Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 04 April 2022

Binar #6

Cerita bersambung

[POV-Binar]

Empat hari di rumah Bu Anjar membuatku begitu enggan untuk meninggalkan tempat itu. Terasa ada warna baru di hariku dan Intan. Kami seolah mendapat keluarga baru, yang begitu dirindu.

Ya ... mereka memang baik. Seharusnya aku bisa merasa tenang meninggalkan Intan dengan mereka. Tapi justru aku terlalu menikmati kebersamaan dan kenyamanan yang telah tercipta.
Bu Anjar benar-benar memperlakukan kami dengan baik. Penuh kasih dan sayang, senang sekaligus terharu. Meski sebenarnya, membuatku semakin rindu akan sosok ibu yang penuh kasih sayang.

Usai berpamitan untuk kembali bekerja, Daffa mengantarku ke rumah Reyhan. Entah apa yang dia rasakan, dari saat awal pertemuan pertama aku sering merasa dia memiliki tatapan yang berbeda. Disadari atau tidak, kebersamaanku dengannya sering membuatku canggung dan salah tingkah. Ini sangat jarang terjadi padaku, ya ... kecuali aku mulai menyukainya.

Bagai pungguk merindukan bulan, tak seharusnya aku memiliki angan yang terlampau sulit didapatkan. Itu tak mungkin, tidak seharusnya aku ke-PD-an. Kutahu wujud perhatiannya hanyalah sebatas iba dan rasa kemanusiaan. Lelaki yang terlahir dan dididik oleh orang baik, tentu saja Daffa menjadi sosok yang berhati baik dan penuh kelembutan. Lelaki yang memberi kenyamanan bagi siapa pun yang berada di dekatnya.

"Em ... Binar, maaf kalau boleh tahu, berapa uang Reyhan yang kamu pinjam?" tanya Daffa tiba-tiba saat perjalanan mengantarku.

Sebenarnya aku malu orang lain mengetahuinya. Aku sudah membohongi Intan juga Bu Anjar. Haruskah sekarang aku membohongi Daffa? Seumpama mereka tahu bahwa awalnya uang itu bukan uang pinjaman, entah seperti apa reaksi mereka. Biarlah aku saja dan Reyhan yang tahu. Jangan sampai orang lain mengetahui yang sebenarnya.

"Seratus juta," jawabku lirih.

Sempat kutangkap Daffa menoleh beberapa detik ke arahku, sebelum akhirnya konsentrasi mengemudi kembali. Aku tak tahu apa maksudnya bertanya tentang hal itu. Mungkin dia tidak menyangka kalau nominal yang kusebutkan sangat jauh dari jangkauanku.

"Lalu sampai kapan kamu akan bekerja padanya untuk melunasi utang itu?" Setelah beberapa saat hening, akhirnya dia bertanya kembali.

Aku hanya mengangguk. Tak tahu harus menjawab apa karena memang Reyhan tidak menyebutkan sampai kapan utangku akan lunas. Apa nanti aku tanyakan kepadanya saja? Tidak mungkin aku terkungkung menjadi budaknya untuk selamanya, bukan?

Daffa menghela napas sejenak. "Menurutku, kamu harus membuat kesepakatan dengannya. Jangan sampai dia memperalatmu selamanya. Sepertinya dia lelaki yang kasar," sambunya.

Daffa benar. Aku memang harus membuat kesepakatan dengan Reyhan tentang masa pelunasan utang itu. Penilaiannya pada Reyhan juga ada benarnya. Walau kemarin sempat melunak, tapi tindakannya tadi mencekal lenganku dengan keras, pasti dilihat Daffa.

"Iya, nanti akan aku bicarakan dengannya. Terima kasih atas sarannya," ucapku menanggapi saran yang diberikan Daffa.

Kurasa Daffa pun menyadari betapa tidak nyamannya aku berada di rumah Reyhan. Lelaki arogan dan tak punya tata krama, juga sifat mesumnya yang harus selalu diwaspadai. Reyhan. Sebenarnya malas sekali harus bertemu orang itu. Bahkan mengingat namanya pun seketika merusak suasana hati.
Akan tetapi apa daya, tanpanya aku tidak bisa membantu Intan. Hufftt. Mungkin inilah jalan yang sudah digariskan, terima atau tidak. Aku tetap harus menjalani semuanya.
***

Sampai di depan rumah Reyhan, Daffa tidak ikut turun. Dia hanya memperhatikan beberapa saat bangunan itu. Sebelumnya tadi dia bertanya nama perusahaan yang dipimpin Reyhan. Aku tak tahu untuk apa?
Menjelang gelap, terdengar deru suara mobil Reyhan berhenti di halaman rumah. Aku tidak mau kena omelnya lagi, sehingga segera bersiap-siap membukakan pintu. Tatapannya datar, dan langsung menyuruhku menyiapkan air untuknya mandi.

Di kamarnya, Reyhan hampir membuatku tersudut dengan ulahnya, untung saja aku sudah waspada. Sekarang lelaki mesum itu malah mengajakku ke tempat seperti ini. Katanya sebagai hukuman atas kejadian siang tadi. Ck! Padahal aku tak salah apa-apa. Apa sebenarnya yang dia inginkan? Jika dia mau bertemu teman-temannya, kenapa harus mengajakku? Apa gunaku di tempat seperti ini?

Kulihat lelaki itu sedang asyik mengobrol dengan wanita yang bernama Tania. Aku hanya bisa membuka ponsel untuk membunuh waktu yang menjenuhkan. Hingga akhirnya kuputuskan untuk keluar dari ruangan yang begitu asing dan membuatku tak nyaman.
Aku berdiri di dekat mobil milik Reyhan agar dia mudah menemukan. Tiba-tiba dua lelaki pemabuk datang dan berusaha mengganggu. Sial! Tak seharusnya aku ikut ke tempat seperti ini.

"Hei, Cantik!"
"Mau ngapain kalian?" Bergegas aku ingin menjauh dari mereka, tapi sial. Mereka lebih dulu menangkapku, napas mulai memburu.

"Toloooong!" teriakku.

Bagaimanapun kekuatanku tak akan mampu melawan dua lelaki ini. Tuhan, kirim aku penolong.

Tiba-tiba ada seseorang yang menarik pemabuk yang ingin menyentuhku. Reyhan. Dengan sigap mendaratkan pukulan ke pelipis orang tersebut. Aku segera menguatkan tenaga untuk melepaskan diri dan membantu Reyhan melawannya.
Hingga akhirnya dua pemabuk itu berhasil kami tangani mesti harus meninggalkan memar di bagian tangan. Reyhan mau mengajak ke rumah sakit, tapi aku menolak. Untuk luka seperti ini, bagiku tak seberapa, luka sebelumnya jauh lebih parah dari ini. Aku masih baik-baik saja.

"Sorry." Untuk pertama kalinya aku mendengar kata itu terucap dari mulutnya. Aku tercengang melihatnya dengan membulatkan mata.

"Untuk apa?" tanyaku. Jujur, masih tak percaya dia bisa mengucapkan kata ajaib itu. Apalagi padaku.
"Membuatmu merasa sakit," tukasnya.

Lagi, aku kembali tak percaya. Kurasa dia sedang mabuk, atau mungkin sakit? Refleks, tanganku terangkat dan ingin menyentuh dahinya untuk memastikan. Karena dia jauh lebih tinggi, membuatku sedikit menjinjit.

"Kau mau apa?" Lelaki itu menggeser kepalanya ke samping, membuat tangan ini mendarat di atas bahunya, sekaligus tubuhku. Kini, kepalaku menempel di dadanya, dengan posisi tangan kanan berada di pundaknya.
Aku diam sesaat, ketika mendengar suara yang tak biasa. Entah apa yang terjadi, kupingku yang menempel di dadanya mampu mendengar denyut jantung yang begitu keras berdetak. Tak biasa, rupanya lelaki ini bisa merasakan bagaimana rasanya grogi dan bergetar.

"Hei, apa yang kau lakukan?" sergahnya, seraya mendorong tubuhku.

Aku diam, mencoba menilik wajahnya yang tiba-tiba berubah warna.

"A-aku hanya ingin memastikan, mungkin kepalamu oleng, kau baik-baik saja, bukan? Atau sakit? Jantungmu begitu keras berdetak," lirihku. Dia membulatkan mata, lalu bersikap salah tingkah.

"Kenapa kau pergi tidak bilang-bilang?" tanyanya dengan galak mengalihkan pembicaraan.
"Kau mencariku?"
"Tidak, aku hanya memastikan mobilku masih aman di sini. Kau tahu 'kan, mobilku sangat mahal!" tegasnya, seraya mengelus mobil sport berwarna hitam dan mengkilap di sampingnya.
"Ohh, jadi mau mengecek mobil," ucapku dengan nada menyindir.

Setelah melihat tampangnya yang tiba-tiba berubah salah tingkah.

"Tentu saja, jangan ke-GR-an!" tukasnya.

Aku hanya menganggukkan kepala beruang-ulang. Dasar orang belagu. Sudah tercyduk, masih juga ngeles. Sebenarnya aku ingin tertawa, karena lucu sekali wajahnya.

"Ayo kita pulang!" perintahnya tanpa menatapku.

Namun, lelaki itu berjalan menuju arah klub. Membuatku sedikit terheran.

"Kenapa kau diam saja?" Dia berbalik.
"Bukannya mau pulang?" tanyaku nyengir.
"Ya, cepat masuk mobil!" perintahnya kembali.

Lantas dengan wajah tak biasanya, dia memutar haluan dan kembali menuju mobil. Aku tersenyum geli melihatnya, entah apa yang terjadi. Lelaki kasar dan keras kepala seperti dia tiba-tiba berubah seperti kelinci yang menggemaskan.

Di perjalanan dia pun tak seperti biasanya, lebih jadi pendiam dan seolah enggan menolehku. Aku tak memedulikannya lagi, toh lelaki itu sudah biasa bersikap dingin. Sebentar baik, sebentar menyebalkan. Sepanjang perjalanan tak ada perbincangan kami. Karena hari ini sangat melelahkan, ditambah keheningan, membuatku tak terasa tertidur dalam mobil.
Entah berapa lama. Yang jelas saat aku terbangun tepat pukul 02.00 dini hari, tubuhku sudah berada di atas kasur tipis di gudang yang sekaligus menjadi kamarku, lengkap dengan selimut.
Aku seakan merasa kecolongan, siapa yang menggendongku ke dalam? Jika Reyhan yang melakukannya. Apa yang sudah dia lakukan? Tidak-tidak. Binar kau harus tenang dulu, ingat baik-baik.
Aku segera mengecek kondisi tubuh. Semua masih sama dan komplit, tak ada yang berubah. Aku masih mengenakan pakaian yang sama dan lengkap. Tidak ada yang aneh dari setiap inci kulitku, kecuali sedikit nyeri di bagian pergelangan tangan. Eh, tanganku ... kenapa seperti habis diolesi salep?

Ah tidak ... apa mungkin dia sebaik itu? Seharusnya Reyhan marah-marah karena aku tertidur. Bukankah, seharusnya aku menyiapkan air hangat untuk dia mandi? Juga membantu membereskan bajunya.
Apa yang terjadi padanya?
***

Hari masih gelap saat aku bangun. Kulihat Bu Dilah dan seorang ART sudah sibuk di dapur. Ingin rasanya aku bertanya kepada Bu Dilah tentang siapa yang mengangkatku ke kamar, tapi kalau dia tak tahu apa-apa, nanti malah malu. Jadi, biarlah aku tanyakan Rey saja nanti.

Mentari telah bersinar cerah saat Reyhan ke ruang makan. Kali ini dia sudah rapi tanpa bantuanku menyiapkan air dan pakaiannya. Tiba-tiba aku merasa canggung. Entah perasaan bersalah atau apa, yang jelas ada rasa tak enak hati karena telah lalai dalam tugas. Bagaimanapun, aku tetaplah pelayannya.

"Nyenyak tidurnya, semalam?" sinisnya. Entah kenapa, sekarang gantian aku yang merasa grogi.
"Seharusnya kau membangunkanku!" tukasku, membela diri, "atau kau akan berniat buruk terhadapku, dan melanggar perjanjian kita?" sambungku dengan galak.

Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum sinis, lalu menatapku dengan entah. Aku tak tahu apa yang harus dilakukan. Namun, jika aku berterima kasih padanya, bukankah itu akan membuatnya semakin besar kepala?
Dia berjalan semakin mendekat. Aku tak bisa menghindar karena tubuh telah bersandar di meja dapur. Sial! Sekarang malah kedua lengannya mengurungku. Tatapan matanya tajam seolah mau memangsa buruannya. Situasi ini membuatku sedikit kalut.

"Bulan ini, gajimu harus dipotong!" tegasnya.

Aku melongo melihatnya, lalu mengubah ekspresi wajah kesal. Ya, tentu saja, mana mungkin lelaki seperti dia bisa baik? Menyebalkan!

==========

[POV-Reyhan]

Netra gadis itu masih terpejam saat mobil berhenti di pelataran rumah. Berniat ingin membangunkan, sepertinya dia tertidur pulas. Akan tetapi jika aku bopong dan dia terbangun, bisa jadi samsak aku, seperti pemabuk tadi.

Setelah sekian menit menatap wajah lelap Binar, kuputuskan untuk membopongnya. Ternyata tidur gadis ini benar-benar lelap hingga tidak terusik sama sekali. Bu Dilah yang membukakan pintu, terkejut melihat kami. Aku hanya mengangguk pelan agar dia tidak bersuara.
Kuletakkan Binar di kasur tipis di atas lantai tempatnya beristirahat. Apa aku orang jahat? Ternyata aku tega memberinya kamar yang tak layak seperti ini. Namun, Binar menerimanya tanpa protes harus tidur berteman debu, atau mungkin juga ada kecoak di tumpukan kardus barang-barang di gudang ini.
Bu Dilah yang berdiri di ambang pintu hanya memperhatikan tanpa suara. Aku bangkit berdiri menghampirinya.

"Ambilkan salep untuk memar!" perintahku dengan suara lirih.
Sementara itu, dari sini aku hanya bisa menatap lekat wajah lelap Binar dari bias lampu yang menerobos dari luar. Aku yakin Binar memiliki hidup yang berat, tapi dia berusaha menjadi kuat. Damai. Itulah yang kulihat dari pancaran di wajahnya saat ini.
Bu Dilah membawakan salep yang kuminta lalu kusuruh mengoleskan di pergelangan tangan Binar yang memar. Aku hanya memperhatikan. Mungkinkah aku terlalu kasar tadi saat menarik tangannya? Ah ... kenapa aku menjadi serba salah pada gadis itu.

"Sudah Tuan. Sepertinya dia sangat lelah hari ini. Sehingga tidak terbangun sampai sekarang," ucap Bu Dilah setelah selesai mengoleskan salep dan menangkupkan selimut di tubuh Binar.
"Iya," lirihku, "Bu Dilah bisa kembali beristirahat." Aku mempersilakannya ke luar, tapi dia bergeming dengan tanda tanya.
"Tenang saja, aku tak 'kan berbuat macam-macam padanya," ucapku meyakinkan.

Setelah sekian detik, Bu Dilah mengangguk lalu berlalu. Sementara aku melangkah mendekati Binar yang masih terlelap. Duduk di sisinya dan memandang lekat wajah yang teduh. Entah perasaan apa yang mendorong hingga membuatku mendekati bibir mungilnya.

Napasku tertahan saat aku mengingat apa yang kulakukan padanya di hotel kala itu. Sepertinya memang terlalu jahat. Menarik sedikit kepalaku, lalu jari ini merapikan helai rambut yang menutupi sebagian wajahnya. Tanpa sadar, sebuah senyum tipis menghiasi wajah ini. Tidurlah dengan nyenyak, Binar. Semoga mimpi indah.
***

Nada alarm dari ponsel di atas nakas membuatku terbangun. Aku segera meraih, lalu mematikannya. Sejenak kusandarkan punggung di kepala ranjang. Biasanya aku kirim pesan pada Binar untuk menyiapkan keperluan ke kantor. Namun ... mengingat semalam tidurnya yang lelap, biarlah kali ini kubebaskan dia dari tugasnya.

"Enak tidurnya, semalam?" tanyaku saat melihatnya di ruang makan. Dia tampak terkejut dengan kehadiranku di sana. Mungkin tak menyangka kalau aku sudah rapi.

"Seharusnya kau membangunkanku!" tukasnya, "Atau kau akan berniat buruk terhadapku, dan melanggar perjanjian?" Wajahnya menjadi galak. Lucu.

Timbul niatku untuk menjahilinya pagi ini. Hitung-hitung sebagai gantinya sarapan. Aku melangkah mendekatinya. Semakin mendekat hingga mengurungnya dengan kedua lengan. Melihat wajahnya semakin gugup, membuatku ingin tertawa. Rupanya bisa takut juga gadis ini.

"Bulan ini, gajimu harus di potong!" tegasku, lalu berlalu menjauhinya.
"Reyhan!" serunya saat aku duduk dan bersiap sarapan. Aku hanya menjawabnya dengan gumaman.
"Sampai kapan aku akan bebas dari utangku padamu?" tanyanya menatapku dengan lekat.
"Kau sudah sarapan?" Dia mengangguk. "Duduklah!" perintahku.

Dia menurut. Menarik kursi lalu duduk dengan muka yang penuh harap. Aku sengaja tidak langsung menjawab pertanyaannya. Sedang berpikir enaknya sampai kapan dia di sini.

"Menurutmu sampai kapan utang itu akan lunas?" Aku balik bertanya.
Dia menghela napas panjang. "Aku tak tahu. Kau saja tidak menyebutkan jumlah gajiku berapa? Jadi aku bisa menghitung sampai kapan aku akan melunasi utangku," tuturnya dengan sewot, "malah main potong gaji saja," lanjutnya bersungut.
Lucu juga melihatnya seperti itu. "Dua tahun. Aku rasa cukup setimpal dengan nominal yang kau pinjam," jawabku datar.

Binar tampak berpikir, mungkin sedang menghitung kepantasan yang kuberikan.

"Baiklah ... aku terima. Seharusnya ada surat perjanjian hitam di atas putih dengan materai, agar kau tidak ingkar pada kesepakatan kita," tuturnya dengan sesekali melirikku.
"Oke, tak masalah. Nanti akan kuminta sekretaris untuk membuatnya."

Aku tak tahu apakah waktu dua tahu itu terlalu lama atau terlalu singkat untuk mengikatnya tetap di sini. Namun kehadiran Binar beberapa waktu ini telah mampu mengubah sedikit demi sedikit sisi lain dalam diri ini yang tak bisa kupahami. Dia memang gadis biasa, tapi bisa menciptakan sesuatu yang tidak biasa bagiku.

***

Putaran waktu berjalan dengan cepat. Tanpa terasa sudah tiga bulan Binar tinggal di rumahku. Setiap hari libur dia mengunjungi adik di rumah wanita yang disebutnya Bu Anjar. Selama ini Binar melakukan pekerjaannya dengan baik. Saat genap sebulan dia tidur di gudang, aku menyuruhnya untuk menempati kamar ART. Masih kuingat senyumnya yang lebar saat mendengar titahku kala itu.

Sejak kepergian Papa, tidak ada yang bisa membuatku tersenyum dengan tulus. Ikut merasakan kebahagiaan orang lain, hanya karena melakukan sesuatu yang kita anggap sepele, tapi bernilai besar baginya.

"Terima kasih, Rey. Aku yakin kamu orang baik ...." Ucapannya kala itu di suatu sore. Benarkah aku orang baik? Bukankan tidak ada orang baik yang bermusuhan dengan mamanya sendiri? Bukankah tidak ada orang baik yang suka memainkan perempuan? Mungkin Binar hanya menghiburku dengan kalimatnya itu.

"Bagaimana kamu bisa menilaiku seperti itu?" tanyaku mencari tahu seperti apa aku di menurutnya.
"Aku memang tidak tahu siapa sebenarnya dirimu. Yang kutahu kau orangnya arogan, mesum juga kasar. Dengan uang kamu bisa membeli apa pun. Termasuk ... tubuhku," tutur Binar dengan sunggingan senyum di sudut bibirnya.
"Namun ... semakin lama aku mengenalmu, sebenarnya ada sisi baik dalam dirimu. Hanya saja, kamu tak menyadari hal itu," lanjutnya.
"Sok tahu." Aku tetap bersikap angkuh di depannya.
"Kalau kamu orang jahat, pasti kamu sudah merusak sesuatu yang paling berharga di diriku kala itu. Saat aku tak punya daya untuk mengelak. Akan tetapi kamu tidak melakukannya. Sikapmu kepada Bu Dilah juga berbeda dengan orang lain. Artinya kamu terpaksa menciptakan image tidak baik kepada orang banyak. Bukan asli karena kamu jahat. Bukan ...." Penuturan Binar sedikit banyak membuatku membisu. Aku tak tahu harus bicara apa pada gadis ini.

"Rey ... kalau kamu mau, kamu bisa bercerita kepadaku apa saja. Aku bersedia menjadi pendengar yang baik untukmu." Binar menatapku lekat. Untuk beberapa detik, pandangan kami beradu.

"Apa pun?" tanyaku lirih.
"Yah ... apa pun yang ingin kamu ceritakan. Tentang kantor, teman-temanmu, impian, juga ... keluarga. Mungkin aku tidak bisa memberimu solusi, tapi untuk menjadi pendengar yang baik, aku bisa diandalkan. Kadang ... kita butuh orang lain untuk sekedar mencurahkan apa yang berkecamuk di dalam dada. Hanya untuk didengarkan saja ... beban itu bisa berkurang."

Selama ini memang tidak ada orang yang bisa menjadi teman bicara dari hati ke hati. Orang-orang di sekelilingku hanya menginginkan keuntungan untuk dirinya sendiri-sendiri. Lalu Binar ... gadis ini bersedia menjadi tempatku mengungkapkan keluh kesah? Benarkah?

Aku bisa merasakan ketulusan dari apa yang dia ucapkan. Namun tidak sekarang. Butuh kesiapan diri untuk membongkar aib yang sudah kukubur bertahun-tahun.
Aku mengalihkan pandangan. Melihat taman hijau di sudut halaman. Sudah lama aku tinggal di sini. Namun baru kali ini bisa menikmati hijaunya rerumputan dan warna warni bunga di depan mata. Baru kali ini bisa menikmati senja dengan perasaan damai.

"Reyhan ...." Suara panggilan dari seorang perempuan membuyarkan lamunanku. Dia berjalan mendekat lalu duduk di pangkuanku kemudian memberikan salam 'khasnya' seperti biasa. Tidak puas hanya di pipi, dia pun ingin melanjutkannya di bagian wajah yang lain, tapi aku berpaling.
Perempuan itu menatap heran dengan tindakanku.

"Hi ... what's wrong with you? Kamu sakit?" jari-jari lentiknya menempel di pipi dan dahiku.
"Apa-apaan, sih, Aya!" pekikku karena merasa risih dengan tindakannya.

Di depan pintu, Binar berdiri mematung melihat kami. Sial! Pasti dia menyangka aku sedang melakukan tindakan tak senonoh di kantor. Karena merasa sedang memergoki aku dan Aya di posisi seperti ini, dia hendak berbalik ke luar.

"Binar! Mau ke mana?" Aku menahan langkahnya.
"Ma-af ... saya mau ke pantri lagi," jawabnya pelan.

Aku menurunkan tubuh Soraya, lalu merapikan jas dan duduk dengan sikap senormal mungkin. Soraya terlihat kecewa dengan apa yang kulakukan. Biarlah! Aku tak peduli.

"Kopiku sudah dingin. Buatkan lagi satu cup mocca latte!"
Soraya menatapku, "Rey, kau tidak mau menyuguhkan aku minuman? Aku juga haus," sela Soraya.
"Kau tidak lama 'kan di sini? Aku mau ada meeting habis ini. Karena itu, aku butuh konsentrasi untuk mempersiapkan diri," jawabku tanpa melihatnya agar mau segera pergi.
Dia mencebik. "Hei, kau ... buatkan aku minuman dingin, ya! Aku sudah lama tidak bertemu kekasihku ini." Ucapan Soraya membuatku mendengkus. Dia berulah lagi.
"Sudah berapa kali kubilang kalau--" aku urung melanjutkan ucapan karena Binar tiba-tiba menutup pintu dari luar. Sial memang si Aya.

Setelah Binar keluar, Aya melanjutkan ceramahnya panjang kali lebar. Ingin sekali telapak tangan ini membekap mulut itu lalu mengusirnya dari ruangan agar tidak mengoceh terus. Padahal dari awal sampai sekarang kita tidak pernah ada komitmen pacaran. Hanya sebatas saling membutuhkan. Dia butuh uang untuk memenuhi hasrat belanjanya, sedangkan aku butuh ... tubuhnya. Ah ... ingin rasanya mengumpat mengingat aku pernah menikmati tubuh perempuan menyebalkan itu.
***

"Jadi ... perempuan yang tadi ke kantor itu kekasihmu?" tanya Binar saat kami perjalanan pulang.
"Bukan!" Aku masih konsentrasi mengemudi, "dia bukan siapa-siapaku," lanjutku.
"Bukan siapa-siapa, tapi akrab sekali. Pangku-pangkuan begitu? Wow!"
"Aku bilang bukan, ya bukan. Dia saja ganjen mengejarku terus. Aku sudah tak tertarik dengannya."
"Berarti pernah tertarik, dong?"
Aku menoleh sekilas. "Apa maksudmu?"
"Enggak ... kulihat dia memang sangat tertarik denganmu. Mana ada lelaki yang menolak pesona gadis cantik seperti dia."
"Dia bukan gadis."
"Kenapa?"
"Untuk wanita seperti dia, lelaki manapun bisa menikmati tubuhnya."
"Dan kamu juga?"

Apa maksudnya Binar terus mencercaku? Apa dia mau aku mengaku telah melakukan sesuatu dengan Aya? Ck! Perempuan ternyata sama saja, penuntut dan cerewet.

"Apa kau cemburu dengannya?"
"Ish ... siapa juga yang cemburu? Kamu bukan tipeku, dan aku tak tertarik dengamu," jawabnya setelah mencebik, "aku hanya ... iseng saja bertanya. Kan dia mengaku kalian sepasang kekasih," lanjutnya.

Aku tertawa mendengar jawabannya. "Kalau tidak cemburu, kenapa bertanya terus? Mau aku dekat dengan Aya seperti apa, itu 'kan bukan urusanmu," sahutku enteng.

"Heemm ... jadi benar kamu juga pernah menikmati tubuhnya? Kalian benar-benar menjijikan." Kulirik Binar bergidik.
"Kau tak percaya aku masih perjaka?"
"Mustahil," jawabnya cepat.
"Atau kau ingin membuktikannya?" Aku sengaja menggodanya.

Tepat saat lampu merah menyala, kuhentikan laju mobil besi ini, lantas menatapnya dengan tajam. Dia membulatkan mata menatapku dengan mimik wajah kesal. Raut wajah menggemaskan yang akhir-akhir ini membuat hatiku tersenyum.

"Awas saja kalau kau berani!" ancamnya dengan menunjukkan kepalan tangan ke arahku. Matanya penuh emosi, tapi masih tertahan.

Aku tersenyum geli menggodanya. "Jadi kau percaya 'kan, aku dan Aya dulu hanyalah sebatas teman mesra? Tubuhnya hanya kumanfaatkan sebagai pemanasan, tapi tak pernah lebih jauh dari itu."

Binar mengalihkan pandangan ke depan, lalu sesaat kemudian ke arahku yang setia memerhatikan perubahan dalam mimik wajahnya.

"Benarkah?"
"Ya."

Bersambung #7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER