Cerita bersambung
Entah mengapa, aku masih saja terus teringat kata-kata Daffa. Ditambah, Intan yang ternyata menaruh hati kepada lelaki itu. Tak salah memang, wanita mana yang tidak terpesona oleh karisma lelaki sepertinya, dia baik dan tampan selain itu pula dia ramah ... lelaki yang tahu sopan santun. Tentu saja, Intan akan menjadi wanita yang sangat beruntung jika bisa mendapatkan hati Daffa.
Hanya saja, aku takut jika dia terluka. Entah bagaimana perasaan Daffa pada Intan. Jika pun dia tidak memiliki perasaan lebih pada adikku, kuharap dia tak memiliki perasaan berbeda padaku. Ini akan sangat menyakitkan, aku tak bisa dan tak akan sanggup. Sekalipun sekarang aku tak memiliki perasaan lebih pada Daffa, tapi untuk belajar mencintainya, kurasa akan begitu mudah. Sekali lagi aku tak mau, aku tak mungkin menjadi duri di hati adikku. Itu salah, dan akan menyakitkan.
Memikirkan hal itu membuatku tak bisa memejamkan mata, hingga akhirnya kuputuskan menghirup udara malam di teras samping. Langit malam ini tampak indah dengan hiasan bintang yang berkerlip. Sampai Lelaki yang akhir-akhir ini ingin mengubah diri menjadi lebih baik datang dan berdiri di sampingku.
Dia bertanya kenapa aku belum tidur. Bagaimana bisa tidur? aku terus termenung mengingat tentang perasaan Intan, juga Daffa, belum lagi tadi siang di kantor, Rey hampir membuatku salah tingkah dengan tindakannya. Aku tahu banyak beban hidup yang menganggu pikirannya. Kali ini kami berdiri bersisihan. Menatap langit yang sama, dan bicara tentang filosofi kehidupan.
"Mulailah dengan berdamai pada dirimu sendiri, maka secara perlahan hidupmu akan turut berdamai dengan setiap orang di sekelilingmu. Percayalah!" ucapku padanya.
Ya ... hanya itulah yang bisa aku beri untuknya, sebuah kata dan prinsip yang telah lama terpatri dalam jiwa. Semoga saja, dapat bermanfaat pula untuknya.
"Binar ...," panggilnya. Aku yang masih menatap langit, segera menoleh. Temaram lampu di taman, mampu memperlihatkan wajah maskulin lelaki itu. Disadari atau tidak, banyak sekali perubahan dalam dirinya akhir-akhir ini.
"Maukah kamu menemaniku berdamai dengan kehidupan ini?" tukasnya.
Aku sedikit terkejut, meski masih bisa mengatasi dentum jantung yang tiba-tiba lebih cepat berdetak. Tetap saja, raut wajahnya tak bisa aku cerna dan abaikan begitu saja dengan kata yang baru saja terlontar dari mulutnya.
"Apakah ada pilihan lain, selain menerimanya? Bukankah menjadi pelayanmu itu artinya aku akan berada di dekatmu sampai waktu yang telah di tentukan itu usai," jawabku.
"Dan jika aku tak ingin waktu itu usai, bagaimana?"
Apa maksud orang ini? Kenapa bicaranya membuatku takut.
"Jadi, kau ingin aku menikmati sisa hidup sebagai seorang pelayan selamanya?"
"Apa jadi pelayanku sangat berat buatmu?"
Aku tersenyum mendengar pertanyaannya. Entah lelaki macam apa sebenarnya dia? Aku mengenalnya sebagai lelaki mesum, arogan dan tak punya perasaan. Jika tiba-tiba dia menjadi sosok yang lembut seperti ini. Apa yang terjadi padanya?
Tak mungkin semua karena aku, seseorang bisa saja mengubah kehidupan orang lain. Dan itu hanya ada dua alasan, pertama karena menghormati dan yang kedua karena ... cinta. Ah tidak, apa yang sudah aku pikirkan. Tak mungkin lelaki seperti dia menyukaiku, kita sama sekali tidak cocok.
"Adakah pilihan lain selain itu?" Aku tak menjawab, tapi balik bertanya.
"Ada," balasnya.
"Menjadi asistenmu?" tebakku.
"Tidak, jadilah orang yang selalu ada di sisiku. Bukan jadi pelayan ataupun asisten. Akan tetapi ...."
"Kau ingin, aku menjadi temanmu? Oke karena kamu sudah baik padaku, aku mau menjadi temanmu."
"Binar."
"Tidurlah! Ini sudah begitu larut, kita harus istirahat. Aku sudah sangat mengantuk," tukasku.
Tentu saja, aku sengaja tak ingin menanggapi perbincangan itu terlalu jauh. Aku tak pernah memiliki perasaan lebih kepada lelaki itu. Dulu, ada rasa murka karena sifat dan sikapnya, yang sekarang berubah dengan rasa iba akan masa lalunya yang membuatnya menjadi lelaki tak berperasaan. Kesulitan berdamai dengan dirinya sendiri adalah masalah terbesar baginya.
Aku pun meninggalkannya di samping tembok bercat putih itu. Keheningan di tengah malam, membuat detak jarum jam lebih keras terdengar. Tak tahu lagi bagaimana wajah lelaki itu, semoga saja dia bisa terbangun dan sadar. Aku bukanlah perempuan yang pas untuknya. Meski jika dia sungguh berkeinginan untuk berubah, dengan senang hati aku siap membantunya. Melupakan segala lara dan luka di masa silamnya.
***
Pagi yang cukup melelahkan, bahkan sang surya masih malu-malu menampakkan cahaya diri. Langit biru hampir menyeluruh tertutup awan, meski tidak begitu gelap. Tetap saja, mendung perlahan menyelimuti.
Usai membantu membuat sarapan, aku menengok jam dinding. Sudah pukul tujuh lebih, tapi Reyhan masih tak terlihat. Aku pun berjalan menuju kamarnya.
"Rey, kamu belum bangun, ya?"
"Rey!" panggilku seraya mengetuk pintu.
Beberapa kali kuulangi, tapi tak ada jawaban. Hal itu membuatku semakin penasaran, dan akhirnya kuraih knop pintu untuk membukanya.
Benar saja, lelaki itu masih meringkuk di bawah selimut. Entah jam berapa dia tertidur, usai perbincangan semalam. Kurasa Reyhan semakin sulit memejamkan mata.
"Rey! Bangun. Nanti kamu terlambat!" seruku.
"Sudah jam setengah delapan. Kamu nggak ngantor hari ini?" lanjutku.
Beberapa kali hanya dengan suara, akhirnya kuberanikan diri untuk mengoyangkan tubuh kekarnya.
"Rey!" panggilku lagi. Kugoncang pundaknya yang tertidur miring.
"Reyhan!" Lelaki itu tetap bergeming, napasnya terasa berat kudengar. Saat kubuka sedikit selimutnya, rupanya dia sedang menggigil.
"Rey, kamu sakit?" Aku menenpelkan telapak tangan di dahinya, ternyata Panas.
"Ya Alloh, kamu demam."
Segera aku turun untuk mengambil air hangat dan handuk kecil untuk mengompres.
"Kamu demam Rey. Aku antar ke dokter, ya?" tawarku setelah memasangkan handuk kompres di dahinya. Lelaki berwajah pucat itu hanya menggelengkan kepala.
"Baiklah, kaau begitu aku panggilkan Bu Dillah dulu, dia yang sudah merawatmu dari kecil. Kurasa dia lebih tahu apa yang harus dilakukan kalau kamu sedang deman begini," ujarku.
Aku pun berdiri. Namun Reyhan segera menarik tanganku.
"Temani aku! Kumohon." Dia berujar lirih.
Aku semakin tak tega. Lelaki yang dulu kukenal begitu arogan, sekarang dalam kondisi tak berdaya.
"Baiklah, Rey. Namun jika sampai siang panasmu tak kunjung menurun, kita ke dokter ya," pintaku.
Lelaki yang masih memejamkan mata itu pun hanya tersenyum tipis merespons. Aku kembali menduduk kursi di samping ranjang.
"Tak menyangka, lelaki sepertimu juga bisa sakit," lirihku. Dia bergeming, bibirnya terlihat begitu kering, aku kembali membantunya membetulkan selimut.
"Tidurlah, mungkin semalam kamu kurang istirahat, lalu masuk angin."
Aku mengedarkan pandangan ke beberapa arah, sampai akhirnya terpaku pada satu album yang tergeletak di kolong meja. Mungkin saja Reyhan sempat melihatnya, tapi tidak menyimpannya kembali. Aku pun berjalan mendekat, lalu mengambil benda tersebut.
Lembar demi lembar kubuka, foto keluarga yang cukup menarik.
Beberapa lembar terlihat seperti telah diremas, tapi kemudian diluruskan kembali dan di masukan ke dalam album. Ya ... foto keluarga yang terdapat gambar ibunya. Wanita cantik dan anggun dengan rambut tebal dan mengembang. Kurasa dialah mama Reyhan. Beberapa lembar foto yang lainnya terlihat begitu bagus. Foto keluarga harmonis dan bahagia.
Lama berkutat dengan album berwarna biru muda itu, aku pun menutupnya setelah tiap helai usai kupandangi. Aku membereskan bagian lain yang perlu dirapikan dari kamarnya. Sampai akhirnya mendengar suara pintu terbuka, kurasa Bu Dillah sudah pulang dari pasar.
Aku memperhatikan Reyhan. Lelaki itu masih terlelap, saat ku periksa kembali tubuhnya. Tak ada perubahan, demam masih melanda meski telah dikompres.
***
"Reyhan, demam. Panasnya tinggi, meski sudah kukompres. Aku memintanya untuk ke dokter tapi dia menolak," ucapku. Wanita yang sedang meletakan beberapa sayur ke kulkas segera menoleh.
"Dia paling pantang pergi ke dokter," tukasnya.
"Benarkah? Lalu jika dia sakit?" Bu Dillah tersenyum menatapku.
"Beri dia paracetamol di kotak obat, nanti akan sembuh sendiri."
"Baikalah aku akan mencarinya sekarang," ucapku.
"Dia sedang tidur?"
"Iya."
"Apalagi yang sedang dia pikirkan, sampai membuatnya tidak bisa tidur dan demam?" Wanita itu bergumam, dengan tatapan menerawang. Seolah sudah biasa terjadi jika Reyhan banyak pikiran.
"Semenjak ada kamu, banyak sekali perubahan dalam dirinya. Apa kalian ... berpacaran?" sambungnya.
"Tidak, bukan. Kami tidak pacaran. Seperti yang kubilang dulu, aku hanya memiliki hutang yang cukup banyak padanya, hingga terpaksa menjadi pelayannya untuk melunasi hutang-hutang," jelasku.
"Benarkah? Anak itu seolah perlahan kembali menjadi jati dirinya seperti sedia kala," tuturnya. Aku mulai mencerna, kurasa memang benar. Reyhan sebenarnya orang baik.
"Namun semenjak kejadian waktu itu, dia seolah berubah menjadi pribadi yang berbeda," tambahnya.
"Jadi ...."
"Ya, aku begitu kenal dengannya. Semenjak ada kamu, lambat laun dia berubah," paparnya kembali. Bu Dillah menatapku intens, seolah sedang menerka sesuatu.
"Ya, bukankah itu bagus," ucapku. Wanita paruh baya itu semakin tajam menatapku.
"Dia tidak pernah sembarangan mengajak wanita ke rumah ini. Dan dia bukan lelaki yang mau di permainkan oleh wanita. Kurasa Reyhan memiliki perasaan lebih padamu. Jika kau tidak berniat untuk menerimanya, jangan buat dia terlalu nyaman berada di sisimu. Aku hanya tak ingin dia kembali merasa kecewa karena seorang wanita, yang akhirnya akan membuatnya semakin benci dan dendam."
Bagai tertancap duri-duri besi, ucapannya begitu tajam menusuk hati. Aku tahu, akan sangat menyakitkan baginya jika itu terjadi, karena sejujurnya aku pun tak mengerti bagaimana perasaanku yang sebenarnya. Masih banyak hal yang ingin aku selesaikan, terutama tentang Ibu. Soal cinta, sama sekali belum pernah terbesit dalam diriku.
"Baiklah, aku mengerti dengan perkataanmu barusan. Sebaiknya aku mencari obat untuknya sekarang," ucapku, lantas melangkah menuju kotak P3K.
Setelah beberapa saat mencari tak ada satu pun obat penurun deman, sampai akhirnya Bu Dillah berkata kalau dia lupa, persediaan obatnya telah habis. Akhirnya aku putuskan untuk ke apotek untuk membeli paracetamol.
***
"Tega kamu Mas, apa salahku padamu? Jadi ini yang kau sebut cinta?" Wanita itu terisak dengan lunglai. Seberkas kertas telah ia genggam dengan erat.
Entah apa yang merasuk, rasa rindu di hati tak bisa kutahan lagi. Akhirnya aku mencuri waktu kerjaku untuk datang ke tempat di mana ibu berada. Gang Merak.
"Apa maksudmu? Kau wanita lacur, dari mana kau tau aku penyebabnya? Kau telah tidur dengan pria mana saja. Kutahu itu."
"Tidak, kau salah. Apa kau lupa, saat menawarkanku cinta. Tak pernah sekali pun aku tidur dengan pria lain selain kamu."
"Aku tidak yakin. Wanita sepertimu, mana bisa setia hanya dengan satu lelaki?"
"Kau bajingan, kau sengaja kan menularkan aku penyakit laknat itu." Lelaki itu, membisu matanya merah dan tajam menatap ke arah Ibu.
"Lepaskan aku, aku tak akan menemuimu lagi!" tegas lelaki yang pernah kutemui di tempat parkir. Lelaki itu pun mendorong Ibu, dan membuatnya terjerembap di tanah. Lalu dia berlalu pergi tak lagi menghiraukan Ibu, wanita yang terlihat berbeda dari beberapa waktu lalu. Dia begitu kurus dan pucat sekarang.
Ibu semakin tak berdaya, dengan tangis yang nyaris tak berjeda.
Menyaksikan itu hatiku mencolos tak karuan. Ada sesuatu yang tiba-tiba mencabik bagian ulu hati, begitu menyakitkan.
Beberapa wanita berbaju mini hanya melihat ibu seolah bahan tontonan. Tak ada iba atau pun belas kasih, mereka saling berbisik dan menatap takut.
"Retno, jadi benar kamu terjangkit HIV?" tanya seorang temanya dari kejauhan.
"Awas-awas minggir, jangan dekat-dekat dengannya!"
"Sebaiknya suruh dia pergi dari sini. Jangan sampai kita tertular oleh penyakitnya," timpal wanita sebelahnya.
"Betul, betul, betul," tambah yang lainnya secara serentak.
"Bahaya banget penyakit itu, nanti kita bisa ketularan," sambungnya.
Ibu hanya menangis lemah, dan menghambur di tanah. Lihatlah, sesama kaum menjijikkan sepertimu tak lagi memedulikan, meski kalian pernah bercanda gurau bersama dalam status teman dunia malam.
"Ayo, kita ambil semua barang-barang miliknya di kamar. Dia harus cepat-cepat pergi dari sini," seru salah seorang lainnya.
Tiga wanita tuna susila itu segera berjalan masuk ke kamar, sedang yang lainnya masih menatap ibu dengan jijik. HIV, Astagfirullah, Tuhan ... padahal belum sempat aku mendapatkan kembali kasih sayangnya. Tapi sekarang, penyakit mematikan perlahan akan menggerogoti tubuhnya. Ya Alloh, inikah keadilan dari-Mu? Ataukah ini permainan untukku? Ya Alloh. Bukankah aku tak pernah sekali pun mengeluh. Namun kenapa? Inikah balasan setimpal untuk buah kesabaran dan ketegaranku selama ini? Aku lelah Tuhan.
"Pergi sana kamu, Retno! Jauh-jauh dari tempat ini. Kami tak mau tertular penyakit mematikan sepertimu!" Wanita itu melempar tas hitam berisi baju dan barang-barang Ibu yang tak tertata.
Ibu masih menangis, bergeming dengan uraian air mata yang tak putus membasahi pipinya.
"Retno! Apa kamu tidak dengar, cepat pergi dari sini!"
Aku semakin geram, aku menampakkan diri dari persembunyian. Ku berjalan mendekat arah Ibu, " Ayo kita pergi." Seketika Ibu mendongak dan menatapku dengan mata yang terus bercucuran air mata. Pecah. Tangisnya semakin pecah.
"Retno, sebaiknya kamu pergi sekarang. Ini beberapa uang dari kami, semoga bisa membantumu," ucap seseorang yang kurasa tidak begitu kejam dari wanita-wanita lacur lainnya.
Ibu bergeming, dia seolah tak punya tenaga untuk berbicara, apa lagi bergerak. Hingga akhirnya wanita itu menaruh beberapa lembar uang ratusan ribu dan lima puluhan ribu di tangan ibuku.
Aku segera mengambil uang itu, lalu berjalan menuju gerombolan para wanita malam tersebut, dan segera melempar uang itu ke arah mereka.
"Ambil uang ini, kami tidak butuh!" tegasku. Lantas berbalik mendekati Ibu, kuangkat kedua pundaknya agar bisa berdiri.
"Ibu, ayo kita pergi dari tempat laknat ini."
Meski payah, akhirnya Ibu mencoba berdiri dan berjalan bersamaku.
==========
Hanya saja, aku takut jika dia terluka. Entah bagaimana perasaan Daffa pada Intan. Jika pun dia tidak memiliki perasaan lebih pada adikku, kuharap dia tak memiliki perasaan berbeda padaku. Ini akan sangat menyakitkan, aku tak bisa dan tak akan sanggup. Sekalipun sekarang aku tak memiliki perasaan lebih pada Daffa, tapi untuk belajar mencintainya, kurasa akan begitu mudah. Sekali lagi aku tak mau, aku tak mungkin menjadi duri di hati adikku. Itu salah, dan akan menyakitkan.
Memikirkan hal itu membuatku tak bisa memejamkan mata, hingga akhirnya kuputuskan menghirup udara malam di teras samping. Langit malam ini tampak indah dengan hiasan bintang yang berkerlip. Sampai Lelaki yang akhir-akhir ini ingin mengubah diri menjadi lebih baik datang dan berdiri di sampingku.
Dia bertanya kenapa aku belum tidur. Bagaimana bisa tidur? aku terus termenung mengingat tentang perasaan Intan, juga Daffa, belum lagi tadi siang di kantor, Rey hampir membuatku salah tingkah dengan tindakannya. Aku tahu banyak beban hidup yang menganggu pikirannya. Kali ini kami berdiri bersisihan. Menatap langit yang sama, dan bicara tentang filosofi kehidupan.
"Mulailah dengan berdamai pada dirimu sendiri, maka secara perlahan hidupmu akan turut berdamai dengan setiap orang di sekelilingmu. Percayalah!" ucapku padanya.
Ya ... hanya itulah yang bisa aku beri untuknya, sebuah kata dan prinsip yang telah lama terpatri dalam jiwa. Semoga saja, dapat bermanfaat pula untuknya.
"Binar ...," panggilnya. Aku yang masih menatap langit, segera menoleh. Temaram lampu di taman, mampu memperlihatkan wajah maskulin lelaki itu. Disadari atau tidak, banyak sekali perubahan dalam dirinya akhir-akhir ini.
"Maukah kamu menemaniku berdamai dengan kehidupan ini?" tukasnya.
Aku sedikit terkejut, meski masih bisa mengatasi dentum jantung yang tiba-tiba lebih cepat berdetak. Tetap saja, raut wajahnya tak bisa aku cerna dan abaikan begitu saja dengan kata yang baru saja terlontar dari mulutnya.
"Apakah ada pilihan lain, selain menerimanya? Bukankah menjadi pelayanmu itu artinya aku akan berada di dekatmu sampai waktu yang telah di tentukan itu usai," jawabku.
"Dan jika aku tak ingin waktu itu usai, bagaimana?"
Apa maksud orang ini? Kenapa bicaranya membuatku takut.
"Jadi, kau ingin aku menikmati sisa hidup sebagai seorang pelayan selamanya?"
"Apa jadi pelayanku sangat berat buatmu?"
Aku tersenyum mendengar pertanyaannya. Entah lelaki macam apa sebenarnya dia? Aku mengenalnya sebagai lelaki mesum, arogan dan tak punya perasaan. Jika tiba-tiba dia menjadi sosok yang lembut seperti ini. Apa yang terjadi padanya?
Tak mungkin semua karena aku, seseorang bisa saja mengubah kehidupan orang lain. Dan itu hanya ada dua alasan, pertama karena menghormati dan yang kedua karena ... cinta. Ah tidak, apa yang sudah aku pikirkan. Tak mungkin lelaki seperti dia menyukaiku, kita sama sekali tidak cocok.
"Adakah pilihan lain selain itu?" Aku tak menjawab, tapi balik bertanya.
"Ada," balasnya.
"Menjadi asistenmu?" tebakku.
"Tidak, jadilah orang yang selalu ada di sisiku. Bukan jadi pelayan ataupun asisten. Akan tetapi ...."
"Kau ingin, aku menjadi temanmu? Oke karena kamu sudah baik padaku, aku mau menjadi temanmu."
"Binar."
"Tidurlah! Ini sudah begitu larut, kita harus istirahat. Aku sudah sangat mengantuk," tukasku.
Tentu saja, aku sengaja tak ingin menanggapi perbincangan itu terlalu jauh. Aku tak pernah memiliki perasaan lebih kepada lelaki itu. Dulu, ada rasa murka karena sifat dan sikapnya, yang sekarang berubah dengan rasa iba akan masa lalunya yang membuatnya menjadi lelaki tak berperasaan. Kesulitan berdamai dengan dirinya sendiri adalah masalah terbesar baginya.
Aku pun meninggalkannya di samping tembok bercat putih itu. Keheningan di tengah malam, membuat detak jarum jam lebih keras terdengar. Tak tahu lagi bagaimana wajah lelaki itu, semoga saja dia bisa terbangun dan sadar. Aku bukanlah perempuan yang pas untuknya. Meski jika dia sungguh berkeinginan untuk berubah, dengan senang hati aku siap membantunya. Melupakan segala lara dan luka di masa silamnya.
***
Pagi yang cukup melelahkan, bahkan sang surya masih malu-malu menampakkan cahaya diri. Langit biru hampir menyeluruh tertutup awan, meski tidak begitu gelap. Tetap saja, mendung perlahan menyelimuti.
Usai membantu membuat sarapan, aku menengok jam dinding. Sudah pukul tujuh lebih, tapi Reyhan masih tak terlihat. Aku pun berjalan menuju kamarnya.
"Rey, kamu belum bangun, ya?"
"Rey!" panggilku seraya mengetuk pintu.
Beberapa kali kuulangi, tapi tak ada jawaban. Hal itu membuatku semakin penasaran, dan akhirnya kuraih knop pintu untuk membukanya.
Benar saja, lelaki itu masih meringkuk di bawah selimut. Entah jam berapa dia tertidur, usai perbincangan semalam. Kurasa Reyhan semakin sulit memejamkan mata.
"Rey! Bangun. Nanti kamu terlambat!" seruku.
"Sudah jam setengah delapan. Kamu nggak ngantor hari ini?" lanjutku.
Beberapa kali hanya dengan suara, akhirnya kuberanikan diri untuk mengoyangkan tubuh kekarnya.
"Rey!" panggilku lagi. Kugoncang pundaknya yang tertidur miring.
"Reyhan!" Lelaki itu tetap bergeming, napasnya terasa berat kudengar. Saat kubuka sedikit selimutnya, rupanya dia sedang menggigil.
"Rey, kamu sakit?" Aku menenpelkan telapak tangan di dahinya, ternyata Panas.
"Ya Alloh, kamu demam."
Segera aku turun untuk mengambil air hangat dan handuk kecil untuk mengompres.
"Kamu demam Rey. Aku antar ke dokter, ya?" tawarku setelah memasangkan handuk kompres di dahinya. Lelaki berwajah pucat itu hanya menggelengkan kepala.
"Baiklah, kaau begitu aku panggilkan Bu Dillah dulu, dia yang sudah merawatmu dari kecil. Kurasa dia lebih tahu apa yang harus dilakukan kalau kamu sedang deman begini," ujarku.
Aku pun berdiri. Namun Reyhan segera menarik tanganku.
"Temani aku! Kumohon." Dia berujar lirih.
Aku semakin tak tega. Lelaki yang dulu kukenal begitu arogan, sekarang dalam kondisi tak berdaya.
"Baiklah, Rey. Namun jika sampai siang panasmu tak kunjung menurun, kita ke dokter ya," pintaku.
Lelaki yang masih memejamkan mata itu pun hanya tersenyum tipis merespons. Aku kembali menduduk kursi di samping ranjang.
"Tak menyangka, lelaki sepertimu juga bisa sakit," lirihku. Dia bergeming, bibirnya terlihat begitu kering, aku kembali membantunya membetulkan selimut.
"Tidurlah, mungkin semalam kamu kurang istirahat, lalu masuk angin."
Aku mengedarkan pandangan ke beberapa arah, sampai akhirnya terpaku pada satu album yang tergeletak di kolong meja. Mungkin saja Reyhan sempat melihatnya, tapi tidak menyimpannya kembali. Aku pun berjalan mendekat, lalu mengambil benda tersebut.
Lembar demi lembar kubuka, foto keluarga yang cukup menarik.
Beberapa lembar terlihat seperti telah diremas, tapi kemudian diluruskan kembali dan di masukan ke dalam album. Ya ... foto keluarga yang terdapat gambar ibunya. Wanita cantik dan anggun dengan rambut tebal dan mengembang. Kurasa dialah mama Reyhan. Beberapa lembar foto yang lainnya terlihat begitu bagus. Foto keluarga harmonis dan bahagia.
Lama berkutat dengan album berwarna biru muda itu, aku pun menutupnya setelah tiap helai usai kupandangi. Aku membereskan bagian lain yang perlu dirapikan dari kamarnya. Sampai akhirnya mendengar suara pintu terbuka, kurasa Bu Dillah sudah pulang dari pasar.
Aku memperhatikan Reyhan. Lelaki itu masih terlelap, saat ku periksa kembali tubuhnya. Tak ada perubahan, demam masih melanda meski telah dikompres.
***
"Reyhan, demam. Panasnya tinggi, meski sudah kukompres. Aku memintanya untuk ke dokter tapi dia menolak," ucapku. Wanita yang sedang meletakan beberapa sayur ke kulkas segera menoleh.
"Dia paling pantang pergi ke dokter," tukasnya.
"Benarkah? Lalu jika dia sakit?" Bu Dillah tersenyum menatapku.
"Beri dia paracetamol di kotak obat, nanti akan sembuh sendiri."
"Baikalah aku akan mencarinya sekarang," ucapku.
"Dia sedang tidur?"
"Iya."
"Apalagi yang sedang dia pikirkan, sampai membuatnya tidak bisa tidur dan demam?" Wanita itu bergumam, dengan tatapan menerawang. Seolah sudah biasa terjadi jika Reyhan banyak pikiran.
"Semenjak ada kamu, banyak sekali perubahan dalam dirinya. Apa kalian ... berpacaran?" sambungnya.
"Tidak, bukan. Kami tidak pacaran. Seperti yang kubilang dulu, aku hanya memiliki hutang yang cukup banyak padanya, hingga terpaksa menjadi pelayannya untuk melunasi hutang-hutang," jelasku.
"Benarkah? Anak itu seolah perlahan kembali menjadi jati dirinya seperti sedia kala," tuturnya. Aku mulai mencerna, kurasa memang benar. Reyhan sebenarnya orang baik.
"Namun semenjak kejadian waktu itu, dia seolah berubah menjadi pribadi yang berbeda," tambahnya.
"Jadi ...."
"Ya, aku begitu kenal dengannya. Semenjak ada kamu, lambat laun dia berubah," paparnya kembali. Bu Dillah menatapku intens, seolah sedang menerka sesuatu.
"Ya, bukankah itu bagus," ucapku. Wanita paruh baya itu semakin tajam menatapku.
"Dia tidak pernah sembarangan mengajak wanita ke rumah ini. Dan dia bukan lelaki yang mau di permainkan oleh wanita. Kurasa Reyhan memiliki perasaan lebih padamu. Jika kau tidak berniat untuk menerimanya, jangan buat dia terlalu nyaman berada di sisimu. Aku hanya tak ingin dia kembali merasa kecewa karena seorang wanita, yang akhirnya akan membuatnya semakin benci dan dendam."
Bagai tertancap duri-duri besi, ucapannya begitu tajam menusuk hati. Aku tahu, akan sangat menyakitkan baginya jika itu terjadi, karena sejujurnya aku pun tak mengerti bagaimana perasaanku yang sebenarnya. Masih banyak hal yang ingin aku selesaikan, terutama tentang Ibu. Soal cinta, sama sekali belum pernah terbesit dalam diriku.
"Baiklah, aku mengerti dengan perkataanmu barusan. Sebaiknya aku mencari obat untuknya sekarang," ucapku, lantas melangkah menuju kotak P3K.
Setelah beberapa saat mencari tak ada satu pun obat penurun deman, sampai akhirnya Bu Dillah berkata kalau dia lupa, persediaan obatnya telah habis. Akhirnya aku putuskan untuk ke apotek untuk membeli paracetamol.
***
"Tega kamu Mas, apa salahku padamu? Jadi ini yang kau sebut cinta?" Wanita itu terisak dengan lunglai. Seberkas kertas telah ia genggam dengan erat.
Entah apa yang merasuk, rasa rindu di hati tak bisa kutahan lagi. Akhirnya aku mencuri waktu kerjaku untuk datang ke tempat di mana ibu berada. Gang Merak.
"Apa maksudmu? Kau wanita lacur, dari mana kau tau aku penyebabnya? Kau telah tidur dengan pria mana saja. Kutahu itu."
"Tidak, kau salah. Apa kau lupa, saat menawarkanku cinta. Tak pernah sekali pun aku tidur dengan pria lain selain kamu."
"Aku tidak yakin. Wanita sepertimu, mana bisa setia hanya dengan satu lelaki?"
"Kau bajingan, kau sengaja kan menularkan aku penyakit laknat itu." Lelaki itu, membisu matanya merah dan tajam menatap ke arah Ibu.
"Lepaskan aku, aku tak akan menemuimu lagi!" tegas lelaki yang pernah kutemui di tempat parkir. Lelaki itu pun mendorong Ibu, dan membuatnya terjerembap di tanah. Lalu dia berlalu pergi tak lagi menghiraukan Ibu, wanita yang terlihat berbeda dari beberapa waktu lalu. Dia begitu kurus dan pucat sekarang.
Ibu semakin tak berdaya, dengan tangis yang nyaris tak berjeda.
Menyaksikan itu hatiku mencolos tak karuan. Ada sesuatu yang tiba-tiba mencabik bagian ulu hati, begitu menyakitkan.
Beberapa wanita berbaju mini hanya melihat ibu seolah bahan tontonan. Tak ada iba atau pun belas kasih, mereka saling berbisik dan menatap takut.
"Retno, jadi benar kamu terjangkit HIV?" tanya seorang temanya dari kejauhan.
"Awas-awas minggir, jangan dekat-dekat dengannya!"
"Sebaiknya suruh dia pergi dari sini. Jangan sampai kita tertular oleh penyakitnya," timpal wanita sebelahnya.
"Betul, betul, betul," tambah yang lainnya secara serentak.
"Bahaya banget penyakit itu, nanti kita bisa ketularan," sambungnya.
Ibu hanya menangis lemah, dan menghambur di tanah. Lihatlah, sesama kaum menjijikkan sepertimu tak lagi memedulikan, meski kalian pernah bercanda gurau bersama dalam status teman dunia malam.
"Ayo, kita ambil semua barang-barang miliknya di kamar. Dia harus cepat-cepat pergi dari sini," seru salah seorang lainnya.
Tiga wanita tuna susila itu segera berjalan masuk ke kamar, sedang yang lainnya masih menatap ibu dengan jijik. HIV, Astagfirullah, Tuhan ... padahal belum sempat aku mendapatkan kembali kasih sayangnya. Tapi sekarang, penyakit mematikan perlahan akan menggerogoti tubuhnya. Ya Alloh, inikah keadilan dari-Mu? Ataukah ini permainan untukku? Ya Alloh. Bukankah aku tak pernah sekali pun mengeluh. Namun kenapa? Inikah balasan setimpal untuk buah kesabaran dan ketegaranku selama ini? Aku lelah Tuhan.
"Pergi sana kamu, Retno! Jauh-jauh dari tempat ini. Kami tak mau tertular penyakit mematikan sepertimu!" Wanita itu melempar tas hitam berisi baju dan barang-barang Ibu yang tak tertata.
Ibu masih menangis, bergeming dengan uraian air mata yang tak putus membasahi pipinya.
"Retno! Apa kamu tidak dengar, cepat pergi dari sini!"
Aku semakin geram, aku menampakkan diri dari persembunyian. Ku berjalan mendekat arah Ibu, " Ayo kita pergi." Seketika Ibu mendongak dan menatapku dengan mata yang terus bercucuran air mata. Pecah. Tangisnya semakin pecah.
"Retno, sebaiknya kamu pergi sekarang. Ini beberapa uang dari kami, semoga bisa membantumu," ucap seseorang yang kurasa tidak begitu kejam dari wanita-wanita lacur lainnya.
Ibu bergeming, dia seolah tak punya tenaga untuk berbicara, apa lagi bergerak. Hingga akhirnya wanita itu menaruh beberapa lembar uang ratusan ribu dan lima puluhan ribu di tangan ibuku.
Aku segera mengambil uang itu, lalu berjalan menuju gerombolan para wanita malam tersebut, dan segera melempar uang itu ke arah mereka.
"Ambil uang ini, kami tidak butuh!" tegasku. Lantas berbalik mendekati Ibu, kuangkat kedua pundaknya agar bisa berdiri.
"Ibu, ayo kita pergi dari tempat laknat ini."
Meski payah, akhirnya Ibu mencoba berdiri dan berjalan bersamaku.
==========
[POV-Reyhan]
Entah di mana salahnya permintaanku, sehingga Binar seperti menghindar. Seharusnya dia tahu kalau bukan menjadi pembantu atau asisten yang dimaksud dari permintaanku tadi. Harusnya dia peka pada ucapanku. Akan tetapi ... ah ... aku pun bingung dengan perasaan yang ada di dalam hati.
Apa pantas seorang sepertiku mengharapkan gadis seperti Binar? Dari segi mana pun memang kami berbeda. Banyak sisi kelam dalam diri ini. Aku lelaki bejat! Anak durhaka! Sedangkan Binar sangat menjaga kesuciannya. Dia juga anak yang berbakti pada orang tua, walaupun tidak diakui.
Tuhan ... kenapa hidupku begitu runyam? Apa Kau mau menghukumku karena selama ini membenci Mama? Bukankah dia pantas dibenci? Wanita itu yang telah menghancurkan harapan indah keluarga kami.
Entah selama berapa jam aku masih berdiri di teras samping. Sampai udara malam semakin terasa menusuk tulang. Kuputuskan kembali ke kamar walau mata belum mengantuk.
Memasuki ruang pribadi, aku berjalan menuju laci meja. Membuka kuncinya dan menemukan album foto keluarga. Keluarga? Benarkah aku memiliki sebuah keluarga? Namun kenapa aku selalu merasa sendirian ... di ruang yang gelap nan pekat?
Beberapa menit memandang foto keluarga yang harmonis hingga perlahan, ada rasa rindu yang menyelusup ke dalam bilik hati. Kami bertiga tersenyum bahagia. Walau tidak setiap hari bisa bertemu Papa, tapi kehadirannya selalu menjadi penyokong semangat diri ini.
Terlintas kejadian paling memuakkan di rumah Oma, membuat dada ini kembali merasa sesak. Gemuruh amarah menampik segala kelembutan yang coba dia tawarkan. Nasi telah menjadi bubur. Hati ini telah mati untuk sekadar mendengar kata maaf darinya.
Kuremas kuat lembar foto itu sebagai pelampiasan atas rasa benci yang telah lama bersarang di hati. Biarlah dia merasakan bagaimana rasanya kecewa karena disakiti orang yang kita sayangi. Perkataan Binar tadi siang memang ada benarnya, tapi tak semudah itu membuka pintu maaf karena kesalahan fatal yang berbuntut panjang.
***
Suara Binar mengembalikan kesadaranku. Entah sudah jam berapa sekarang. Ingin bangun, tapi kepala terasa sangat berat. Mata juga enggan terbuka dan tubuh pun terasa mengigil.
Sentuhan tangan lembutnya di kening, juga rasa cemas Binar kepadaku, membuat sebagian sisi hati menghangat. Apa Binar benar-benar mengkhawatirkan aku? Atau ... dia hanya melaksanakan tugasnya sebagai pelayanku? Andai pertanyaan pertama yang benar, aku rela dalam keadaan seperti ini lebih lama.
"Temani aku ... kumohon." Aku berujar lirih saat dia selesai meletakkan handuk basah di kening.
Aku tak butuh obat. Perhatianmu yang tulus adalah obat mujarab saat ini. Setelah dia menyanggupi, aku merasa tenang dan kembali terlelap.
***
"Binar ...." Suaraku lirih karena tenggorokan terasa serak.
Tak ada sahutan. Kuedarkan pandangan ke segala sudut ruang. Kosong. Berarti dia keluar saat aku tidur. Aku meraih ponsel di atas nakas lalu men-dial nomornya, berharap dia segera datang. Sekali, dua kali, hingga entah ke berapa kali tak ada jawaban di seberang.
Akhirnya suara Bu Dilah di balik pintu, menghentikanku.
"Maaf Tuan. Ponsel Binar tertinggal di dapur. Anda butuh sesuatu?" ujar wanita yang sudah berdiri di samping ranjang itu.
Aku menggeleng. Suhu tubuh sudah lumayan turun, tapi kepala masih berat. Aku berusaha duduk bersandar kepala ranjang. "Binar ke mana?" tanyaku dengan suara parau.
"Em ... tadi pagi dia pamit beli obat penurun panas, tapi sampai tengah hari, belum kembali. Saya tak tahu ke mana perginya." Penuturan Bu Dilah membuat mataku sedikit terbelalak.
"Dia pergi sendirian atau diantar sopir?"
"Sendiri. Mang Aden sudah kusuruh mencari ke beberapa apotek terdekat, tapi tidak ada." Jawaban itu membuat kepalaku semakin pening.
"Biar aku cari sendiri." Aku bergegas turun dari ranjang, tapi Bu Dilah melarang.
"Tuan, kondisi Anda masih kurang fit. Istirahatlah dulu, daripada semakin parah. Biar saya suruh Mang Aden saja yang mencarinya lagi."
Sebenarnya aku ingin mencari Binar sendiri. Namun, kondisiku memang masih lemah. Akhirnya pasrah. Hanya berharap agar tidak terjadi sesuatu yang buruk padanya.
Hari tengah beranjak petang, namun Binar belum juga menampakkan diri. Berapa puluh kali, Mang Aden menerima panggilan dari ponselku, tapi hasilnya sama. Dia tak menemukan Binar.
Aku semakin khawatir jika sesuatu yang buruk telah terjadi padanya. Mengabaikan kepala yang masih pusing, aku segera memakai jaket dan turun ke garasi. Bu Dilah kembali melarang, tapi tekadku sudah bulat untuk mencarinya.
Apa mungkin Binar menghindariku karena permintaanku semalam? Apa dia merasa tidak nyaman dengan apa yang kukatakan? Atau ... lebih parahnya dia diculik preman suruhan orang? Aarrgghh ... rasanya ingin pecah kepala ini memikirkan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi.
Menerobos lalu lintas di malam hari dengan keadaan badan kurang fit, membuatku beberapa kali hampir menabrak. Si*l! Kenapa aku sakit saat Binar menghilang? Aku menghentikan mobil di depan rumah sakit tempat Intan dirawat kala itu. Berpikir sejenak, barangkali bisa mendapatkan alamat dari data Intan. Tangan sudah memegang hendel pintu mobil, tapi urung. Bukankah Binar bilang mereka pindah ke rumah Bu Anjar?
Aarrgghh ... kenapa aku tak pernah tanya di mana alamat Bu Anjar? Kalau sudah begini, apa yang bisa kulakukan? Terlintas ide untuk menyewa orang bayaran. Segera aku menghubungi nomor yang pernah kusewa untuk memata-matai rival bisnis. Setelah mengirim beberapa foto Binar kepadanya, aku berharap mereka bisa menemukan Binar.
Kembali kunyalakan mesin mobil menuju rumah. Sungguh, badan ini tak bisa diajak kompromi. Berharap saat tiba di rumah, Binar sudah pulang. Namun harapanku tak terwujud. Sampai di rumah pun, tak kutemukan sosoknya.
"Bagaimana Tuan? Apa Binar ketemu?" Pertanyaan Bu Dilah membuat tubuhku semakin lemah.
Duduk bersandar di sofa ruang tamu dan menggeleng. Terdengar embusan napas panjang dari Bu Dilah.
"Belum 24 jam, kita tidak bisa melaporkannya kepada polisi," ujar Bu Dilah cemas.
Aku mengembuskan napas lelah, "Aku sudah menyewa orang untuk mencarinya. Semoga Binar segera ditemukan," ucapku seraya memijat kening yang semakin pusing.
"Semoga saja. Tuan ... kelihatannya Anda masih sakit. Saya antar istirahat di kamar agar tidak semakin parah."
Aku menolak tawaran Bu Dilah. Bagaimana aku bisa tidur tenang saat kabar dari Binar belum kuperoleh? Setelah minum obat, Bu Dilah mengambilkan selimut hangat dan bantal untukku istirahat di ruang tamu.
***
"Rey ... Reyhan ...."
Sayup-sayup, aku mendengar suara Binar di dekatku. Perlahan kubuka mata yang masih berat terasa. Bayangan sosok gadis yang kemarin membuatku kalang kabut, ada di depan. Aku menggeleng beberapa kali untuk mengembalikan kesadaran.
"Binar?" tanyaku ragu. Ini mimpi atau nyata?
"Iya, aku Binar. Kenapa kamu tidur di sini?"
Tanpa menghiraukan pertanyaannya, segera kurengkuh tubuh kurus itu. Ini seperti mimpi, tapi terjadi saat aku telah membuka mata. Beberapa detik posisi kami seperti itu, hingga Binar berusaha melepas rengkuhanku.
"Ehem ... kamu ... sudah ... sembuh?" Binar bertanya terbata seraya duduk di sofa sebelah.
"Yah ... sekarang sudah mendingan." Apalagi setelah kamu pulang dengan selamat, sambungku dalam hati. Kenapa aku merasa canggung bicara dengannya? Ck! Si*l!
"Syukurlah Rey. Aku senang mendengarnya," sahutnya lirih.
Wajah Binar tidak seperti biasanya. Seperti sedang bersedih. Apa ada yang terjadi padanya?
"Kamu ... ke mana saja kemarin? Bu Dilah bilang kalau kamu mau beli obat, tapi sampai malam tidak juga kembali." Aku berusaha mengontrol suara senormal mungkin.
Gadis berkaus lengan panjang itu menunduk sekilas lalu tersenyum tipis. "Maaf ya. Niatku memang beli obat penurun panas, tapi tiba-tiba aku kangen dengan Ibu. Jadi ... aku ... ke tempat Ibu." Binar seolah ingin bicara lebih, tapi urung.
"Ibumu kenapa? Bukankah dia tidak menerima kehadiranmu? Lalu ... semalam tidur di mana?" Aku mencercanya dengan pertanyaan. Sebenarnya banyak sekali yang ingin kutanyakan. Namun, melihatnya kembali saja, sudah membuatku merasa lega.
Dia tersenyum, tapi bukan senyum yang tulus.
"Aku tidur di rumah Bu Anjar ... dengan ... Ibu." Binar menunduk.
Suaranya pun lirih. Pasti ada sesuatu yang salah terjadi.
"Kalian sudah baikkan?" tebakku. Binar mengangguk pelan.
"Syukurlah. Harusnya kamu senang karena sudah berdamai dengan Ibumu. Akan tetapi ... kamu terlihat murung pagi ini. Binar, are you okay?"
Binar mengangguk cepat, "I'm okay."
Walau belum puas dengan jawabannya, tapi melihat dia kembali memasang wajah ceria, membuat kekhawatiranku mereda.
Saat sarapan dengan bubur ayam, Binar hanya menemaniku karena katanya sudah sarapan. Sengaja hari ini aku menyuruhnya libur ke kantor. Selama duduk di depanku, dia terlihat melamun. Beberapa kali terkesiap saat aku memanggilnya.
"Binar ... kalau kamu ingin cerita, aku bisa menjadi pendengar yang baik." Aku berujar setelah dia selesai membereskan peralatan makanku.
Dia tersenyum sekilas. "Makasih, ya, Reyhan. Aku nggak apa-apa, kok."
Aku mengajaknya ke teras samping. Di sana ada satu set kursi rotan dengan bantalan yang empuk. Memang kuperuntukkan untuk bersantai. Hanya saja aku jarang duduk di sana. Karena dulu, aku hanya sering menggunakan kamar, kamar mandi, dan ruang makan untuk berkutat. Sebagian besar kuhabiskan waktu di luar rumah. Rumah hanya tempat untuk tidur dan sesekali sarapan.
Sinar mentari sudah meninggi, tapi masih menyisakan embun di atas dedaunan. Semalam, aku dan Binar berdiri berdua di sini. Bicara tentang langit, juga keikhlasan. Sampai terlontar permintaanku kepadanya, tapi dia abaikan.
Aku menyodorkan ponsel kepadanya yang hanya duduk terdiam memandang taman. Dia menoleh padaku, lalu menatap ponsel yang kusodorkan.
"Kenapa?"
"Simpan nomor Bu Anjar di sini. Kalau kamu kabur lagi, biar aku bisa mencarinya." Dia terkekeh hingga memperlihatkan deretan giginya yang rapi.
"Siapa yang kabur? Bisa kena denda kalau aku kabur." Kembali dia terkekeh.
Semburat sinar mentari membiaskan indah rona di wajah gadis itu. Membuatnya terlihat semakin memesona di mataku. Cantiknya alami, dan semakin elok saat dia tertawa lepas seperti ini.
Tanpa kusadari, aku pun ikut tersenyum melihatnya. She is my energy. Begitu mudah dia membuatku tersenyum, setelah seharian kemarin memorakporandakan pikiran.
"Barangkali kamu punya niat kabur karena jengah dengan sikapku semalam." Aku menyahuti asal, tapi sukses membuatnya berubah mimik wajah.
Binar menyelipkan rambut di kuping dan membetulkan duduknya. "Reyhan, apa kamu pernah berpikir kalau suatu saat akan berpisah dengan orang yang kamu sayangi?"
Aku menatapnya tajam. "Kenapa kamu bertanya seperti itu? Apa kamu tahu siapa orang yang kusayangi?"
"Maksudku bukan sayang yang cinta-cintaan gitu, Rey. Akan tetapi sayang pada keluarga. Orang tua, misalnya?"
Ck! Selalu punya cara untuk lepas dari pertanyaanku yang menjurus padanya.
"Simpan nomor Bu Anjar di sini. Kalau kamu kabur lagi, biar aku bisa mencarinya." Dia terkekeh hingga memperlihatkan deretan giginya yang rapi.
"Siapa yang kabur? Bisa kena denda kalau aku kabur." Kembali dia terkekeh.
Semburat sinar mentari membiaskan indah rona di wajah gadis itu. Membuatnya terlihat semakin memesona di mataku. Cantiknya alami, dan semakin elok saat dia tertawa lepas seperti ini.
Tanpa kusadari, aku pun ikut tersenyum melihatnya. She is my energy. Begitu mudah dia membuatku tersenyum, setelah seharian kemarin memorakporandakan pikiran.
"Barangkali kamu punya niat kabur karena jengah dengan sikapku semalam." Aku menyahuti asal, tapi sukses membuatnya berubah mimik wajah.
Binar menyelipkan rambut di kuping dan membetulkan duduknya. "Reyhan, apa kamu pernah berpikir kalau suatu saat akan berpisah dengan orang yang kamu sayangi?"
Aku menatapnya tajam. "Kenapa kamu bertanya seperti itu? Apa kamu tahu siapa orang yang kusayangi?"
"Maksudku bukan sayang yang cinta-cintaan gitu, Rey. Akan tetapi sayang pada keluarga. Orang tua, misalnya?"
Ck! Selalu punya cara untuk lepas dari pertanyaanku yang menjurus padanya.
" Papa sudah meninggal, dan aku tahu bagaimana rasanya ditinggal orang tua."
"Kalau mamamu?"
"Terserah dia mau mati atau hidup, tak ada bedanya bagiku. Karena bagiku dia sudah mati belasan tahun lalu!" Aku menjawab sewot. Kenapa Binar bertanya tentang Mama di saat aku enggan memikirkannya?
Hening.
Dia terdiam cukup lama. Entah apa yg dipikirkan, terlihat jelas ada kesedihan di matanya.
Sampai saat aku menegurnya, " Binar!"
Gadis itu justru berkaca-kaca menatapku sendu. Semakin yakin, beban yang tersirat tak bisa dia tahan.
"Aku mungkin menjengkelkan buatmu, juga bukan orang baik bagimu. Namun percayalah, aku bisa jadi pendengar yang baik untuk keluh kesahmu," ucapku mencoba membujuk.
Mulutnya terkunci, tapi bulir bening berhasil menerobos keluar dari mata indahnya.
"Reyhan ... Ibuku ... dia sekarang mengidap HIV AIDS. Kau tahu 'kan, penyakit itu mematikan dan tidak ada obatnya? Itu artinya, tak lama lagi ... aku akan kehilangan ... Ibu ... selama-lamanya."
Kini, bahu gadis mungil itu bergetar karena terisak. Astaga ... ternyata ini yang membuat Binar murung sejak tiba tadi pagi. Entah kebapa, tapi perasaanku menduga ada yang tak beres terjadi padanya.
Refleks, aku mendekat, duduk di sampingnya dan membawa kepalanya ke bahuku. Binar semakin tersedu-sedu. Aku bisa merasakan kesedihannya, saat Papa meninggalkanku. Seperti orang buta yang kehilangan tongkatnya untuk membantu berjalan. Apalagi Binar baru saja diakui sebagai anaknya kembali setelah lama dia berjuang tanpa lelah.
Kelak, pasti akan engkau temukan kebahagiaan sejati, Binar. Percayalah!
Bersambung #9
"Kalau mamamu?"
"Terserah dia mau mati atau hidup, tak ada bedanya bagiku. Karena bagiku dia sudah mati belasan tahun lalu!" Aku menjawab sewot. Kenapa Binar bertanya tentang Mama di saat aku enggan memikirkannya?
Hening.
Dia terdiam cukup lama. Entah apa yg dipikirkan, terlihat jelas ada kesedihan di matanya.
Sampai saat aku menegurnya, " Binar!"
Gadis itu justru berkaca-kaca menatapku sendu. Semakin yakin, beban yang tersirat tak bisa dia tahan.
"Aku mungkin menjengkelkan buatmu, juga bukan orang baik bagimu. Namun percayalah, aku bisa jadi pendengar yang baik untuk keluh kesahmu," ucapku mencoba membujuk.
Mulutnya terkunci, tapi bulir bening berhasil menerobos keluar dari mata indahnya.
"Reyhan ... Ibuku ... dia sekarang mengidap HIV AIDS. Kau tahu 'kan, penyakit itu mematikan dan tidak ada obatnya? Itu artinya, tak lama lagi ... aku akan kehilangan ... Ibu ... selama-lamanya."
Kini, bahu gadis mungil itu bergetar karena terisak. Astaga ... ternyata ini yang membuat Binar murung sejak tiba tadi pagi. Entah kebapa, tapi perasaanku menduga ada yang tak beres terjadi padanya.
Refleks, aku mendekat, duduk di sampingnya dan membawa kepalanya ke bahuku. Binar semakin tersedu-sedu. Aku bisa merasakan kesedihannya, saat Papa meninggalkanku. Seperti orang buta yang kehilangan tongkatnya untuk membantu berjalan. Apalagi Binar baru saja diakui sebagai anaknya kembali setelah lama dia berjuang tanpa lelah.
Kelak, pasti akan engkau temukan kebahagiaan sejati, Binar. Percayalah!
Bersambung #9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel