian tinggal saja di rumahku, ya," pintanya. Aku segera menoleh.
"Ti-tidak, Suster. Tidak usah. Nanti biar saya usahakan mengekos untuk tinggal sementara waktu. Atau saya bisa bilang sama bos agar memberi gaji separuh tiap bulannya," tukasku.
"Akan tetapi kamu 'kan juga butuh uang untuk keperluan lain," paparnya.
"Nggak apa-apa, insyaAllah cukup," balasku.
"Ya sudah, sekarang anggap saja kamu membantuku gimana? Saya tinggal sendirian di rumah. Kadang butuh seseorang untuk menemani. Terlebih dari dulu saya ingin sekali memiliki anak perempuan. Rumahnya memang tidak besar, tapi insyaAlloh cukup untuk kita bertiga," terangnya dengan tatapan kosong, seolah mengingat sesuatu yang tidak kutahu.

Sebenarnya ingin sekali bertanya kenapa tinggal sendirian, untuk umuran seperti beliau seharusnya sudah menikah.

"Memangnya keluarga Suster di mana? Kenapa tinggal sendiri?" Akhirnya aku beranikan diri untuk bertnya, meski sedikit ragu. Suster Anjar tersenyum menatapku, ada guratan kesedihan meski sekuat mungkin dia tutupi.

"Saya sudah lama bercerai, kami memiliki anak lelaki, mungkin usianya sekitar tiga tahun lebih tua dari kamu. Sekarang dia sedang melanjutkan studinya di luar negri. Hanya hari-hari tertentu dia datang mengunjungiku, karena dia lebih sering berada di rumah papanya," ucapnya.

Penuturan barusan membuatku bungkam. Ada perasaan bersalah karena sudah membuat Suster Anjar menyibak kembali sesuatu yang mungkin menjadi luka buatnya.

"Bagaimana Binar, saya akan bahagia sekali jika kalian bersedia tinggal bersamaku. Selain itu, kamu 'kan juga harus kerja. Saya bisa menjaga Intan ketika di rumah," pungkasnya. Remasan tangannya semakin kencang di tanganku.

"Tapi kami akan merepotkan," sanggahku.
"Tidak, justru saya akan merasa senang akhirnya tidak lagi kesepian."

Terlihat sorot mata penuh harap di wajahnya. Setelah dipikir kembali, kurasa inilah pilihan terbaik. Namun ....

"Lalu, dengan cara apa saya membalas kebaikan Suster?" tanyaku sendu. Wanita itu tersenyum dan kembali membelai rambutku.
"Cukup panggil saya 'Ibu' itu sudah lebih dari cukup. Yaa ... Ibu Anjar." Tercipta kembali senyum merekah di wajahnya, manis, matanya penuh pancaran kebahagiaan memandangku.

Aku menelan ludah. Perasaan yang sulit kujelaskan mulai merasuk.

==========

[POV-Rayhan]

"Honey ... kita jadi 'kan makan siang di luar?" Suara Soraya menyambut kedatanganku di ruangan. Dia berjalan medekat lalu bergelayut manja di lengan seperti biasa.

Aku baru ingat kalau kemarin menyanggupi asal permintaannya untuk makan siang bersama, sekaligus beli tas incarannya.
 
"Ah ... siang ini, ya?"
"Iya, Hon. Kemarin 'kan kamu janji siang ini mau pergi sama aku. Kenapa kamu siang sekali ke kantornya? Aku sudah menunggu lama." Aya mencebik.
"Kemarin aku lupa kalau siang ini ada janji meeting sekaligus makan siang dengan klien. Kita tunda makan siang bersama, ya?"
"Bagaimana bisa?" pekiknya, tangannya berganti ke leher dan memaksaku berhadapan, "atau ... aku temani kamu meeting lalu kita jalan. Bagaimana?" Senyum centil menghiasi wajahnya.

Aku mengendurkan pelukannya. Setelah terlepas, duduk dan menyesap kopi yang terhidang di meja. Seharusnya hari ini Binar yang bertugas menyiapkan kopi untukku. Namun, terpaksa dia absen di hari pertama bekerja.

"Hon ... kok malah melamun, sih?" Aya menepuk lenganku.
"Tidak bisa."
"Ish ... kok kamu ingkar janji, sih? Honey ... aku tuh kangen jalan bareng kamu. Ayolah ...."

Aku menggeleng. Aya memang sukanya memaksa. Apa pun harus sesuai keinginan dia. Menyebalkan!
Setelah bujuk rayu darinya, dan penolakan berulang dariku, akhirnya dia menyerah dengan muka ditekuk. Biar saja. Aku tak peduli. Bukan juga apa-apanya, tapi suka memaksakan kehendak.

Bekerja sebagai CEO perusahaan besar menuntutku harus professional. Urusan kantor tetap yang utama. Sedangkan wanita sebagai hiburan. Namun jika dia menyebalkan seperti Aya, tentulah itu sangat memuakkan. Hanya saja perempuan itu sudah kebal dengan segala penolakan dariku.

Berbeda dengan Binar. Gadis itu punya kekuatan untuk bisa menolakku. Sekuat apa pun aku berusaha melemahkannya, dia tetap teguh pada pendirian. Gadis yang unik memang, tapi sepertinya dia menyimpan banyak rahasia dalam hidup. Ck! Kenapa aku memikirkan gadis keras kepala itu? Lebih baik fokus bekerja.
***

Pulang ke rumah saat hari mulai gelap. Biasanya larut malam baru pulang, karena sering langsung ke club untuk sekedar melepas penat. Bu Dilah menyambutku seperti biasa.

"Di mana Binar?" tanyaku saat tak kudapati sosoknya.
"Bukankah tadi pagi pergi dengan Tuan ke kantor?" Pertanyaanku tidak mendapat jawaban, tapi justru mendapat pertanyaan balik.

Aku mengangkat sebelah alis.
"Jadi dia belum pulang? Gadis itu--" Belum sempat aku melanjutkan kalimat, sebuah suara menarik perhatian kami.

"Maaf ... aku baru kembali." Binar berdiri di ambang pintu.
"Ke mana saja kamu, baru pulang?" Aku menghardiknya agar dia tidak seenaknya saja bertingkah denganku.
"Kamu 'kan tadi mengizinkanku libur kerja. Tentu saja seharian aku di rumah sakit menjaga Intan." 
Gaya bahasanya tetap angkuh walau statusnya hanya seorang budak.

"Aku memberimu izin bukan berarti seenaknya saja memanfaatkan untuk hal yang tidak penting!" Tidak mau kalah darinya, kunaikkan intonasi suara.
"Aku sudah bilang kalau menjaga adik seharian di rumah sakit. Asal kamu tahu bahwa adikku adalah orang terpenting di dalam hidup."

Aku mendekatinya. Tatapannya tajam tanpa rasa takut.
"Jam tiga sore aku melihatmu di pinggir jalan. Tersenyum menatap buket bunga yang kau pegang."

Binar terlihat terkejut dengan penuturanku. Seketika tatapan tajamnya menggendur. Mau membohongiku rupanya. Bilang menjaga adiknya di rumah sakit, tapi malah pacaran di luar.

"Itu ... itu bunga untuk Intan. Seseorang memintaku untuk membelikannya bunga agar hatinya senang."
"Seseorang?"
"Yah. Dia ...."
"Dia?"

Tubuhku memepetnya sampai ke daun pintu. Aku bisa merasakan deru napasnya. Matanya tak berani menatapku.

"Dia suster yang aku mintai tolong menjaga Intan saat aku tidak di sana," lirihnya lemah.

Aku suka posisi seperti ini. Kedua lenganku mengurungnya. Binar ada dalam kekuasaanku.

"Kau yakin?"
"Iya."

Sesekali Binar menatapku, lalu membuang muka. Napasnya terasa lebih berat. Sama sepertiku.

"Aku tak percaya."

Kuangkat dagunya agar pandangan kami bertemu. Ternyata dia menatapku tajam kembali. Kedua tangannya menahanku agar tidak semakin mendekat. Bibir itu, walau tanpa lipstik, terlihat begitu menggoda.

"A-aku berkata ju-jur."

Pers*tan dengan alasan yang dia utarakan. Aku tak peduli. Yang jelas, bibir itu, ingin sekali aku mencecapnya. Gadis ini seperti punya magnet yang bisa menarikku. Semakin dekat wajah ini tuk menyentuhnya.

"Tuan Reyhan." Suara teguran menjadi celah bagi Binar untuk lepas dari kungkunganku.

Aku berbalik. Bu Dilah. Aku lupa kalau masih ada orang di sana. Si*l!

"Binar, siapkan air hangat untukku mandi. Sekarang!" Aku berjalan lurus menuju kamar tanpa menoleh. Kudengar lirih suara Binar mengucapkan terima kasih pada Bu Dilah.

Tak berapa lama Binar masuk ke kamarku.

"Permisi, aku mau menyiapkan air hangat. Kau tetap di situ! Jangan sampai berulah lagi. Lelaki mesum!" Binar memberi ultimatum. Aku yang sedang duduk di kasur, tersenyum miring melihatnya.

"Oke. Biasanya teman wanitaku akan memberi julukan lelaki tampan, macho, seksi, dan hot. Namun julukan yang kau beri sedikit berbeda. Tak masalah. Aku suka."

Dia tak menanggapi, malah ngeluyur masuk kamar mandi. "Lelaki mesum." Aku tertawa mengingatnya.

"Airnya sudah siap." Dia ke luar dari kamar mandi setelah menyiapkan apa yang kusuruh.

Gadis bertubuh mungil itu hendak ke luar kamar, tapi aku cegah.
"Tunggu!" aku bangkit dari kasur, lalu menghampirinya. Gadis itu terlihat waspada setiap kali kudekati. Mungkin dia takut aku akan menciumnya seperti tadi. Lucu sekali.

Aku berdiri di depannya dengan jarak satu langkah.
 
"Masakkan aku menu untuk makan malam. Steak daging saus barbeque."
"Hah?" Dia terkejut.
"Kenapa? Kau tidak bisa?"
"A-aku ...."
"Tanyakan pada Bu Dilah resepnya."
"Oh, baiklah." Setelah mengatakan itu, dia tidak segera melangkah. Seperti ada yang mau diucapkan.
"Kenapa masih di sini? Mau menemaniku mandi?"
"Ck! Aku permisi."
"Binar ...."
"Yah?"
"Bibirmu ... cukup menggoda."

Seketika dia menutup bibirnya dengan telapak tangan kiri lalu tangan kanannya mengepal ke arahku. 
 
"Awas saja kalau kau berani macam-macam denganku!"

Ancamannya terdengar lucu. Aku terbahak melihat tingkah gadis itu. Benar-benar sebuah hiburan yang mengasyikkan.
***

Sebuah steak daging saus barbeque dengan pelengkapnya sudah tersaji di meja makan. Kelihatannya cukup menarik. Entah rasanya.

"Kau yang membuatnya?"
"Iya, dibantu Bu Dilah tentunya. Ini steak pertama buatanku. Semoga kau suka."
"Benar, Bu Dilah?"
"Iya, Tuan. Saya yang memberi arahan, lalu dia yang mengerjakannya."

Aku mulai memotong bagian daging, lalu mencocolkan pada saus. Mengunyahnya beberapa saat.

"Coba kau rasakan!"

Binar terlihat tegang, melangkah mendekat.

"Tidak enak?" tanyanya ragu.
Aku hanya mengedikkan bahu.

"Cobalah!"

Dengan ragu, dia mengiris potongan daging lalu mencocolkan saus kemudian mengunyahnya. 
 
"Rasanya enak. Tadi aku sudah menyicipinya sebelum disajikan."
"Dagingnya terlalu matang. Teksturnya menjadi terlalu lembek untuk ukuran steak. Jadi tidak terasa makan steak kalau seperti ini. Ck! Tak becus!" Aku memajukan piring. Tak bernafsu makan lagi.
"I-ini steak pertama yang kumasak. Jadi ... wajar 'kan kalau ada kekurangan. Aku juga bukan ahli masak, sehingga butuh proses agar masakanku terasa enak dan pas."
"Kau ini ... sudah salah, masih saja beralibi!"
"Maaf," lirihnya, "apa harus membuat ulang?"
"Tak perlu. Ikut aku makan di luar."
"Ta-tapi ... ini sayang kalau dibuang, Rey."
"Ya sudah makan saja kalau kau mau!"
"Ck!"
"Aku tunggu di mobil. Cepat bersiap!"

Masakannya memang tidak buruk, hanya saja selera lidahku memang harus sempurna. Kalau aku langsung memujinya, bisa jadi gadis itu akan besar kepala. Jangan dikira mudah menjadi pelayan seorang Reyhan Orlando.

Sesaat menunggu di mobil, akhirnya dia menghampiri dengan muka menyebalkan. Mungkin kesal karena masakannya kutelantarkan. Aku tak peduli. Mobil melaju membelah jalanan malam. Semakin malam, kota ini bukannya semakin sepi, justru bertambah ramai.
Binar duduk mematung di kursi samping. Beberapa kali sempat menoleh, tapi urung untuk mengucapkan sesuatu.

"Reyhan."
"Hm?"
"Bolehkah aku bicara?"
"Apa?"
"Suster Anjar, perawat yang menjaga adikku mengajak kami tinggal di rumahnya."
"Lalu?"
"Bolehkah aku tinggal bersama mereka? Pada jam kerja, aku akan tetap bekerja untukmu. Namun, malam hari, aku ingin tinggal bersama mereka."

Aku tak menyahuti. Enak saja mengajukan penawaran lagi. Siapa bilang kerja menjadi pelayanku ada jam kerjanya?

"Rey ... kamu mendengarku, 'kan?"
Aku mengangguk tanpa menoleh sekalipun. "Jadi ... boleh?" tanyanya lirih.
"TIDAK!"
 
Dia sepertinya melotot menatapku.
 
"Aku akan tetap bekerja, Rey. Aku janji tidak akan kabur juga. Lagian KTP-ku sudah kau pegang. Tak mungkin aku pergi."
"TIDAK BOLEH!"
"Rey ...."
"Ini perintah!"
"Ck! Kau memang tak punya adik. Jadi tidak bisa merasakan bagaimana hidup terpisah dengan adik yang kita sayangi."

Mendengar kalimat yang diucapkannya, membuat emosiku naik. Aku menepikan mobil di bahu jalan. Mematikan mesin, lalu menatapnya tajam.

"Kau tak perlu mengajariku arti keluarga. Aku tidak tertarik. Yang jelas, kau tidak boleh tinggal bersama mereka karena menjadi budakku tidak mengenal jam kerja!"

Dia hendak mengucapkan sesuatu, tapi urung. Bersedekap, menatapku tajam lalu mendengkus kesal. Perempuan selalu begitu apabila permintaannya tidak dipenuhi. Masa bodoh!
Setelah mendapat penolakan, Binar membisu. Mungkin merutuki keputusanku yang tidak berpihak
padanya.
Mobil berhenti di sebuah kafe langgananku. Binar terlihat sedikit salah tingkah. Dasar udik! Pasti belum pernah masuk ke kafe seperti ini.

Sebelum turun, dia berujar, "Reyhan ... bagaimana kalau aku menunggu di sini saja?"
Aku mengeryit. "Kenapa?"

Aku melihat tampilannya. Blouse bunga-bunga kecil lengan panjang dengan celana hitam, serta sandal selop usang. Wajah tanpa make up dan rambut panjang yang dikuncir begitu saja. Benar-benar penampilan yang kampungan.

"Aku bisa membuatmu malu kalau ikut makan. Yang lapar 'kan, kamu. Jadi makan saja sendiri. Biar aku tunggu di luar."
"Kau 'kan budakku, jadi bersikaplah seperti seorang budak pada umumnya. Lagian siapa bilang aku mengajakmu ikut makan? Hah!"

Terdengar giginya mengerutuk, lalu mendengkus. Tanpa menunggu jawabannya, aku keluar dari mobil. Dengan ogah-ogahan, Binar ikut keluar.

Seorang pelayan yang sudah familiar menyambut kami. Dia sedikit melirik Binar yang berjalan di belakangku. Mungkin dia heran, aku datang bersama gadis seperti Binar. Karena biasanya gadis cantik dengan pakaian seksi dan wajah bermakeup yang kugandeng ke sini.
Binar menolak untuk memesan menu berat. Hanya sebuah eskrim yang dia makan. Beberapa pasang mata melihat kami. Pasti pemikiran mereka sama seperti karyawan tadi. Biarkan saja. Orang memang selalu menilai dari fisik dan penampilan saat pertama bertemu.

"Reyhan? Siapa dia?"

Bersambung #4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER