Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 02 April 2022

Binar #4

Cerita bersambung

Jilid #3

[POV-Binar]

Aku tak mengerti dengan orang kaya, kesombongan seolah menjadi kebanggaan tersendiri baginya. Dunia selalu berputar. Segalanya memiliki waktu dan masa. Tak akan selamanya, bunga mekar tanpa layu. Tak akan selamanya langit gelap selama masih ada siang. Manusia hanyalah wayang yang memerankan tokoh dalam suatu drama. Bedanya kita memiliki hati untuk merasa, yang ada saatnya akan luluh dan tersentuh.

"Reyhan, siapa wanita itu?" Suara wanita modis dengan dress mini membalut sebagian tubuh jenjangnya.
"Kamu?" ucap Reyhan usai menoleh pada sumber suara, lantas mengernyitkan dahi. Entah siapa wanita itu, pertama kali aku melihatnya. Mungkin saja salah satu wanitanya. Bukan urusanku.

Wanita itu melebarkan langkah untuk menuju ke arah kami. Aku masih duduk dengan santai, meski kulihat guratan kesal di wajah cantik itu.


"Honey, katanya kamu sibuk hari ini? Kenapa bisa berada di sini?" tanyanya sembari memegang pundak Reyhan yang seolah ogah menolehnya. "Siapa wanita ini? Kenapa dia duduk di sini sama kamu? OMG Sayang, kamu nemu di mana mahluk gembel seperti itu?" cercanya sarkas sembari menatapku sinis.

Aku masih berkutat di tempat dudukku, tak menoleh ataupun menanggapi celotehnya.

"Aya, ini bukan urusanmu. So, just go now!" tegas Rey.

Perempuan yang ternyata bernama Aya itu tampak tak suka dengan pengusiran Reyhan.

"Hey, jadi ini alasan kamu kenapa akhir-akhir ini berubah dan selalu sibuk. Rupanya sedang menikmati kebersamaan bersama gadis dekil seperti dia? Tidak mungkin dia gadis gebetanmu yang baru, 'kan?" Perempuan itu menatapku sinis.

"Jangan ngawur! Dia itu budakku, terserah aku mau membawanya ke mana sesuka hati. Jadi sekarang kamu pergi saja." Reyhan menjelaskan posisiku. Dia menoleh pada Aya yang masih berdiri di sampingnya.

"Apa? Budak?" Dia tertawa mengejek. Menyebalkan sekali melihatnya. "Akan tetapi kenapa kamu bawa dia ke sini? Sayang, kamu sudah membatalkan janjimu denganku demi bersama budak ini? Please wake up. Kamu sakit?" sergah Soraya.
"Ok, ok, besok aku akan menemanimu untuk membeli tas yang kau mau."

Ck! Kenapa aku harus melihat drama dua orang ini. Apa dia kekasih Reyhan? Karena sedari tadi Aya memanggil Rey dengan sebutan 'Honey' juga 'Sayang'?

"Sayang, aku mau makan sama kamu juga," pinta Aya dengan manja. Sekilas kulihat wajah Rey, terlihat makin tak suka akan kehadiran wanita itu. Namun, jika diperhatikan lagi, kurasa mereka memiliki hubungan yang cukup akrab memang.

"Hei gembel, minggir kamu!" perintah perempuan itu menatapku kesal.

Aku segera berdiri untuk menatap wajah penuh permak make up itu. "Namaku Binar. Panggil namaku dengan baik!" tegasku dengan menatapnya tajam.

"Idiihhh, berani kamu sama aku," ucapnya mendelik membalas tatapanku.
Aku masih menatapnya tanpa sedikit pun rasa takut.

"Kamu ngapain melihatku seperti itu. Kamu itu gembel, ya gembel aja," makinya, seraya menempelkan telunjuk tangan untuk mendorong kepalaku. Namun, aku segera menampiknya dengan keras.

"Ahh," pekiknya.
"Nona, jangan kotori wajahku dengan sentuhan tanganmu," ucapku. Wanita itu semakin membulatkan mata dan mulutnya secara bersamaan, mungkin tak habis pikir aku berani berbuat demikian.

"Aku tunggu kamu di parkiran." Aku berpamitan kepada Reyhan. Setelahnya aku beranjak pergi meninggalkan mereka tanpa memperdulikan lagi bagaimana reaksinya.

Setiba di luar, aku menghirup napas panjang dan kuedarkan pandangan ke beberapa arah. Berdiri pohon beringin yang cukup rimbun di samping jalan raya, akhinya kuarahkan langkah kaki menuju tempat teduh itu. Terlihat seekor burung sedang memberi makan anak-anaknya di dalam sangkar. Tiba-tiba menggugah ingatanku untuk mengenang mendiang Nenek, yang membuatku tersenyum getir.

"Aku nggak mau, sebelum kau menceraikan istrimu!"
"Retno, mengertilah. Itu tidak mungkin, aku akan menikahimu dengan resmi. Namub jangan minta aku untuk menceraikan istri pertamaku."
"Yasudah, itu pilihanmu. Berhentilah menemuiku lagi."
"Retno, berhentilah kerja di tempat itu, aku akan menikahimu dan memenuhi semua kebutuhanmu. Aku akan memberimu rumah mewah seperti yang kau ingin."

Aku segera menoleh ke arah pusat suara itu. Benar saja dugaanku, itu memang suara Ibu. Aku memperhatikan pertikaian mereka, hubungan menjijikan macam apa yang telah mereka agungkan. Lena dalam lembah dosa yang mengasyikan, membuatnya lupa akan hidup yang hakiki.
Ibu memang cantik, tak heran jika para lelaki pemburu kepuasan ranjang akan mengejar-ngejarnya. Kali ini dia lelaki berbeda lagi, setidaknya lebih terlihat gagah dari om om sebelunya. Aku berjalan semakin mendekat, Ibu terlihat ingin melepaskan diri dari cengkraman tangan lelaki itu.

"Intan sudah siuman, operasinya berjalan dengan lancar." Aku seperti orang gila yang tiba-tiba berbicara tanpa diminta dan tanpa basa-basi sebelumnya. Membuat dua orang yang saling tarik tangan itu mematung sesaat melihatku heran.

"Kamu siapa?" tanya pria berumur sekitar setengah abad, berkemeja biru muda itu. Aku tak merespon, mataku masih lekat menatap wanita yang berada di depanku sekarang. Aku tidak akan memintamu untuk mengakui kami sekarang, Ibu. Kami masih memiliki pohon sabar yang tak akan mudah tumbang. Jika engkau masih memiliki naluri, lihatlah, dua gadismu masih menunggu dekapan erat tanganmu.

Tak ada lagi kata sinis terlontar dari mulutnya, tak lagi ada tatapan angkuh. Meski masih tak ada balasan, itu sudah cukup menyenangkan. Terlihat Ibu menundukan kepala, lalu menarik kilat tangannya dari cengkraman lelaki itu.

Dia pergi dan berlari menjauh.
"Retno! Retno! Berhenti!" Pria itu memanggilnya, segera dia pun menyusul Ibu. Meski terlihat raut penasaran di wajahnya, namut tak urung ditanyakan padaku.

Aku melihat kedua orang itu berlalu hingga tak lagi terlihat.

"Kamu ngapain di sini? Cepat ikut aku!" Suara Rey membuatku sedkiti terkejut. Aku pun segera menoleh dan membuntutinya.

Entah di mana perempuan bernama Aya itu, aku tak melihat lagi batang hidungnya.
Setelah kembali ke mobil, Rey memacu kembali kendaran tersebut. Tak ada lagi kata yang terucap. Tidak sengaja kumelihat arah spion. Terlihat sosok wanita yang baru saja kutemui seakan bersemembunyi di samping barisan beberapa mobil yang terparkir di pinggir jalan. Sedikit terperanjat, aku menatapnya lekat. Ibu masih memandangi mobil yang sedang kunaiki ini. Hingga pantulan tubuhnya mengecil di kaca dan tak lagi terlihat. Seketika perasaanku berdesir hebat, entah mengapa ada kesenangan tersendiri di dalam dada. Ibu. Kutahu kau tak akan benar-benar meninggalkan kami.
***

Sudah beberapa hari ini aku bekerja untuk Reyhan. Mulai dari menyiapkan keperluan harian di rumah, sampai kadang disuruh ikut ke kantor untuk membuatkan kopi.
Reyhan memang lelaki pekerja keras, tapi tetap arogan di depanku. Mendapat perlakuan menyebalkan darinya adalah makanan setiap hari. Bersyukur aku sudah bisa menyikapi perlakuannya padaku. Bagaimanapun dia berjasa dalam penyembuhan Intan. Walau awalnya salah.

Malam semakin larut, Reyhan telah usai menyantap hidangan makan malamnya. Tak ada lagi protes, meski semua menu aku yang memasaknya karena Ibu Dilah sedang pamit mengunjungi saudara untuk dua hari ini.

"Beberapa hari lagi adikku akan di perbolehkan pulang, aku akan merawatnya di rumah sampai dia benar-benar sembuh," tukasku saat hendak membereskan meja makan.
"Apa kau sedang berbicara denganku?"
"Adakah orang lain lagi selain kamu di sini?"
"Kau pikir aku akan menurutimu?"
"Tidak!"
"Lalu kenapa kau meminta izin padaku?"
"Perhatikan lagi bagaimana kalimatku, bedakan mana sebuah permintaan dan pemberitahuan." Sengaja
aku menjawabnya sarkas.

Tak peduli, kutahu lelaki macam apa di hadapanku ini. Semakin aku lemah semakin aku terinjak, tak peduli keputusannya. Bagiku Intan lebih penting, aku akan menjaganya sampai aku benar-benar yakin bisa meninggalkannya dengan baik-baik saja.

"Ck. Gadis macam apa kamu? Kamu hanya sebatas budak yang harus patuh pada majikan," paparnya menatap tajam ke arahku.
"Abu Nawas tak perlu menjadi pejabat negara untuk mengalahkan Rajanya."
"Jadi kau samakan aku dengan raja dalam dongeng jenaka itu?"
"Apa hidupmu tak semenarik cerita dalam dongeng?"
"Apa maksudmu?"
"Jika melihat kesusahan orang lain adalah tontonan menyenangkan untukmu, lalu apa salahnya Abu Nawas menggunakan kecerdikannya untuk mengelabuhi raja yang semena-mena."

Aku telah usai menumpuk beberapa piring kotor. Lantas, bersiap membawanya ke dapur.

"Berhenti kau!" seru Rey sembari menarik lenganku.
"Apa maksud perkataanmu barusan?" Reyhan terlihat kesal. Apa dia merasa tersindir dengan ucapanku barusan?
"Biarkan aku menyelesaikan tugas ini lebih dulu."
"Jawab aku!" tegasnya semakin menajamkan mata menatapku. Aku membalas tatapnnya tanpa ragu, hening, masih membisu.

"Baiklah, jika kau ingin aku menjadi Raja Harun dalam dongeng jenaka itu. Kita lihat, apa kau secerdik Abu Nawas menghadapiku," lanjutnya. Lelaki itu tersenyum sinis memenatapku.

Tak tahu lagi apa yang harus kuungkapkan, hanya tentang Abu Nawas yang aku ingat. Satu-satunya dongeng yang bisa membuatku tertawa terbahak-bahak.
***

Dua hari kemudian, Suster Anjar memberitahu akan kesehatan Intan yang sudah membaik. Dokter telah mengizinkannya pulang, jelas saja aku sangat bahagia mendengar berita baik itu.

"Adikku boleh pulang hari ini, aku akan ke rumah sakit sekarang." Saat selesai membuatkan sarapan, aku memberitahunya tentang keadaan Intan. Walau susah, tapi aku berharap dia mengerti keadaanku.

"Kau beneran ingin merawatnya?" tanyanya menatapku. Aku mengangguk.

Rey terlihat sedang memikirkan sesuatu. Lalu ....

"Tiga hari waktu cuti untukmu, selanjutnya kembali bekerja seperti biasa," jelasnya tanpa menoleh.

Sama sekali tak menyangka, Reyhan melontarkan kalimat langka seperti itu. Tentu saja ini hal baik, tapi aku tidak boleh merasa besar kepala lebih dulu. Kutahu, setip manusia selalu memili titik lemah tersendiri untuk bisa ditaklukan.

"Yang benar? Oh Tuhan ... terima kasih," ucapku tulus dan senyum merekah menatapnya.

Dia bergeming. Entah apa yang sedang dipikirkan. Mungkin heran melihat reaksiku. Inilah senyuman pertamaku yang tersungging untuknya.

"Aku boleh pergi sekarang?"

Karena dia hanya diam saja, aku anggap itu sebagai izin. Tanpa babibu lagi, aku pun segera beranjak pergi tanpa menghiraukan lagi ekspresi wajahnya. Hatiku sudah cukup bahagia dengan izin yang dia berikan.

Setelah sampai di rumah sakit, Suster Anjar dan Intan sudah berkemas dan siap untuk pulang.

"Intan!" panggilku seraya berlari mendekat untuk memeluknya.
"Akhirnya, kamu sembuh total," sambungku.
"Belum total, dia masih butuh istirahat dan perawatan juga di rumah," timpal Suster Anjar.
"Terima kasih Suster," ucapku.
"Eits, lupa yah. Ibu Anjar," tukasnya dengan tersenyum lebar.
"Ah, iya Ibu Anjar. Terima kasih banyak." Aku mengenggam tangannya sebagai ungkapan rasa syukur atas kebaikannya.

Aku dan Intan saling bertatap haru, lalu turut tersenyum. "Maafkan Intan Mbak, sudah banyak merepotkan Mbak. Maaf." Tiba-tiba intan memelukku dengan erat beserta tangisan yang terluap.

Kurasa Ibu Anjar telah menceritakan bagaimana keadaanku selama beberapa hari ini. Wanita itu menatapku sendu, dan mengangguk pelan seakan mengisyaratkan semua baik baik saja.

"Ya sudah, semua sudah berlalu. Sekarang yang oebting kamu sudah sehat dan bisa pulang. Kita pulang yah sekarang, kita akan tinggal di rumah Ibu Anjar," jelasku seraya melepaskan pelukan.
"Iya, Ibu Anjar telah menceritakan semuanya padaku. Ternyata masih ada orang baik yang tersisa di dunia ini," paparnya.

Kami menatap Ibu Anjar dengan rasa sayang. Beliau adalah ibu kami sekarang. Seperti permintaannya untuk memanggilnya 'Ibu'.

"Masih banyak orang baik, hanya saja terkadang Tuhan menguji kita dengan berbagai permasalahan yang berbeda pada setiap umat-Nya. Percayalah, suatu saat kalian akan dikelilingi orang baik yang akan menyayangi kalian," tutur Bu Anjar, "ya sudah sekarang kita jalan, yuk," imbuhnya.

Kami pun saling bertatap haru, lantas segera beranjak. Kami menggunakan taxi menuju rumah Ibu Anjar.
Tak lama, karena jarak Rumah sakit ke rumah Bu Anjar memang tidak terlalu jauh.

Setibanya di pelataran, kami pun memasuki rumah bercat putih itu. Tak menyangka, rumah yang Bu Anjar bilang kecil tenyata begitu mewah buatku karena memiliki dua lantai dan cukup besar. Benar saja, ini terlalu luas jika ditinggali hanya untuk satu orang saja. Aku dan Intan masih tertegun memperhatikan sekitar, saat melewati pelataran yang cukup luas dan terdapat taman bunga di pojok halaman yang indah.

"Wahh, rumah Ibu bagus banget," papar Intan terpukau.
"Ayo duduk dulu. Barang-barangnya nanti bisa dimasukkan ke kamar dekat ruang makan. Semoaga kalian suka, dan betah tinggal di sini, ya," harap Bu Anjar.
"Siapa mereka?" Tiba-tiba terdengar suara dari arah garasi di samping rumah.
"Daffa ... kamu di rumah?"

==========

[POV-Rayhan]

Seorang wanita paruh baya duduk di sofa saat aku baru masuk ruangan. Penampilannya masih sama dengan beberapa bulan lalu, elegan. Dia tersenyum ramah dengan mata berbinar. Mungkin berharap aku akan merespons positif perlakuannya itu.

Aku melangkah mendekat dan tetap berdiri di depannya yang masih duduk dengan santai. Memasukkan kedua tangan ke saku celana, lalu berujar, "Ada perlu apa ke sini?"
Dia menatapku saksama dan tersenyum semakin lebar.

"Reyhan, apa kabarmu, Nak?"

Pertanyaannya memang terdengar biasa, tapi bagiku sangat memuakkan. Basa-basi. Tentu saja, karena dia tak pernah tahu bagaimana aku menjalani hidup selama ini.

"Apa ada sesuatu yang bisa saya bantu, Nyonya Komisaris?" Formal, adalah bahasa yang aku gunakan agar tetap bisa bertahan berbicara dengan wanita yang menyebutku 'Anak' tersebut.

"Reyhan, mama ke sini sebagai mamamu. Bukan sebagai komisaris," ujarnya tetap tersenyum, "bisa kita bicara dari hati ke hati?" Wanita itu menunjuk pada sofa di depannya agar kududuki.

Ingin rasanya aku keluarkan kata-kata kotor saat bertemu dengannya. Namun aku masih bisa menahannya. Jangankan untuk bicara dari hati ke hati seperti yang dia bilang, untuk mendengar suaranya saja sudah membuat emosi dalam hatiku bergejolak.

"Saya rasa Anda tahu ini jam kerja, dan saya tidak ingin dicap sebagai pimpinan yang makan gaji buta karena harus meladeni omong kosong dari seseorang saat jam kerja." Pedas, mungkin saja itu yang dia dengar dari ucapanku.

Senyum yang dari tadi dia sunggingkan, kini memudar. Dia mengambil cangkir teh di meja, lalu menyeruputnya tenang. Wanita ini sudah kebal dengan segala penolakanku, sehingga ada saja caranya untuk memancingku bicara dengannya.

"Rey, mama sudah berkali-kali minta maaf kepadamu atas kesalahan yang mama lakukan pada masa silam. Tidakkah hatimu terbuka untuk sekedar memaafkan kekhilafan yang bukan seratus persen kesalahan mama?"

Selalu kalimat itu yang menjadi andalannya. Aku tersenyum miring.

"Bahkan saat ingin meminta maaf, kau tidak mau mengakui kalau semua yang terjadi itu adalah kesalahanmu sepenuhnya. Kau selalu bilang tidak seratus persen kesalahanmu?" ucapku sinis, "apa kau ingin menyalahkan orang yang sudah meninggal bertahun-tahun lalu atas dosa yang kau lakukan bersama kepa**t itu?"

Masih dengan posisi dia duduk dan aku berdiri di depannya, dia berujar, "Semua yang kau pikirkan, tidaklah seperti itu kenyataannya. Kesalahan bukan berasal dari mama sepenuhnya, tapi juga papamu! Mama khilaf dengan Om Frans karena keegoisan papamu juga. Dia yang menyebabkan mama berpaling darinya." Napasnya terlihat sedikit menggebu.
Aku tertawa sinis. "Terserah apa yang ingin kau katakan, aku tak peduli! Bagiku, seorang istri yang meninggalkan suami dan anaknya demi pria lain adalah sama saja dengan pelac*r murahan!"

Wanita itu sontak berdiri. Tatapannya tajam dengan mata berkaca-kaca. Dadanya naik turun menandakan bahwa sedang emosi.

"Kamu tega menyebut mama dengan kata-kata hina tersebut, Rey?" Sekarang wanita berambut cepak itu malah menangis.
"Mama pikir, saat kamu sudah dewasa, kamu akan bisa diajak bicara sebagai orang dewasa juga, namun ternyata mama salah. Kebencianmu pada mama sudah mengakar hingga tega menyebut mama dengan kata kotor."

Isak tangis kian menderanya. Tubuh kurus itu kembali melorot di sofa. Mungkin dia berpikir aku akan luluh melihat kondisinya seperti itu, tapi percuma. Bagiku dia tetap wanita kotor yang sukses menghancurkan kebahagiaan dalam hidupku.

"Silakan Anda ke luar. Saya ingin bekerja!" usirku padanya.

Untuk beberapa saat, dia tetap mengelap air mata yang keluar. Aku segera melangkah menuju kursi kerja tanpa memedulikannya. Bersikap masa bodoh adalah pilihan saat situasi seperti ini. Jangan sampai aku terbawa arus dan memaafkannya dengan mudah. Kesalahan yang dia perbuat bagiku adalah kesalahan fatal yang tak kan mudah kumaafkan.
***

"Aku mau ikut menjemput mama," pintaku kepada Papa saat dia berpamitan mau menjemput Mama di rumah Oma. Kata Papa, Mama sedang menjaga Oma yang sedang sakit di rumahnya.
Papa terlihat berpikir. "Baiklah, ayo kita pergi!"
"Oke!"

Hatiku senang dan juga rindu karena sudah satu minggu Mama tinggal di rumah Oma. Setiap hari hanya Papa yang ada di rumah. Sejak perusahaannya bangkrut, Mama jarang ada di rumah. Kadang ke rumah Oma, kadang ada acara dengan teman-temannya hingga menginap, kadang juga tak tahu ada di mana.

Papa adalah pria hebat yang kukenal. Dia sosok pekerja keras juga sangat menyayangi keluarga. Sebagai anak tunggal, aku tak pernah bersikap manja. Didikan Papa agar aku menjadi lelaki yang mandiri, tangguh dan bertanggungjawab.

Setelah motor terparkir di halaman rumah Oma yang besar, kami pun turun. Seorang ART membukakan pintu. Aku mengedarkan pandangan, tak ada sosok Oma ataupun Mama yang terlihat.

"Di mana istriku?" tanya Papa kepada ART.
Wanita tua itu terlihat gugup dari awal kami datang. "Nyo-nya Anne ...."
"Bicaralah yang betul, Bik," tegur Papa karena ART itu tidak melanjutkan ucapannya.
"Di ... di ka-mar," jawabnya terbata.
"Oh, baiklah. Apa Oma sedang istirahat?"
"Nyonya besar sedang di luar kota sejak kemarin bersama Tuan Dedy."

Aku mengernyit heran. Oma sedang ke luar kota bersama paman. Lalu kenapa Mama tidak segera pulang?

Papa terlihat menghela napas, lalu melirikku sesaat. "Baiklah. Rey, kamu tunggu di sini. Biar papa panggil mamamu."

Baru dua langkah Papa beranjak, bibik menahan kami dengan ucapannya, "Tu-tunggu, Tuan. Tadi Nyonya Anne pesan tidak mau diganggu."

Papa berhenti sejenak lalu melangkah maju tanpa menghiraukan larangan bibik. Aku duduk di sofa dan menatap heran dengan sikap ART itu yang melarang Papa menemui istrinya.

Melupakan rasa penasaran, aku membuka ponsel untuk sekedar ingin tahu kabar Prily--pacarku. Sudah dua hari kami tak berkirim kabar. Ternyata ada email masuk dari sahabatku yang sekota dengan Prily. Mataku membelalak saat melihat foto yang dia kirimkan. Prily sedang berciuman dengan seorang laki-laki di sebuah taman. Wtf!
Pantas saja akhir-akhir ini dia tak gencar menghubungiku untuk sekedar menanyakan kabar. Ternyata sudah ada laki-laki lain yang menemaninya. Si*lan!
Belum sempat aku meredakan amarah yang berkecamuk dalam dada, bibik berteriak memanggilku dari lantai dua. Perasaanku tak enak. Segera aku berlari menuju kamar mama.

Di sana, Papa sedang berkelahi dengan seorang ... pria? Sedangkan Mama menangis dan berusaha melerai dua pria dewasa yang saling baku hantam. Aku pun segera memisahkan Papa dari serangan. Beberapa bekas lebam menghiasi muka kedua orang itu. Tak luput juga sudut bibir yang mengeluarkan darah.

Papa sempat meronta saat aku berhasil memisahkannya dari pria yang hanya memakai boxer itu. Kulirik Mama menangis menahan tubuh pria itu dengan hanya berkimono tipis. Wtf! Segala sumpah serapah hanya bisa kuumpati dalam hati dengan napas memburu dan pandangan penuh kilat kebencian.

Papa terlihat kelelahan. Tanpa mengatakan apa pun, aku menariknya keluar dari kamar laknat itu. Beberapa kali Mama memanggil nama kami, tapi tak kuhiraukan. Dengan perasaan campur aduk, kubonceng Papa untuk pulang. Meninggalkan wanita murahan yang tega menodai kesucian pernikahannya yang telah berjalan dua puluh tahun.

"Sebenarnya papa tidak ingin kamu tahu masalah yang terjadi pada kami, Reyhan. Papa malu. Sebagai seorang suami juga orang tua, papa merasa gagal," tutur Papa setelah aku mengobati lukanya.

Terlihat raut kesedihan di wajah yang selalu bersemangat walau setumpuk masalah menghadangnya. Sosok nakhoda hebat yang tak pernah lelah menyayangi keluarganya. Kebangkrutan perusahaan membuat ekonomi keluarga terjun ke titik terendah. Namun, Papa masih gigih berjuang untuk membahagiakan kami.
Siapa yang menduga kalau pada akhirnya, kegigihan Papa dibayar dengan perselingkuhan Mama? Wanita yang selama ini aku banggakan. Yang bersikap manis walau aku sering berulah. Yang selalu menyiapkan makanan dengan penuh kasih. Juga tetap tersenyum saat keluarga kami sedang diuji dalam hal ekonomi. Siapa yang menyangka?
Apakah semua itu hanya pura-pura? Hanya topeng yang dia pakai untuk menutupi borok di balik wajah teduhnya. Apa perasaan sayang seorang mama pada anaknya hanyalah sebuah ilusi belaka? Bukankah sudah menjadi fitrah, seorang ibu menjadi sumber kasih sayang yang tiada balas? Oh Tuhan ... kenapa semua menjadi begini?
Bahkan aku tak tahu harus mengatakan apa saat Papa menceritakan apa yang terjadi pada hubungan mereka beberapa bulan belakangan. Memang yang kutahu Mama sering menginap di rumah Oma, tapi kata Papa karena Mama diminta menemani Oma yang sering kambuh sakitnya.

Rasanya sulit dipercaya kalau aku tak melihatnya sendiri tadi. Semua wanita ternyata sama. Baik Prily maupun Mama. Hanya memburu harta dan kesenangan belaka, tanpa mau hidup susah dan diajak berjuang bersama. Wtf!

Setelah kejadian memalukan itu, Mama tidak pernah pulang. Papa tetap bekerja merintis usahanya. Aku menjadi pendiam dan cuek pada sekitar. Hanya pada Papa dan keluarganya, juga Bu Dilah--yang setia membantu di rumah--aku bersikap baik. Selebihnya ogah.

Ternyata Tuhan tidak berhenti menguji hidupku. Setelah masalah membelit ekonomi keluarga, orang tua yang hidup terpisah, ternyata Tuhan mengambil Papa dariku. Papa kecelakaan setelah pulang dari rumah Oma untuk membujuk Mama pulang.

Takdir terlalu jahat pada nasibku. Satu per satu orang yang kusayangi pergi meninggalkan. Rasanya ingin mati juga karena aku tak kuat menerima ujian dari-Nya. Namun, Papa pernah berpesan agar aku melanjutkan kerja kerasnya membangun usaha yang dia rintis kembali. Agar aku hidup sukses dan bahagia.

Aku memang berhasil. Dengan bantuan Paman, perusahaan Papa kembali berjaya. Namun, aku tak tahu jika modal yang dipinjamkan oleh paman kepadaku adalah uang dari Mama. Seumpama aku tahu dari awal, tentu saja tak akan kuterima pinjaman modal itu.

Kini, aku tetap menjalankan Orlando Group, tetapi ada tangan lain yang lebih berkuasa daripada aku. Wanita itu. Wanita yang telah melahirkanku, tapi juga mematikan hatiku.
***

Setelah kepergian Mama dari kantor, mood-ku berubah menjadi buruk. Kubatalkan semua skedul karena tak mau melakukan kesalahan. Hingga kuputuskan untuk pergi ke club malam harinya.
Hingar bingar musik memekakan telinga. Sorot lampu yang gemerlap menambah suasana club yang biasanya menyenangkan, menjadi kurang nyaman hari ini. Si*l! Apa gara-gara kehadiran wanita itu, seharian hidupku menjadi menyebalkan?

Tanpa meneguk satu gelas minuman pun, aku putuskan pulang. Rasanya aku ingin tidur saja agar bayang-bayang kehadiran wanita itu hilang dari pikiranku. Sampai rumah, hanya Bu Dilah yang menyambutku.

Setelah membersihkan diri, aku menghempaskan tubuh di atas kasur. Rasanya kepala ini pening dan tubuh pun lelah. Sejenak memejamkan mata, benda pipih bergetar di atas nakas.
Sebuah pesan dari gadis keras kepala yang beberapa hari lalu memegang ponsel baru pemberianku. Aku berikan dia ponsel untuk mempermudah komunikasi di antara kami. Kadang dia stay di ruangan saat aku memintanya. Hanya pekerjaan kecil seperti membuat kopi dan mengambilkan ini itu yang kuperlukan. Apabila ada tamu, kusuruh dia pergi ke pantri.

[Besok pagi aku berangkat dari rumah Bu Anjar ke kantor. Jadi malam ini aku menginap lagi ya.]

Ternyata dia tak pulang malam ini. Beberapa kali makan masakannya, membuat lidahku bisa menyesuaikan dengan masakan yang dibuatnya. Awalnya memang terasa aneh menurutku, tapi kesungguhannya untuk berusaha memberikan yang terbaik, membuatku tak tega menolaknya.

Gadis itu berbeda dengan yang lain. Aku mudah luluh apabila berseteru dengannya. It's magic! Baru kali ini ada gadis yang mampu membuat hatiku merasa tak tegaan. Ck! Ini memang konyol. Namun itu kenyataannya.

Gadis itu memang polos, tapi cukup tangguh. Berkali-kali digoda, hasilnya tak pernah goal. Kalau diperhatikan, wajahnya tidak buruk. Cukup manis dan tidak membosankan. Walau penampilannya kampungan, tapi dia tetap percaya diri.

Teringat kapan hari kejadian di kafe. Sudah dua kali dia berurusan dengan seorang wanita paruh baya yang sama. Wanita itu tampak seperti wanita berada. Namun ... pria yang bersamanya berbeda dengan pertemuan sebelumnya. Ya ... aku masih ingat wajahnya. Siapa wanita itu? Ada hubungan apa dengan Binar?

Menurutku Binar juga memiliki sebuah masa lalu yang sulit dalam hidup. Tak mungkin gadis baik-baik sepertinya mau menjual diri untuk kesembuhan adiknya. Ibu ... ya, Binar pernah mengatakan bahwa ibunya berada di tempat yang jauh. Namun, dia tak menjelaskan selebihnya. Bisa jadi ibunya berada di kampung dan hidup miskin sehingga tidak bisa berbuat banyak untuk berobat anaknya.

Apa malam ini dia sudah tidur? Ah ... kenapa aku memikirkan gadis itu?

Bersambung #5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER