Cerita bersambung
Seharusnya memang bukan urusanku, entah sejauh apa hubungan mereka. Tetap saja, bagiku ... setiap manusia memiliki sisi buruk dan kelemahannya masing-masing. Entahlah, sebenarnya ada rasa iba tersendiri di dalam sini. Dada. Seandainya Reyhan bisa dekat dan mendapatkan perempuan yang baik. Kurasa dia akan berubah menjadi lelaki yang lebih baik dan penuh kasih.
Setelah berbulan hidup di sampingnya, banyak hal mengejutkan yang memang tak pernah kusangka. Ya ... dia tak sejahat itu, dia pun memiliki sisi baik yang mungkin suatu saat bisa mendominasi dalam hidupnya, dan yang pasti akan membuatnya menjadi lelaki yang lebih berperasaan.
Memang tak jarang, trauma masa lalu akan membuat seseorang menjadi sisi yang berbeda. 'Orang jahat adalah orang baik yang pernah disakiti' tentu saja itu salah, tapi akan lebih salah lagi jika kita hanya bisa mengolok seseorang yang berprinsip tersebut. Mereka hanya perlu kepedulian, mereka hanya haus akan ketulusan kasih sayang. Siapa yang bisa mengubah prinsip itu darinya? Tentu saja orang-orang di sekitarnya berperan paling penting, untuk menunjukan betapa sia-sianya hidup jika diliputi rasa dendam.
"Jadi kau percaya 'kan, aku dan Aya dulu hanyalah sebatas teman mesra? Tbuhnya hanya kumanfaatkan sebagai pemanasan, tapi tak pernah lebih jauh dari itu," tukasnya, aku masih bergidik membayangkan hal menjijikan. Namun jujur saja, membicarakan hal seperti itu sesidikit membuatku kikuk dan kaku.
"Benarkah?"
"Ya." Lelaki itu menatapku dengan entah, lantas tersenyum merekah. Tak ada salahnya memang jika kita lebih bersahabat lagi. Karena memang tak seharusnya, seorang majikan dan pelayannya harus saling bermusuhan. Tapi meski demikian, aku tetap harus waspada. Lihat saja, lelaki mesum seperti dia. Bisakah ditebak apa yang ada di dalam tempurung kepalanya?
Kubalas senyum itu, saat kami masih beradu tatap.
"Rey," panggilku.
"Ya."
"Kita memang harus selalu berbuat baik, meski terkadang disepelekan. Percayalah, dengan
h berbuat jahat tidak akan membuat hidup kita menjadi baik," pungkasku padanya.
"Jadi aku harus mulai berbuat baik sekarang?"
"Iya, termasuk padaku," paparku dengan mata mengerling.
"Sepertinya cukup menarik."
"Jadi besok aku boleh yah ambil cuti, buat ngantar adikku kontrol ke rumah sakit," pintaku, masih dengan ekspresi merayu.
Reflek, wajahnya berubah 180 derajat. Garis lengkung di pipinya pudar dan kembali menatapku tajam.
"Jadi kamu ngomong barusan karena ada maunya? Iya 'kan," sungutnya. Meski tak seluruhnya, memang iya sih. Apa salahnya berusaha membuatnya menjadi lelaki baik, toh akan berdampak baik pula untukku.
"Jadi boleh 'kan?" bujukku sekali lagi, kali ini aku mengubah mimik wajah seunyu mungkin yang kubisa. Lelaki itu pun tersenyum tipis, kuharap akan mengabulkan pintaku.
"Nggak boleh!" tegasnya merengut.
Aishh. Menyebalkan sekali lelaki ini. Huftt.
"Kalau ngak sama aku," sambungnya.
"Maksudmu?"
"Nanti kamu bakal korupsi waktu, bilangnya ngantar adikmu kontrol. Taunya berdua-duaan sama lelaki yang dulu itu," tebaknya. Aku melotot menatap lelaki yang tiba-tiba berubah masam.
"Hey, Rey. Kamu bukan sedang cemburu 'kan?" cibirku. Sebenarnya aku hanya iseng, tak menyangka pula, aku bisa selantang itu mengatainya. Meski setelahnya, terlihat jelas Reyhan berubah menjadi senewen.
"Apa cemburu? Jangan mimpi! Kamu sama sekali bukan tipeku," sangkalnya. Ya terserahlah, aku juga tak pernah mengharapkan jadi tipe seorang lelaki seperti dia.
"Terus?"
"Ka-u bil-ang aku harus berbuat baik, untuk itu tadi aku hanya mencoba berbuat baik saja. Dengan menawarkanmu untuk mengantar adikmu kontrol ke rumah sakit," gagapnya.
Benarkah penuturannya? Ah, kurasa ucapanku tadi ada manfaatnya pula. Aku bisa menggunakan itu sebagai senjata ampuh untuk melawannya. Seketika aku tersenyum geli.
"Kenapa kamu tertawa sendiri begitu?"
Ups. Rupanya Reyhan masih memperhatikanku.
"Sepertinya kau benar-benar serius ingin menjadi lelaki baik," tukasku. "Baiklah, aku terima tawaranmu, memangnya kamu nggak kerja besok?" sambungku.
Tiba-tiba dering ponselnya berbunyi. Lelaki itu segera meraih dan mengangkatnya.
"Ada apa?"
"Maaf Pak, mengganggu waktunya. Saya cuma mau mengingatkan, besok ada jadwal rapat penting di kantor, usahakan sebelum jam 10.00 sudah berada di tempat." Suara Andre bisa kudengar dari balik telpon genggam Rey. Lalu meringis menyaksikan.
"Nggak bisa, aku besok sibuk. Undur saja waktunya," balas lelaki berhidung mbangir itu.
"Tapi Pak, rapat ini sudah diundur dua kali. Nanti mereka bisa marah dan kecewa atas ketidak disiplinan Bapak."
Terlihat Reyhan kebingungan, sesekali menolehku yang bersikap santai dan mengulum senyum.
"Ya sudah dulu. Aku sibuk sekarang," tutup Reyhan. Lantas lelaki itu mematikan telponnya tanpa menunggu balasan dari asistennya.
Reyhan terlihat ragu untuk berucap, mungkin otaknya masih berpikir apa yang harus dia putuskan.
"Kamu tenang saja, aku tidak berbakat jadi koruptor. Jadi aku tak akan mencuri waktu kerjaku, setelah urusanku selesai. Aku akan segera kembali ke kantormu," jelasku.
Lelaki itu terdiam, sepertinya dia memang harus mendahulukan urusan kantor agar tak merugikan banyak orang. Aku pun sedikit lega, setidaknya lelaki itu tak menemaniku untuk menemui Intan.
"Yasudah sebaiknya kita pulang."
***
Setibanya di rumah, aku melakukan pekerjaan seperti biasa. Reyhan yang tak terlalu banyak protes sekarang, membuatku merasa jauh lebih nyaman dari sebelumnya. Meski sering terbesit, dua tahun menjadi pelayan di rumah ini. Bukankah itu waktu yang cukup lama, lalu apa kabar dengan masa depanku, dan ... Ibu.
Setelah berbulan hidup di sampingnya, banyak hal mengejutkan yang memang tak pernah kusangka. Ya ... dia tak sejahat itu, dia pun memiliki sisi baik yang mungkin suatu saat bisa mendominasi dalam hidupnya, dan yang pasti akan membuatnya menjadi lelaki yang lebih berperasaan.
Memang tak jarang, trauma masa lalu akan membuat seseorang menjadi sisi yang berbeda. 'Orang jahat adalah orang baik yang pernah disakiti' tentu saja itu salah, tapi akan lebih salah lagi jika kita hanya bisa mengolok seseorang yang berprinsip tersebut. Mereka hanya perlu kepedulian, mereka hanya haus akan ketulusan kasih sayang. Siapa yang bisa mengubah prinsip itu darinya? Tentu saja orang-orang di sekitarnya berperan paling penting, untuk menunjukan betapa sia-sianya hidup jika diliputi rasa dendam.
"Jadi kau percaya 'kan, aku dan Aya dulu hanyalah sebatas teman mesra? Tbuhnya hanya kumanfaatkan sebagai pemanasan, tapi tak pernah lebih jauh dari itu," tukasnya, aku masih bergidik membayangkan hal menjijikan. Namun jujur saja, membicarakan hal seperti itu sesidikit membuatku kikuk dan kaku.
"Benarkah?"
"Ya." Lelaki itu menatapku dengan entah, lantas tersenyum merekah. Tak ada salahnya memang jika kita lebih bersahabat lagi. Karena memang tak seharusnya, seorang majikan dan pelayannya harus saling bermusuhan. Tapi meski demikian, aku tetap harus waspada. Lihat saja, lelaki mesum seperti dia. Bisakah ditebak apa yang ada di dalam tempurung kepalanya?
Kubalas senyum itu, saat kami masih beradu tatap.
"Rey," panggilku.
"Ya."
"Kita memang harus selalu berbuat baik, meski terkadang disepelekan. Percayalah, dengan
h berbuat jahat tidak akan membuat hidup kita menjadi baik," pungkasku padanya.
"Jadi aku harus mulai berbuat baik sekarang?"
"Iya, termasuk padaku," paparku dengan mata mengerling.
"Sepertinya cukup menarik."
"Jadi besok aku boleh yah ambil cuti, buat ngantar adikku kontrol ke rumah sakit," pintaku, masih dengan ekspresi merayu.
Reflek, wajahnya berubah 180 derajat. Garis lengkung di pipinya pudar dan kembali menatapku tajam.
"Jadi kamu ngomong barusan karena ada maunya? Iya 'kan," sungutnya. Meski tak seluruhnya, memang iya sih. Apa salahnya berusaha membuatnya menjadi lelaki baik, toh akan berdampak baik pula untukku.
"Jadi boleh 'kan?" bujukku sekali lagi, kali ini aku mengubah mimik wajah seunyu mungkin yang kubisa. Lelaki itu pun tersenyum tipis, kuharap akan mengabulkan pintaku.
"Nggak boleh!" tegasnya merengut.
Aishh. Menyebalkan sekali lelaki ini. Huftt.
"Kalau ngak sama aku," sambungnya.
"Maksudmu?"
"Nanti kamu bakal korupsi waktu, bilangnya ngantar adikmu kontrol. Taunya berdua-duaan sama lelaki yang dulu itu," tebaknya. Aku melotot menatap lelaki yang tiba-tiba berubah masam.
"Hey, Rey. Kamu bukan sedang cemburu 'kan?" cibirku. Sebenarnya aku hanya iseng, tak menyangka pula, aku bisa selantang itu mengatainya. Meski setelahnya, terlihat jelas Reyhan berubah menjadi senewen.
"Apa cemburu? Jangan mimpi! Kamu sama sekali bukan tipeku," sangkalnya. Ya terserahlah, aku juga tak pernah mengharapkan jadi tipe seorang lelaki seperti dia.
"Terus?"
"Ka-u bil-ang aku harus berbuat baik, untuk itu tadi aku hanya mencoba berbuat baik saja. Dengan menawarkanmu untuk mengantar adikmu kontrol ke rumah sakit," gagapnya.
Benarkah penuturannya? Ah, kurasa ucapanku tadi ada manfaatnya pula. Aku bisa menggunakan itu sebagai senjata ampuh untuk melawannya. Seketika aku tersenyum geli.
"Kenapa kamu tertawa sendiri begitu?"
Ups. Rupanya Reyhan masih memperhatikanku.
"Sepertinya kau benar-benar serius ingin menjadi lelaki baik," tukasku. "Baiklah, aku terima tawaranmu, memangnya kamu nggak kerja besok?" sambungku.
Tiba-tiba dering ponselnya berbunyi. Lelaki itu segera meraih dan mengangkatnya.
"Ada apa?"
"Maaf Pak, mengganggu waktunya. Saya cuma mau mengingatkan, besok ada jadwal rapat penting di kantor, usahakan sebelum jam 10.00 sudah berada di tempat." Suara Andre bisa kudengar dari balik telpon genggam Rey. Lalu meringis menyaksikan.
"Nggak bisa, aku besok sibuk. Undur saja waktunya," balas lelaki berhidung mbangir itu.
"Tapi Pak, rapat ini sudah diundur dua kali. Nanti mereka bisa marah dan kecewa atas ketidak disiplinan Bapak."
Terlihat Reyhan kebingungan, sesekali menolehku yang bersikap santai dan mengulum senyum.
"Ya sudah dulu. Aku sibuk sekarang," tutup Reyhan. Lantas lelaki itu mematikan telponnya tanpa menunggu balasan dari asistennya.
Reyhan terlihat ragu untuk berucap, mungkin otaknya masih berpikir apa yang harus dia putuskan.
"Kamu tenang saja, aku tidak berbakat jadi koruptor. Jadi aku tak akan mencuri waktu kerjaku, setelah urusanku selesai. Aku akan segera kembali ke kantormu," jelasku.
Lelaki itu terdiam, sepertinya dia memang harus mendahulukan urusan kantor agar tak merugikan banyak orang. Aku pun sedikit lega, setidaknya lelaki itu tak menemaniku untuk menemui Intan.
"Yasudah sebaiknya kita pulang."
***
Setibanya di rumah, aku melakukan pekerjaan seperti biasa. Reyhan yang tak terlalu banyak protes sekarang, membuatku merasa jauh lebih nyaman dari sebelumnya. Meski sering terbesit, dua tahun menjadi pelayan di rumah ini. Bukankah itu waktu yang cukup lama, lalu apa kabar dengan masa depanku, dan ... Ibu.
Tiba-tiba saja aku teringat wanita itu, yang tak pernah lupa kusebut namanya dari setiap doa-doa. Aku begitu merindu, entah kapan dapat bertemu.
Kembali jiwaku seakan menggigil pilu. Dunia tiba-tiba dingin menghujam seluruh permukaanku. Hingga waktu berlalu, dan mentari menyambut dengan sinar cerahnya.
Drttt derrt drttt. Getar gawaiku berbunyi, segera kuraih dan membacanya.
[Assalamualaikum. Binar, kamu apa kabar? Aku Daffa, baru saja aku mendapat nomor telponmu dari Ibu. Hari ini Intan kontrol, apa kamu tak ada rencana untuk pulang?]
[Wa'alaikumslam Daffa. Terimakasih sudah mengingatkan, insyaAlloh aku bisa pulang hari ini. Aku sudah meminta ini dari Bosku semalam]
[Syukurlah, Intan pasti sangat senang.😆]
Kembali jiwaku seakan menggigil pilu. Dunia tiba-tiba dingin menghujam seluruh permukaanku. Hingga waktu berlalu, dan mentari menyambut dengan sinar cerahnya.
Drttt derrt drttt. Getar gawaiku berbunyi, segera kuraih dan membacanya.
[Assalamualaikum. Binar, kamu apa kabar? Aku Daffa, baru saja aku mendapat nomor telponmu dari Ibu. Hari ini Intan kontrol, apa kamu tak ada rencana untuk pulang?]
[Wa'alaikumslam Daffa. Terimakasih sudah mengingatkan, insyaAlloh aku bisa pulang hari ini. Aku sudah meminta ini dari Bosku semalam]
[Syukurlah, Intan pasti sangat senang.😆]
Dengan cepat aku menyelesaikan tugasku, agar bisa lebih awal pulang ke rumah Ibu Anjar dan bertemu adikku. Senang. Pasti. Dia adalah satu-satunya hal berharga yang kupunya. Dan satu-satunya amanat yang dipesankan almarhumah nenek padaku. Intan.
"Apa kau butuh uang?" Suara Reyhan mengagetkanku secara tiba-tiba. Aku yang sedang menata piring di meja makan langsung terperanjat.
"Kamu ngagetin aja," protesku. Lelaki yang telah berdandan rapi dengan seragam kerjanya tak mengihiraukan.
"Kamu kerja sambil ngalamun?" terkanya. Kemudian dia duduk di kursi yang sudah kusiapkan sepiring nasi goreng beserta jus buah.
"Apa kau butuh uang?" Suara Reyhan mengagetkanku secara tiba-tiba. Aku yang sedang menata piring di meja makan langsung terperanjat.
"Kamu ngagetin aja," protesku. Lelaki yang telah berdandan rapi dengan seragam kerjanya tak mengihiraukan.
"Kamu kerja sambil ngalamun?" terkanya. Kemudian dia duduk di kursi yang sudah kusiapkan sepiring nasi goreng beserta jus buah.
"Bukankah kalau kontrol masih butuh biaya dan untuk menebus obat?" lanjutnya.
"Nggak nyangka kamu sekonsisten itu," cetusku, nyengir.
"Maksudmu?"
"Tawaranmu termasuk dalam misi menjadi lelaki baik kan?" Reyhan tak merespon, tanpa menjawab ataupun menolehku dia malah semakin lahap menyantap menu yang kuhidangkan.
"Memangnya nggak bisa kontrolnya nanti sore saja, atau besok?" Mencerna ucapannya, kurasa lelaki itu masih berminat untuk mengantarkanku. Seneng juga kalau dia berubah menjadi orang baik, benar-benar menguntungkan.
"Nggak bisa, soalnya sudah di jadwal dari pihak rumah sakit," jelasku.
"Jadi berapa biayanya?"
"Nggak perlu, soalnya Bu Anjar sudah menanggung semua sisa biayanya," terangku.
"Sedekat apa kamu dengan dia? Sampai dia begitu baik padamu?"
"Dia orang baik. Baik banget, orang baik pertama yang kukenal di kota ini," jelasku.
"Kenapa kalian bisa tinggal di rumahnya?"
"Karena kami tak punya rumah, dan suster Anjarlah satu-satunya orang yang peduli, memberikan kami tumpangan tanpa imbalan. Dia sangat menyayangi kami, bahkan dia sudah menganggap kami seperti anaknya sendiri," paparku.
"Nggak nyangka kamu sekonsisten itu," cetusku, nyengir.
"Maksudmu?"
"Tawaranmu termasuk dalam misi menjadi lelaki baik kan?" Reyhan tak merespon, tanpa menjawab ataupun menolehku dia malah semakin lahap menyantap menu yang kuhidangkan.
"Memangnya nggak bisa kontrolnya nanti sore saja, atau besok?" Mencerna ucapannya, kurasa lelaki itu masih berminat untuk mengantarkanku. Seneng juga kalau dia berubah menjadi orang baik, benar-benar menguntungkan.
"Nggak bisa, soalnya sudah di jadwal dari pihak rumah sakit," jelasku.
"Jadi berapa biayanya?"
"Nggak perlu, soalnya Bu Anjar sudah menanggung semua sisa biayanya," terangku.
"Sedekat apa kamu dengan dia? Sampai dia begitu baik padamu?"
"Dia orang baik. Baik banget, orang baik pertama yang kukenal di kota ini," jelasku.
"Kenapa kalian bisa tinggal di rumahnya?"
"Karena kami tak punya rumah, dan suster Anjarlah satu-satunya orang yang peduli, memberikan kami tumpangan tanpa imbalan. Dia sangat menyayangi kami, bahkan dia sudah menganggap kami seperti anaknya sendiri," paparku.
Seketika aku tersenyum haru, mengingat semua keanggunan dan kebaikan suster yang satu itu.
"Kalau kamu mau, adikmu boleh tinggal di rumah ini. Rumah ini cukup besar untuk di tinggali oleh beberpa anggota lagi," tawarnya. Aku benar-benar takjub mendengar kalimat itu. Benarkah lelaki itu sedang waras? Atau ada sesuatu yang merasuk?
"Terimakasih banyak, tapi tidak perlu. Kurasa Intan betah tinggal bersama Bu Anjar, biar dia merasakan kasih sayang seorang Ibu yang dari kecil tidak pernah ia dapatkan."
"Maksudnya?" Lelaki itu seolah kaget.
Aku tersenyum menatapnya, "ya ... kau tau, setiap manusia selalu diberi ujiannya masing-masing oleh Tuhan. Itu adalah proses, cara Tuhan menaikan derajat seseorang," jelasku.
"Jadi kau masih memiliki Ibu?"
"Tentu saja. Bahkan kau pun pernah melihatnya."
"Benarkah? Dimana dia? Bukankah kalian datang dari desa?"
"Tujuan utama kami ke Jakarta adalah untuk menemui Ibu. Seorang wanita yang sampai sekarang belum bisa mengakui keberadaan kami. Dua gadisnya yang sudah ia tinggalkan puluhan tahun lamanya," ucapku.
"Kalau kamu mau, adikmu boleh tinggal di rumah ini. Rumah ini cukup besar untuk di tinggali oleh beberpa anggota lagi," tawarnya. Aku benar-benar takjub mendengar kalimat itu. Benarkah lelaki itu sedang waras? Atau ada sesuatu yang merasuk?
"Terimakasih banyak, tapi tidak perlu. Kurasa Intan betah tinggal bersama Bu Anjar, biar dia merasakan kasih sayang seorang Ibu yang dari kecil tidak pernah ia dapatkan."
"Maksudnya?" Lelaki itu seolah kaget.
Aku tersenyum menatapnya, "ya ... kau tau, setiap manusia selalu diberi ujiannya masing-masing oleh Tuhan. Itu adalah proses, cara Tuhan menaikan derajat seseorang," jelasku.
"Jadi kau masih memiliki Ibu?"
"Tentu saja. Bahkan kau pun pernah melihatnya."
"Benarkah? Dimana dia? Bukankah kalian datang dari desa?"
"Tujuan utama kami ke Jakarta adalah untuk menemui Ibu. Seorang wanita yang sampai sekarang belum bisa mengakui keberadaan kami. Dua gadisnya yang sudah ia tinggalkan puluhan tahun lamanya," ucapku.
Senyumku makin lebar, saat kulihat Reyhan seolah kaget mendengar ucapanku barusan. Aku pun tak mengerti, kenapa tiba-tiba aku mengatakan hal itu padanya. Sebuah rahasia yang sebenarnya kujaga rapat-rapat.
Bukan rasa iba yang kuingin darinya, tapi ... aku ingin mata hatinya terbuka. Agar lelaki itu menyadari, betaba banyak orang-orang yang jauh lebih tidak beruntung darinya. Agar dia tau, ada berapa banyak jiwa-jiwa kuat meski harus tertimpa cobaan berat.
Cukup lama Reyhan termenung dengan raut wajahnya yang tiba-tiba berubah pias. Kurasa otaknya sedang berputar, menilik peristiwa lalu yang mungkin ia sangka ibuku.
"Hey, kamu bukan sedang melamun 'kan?"
"Apa wanita itu yang pernah kau siram dengan segelas jus?" lirihnya ragu.
"Rupanya kau pandai mengingat sesuatu," sanjungku dengan tersenyum getir. Lelaki itu tak merespon, justru seolah melanjutkan lamunannya.
"Ya sudah, Aku harus ke rumah Bu Anjar sekarang. Sampai jumpa nanti!" ucapku pada lelaki yang masih tertegun.
Tak menghiraukan lagi bagaimana ekspreainya, dan ngeloyor pergi.
***
Tepat pukul 09.00 aku telah tiba di rumah Bu Anjar, perasaan berbunga senantiasa menyertai.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam. Mbak Binar." Intan menyambutku dengan bahagia, lalu kami berpeluk haru melepas rindu.
"Intan kangen Mbak."
"Sama. Mbak juga kangen banget sama kamu. Bagaimana keadaanmu sekarng? Apa sudah jauh lebih baik?"
"Sudah dong, Intan sudah merasa sehat sekarang. Dan Bu Anjar rajin banget buat ngingetin aku minum obat," jelasnya. Adikku terlihat begitu bahagia disini, membuatku begitu lega.
"Syukurlah kalau begitu. Bu Anjar mana?" tanyaku.
"Ibu masuk pagi, jadi sudah berangkat ke Rumah sakit duluan," jawabnya.
"Hai Binar," sapa Daffa. Lelaki yang selalu terlihat santai penampilannya.
"Kak Daffa juga baru pulang semalam, sekarang dia mau nganter kita ke rumah sakit," ucap Intan.
"Lho, memangnya nggak kerja?" tanyaku.
"Sudah jadi kebiasaan di kantor, setiap karyawan yang usai ditugaskan di luar kota. Karyawan mendapatkan libur kerja sehari, lumayanlah buat istirahat. Itung-itung buat ganti jam ngantuk pas banyak tugas smpai lembur larut malam kemarin-kemarin. Hehee," jelas lelaki bermata teduh itu disusul tawanya.
"Terus kalau sekarang kamu antar kami, sama saja nggak ada waktu istirahat dong?" tampikku.
"Nggak selamanya istirahat harus tidur 'kan? Berhenti memikirkan masalah kerja, itu sudah lebih dari sekedar istirahat. Yang pasti otak perlu refreshing," tukasnya
"Yasudah, sekarang kita bisa berangkat," ajakku.
Kami pun bersiap memasuki mobil dan menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan, bercengkrama dalam perbincangan menyenangkan. Ya ... Daffa memang menganggap kami seperti keluarganya. Semoga saja, suatu saat aku bisa membalas kebaikan mereka.
Setibanya di rumah sakit, kami pun menuju tempat kontrol dimana Intan dirawat. Perkembangan yang cukup menakajubkan, kondisi Intan jauh lebih baik dari sebelumnya. Bekas jahitan oprasi pun sudah jarang mulai mengering sempurna.
"Habis ini kita mampir bentar yuk ke Mall!" tawar Daffa. "Intan, kamu pasti bosan kan, tiap hari di rumah terus?" lanjutnya.
Adikku mengangguk dengan senyum, seraya melirikku.
"Bagaimana Mbak?" tanya Intan padaku.
"Emm, sebenarnya hari ini aku bekerja, aku cuma meminta ijin untuk mengantarkanmu kontrol saja," jelasku.
"Bosnya Embak galak banget yah?" tanya Intan mengubah ekspresi wajahnya.
"Enggak kok, dia baik. Tapi harus disiplin," tukasku.
"Yah, padahal kalian jarang sekali bertemu 'kan?" timpal Daffa. "Makan cemilan bentar, nggak papa dong?" imbuhnya.
Bukan rasa iba yang kuingin darinya, tapi ... aku ingin mata hatinya terbuka. Agar lelaki itu menyadari, betaba banyak orang-orang yang jauh lebih tidak beruntung darinya. Agar dia tau, ada berapa banyak jiwa-jiwa kuat meski harus tertimpa cobaan berat.
Cukup lama Reyhan termenung dengan raut wajahnya yang tiba-tiba berubah pias. Kurasa otaknya sedang berputar, menilik peristiwa lalu yang mungkin ia sangka ibuku.
"Hey, kamu bukan sedang melamun 'kan?"
"Apa wanita itu yang pernah kau siram dengan segelas jus?" lirihnya ragu.
"Rupanya kau pandai mengingat sesuatu," sanjungku dengan tersenyum getir. Lelaki itu tak merespon, justru seolah melanjutkan lamunannya.
"Ya sudah, Aku harus ke rumah Bu Anjar sekarang. Sampai jumpa nanti!" ucapku pada lelaki yang masih tertegun.
Tak menghiraukan lagi bagaimana ekspreainya, dan ngeloyor pergi.
***
Tepat pukul 09.00 aku telah tiba di rumah Bu Anjar, perasaan berbunga senantiasa menyertai.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam. Mbak Binar." Intan menyambutku dengan bahagia, lalu kami berpeluk haru melepas rindu.
"Intan kangen Mbak."
"Sama. Mbak juga kangen banget sama kamu. Bagaimana keadaanmu sekarng? Apa sudah jauh lebih baik?"
"Sudah dong, Intan sudah merasa sehat sekarang. Dan Bu Anjar rajin banget buat ngingetin aku minum obat," jelasnya. Adikku terlihat begitu bahagia disini, membuatku begitu lega.
"Syukurlah kalau begitu. Bu Anjar mana?" tanyaku.
"Ibu masuk pagi, jadi sudah berangkat ke Rumah sakit duluan," jawabnya.
"Hai Binar," sapa Daffa. Lelaki yang selalu terlihat santai penampilannya.
"Kak Daffa juga baru pulang semalam, sekarang dia mau nganter kita ke rumah sakit," ucap Intan.
"Lho, memangnya nggak kerja?" tanyaku.
"Sudah jadi kebiasaan di kantor, setiap karyawan yang usai ditugaskan di luar kota. Karyawan mendapatkan libur kerja sehari, lumayanlah buat istirahat. Itung-itung buat ganti jam ngantuk pas banyak tugas smpai lembur larut malam kemarin-kemarin. Hehee," jelas lelaki bermata teduh itu disusul tawanya.
"Terus kalau sekarang kamu antar kami, sama saja nggak ada waktu istirahat dong?" tampikku.
"Nggak selamanya istirahat harus tidur 'kan? Berhenti memikirkan masalah kerja, itu sudah lebih dari sekedar istirahat. Yang pasti otak perlu refreshing," tukasnya
"Yasudah, sekarang kita bisa berangkat," ajakku.
Kami pun bersiap memasuki mobil dan menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan, bercengkrama dalam perbincangan menyenangkan. Ya ... Daffa memang menganggap kami seperti keluarganya. Semoga saja, suatu saat aku bisa membalas kebaikan mereka.
Setibanya di rumah sakit, kami pun menuju tempat kontrol dimana Intan dirawat. Perkembangan yang cukup menakajubkan, kondisi Intan jauh lebih baik dari sebelumnya. Bekas jahitan oprasi pun sudah jarang mulai mengering sempurna.
"Habis ini kita mampir bentar yuk ke Mall!" tawar Daffa. "Intan, kamu pasti bosan kan, tiap hari di rumah terus?" lanjutnya.
Adikku mengangguk dengan senyum, seraya melirikku.
"Bagaimana Mbak?" tanya Intan padaku.
"Emm, sebenarnya hari ini aku bekerja, aku cuma meminta ijin untuk mengantarkanmu kontrol saja," jelasku.
"Bosnya Embak galak banget yah?" tanya Intan mengubah ekspresi wajahnya.
"Enggak kok, dia baik. Tapi harus disiplin," tukasku.
"Yah, padahal kalian jarang sekali bertemu 'kan?" timpal Daffa. "Makan cemilan bentar, nggak papa dong?" imbuhnya.
Lelaki itu tersenyum tipis dengan mengangkat alis. Seolah sedang merayu agar inginnya di kabulkan. Sebenarnya aku pun masih rindu, masih ingin lebih lama lagi bersama Intan.
"Yasudah, tapi entar aku langsung kembali ke tempat Bossku yah." Dua orang itu tersenyum sumringah menolehku.
"Ok, siap. Nanti abis makan kita antar kamu langsung," jawab Daffa.
"Yaudah, sekarang berangkat."
Di perjalanan aku meminta Daffa untuk menghentikan mobilnya di depan salah satu mini market untuk membelu sesuatu. Intan menunggu di mobil, sedang Daffa yang kuharap bisa menemani Intan, justru dia ikut turun dengan alasan ingin membeli sesuatu pula.
"Kamu nggak keberatan 'kan kalau aku punya nomormu?" ucapnya.
"Memangnya apa yang harus memberatkan?" Aku balik nanya.
"Takutnya ada yang marah?"
"Ada dong, kalau kamu chatnya nyepam di hpku, bakal buat aku marah," gurauku dengan tertawa lirih.
"Jadi penasaran cewek cantik kaya apa marahnya?"
"Kamu lagi ngomong sama aku?"
"Bukan ... sama tukang parkir, tuh," ucapnya dengan menunjuk tukang parkir yang berada di samping kami. Reflek membuatku tertawa dan memukul pundaknya.
"Kamu nggak nyadar, kalau kamu cantik?" sambungnya.
"Awas yah, aku bilangin sama Bu Anjar, anaknya suka godain cewek," ancamku.
"Boleh, entar sekalian minta restu," cakapnya.
Entah apa maksudnya, tiba-tiba saja lelaki bermata teduh itu memulai percakapan yang akhirnya membuatku kikuk. Tapi aku berusaha biasa saja, tidak terlalu terbawa perasaan.
"Ya sudah, aku beli barangku dulu yah." Aku pun melangkah lebih cepat, sedikit menjauh darinya. Setelah mendapatkan sesuatu yang kubutuhkan, usai membayar aku pun bergegas kembali ke mobil untuk menemui Intan.
"Mbak Binar udah balik. Ka Daffa mana?"
"Oh, dia masih di belakang, mungkin belum selesai."
"Kak Daffa ganteng yah Mbak. Baik lagi. Pasti beruntung banget perempuan yang bisa mendapatkan cintanya."
"Kamu suka sama Daffa?" tanyaku.
Entah kenapa, tiba-tiba ada perasaan yang membuatku risau. Cukup tercengang mendengar ungkapannya barusan. Jika Intan benar-benar mulai menyukai Daffa. Lalu?
Intan terdiam dan tersipu, seolah mengiyakan pertanyaanku.
==========
"Yasudah, tapi entar aku langsung kembali ke tempat Bossku yah." Dua orang itu tersenyum sumringah menolehku.
"Ok, siap. Nanti abis makan kita antar kamu langsung," jawab Daffa.
"Yaudah, sekarang berangkat."
Di perjalanan aku meminta Daffa untuk menghentikan mobilnya di depan salah satu mini market untuk membelu sesuatu. Intan menunggu di mobil, sedang Daffa yang kuharap bisa menemani Intan, justru dia ikut turun dengan alasan ingin membeli sesuatu pula.
"Kamu nggak keberatan 'kan kalau aku punya nomormu?" ucapnya.
"Memangnya apa yang harus memberatkan?" Aku balik nanya.
"Takutnya ada yang marah?"
"Ada dong, kalau kamu chatnya nyepam di hpku, bakal buat aku marah," gurauku dengan tertawa lirih.
"Jadi penasaran cewek cantik kaya apa marahnya?"
"Kamu lagi ngomong sama aku?"
"Bukan ... sama tukang parkir, tuh," ucapnya dengan menunjuk tukang parkir yang berada di samping kami. Reflek membuatku tertawa dan memukul pundaknya.
"Kamu nggak nyadar, kalau kamu cantik?" sambungnya.
"Awas yah, aku bilangin sama Bu Anjar, anaknya suka godain cewek," ancamku.
"Boleh, entar sekalian minta restu," cakapnya.
Entah apa maksudnya, tiba-tiba saja lelaki bermata teduh itu memulai percakapan yang akhirnya membuatku kikuk. Tapi aku berusaha biasa saja, tidak terlalu terbawa perasaan.
"Ya sudah, aku beli barangku dulu yah." Aku pun melangkah lebih cepat, sedikit menjauh darinya. Setelah mendapatkan sesuatu yang kubutuhkan, usai membayar aku pun bergegas kembali ke mobil untuk menemui Intan.
"Mbak Binar udah balik. Ka Daffa mana?"
"Oh, dia masih di belakang, mungkin belum selesai."
"Kak Daffa ganteng yah Mbak. Baik lagi. Pasti beruntung banget perempuan yang bisa mendapatkan cintanya."
"Kamu suka sama Daffa?" tanyaku.
Entah kenapa, tiba-tiba ada perasaan yang membuatku risau. Cukup tercengang mendengar ungkapannya barusan. Jika Intan benar-benar mulai menyukai Daffa. Lalu?
Intan terdiam dan tersipu, seolah mengiyakan pertanyaanku.
==========
[POV-Reyhan]
Aku tak tahu apa yang dilakukan ini benar atau tidak? Mengatakan suatu kebohongan untuk menutupi aib sendiri. Biarlah Binar mengenalku sesuai penilaiannya tentang sosok seorang Reyhan yang dia tahu. Selebihnya, cukup aku saja yang tahu. Maaf Binar ... penilaianmu terhadapku terlalu baik. Aku malu jika mengatakan yang sebenarnya, karena pasti akan mengecewakanmu.
Hubungan dengan Binar semakin baik sejak aku memperlakukannya secara manusiawi. Hingga suatu hari saat dia berpamitan ingin menemani adiknya ke rumah sakit, entah kenapa aku begitu ingin mengantar. Seharusnya aku sadar posisi kami. Siapa dia dan siapa aku? Namun nyatanya logika terkalahkan oleh empati. Empati seorang Reyhan yang kembali muncul setelah sekian tahun terpendam oleh rasa kebencian.
Perlakuan wanita penghianat itu secara telak, berhasil mengikis rasa empatiku pada sesama, terutama makhluk yang disebut perempuan. Namun, kehadiran Binar perlahan memupuk kembali kepekaan itu tanpa kusadari. Binar ... benarkah semua karenamu? Karena hati bisa merasakan ketulusan yang engkau berikan tanpa bisa menolaknya.
Saat aku menawarkan uang untuk berobat adiknya, dia menolak. Alasannya karena sudah dibantu Bu Anjar. Kemudian fakta lain terkuak tentang ibu Binar yang ternyata wanita di restoran juga di parkiran kala itu. Ah ... tak kusangka jalan hidupmu begitu terjal. Aku kira hanya akulah orang yang paling nestapa karena memiliki ibu yang tidak punya hati. Ternyata, nasibmu tidak lebih baik daripada aku.
Binar ... nasib kita sama. Hanya bedanya kau berharap ibumu kembali, sedangkan aku tak sudi menerima ibuku di sisi. Luka yang ditorehkan begitu dalam hingga menembus ulu hati.
***
Di perusahaan sedang ada masalah dengan salah satu klien yang membatalkan kontrak kerja sama sepihak karena dinilai kinerja tim kami tidak professional. Bisa-bisanya hal ini terjadi! Membuat kepala pusing saja. Meeting direksi pun diadakan. Di sana mau tidak mau, harus bertemu dengan wanita yang tak ingin kutemui.
"Bagaimana kabarmu, Reyhan?" Sapaan lembutnya tidak berarti apa-apa setelah meeting usai. Bagiku, dia tetaplah seorang egois dan pengkhianat yang membuat hidupku hilang arah.
"Seperti yang Anda lihat, saya masih bernapas dan bisa berdiri sampai hari ini," jawabku tak acuh.
Ruangan meeting telah senyap. Tinggal kami berdua saja. Aku ingin beranjak, tapi telapak tangannya menahan bahuku.
"Rey, sampai kapan kamu akan menghindari mama? Berkali-kali mama meminta maaf, tapi kamu tak kunjung luluh," ucapnya mengiba.
Aku menjauhkan bahu sehingga tercipta jarak di antara kami.
"Mama mengaku salah dan tidak akan menyalahkan papamu lagi. Biar dia tenang di sana. Jadi mama mohon berilah kesempatan untuk memperbaiki semua. Kita bangun lagi keluarga seperti sediakala."
"Seperti sediakala? Hah! Apa Anda tahu kalau Papa sudah tidak ada di dunia ini? Tidak mungkin bisa terbangun keluaga seperti dulu, Nyonya. Satu lagi yang harus Anda ingat, Papa meninggal karena perbuatan Anda!" Aku berusaha menahan emosi agar tidak sampai melukai fisiknya.
Dia menggeleng, tak terima dengan apa yang kuucapkan. "Tidak, Reyhan. Papamu meninggal karena murni kecelakaan. Bukan karena mama." Lagi, dia melakukan pembelaan.
"Ajal itu sudah digariskan Yang Kuasa, Reyhan. Memang seperti itulah jalannya papamu harus pergi meninggalkan kita."
"Seperti sediakala? Hah! Apa Anda tahu kalau Papa sudah tidak ada di dunia ini? Tidak mungkin bisa terbangun keluaga seperti dulu, Nyonya. Satu lagi yang harus Anda ingat, Papa meninggal karena perbuatan Anda!" Aku berusaha menahan emosi agar tidak sampai melukai fisiknya.
Dia menggeleng, tak terima dengan apa yang kuucapkan. "Tidak, Reyhan. Papamu meninggal karena murni kecelakaan. Bukan karena mama." Lagi, dia melakukan pembelaan.
"Ajal itu sudah digariskan Yang Kuasa, Reyhan. Memang seperti itulah jalannya papamu harus pergi meninggalkan kita."
Kini dia mulai terisak. Aku tak tahu apa yang membuatnya menangis. Karena menyesal kehilangan Papa? Atau karena takut akan dosa yang telah membuat papa menderita di ujung usianya?
Tidak ada yang salah sebenarnya dari penuturan itu, tapi entah kenapa bongkahan es dalam hatiku belum bisa meleleh dengan segala usaha yang dia lakukan. Aku akui, dia memang berulang kali meminta maaf, tapi kuanggap angin lewat karena hati terlanjur mati untuk sekedar mencerna apa yang dia ucapkan.
Tanpa memberi jawaban, aku melangkah meninggalkannya seorang diri. Biarlah ... biarlah seperti ini saja. Aku tak mau semakin sakit hati lagi jika mengingat apa yang telah terjadi pada keluarga kami.
***
"Sudah selesai rapatnya?" tanya Binar saat aku sudah kembali ke ruangan.
Di tangannya sudah ada satu kotak pizza. Sedangkan di meja tamu ada satu cup kopi favoritku. Aku duduk dan bersandar di sofa lalu mengendurkan dasi. Mengatur posisi ternyaman, sejenak memejamkan mata, kemudian menghela napas berat. Masalah perusahaan yang belum kelar, ditambah pertemuan dengan wanita itu, membuat kepalaku semakin pusing.
Binar duduk di single sofa sebelahku.
"Aku membelikan makan siang untukmu. Rapat tadi berlangsung lama. Kurasa kamu belum makan, bukan? Sekarang makanlah dulu!" Dia membuka box pizza dan menyodorkan sepotong kepadaku.
Melihat senyum simpulnya, seperti memberi energi pada tubuhku.
"Kau sudah makan?"
Binar mengangguk, "Sudah, tadi di pantri."
Sekarang memang kuizinkan dia kembali bekerja sebagai office girl, agar memiliki gaji sendiri. Namun, tetap mengutamakan pelayanan kepadaku. Toh, Binar bisa melakukan semua dengan baik. Jadi aku tidak merasa dirugikan.
Binar punya perjalanan hidup yang terjal, tapi sekarang seolah tidak punya beban. Bisa tersenyum dengan tulus pada orang yang pernah berperilaku buruk padanya. Lalu aku?
"Binar ...."
"Ya?"
"Apa yang membuatmu dan Intan mau memaafkan ibumu? Walau dia telah meninggalkan kalian?" tanyaku penasaran.
Binar mengalihkan pandangan, tapi tetap tersenyum. "Karena dia wanita yang melahirkan kami. Dia satu-satunya keluarga yang kami punya. Aku tak ingin masa tuanya menderita karena tidak punya keluarga. Tidak punya orang yang mencintainya dengan tulus," tuturnya dengan pandangan menerawang. Mungkin sedang mengingat bagaimana sosok ibunya.
"Bagaimana kalau dia tetap tidak menghargai perjuanganmu untuk meraihnya?" tanyaku menatap lekat wajahnya.
Binar menoleh, menatapku. "Sejatinya tidak ada seorang ibu yang ingin menyakiti anak-anaknya. Semua hanya karena keadaan. Dulu memang aku hampir menyerah. Saat semua usahaku tiada hasil. Akan tetapi ... aku yakin suatu saat hati ibu akan luluh, dan mau kembali pada kami. Bagaimanapun keadaannya, beliau tetaplah ibu bagi kami."
"Jadi kamu sudah memaafkan semua kesalahan ibumu?"
Dia tertawa tipis. "Tuhan saja Maha Pemaaf. Betapa sombongnya kita sebagai makhluk yang lemah, tapi tidak mau membuka pintu maaf? Terlebih untuk orang yang telah melahirkan kita dengan penuh perjuangan. Melahirkan kita dengan mempertaruhkan nyawanya, antara hidup dan mati."
Bulir bening menggelincir dari sudut mata, yang segera dia seka. Seberapa tegar seorang perempuan, pasti ada sisi lembut di hatinya jika menyangkut orang yang disayangi, apalagi ... ibu. Ya Tuhan ... kenapa aku tidak bisa seperti Binar, yang dengan mudah bisa memaafkan kesalahan ibunya? Apa hatiku sudah mati?
"Ayo makanlah, Rey. Sudah hampir jam tiga. Kamu pasti lapar, kan?" Suara Binar menyeretku kembali ke alam sadar.
Sepotong pizza dia sodorkan kembali. Aku tersenyum tipis melihat perlakuannya. Cepat sekali dia bisa menguasai suasana hati yang tadi sendu menjadi ceria kembali. Seolah tiada beban yang menggelayuti hidupnya.
"Suapin, ya?"
Binar memonyongkan bibirnya. Lucu.
"Makan sendiri, gih. Aku mau ke pantri lagi," ucapnya sambil menyodorkan potongan pizza semakin dekat dengan wajahku.
Tanpa menunggu lama, aku menggigit potongan pizza itu. Dia melongo menatapku. Pandangan kami beradu. Ada desiran aneh di dalam sana. Bukan. Bukan nafsu seperti kontak fisik dengan perempuan lain. Namun ... entahlah. Aku tak tahu apa ini?
Setelah gigitan kedua, dia baru tersadar lalu tertawa kecil.
"Kamu bisa makan sendiri, Rey ...." Tawanya tergelak dengan menggeleng pelan. Dia hendak menaruh pizza ke tempatnya, tapi kutahan.
"Aku lapar ...."
Entah apa yang dia pikirkan saat mendengar suaraku seperti orang mengiba. Kami sama-sama bergeming. Lalu, tanpa suara dan penolakan, Binar menurut. Ekor matanya mengikuti tangan yang kupegang dan mengarah ke depan mulut ini. Kemudian aku menggigit, mengunyahnya lagi dan lagi hingga habis. Binar hanya membisu menatap tangannya. Sedangkan aku menatap lekat perubahan wajahnya. Entah kenapa rasa pizza itu semakin nikmat?
"Hari ini pikiran dan tubuhku sangat lelah. Terima kasih telah melakukan semua ini untuk menghiburku," ucapku setelah melepas tangannya.
Binar berdehem dan menegakkan posisi duduknya, terlihat salah tingkah. Ada kegugupan yang melandanya.
"Em ... i-iya sama-sama," ucapnya canggung, "habiskan pizzanya! Akan tetapi makan sendiri. Sudah tua juga, masa minta disuapi?" sunggutnya dengan tersenyum geli.
"Siapa yang bilang, aku tua?"
"Bu Dilah," jawabnya sok menang.
"Enak saja ...." Aku tak merasa sedang diejek.
Justru ini seperti hiburan tersendiri bagiku. Tidak ada rasa canggung atau jiwa liarku yang mendominasi. Bisa bersenda gurau, melihatnya bersikap salah tingkah, rasanya hati ini menghangat.
"Memang begitu kenyataannya, kok." Kembali dia memasang wajah penuh kemenangan.
Aku tertawa kecil. "Biarpun tua tapi tetap ganteng maksimal, kan?"
"Jiyaaa ... beneran kamu Reyhan? Lelaki arogan yang kukenal? Kenapa jadi lebay?"
Aku tertawa mendengar ucapannya. Dia benar. Aku seperti merasakan kebebasan saat ini. Bukan seorang Reyhan yang jaim di depannya.
"Namun tak apa. Aku senang kamu banyak tersenyum. Setidaknya aku tidak merasa jengkel jika bertemu denganmu lagi," sambungnya.
"Kau suka aku yang seperti ini?" Binar mengangguk. Aku kembali tersenyum.
"Tetaplah tersenyum walau masalah mengelilingimu!" ucap Binar. Aku hanya tersenyum mendengarnya.
"Ayo, sekarang habiskan makanannya!" Binar menyodorkan kotak pizzanya.
"Baiklah. Aku memang lapar, Binar. Namun tak mungkin menghabiskannya sendiri pizza sebesar ini. Jadi ... kamu harus ikut menghabiskannya." Aku mengambil sepotong lalu menyerahkan kepadanya.
Dia tampak terkejut. "Aku tidak akan menyuapimu. Aku 'kan bosmu. Jangan lupakan itu! Ayo makan!"
"Iish ... iya, bos resek!" gerutunya sambil menerima potongan pizza dariku.
Setelahnya kami tergelak. Menikmati makan siang di ruang kantor dengan obrolan receh, tapi bisa membuatku tertawa. Sejenak aku melupakan sebagian masalah yang sedang dihadapi. Senyumannya, seakan menjadi vitamin pemompa semangat. Ah ... Binar ... semudah itu kau bisa membuatku tertawa.
***
Sebelum tidur, aku memikirkan ucapan Binar di kantor tadi. Mungkinkah aku harus melembutkan hati untuk memaafkan kesalahan Mama? Sedangkan kebencian kepadanya sudah mendarah daging di seluruh tubuh dan jiwaku. Kilas memoriku belasan tahun lalu kembali berputar seperti sebuah adegan film. Rasanya mustahil aku bisa memaafkannya. Memaafkan? Semudah itu?
Lama mencari posisi agar aku bisa melepas segala gundah, namun nihil. Insomnia melanda, hanya detak jarum jam yang terdengar menikam sunyi. Akhirnya aku pun bangkit, meneguk air putih. Kuharap dapat meluruhkan sesuatu yang menyesakkan.
Saat tiba di ruang tengah, kulihat sekelibat bayangan di teras samping yang terbuka atapnya. Tersenyum tipis saat kudapati seorang gadis yang sedang berdiri menghadap langit. Rambutnya yang lurus sesekali mengibas tertiup sang bayu. Usai menuang air dalam gelas, aku berjalan pelan ke arahnya.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Gadis itu sedikit terperanjat, lalu menoleh.
"Kamu belum tidur?"
"Entahlah, kenapa malam ini susah memejamkan mata?" jawabku.
Kutenggok dia. Gadis itu hanya tersenyum tipis tanpa mengalihkan padangan menatap langit. Malam ini memang bukan bulan purnama, tapi kerlip bintang menghiasi cakrawala. Indah.
"Apa kamu tahu, kenapa aku suka langit?"
"Karena ada bintang?"
"Bukan."
"Lalu?"
"Karena langit tak berujung."
"Lantas?"
"Kamu tahu, bukan ikhlas namanya jika masih terucap. Juga bukan sabar namanya jika masih berbatas. Aku ingin memiliki hati seperti langit, luas dan tak berujung. Hingga apa pun yang terjadi dan menimpa, bisa kuterima dengan ikhlas dan lapang dada," paparnya tanpa mengalihkan pandangan.
"Kenyataannya, semua tak semudah teori," selaku.
"Kamu sudah mencoba?"
Aku terdiam. Entahlah ... berbicara dengan gadis itu memang membuat kenyamanan tersendiri. Namun di sisi lain, membuatku semakin sadar, betapa naifnya diri ini. Tentu saja ini memalukan, masih pantaskah aku membela diri?
"Mulailah dengan berdamai pada dirimu sendiri, maka secara perlahan hidup akan turut berdamai dengan setiap orang di sekelilingmu. Percayalah!" ucapnya tanpa menoleh.
"Binar ...." Aku memanggilnya dan membuat gadis itu menatapku.
"Maukah kamu memaniku berdamai dengan kehidupan ini?"
Bersambung #8
Tidak ada yang salah sebenarnya dari penuturan itu, tapi entah kenapa bongkahan es dalam hatiku belum bisa meleleh dengan segala usaha yang dia lakukan. Aku akui, dia memang berulang kali meminta maaf, tapi kuanggap angin lewat karena hati terlanjur mati untuk sekedar mencerna apa yang dia ucapkan.
Tanpa memberi jawaban, aku melangkah meninggalkannya seorang diri. Biarlah ... biarlah seperti ini saja. Aku tak mau semakin sakit hati lagi jika mengingat apa yang telah terjadi pada keluarga kami.
***
"Sudah selesai rapatnya?" tanya Binar saat aku sudah kembali ke ruangan.
Di tangannya sudah ada satu kotak pizza. Sedangkan di meja tamu ada satu cup kopi favoritku. Aku duduk dan bersandar di sofa lalu mengendurkan dasi. Mengatur posisi ternyaman, sejenak memejamkan mata, kemudian menghela napas berat. Masalah perusahaan yang belum kelar, ditambah pertemuan dengan wanita itu, membuat kepalaku semakin pusing.
Binar duduk di single sofa sebelahku.
"Aku membelikan makan siang untukmu. Rapat tadi berlangsung lama. Kurasa kamu belum makan, bukan? Sekarang makanlah dulu!" Dia membuka box pizza dan menyodorkan sepotong kepadaku.
Melihat senyum simpulnya, seperti memberi energi pada tubuhku.
"Kau sudah makan?"
Binar mengangguk, "Sudah, tadi di pantri."
Sekarang memang kuizinkan dia kembali bekerja sebagai office girl, agar memiliki gaji sendiri. Namun, tetap mengutamakan pelayanan kepadaku. Toh, Binar bisa melakukan semua dengan baik. Jadi aku tidak merasa dirugikan.
Binar punya perjalanan hidup yang terjal, tapi sekarang seolah tidak punya beban. Bisa tersenyum dengan tulus pada orang yang pernah berperilaku buruk padanya. Lalu aku?
"Binar ...."
"Ya?"
"Apa yang membuatmu dan Intan mau memaafkan ibumu? Walau dia telah meninggalkan kalian?" tanyaku penasaran.
Binar mengalihkan pandangan, tapi tetap tersenyum. "Karena dia wanita yang melahirkan kami. Dia satu-satunya keluarga yang kami punya. Aku tak ingin masa tuanya menderita karena tidak punya keluarga. Tidak punya orang yang mencintainya dengan tulus," tuturnya dengan pandangan menerawang. Mungkin sedang mengingat bagaimana sosok ibunya.
"Bagaimana kalau dia tetap tidak menghargai perjuanganmu untuk meraihnya?" tanyaku menatap lekat wajahnya.
Binar menoleh, menatapku. "Sejatinya tidak ada seorang ibu yang ingin menyakiti anak-anaknya. Semua hanya karena keadaan. Dulu memang aku hampir menyerah. Saat semua usahaku tiada hasil. Akan tetapi ... aku yakin suatu saat hati ibu akan luluh, dan mau kembali pada kami. Bagaimanapun keadaannya, beliau tetaplah ibu bagi kami."
"Jadi kamu sudah memaafkan semua kesalahan ibumu?"
Dia tertawa tipis. "Tuhan saja Maha Pemaaf. Betapa sombongnya kita sebagai makhluk yang lemah, tapi tidak mau membuka pintu maaf? Terlebih untuk orang yang telah melahirkan kita dengan penuh perjuangan. Melahirkan kita dengan mempertaruhkan nyawanya, antara hidup dan mati."
Bulir bening menggelincir dari sudut mata, yang segera dia seka. Seberapa tegar seorang perempuan, pasti ada sisi lembut di hatinya jika menyangkut orang yang disayangi, apalagi ... ibu. Ya Tuhan ... kenapa aku tidak bisa seperti Binar, yang dengan mudah bisa memaafkan kesalahan ibunya? Apa hatiku sudah mati?
"Ayo makanlah, Rey. Sudah hampir jam tiga. Kamu pasti lapar, kan?" Suara Binar menyeretku kembali ke alam sadar.
Sepotong pizza dia sodorkan kembali. Aku tersenyum tipis melihat perlakuannya. Cepat sekali dia bisa menguasai suasana hati yang tadi sendu menjadi ceria kembali. Seolah tiada beban yang menggelayuti hidupnya.
"Suapin, ya?"
Binar memonyongkan bibirnya. Lucu.
"Makan sendiri, gih. Aku mau ke pantri lagi," ucapnya sambil menyodorkan potongan pizza semakin dekat dengan wajahku.
Tanpa menunggu lama, aku menggigit potongan pizza itu. Dia melongo menatapku. Pandangan kami beradu. Ada desiran aneh di dalam sana. Bukan. Bukan nafsu seperti kontak fisik dengan perempuan lain. Namun ... entahlah. Aku tak tahu apa ini?
Setelah gigitan kedua, dia baru tersadar lalu tertawa kecil.
"Kamu bisa makan sendiri, Rey ...." Tawanya tergelak dengan menggeleng pelan. Dia hendak menaruh pizza ke tempatnya, tapi kutahan.
"Aku lapar ...."
Entah apa yang dia pikirkan saat mendengar suaraku seperti orang mengiba. Kami sama-sama bergeming. Lalu, tanpa suara dan penolakan, Binar menurut. Ekor matanya mengikuti tangan yang kupegang dan mengarah ke depan mulut ini. Kemudian aku menggigit, mengunyahnya lagi dan lagi hingga habis. Binar hanya membisu menatap tangannya. Sedangkan aku menatap lekat perubahan wajahnya. Entah kenapa rasa pizza itu semakin nikmat?
"Hari ini pikiran dan tubuhku sangat lelah. Terima kasih telah melakukan semua ini untuk menghiburku," ucapku setelah melepas tangannya.
Binar berdehem dan menegakkan posisi duduknya, terlihat salah tingkah. Ada kegugupan yang melandanya.
"Em ... i-iya sama-sama," ucapnya canggung, "habiskan pizzanya! Akan tetapi makan sendiri. Sudah tua juga, masa minta disuapi?" sunggutnya dengan tersenyum geli.
"Siapa yang bilang, aku tua?"
"Bu Dilah," jawabnya sok menang.
"Enak saja ...." Aku tak merasa sedang diejek.
Justru ini seperti hiburan tersendiri bagiku. Tidak ada rasa canggung atau jiwa liarku yang mendominasi. Bisa bersenda gurau, melihatnya bersikap salah tingkah, rasanya hati ini menghangat.
"Memang begitu kenyataannya, kok." Kembali dia memasang wajah penuh kemenangan.
Aku tertawa kecil. "Biarpun tua tapi tetap ganteng maksimal, kan?"
"Jiyaaa ... beneran kamu Reyhan? Lelaki arogan yang kukenal? Kenapa jadi lebay?"
Aku tertawa mendengar ucapannya. Dia benar. Aku seperti merasakan kebebasan saat ini. Bukan seorang Reyhan yang jaim di depannya.
"Namun tak apa. Aku senang kamu banyak tersenyum. Setidaknya aku tidak merasa jengkel jika bertemu denganmu lagi," sambungnya.
"Kau suka aku yang seperti ini?" Binar mengangguk. Aku kembali tersenyum.
"Tetaplah tersenyum walau masalah mengelilingimu!" ucap Binar. Aku hanya tersenyum mendengarnya.
"Ayo, sekarang habiskan makanannya!" Binar menyodorkan kotak pizzanya.
"Baiklah. Aku memang lapar, Binar. Namun tak mungkin menghabiskannya sendiri pizza sebesar ini. Jadi ... kamu harus ikut menghabiskannya." Aku mengambil sepotong lalu menyerahkan kepadanya.
Dia tampak terkejut. "Aku tidak akan menyuapimu. Aku 'kan bosmu. Jangan lupakan itu! Ayo makan!"
"Iish ... iya, bos resek!" gerutunya sambil menerima potongan pizza dariku.
Setelahnya kami tergelak. Menikmati makan siang di ruang kantor dengan obrolan receh, tapi bisa membuatku tertawa. Sejenak aku melupakan sebagian masalah yang sedang dihadapi. Senyumannya, seakan menjadi vitamin pemompa semangat. Ah ... Binar ... semudah itu kau bisa membuatku tertawa.
***
Sebelum tidur, aku memikirkan ucapan Binar di kantor tadi. Mungkinkah aku harus melembutkan hati untuk memaafkan kesalahan Mama? Sedangkan kebencian kepadanya sudah mendarah daging di seluruh tubuh dan jiwaku. Kilas memoriku belasan tahun lalu kembali berputar seperti sebuah adegan film. Rasanya mustahil aku bisa memaafkannya. Memaafkan? Semudah itu?
Lama mencari posisi agar aku bisa melepas segala gundah, namun nihil. Insomnia melanda, hanya detak jarum jam yang terdengar menikam sunyi. Akhirnya aku pun bangkit, meneguk air putih. Kuharap dapat meluruhkan sesuatu yang menyesakkan.
Saat tiba di ruang tengah, kulihat sekelibat bayangan di teras samping yang terbuka atapnya. Tersenyum tipis saat kudapati seorang gadis yang sedang berdiri menghadap langit. Rambutnya yang lurus sesekali mengibas tertiup sang bayu. Usai menuang air dalam gelas, aku berjalan pelan ke arahnya.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Gadis itu sedikit terperanjat, lalu menoleh.
"Kamu belum tidur?"
"Entahlah, kenapa malam ini susah memejamkan mata?" jawabku.
Kutenggok dia. Gadis itu hanya tersenyum tipis tanpa mengalihkan padangan menatap langit. Malam ini memang bukan bulan purnama, tapi kerlip bintang menghiasi cakrawala. Indah.
"Apa kamu tahu, kenapa aku suka langit?"
"Karena ada bintang?"
"Bukan."
"Lalu?"
"Karena langit tak berujung."
"Lantas?"
"Kamu tahu, bukan ikhlas namanya jika masih terucap. Juga bukan sabar namanya jika masih berbatas. Aku ingin memiliki hati seperti langit, luas dan tak berujung. Hingga apa pun yang terjadi dan menimpa, bisa kuterima dengan ikhlas dan lapang dada," paparnya tanpa mengalihkan pandangan.
"Kenyataannya, semua tak semudah teori," selaku.
"Kamu sudah mencoba?"
Aku terdiam. Entahlah ... berbicara dengan gadis itu memang membuat kenyamanan tersendiri. Namun di sisi lain, membuatku semakin sadar, betapa naifnya diri ini. Tentu saja ini memalukan, masih pantaskah aku membela diri?
"Mulailah dengan berdamai pada dirimu sendiri, maka secara perlahan hidup akan turut berdamai dengan setiap orang di sekelilingmu. Percayalah!" ucapnya tanpa menoleh.
"Binar ...." Aku memanggilnya dan membuat gadis itu menatapku.
"Maukah kamu memaniku berdamai dengan kehidupan ini?"
Bersambung #8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel