Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 07 April 2022

Binar #9

Cerita bersambung
[Pov-Binar]
 
Sebenarnya aku tak tahu mau dibawa ke mana Ibu. Akan tetapi, yang jelas tak mungkin kubiarkan dia diperlakukan seperti itu. Jika bukan ketegaran yang kuperoleh dari nasib hidup selama ini, mungkin kini, jiwaku telah melonglong tak berjeda. Air mata menganak sungai ... dan hati ... hancur. Tak tahu lagi bagaimana bentuknya.

Pantaskah aku protes? Siapa yang harus kusalahkan? Ibu sempat menolak beberapa kali. Saat kami menjauh dari gang Merak, dia berlari. Takut. Takut akan menularkan penyakitnya padaku, juga karena malu. Pada akhirnya, Ibu memang harus kembali pada keturunan darahnya.

Cukup lama membujuk Ibu agar mau. Setelah mendapat ijin dari Bu Anjar, untuk sementara Ibu tinggal di rumahnya. Sekaligus, mempertemukan dia dengan Intan. Adikku yang selama ini telah membenci Ibu kandungnya sendiri.
Benarlah, tak ada satu pun ketentuan Tuhan tanpa mengandung hikmah di baliknya. Pintu hati mereka seakan terketuk. Terlihat besarnya cinta keluarga. Ibu, aku bisa melihat tetesan air mata yang bersumber dari penyesalan. Tak hanya fisik, hatimu turut sakit luar biasa. Rasa haru semakin menjalar, saat Intan kembali melunakkan ego akan kepedihan kenangan silam.

Sebagai anak balita yang tak pernah merasakan kasih sayang dari Ibu. Diabaikan, ditelantarkan, dan tak pernah dianggap sekalipun. Bukalah pintu maaf untuk wanita yang telah melahirkanmu Intan. Teringat bagaimana dia begitu membenci Ibu, tiba-tiba pikiranku melayang memutar waktu.

"Alloh sudah mentakdirkan jalan hidup kita yang seperti ini, tapi percayalah. Bukan karena Alloh tak adil atau pun kejam. Tapi karena Alloh tahu kita begitu hebat dan kuat. Hingga mempercayai kita untuk melewati kehidupan seperti ini. Mbak tahu kamu anak yang baik. Maafkan Mbak tak bisa memberimu hal lebih. Mbak hanya bisa menemanimu dan melakukan yang terbaik sebisanya," bujukku pada Adik yang sedang kesal, karena keputusanku akan membawanya ke Jakarta esok hari.

Dia tahu meski belum kujelaskan tujuan kepergian kami, yang pasti dia telah menerka kalau tujuan utama adalah mencari Ibu. Selama ini Intan selalu benci. Muak bila ada seseorang yang membahas ibu. Terlebih selalu merasa minder pada teman dan orang-orang di sekitar yang sering membicarakan kondisi keluarga berantakan ini.

"Apa benar di sana dia jadi pelacur?" tanyanya terseguk, seraya menghapus air mata yang sudah membasahi sekeliling bantal di kepalanya. Aku semakin erat memeluknya dari belakang.

"Entahlah, jadi apa pun Ibu, yang jelas kita tetap berhutang budi padanya. Wanita itu sudah mengandung, melahirkan kita dan nyawa jadi taruhan. Bukankah kamu tahu sendiri kalau surga di bawah telapak kaki Ibu?"
"Apa mungkin masih ada surga di bawah telapak kaki wanita yang tidak bertanggung jawab seperti dia?"
"Sudahlah Intan, berhentilah! Itu urusan Tuhan, kita tak perlu mencampuri tugas-Nya. Yang jelas dia adalah wanita yang sudah membawa kita untuk mengenal indahnya dunia ini."
"Indah, Mbak? Apa ini yang disebut kehidupan indah? Bahkan lebih baik jika kita tidak pernah terlahir di dunia. Daripada kita harus menderita sepanjang hidup ini!" sergah Intan. Suaranya mengeras. Dia bangkit dan duduk melepaskan tanganku yang melingkar di tubuhnya.

"Astaghfirullah Intan, itu sama saja kamu tak menerima kehendak dan takdir Tuhan. Istighfar, Sayang. Tidakkah kamu merasa senang bisa bertemu denganku sebagai Mbakmu? Percayalah Intan, akan ada pelangi setelah hujan. Roda akan berputar dan membawamu ke dalam kehidupan yang lebih baik. Percayalah!" rayuku sekali lagi. Air matanya semakin deras, mungkin bosan dengan bujuk rayuku selama ini, yang berharap dia tak lagi membenci Ibu apapun keadaanya.

"Maafkan Mbak, bagaimanapun sudah jadi kewajiban kita menyelamatkan ibu dari kondisi yang menyesatkannya itu."
"Intan nggak ikut, nggak sudi! Intan sudah nggak punya Ibu! Dia sudah mati sejak memutuskan pergi meninggalkan kita," rengeknya.

Aku menarik napas berat, entah sudah berapa ratus kali perdebatan ini tak pernah berujung. Tapi aku pantang menyerah. Kembali mengusap pipinya, entah bagaimana lagi cara untuk bisa meluluhkan Intan.

"Setidaknya, kamu sayang 'kan sama Mbak?" tanyaku lirih. Dia mengangguk, menatapku sendu.
"Sekali ini saja, nurut ya sama Mbak. Temani Mbak! Sekarang kita tidur, ya! Aku sudah mengemas semua barang-barang milikmu," ucapku seraya menyilakan rambut yang menutupi wajah basahnya.

Ya ... meski akhirnya Intan nurut dan ikut ke Jakarta denganku, kutahu itu hanya keterpaksaan. Bagiku tak apa, berharap lambat laun dia bisa menerima dan lapang dada memaafkan ibunya. Namun miris, saat kami telah tiba dan bertemu dengan Ibu. Justru Ibu menolak dan tidak mengakui kami. Itu membuat Intan semakin murka dan membuat keadaan semakin kalut. Berada di tengah-tengah antara mereka selalu membuatku terpojok dalam keadaan memilukan.

Bertahan di Jakarta, akhirnya musibah terus berlanjut, peristiwa pemerkosaan pada Intan dan membuatnya berniat ingin mengakhiri hidup. Hatiku kembali sakit, mengingatnya. Sesak menjalar di dada. Pantaskah aku bertanya, kapan derita ini akan usai? Hingga detik ini, sekelumit beban masih terpikul berat. Masalah semakin runyam, termasuk saat Tuhan mempertemukanku dengan lelaki bernama Reyhan. Tidak, seharusnya aku berterima kasih padanya. Dia yang telah membantuku menyelamatkan Intan.

Namun sekarang, Ibu telah terjangkit penyakit mematikan, dan sekarang kembali dalam kondisi memprihatinkan. Akan tetapi di waktu seperti ini pula, Intan berubah, belas kasih dan cinta di dalam hatinya kembali terbuka untuk menerima wanita yang pernah dia benci. Setidaknya, Intan telah memaafkan dan bersedia bersama-sama merawat Ibu di ujung hayatnya.

Perasaan ini tak bisa kujelaskan. Entah, harus senang atau sedih. Intan telah mengikis kebencian itu, dan tumbuh perhatian kepada Ibu. Namun di sisi lain, cepat atau lambat kami harus bersiap, ya ... kehilangan untuk selama-lamanya. Benarkah semua rencana Tuhan akan indah? Setidaknya Ibu masih memiliki kesempatan, untuk bertaubat, memanfaatkan dengan baik sisa umurnya.

Sebenarnya aku lelah. Jiwaku begitu payah menahan. Di hadapan mereka aku terlihat begitu tegar dan hebat, padahal hanya terlalu pandai menutupi. Hatiku remuk tak berbentuk.
Karena sibuk mengurusi Ibu, aku sampai lupa meninggalkan Reyhan pagi tadi. Saat ingin mengabarinya, aku baru sadar kalau tidak menemukan ponsel. Apakah jatuh? Kucoba mengingat-ingat, tapi lupa. Ya Tuhan ... semoga Reyhan tidak marah karena ponsel pemberiannya hilang.

Semoga demam Reyhan juga sudah sembuh. Seketika terbesit rasa bersalah karena telah lalai meninggalkannya di saat sakit. Namun, jika tadi aku tidak rindu Ibu dan datang ke tempatnya, bisa jadi aku akan kehilangan jejak Ibu ... selamanya ....
***

Mentari bersinar menghangatkan bentala. Sisa embun bening membasahi permukaan dedaunan. Burung-burung berkejaran dengan riuh kicauan. Setelah membantu Bu Anjar memasak untuk lima orang, kami sarapan bersama.
Ibu terlihat canggung. Mungkin juga malu karena dia dan anaknya merepotkan Bu Anjar, juga Daffa. Akan tetapi, wanita berhati malaikat itu merasa senang ada teman tinggal di rumahnya. Setelah sarapan dan mencuci piring dengan Intan, aku berpesan padanya agar menjaga Ibu. Bu Anjar akan berkonsultasi dengan dokter terkait penyakit Ibu.
Walau tak tega berpisah, tapi aku harus kembali ke rumah Reyhan. Selain karena telah lalai bekerja, aku juga sedikit mengkhawatirkan keadaannya kemarin. Daffa bersi keras untuk mengantar, walau sudah aku larang.

"Maafkan aku dan keluargaku, Daffa. Kami selalu merepotkan kalian," ucapku saat kami sudah dalam perjalanan.
Daffa tersenyum. "Kenapa meminta maaf? Justru ibu senang kalian tinggal di rumahnya. Jadi ada teman ngobrol."
"Kamu dan Bu Anjar orang baik. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian berlipat ganda."
"Aamiin ... Binar ...."
"Ya?"
"Kalau kamu butuh dana untuk pengobatan ibumu, jangan pinjam pada bosmu lagi, ya."
"Kenapa?"
"Aku takut dia akan mempersulitmu untuk bebas nanti."

Aku bingung dengan ucapan Daffa. Apa maksudnya?

"Feelingku mengatakan kalau bosmu tertarik padamu."

Mungkin saja benar apa yang dikatakan Daffa, tapi mungkin juga itu salah. Hati Reyhan tak pernah sekeras dan sejahat itu, barang kali ada sisa nurani yang membuatnya berbelas kasih. Ya ... semua karena dia kasihan padaku.
Sekarang dia memberiku pundak untuk menangis meluapkan kesedihan. Setidaknya, ada kenyamanan yang membuat perasaanku sedikit lebih baik. Ya ... biarkan aku tetap tersedu di bahumu, kali ini saja aku perlihatkan padamu. Aku tak pernah setegar itu. Reyhan.

"Binar, kau tau, dulu ketika aku bersedih aku selalu berusaha mengingat hal lucu dan menyenangkan dalam hidupku. Itu sedikit membantu meringankan nyeri didalam hati, cobalah," papar Reyhan. Seketika otakku melayang, mencoba mencari kenangan menyenangkan yang pernah kulalui.

"Lantas, jika aku tak punya kenangan menyenangkan. Apa yang harus kuingat?"
"Aku akan membuatnya untukmu?" Terhenyak mencerna perkataan Reyhan barusan, hening sesaat, benarkah dia berencana akan menghiburku?

"Caranya?"
"Sekarang berikan telapak tanganmu," pinta Reyhan, membuat aku bangkit dari sandaran dan duduk sempurna menatapnya.
"Sinih, kamu belum tau kan kalau aku bisa meramal," tukas Reyhan sembari menarik tangan kananku dan melihat telapak tanganku.
"Emmm, garis tangan yang cukup teratur," gumamnya.

Reyhan tetap memperhatikan dengan cermat garis tanganku. Entahlah, apa benar dia bisa meramal, atau omong kosong untuk sekedar iseng. Beberapa detik terus melihat, tanpa suara namun berekspresi menerawang.
Aku pun tetap terdiam, menanti kata yang akan terlontar.

"Garis tanganmu, menandakan kau begitu susah," terangnya. Lalu dia mendongak dan menatap kearahku.

Aku kembali muram, tanpa diramal pun. Aku sudah tahu, hidupku memang begitu susah dari dulu hingga saat ini.

"Ya Binar, kau benar-benar susah dilupakan. Jadi kumohon, tetaplah bersamaku dan janganlah membuatku khawatir lagi seperti semalam. Kau tau, kepalaku hampir pecah memikirkanmu, takut kamu kenapa-napa."

Entah apa yang merasuk, tiba-tiba garis lengkung tercipta di wajah.

"Tidakkah aku berhasil?"
"Itu tidak lucu."
"Tapi menyenangkan?"

Aku membisu, tatapan kami semakin menyatu manik hitam saling beradu. Reyhan benarkah, kau mencintaiku?

==========

[POV-Reyhan]
 
Apa yang aku rasakan saat ini lebih dari cukup. Menyediakan bahu untuknya bersandar kala duka mengelayut. Melihat Binar tersenyum di saat hatinya bersedih, membuat sisi di dalam sini menghangat. Gadis yang sejak awal kukenal, sudah membawa beban yang berat dalam hidup, kini bisa sedikit melupakannya karena canda recehku.

"Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanyaku padanya setelah hening menyergap saat manik mata kami saling bertemu.

Aku ingin menyelam di sana, Binar. Agar aku bisa mengusir air mata yang melingkupi hidupmu. Menggantinya dengan kebahagiaan agar selalu terlihat senyum indah di bibirmu.

"Terima kasih, Rey. Kau membuatku sedikit merasa lebih baik." Dia menjawab dengan memandang ke arah taman, seolah menghindari tatapanku.
"Kalau hanya bersandar di bahu dan mendapat gombalan receh dariku, bisa membuatmu merasa lebih baik. Tidakkah kamu mau selalu ada di sisiku ... selamanya?"

Kembali pandangan kami terkunci. Ada rona terkejut di manik hitam itu. Apa kalimat terakhir tadi tak cukup untuk mewakili perasaanku? Apa begitu susah kamu memahami bahasa verbalku?

"Rey ...."
"Kali ini aku serius, Binar. Aku menginginkanmu menemani hari-hariku. Aku juga ingin kita berbagi bahu saat masalah kehidupan tak henti menerjang. Kita bisa saling menguatkan. Aku ... aku takut kehilanganmu, Binar."
"Rey ... ma-maksud kamu apa? Ayolah, bukan waktunya bercanda. Kamu-"
"Be mine, Binar ... please ...."

Aku mengenggam erat jemari lentik itu. Bulir bening berhasil lolos ke pipinya yang merona alami. Melalui sorot mata, kucoba meyakinkannya agar mau menerimaku.
Aku tahu, aku orang hina. Namun aku ingin menjadi orang yang lebih baik. Kamu harapanku, Binar. Kamu yang bisa mengetuk pintu hati ini, dan berhasil memasukinya. Jangan keluar dari sana, Binar. Aku mohon ....

"R-Rey ...," lirihnya terbata, "i-ini ... ini hanya bagian dari caramu menghiburku, 'kan?" Sorot matanya menatap ke gengaman tanganku.
"Binar, look at me! Apa aku terlihat sedang bercanda?"

Perlahan Binar kembali menatapku sesaat, lalu membuang muka dan memejam. Beberapa detik kemudian membuang napas berat.

Lalu berucap, "Aku bukan orang yang pantas untukmu, Rey. Perbedaan kita sangat banyak. Kamu bos besar, sedangkan aku hanya pelayan rendahan. Aku memiliki latar belakang keluarga yang carut marut. Juga--"
"Binar ... Binar, hey dengarkan aku!" Aku mempererat gengaman tangannya, "Cinta tak mengenal kasta. Aku juga tak peduli dengan background keluargamu seperti apa. Well ... aku juga memiliki keluarga yang tak utuh. Bukankah cinta bisa membuat yang kurang menjadi sempurna?"
"Tapi Rey ...."
"Tapi apa? I love you Binar. Be mine, please ...."

Akhirnya kata itu terucap, tulus dari dasar hatiku. Aku tak bisa berpura-pura untuk memendam rasa ini, Binar. Andai kau tahu seperti apa aku kemarin saat tak ada kabar darimu. Aku sangat mengkhawatirkanmu. Aku takut akan kehilanganmu.
Gadis berambut panjang di depanku ini tak mengucap sepatah kata pun. Dia malah larut dalam isak tangisnya yang memilukan. Apakah ungkapan cintaku, melukai hatinya sehingga dia tersakiti?

Ragu, perlahan kutarik tubuhnya dalam dekapan. Tak ada penolakan. Tubuhnya masih terguncang karena isak tangis yang belum reda. Entah apa yang membuatnya menangis, karena Binar tak bersuara. Hening menyelimuti kami. Namun aku merasakan kedamaian saat mata ini terpejam.
Rasanya aku ingin waktu berhenti berputar. Biarlah seperti ini, Tuhan. Suasana yang tak pernah kualami, tapi bisa membuatku merasakan sesuatu yang berbeda.

"Rey ...."
"Ya."
"Kamu serius?"
"Ya."
"Kamu mau menerimaku apa adanya?"
"Ya."
"Kamu benar, mencintaiku?"
"Ya."
"Kamu akan setia?"
"Ya."

Hening.

"Binar."
"Ya."
"Do you love me?"
"No."

Refleks aku menjauhkan tubuhnya. Dia terperanggah. Aku menatapnya tajam. Tak percaya dengan jawabannya.

"Aku tak bisa mengatakan 'iya' karena tak ingin membohongimu. Sampai sekarang aku tak mengerti perasaanku padamu seperti apa? Yang jelas ... aku merasa nyaman dan damai berada dalam dekapanmu." Senyum simpul tercetak di bibirnya.
"Jadi?"
"Mungkin hanya perkara waktu, tapi aku akan belajar untuk mencintaimu."
"Artinya?"
"Buat aku semakin jatuh cinta padamu."
"Aku janji akan membuatmu jatuh cinta padaku dan menciptakan kenangan manis untukmu."
"Ya."

Seketika senyumku terbit. Refleks, kutarik kembali tubuhnya, tapi Binar menghindar. Dia tersenyum, sembari menggeleng.

"Yang tadi khilaf."

Tawa kami pecah. Aku bahagia. Melihatnya tertawa lepas, membuat perasaanku berbunga. Kamulah binar kebahagiaan dalam hidupku, Binar.
***

[POV-Binar]

Malam telah larut, tapi mata ini tak bisa terpejam. Mengingat kembali saat Reyhan mengutarakan perasaan cintanya tadi pagi, membuat bibirku melengkung ke atas. Rasanya masih aneh dengan status hubungan kami yang baru.

Aku bisa melihat ketulusan di matanya. Dia menaruh harapan besar kepadaku. Aku tak tega untuk menolaknya. Biarlah waktu yang akan mejawab, seperti apa perasaanku sejatinya pada Reyhan. Aku rasa jika sikapnya selalu baik padaku, akan semakin mudah benih cinta itu tumbuh subur di hati.

Pagi ini Reyhan tak memintaku menyiapkan kebutuhannya. Dia sudah bangun lebih pagi dan terlihat rapi, siap ke kantor. Bibirnya mengulum senyum saat menyapaku di ruang makan. Terlihat sekali pancaran kebahagiaan di wajahnya. Mata elangnya yang biasa menatap tajam, tak kudapati lagi. Benarkah ini effek dari hubungan baru kami?

"Bagaimana perasaanmu hari ini?" Lelaki itu duduk di kursi untuk bersiap menikmati sarapan.
"Lebih baik. Apalagi jika kamu izinkan aku menemui ibu hari ini," ucapku tanpa menatapnya.
"Jadi sekarang, kamu sedang mencoba merayuku?" Dia melirik sembari mengigit roti bakar buatanku.
"Tidak."
"Aku antar," tawarnya.
"Kamu nggak kerja?"
"Kamu tidak ingin mengenalkan kekasihmu ini pada keluarga?" tanyanya.

Aku sampai lupa, moment semalam yang membuatnya terlihat lebih semringah. Hening sesaat. Di wajah lelaki itu masih terlukis senyum indah meski posisinya sedang mengunyah. Tak menyangka, Reyhan seserius ini menyikapi perbincangan semalam.

"Beberapa hari lagi, mungkin ibu harus di pindah ke rumah sakit khusus. Agar dia bisa mendapat perawatan lebih lanjut," terangku.
"Ya, sebaiknya memang begitu. Aku sudah menyuruh seseorang, mencari informasi dokter terbaik untuk menangani penyakit itu. Semoga secepatnya ada kabar baik," jelasnya.
"Kamu tidak usah repot-repot. Kami sudah mengurusnya," paparku.

Seketika, Reyhan menatapku. Dia menghentikan aktifitasnya.

"Kamu tidak berkenan aku membantumu?"
"Tidak, bukan begitu. Akan tetapi ...."
"Aku mau ketemu keluargamu. Titik." Seolah memaksa, membuatku tak enak pula untuk menolak. Namun, entah kenapa, aku benar-benar belum siap, ditambah perkataan Daffa kemarin masih belum bisa kuabaikan begitu saja.

"Sekarang, selesaikan juga sarapanmu. Makan yang banyak, jaga kesehatan. Karena mulai saat ini ada tambahan kerja buatmu," ucap Reyhan mengulum senyum. Aku terperangah menatapnya. Apa maksud tambahan kerja?

"Maksudmu?"
"Tidak lihatkah, sekarang rumah ini bagai taman bunga? Kamu harus menyiram dan merawatnya setiap hari?" tukasnya. Aku semakin tak mengerti, mataku melirik ke beberapa arah. Bingung. Sedang Reyah semakin melebarkan senyum.

"Inikah rasanya jatuh cinta? Sejak semalam perasaanku berbunga-bunga?" Lelaki itu nyengir lalu menolehku menggoda.
"Hhmmm ...." Aku memutar bola mata melihat sikapnya yang alay.

Syukurlah, Bu Dilah tiba-tiba datang. Membuat Reyhan kaget dan refleks berekspresi biasa saja. Sedangkan aku hanya tersenyum geli.

Dari depan kulkas, Bu Dilah berucap, "Pantas saja sedikit aneh. Rupanya rumah ini sedang menjadi taman bunga sekarang."

Ledekan Bu Dilah membuat Reyhan sedikit salah tingkah. Rona merah tiba-tiba menjalar di wajahnya. Lucu juga melihat ekspresi lelaki itu sekarang.

"Kita berangkat sekarang Binar, aku antar kamu." Lelaki bertubuh atletis itu berdiri, sebelum menghabiskan makanannya.
"Tunggu!" sahut Bu Dilah, "apa taman bunganya masih ada, jika kalian tidak berada di rumah?" sambung wanita itu dengan menatap sekitar. Membuatku cekikikan. Refleks, menutup bibirku dengan telapak tangan.

Reyhan semakin senewen, membetulkan dasi yang sudah benar. Seolah bingung harus berkata apa?

"Kamu belum selesai makan. Ahhh ... begitukah orang yang sedang kasmaran, makan pun tak selera karena terlalu bahagia." Bu Dilah tersenyum ke arah kami, "semoga hubungan kalian selalu berjalan baik, dan berbahagialah bersama," sambungnya semakin melebarkan garis lengkung di wajah.

"Terima kasih Bu Dilah. Aku tahu, kamu lebih memahamiku. Kamu yang telah mengurusku dari kecil hingga sekarang ini. Engkau sudah seperti ibu sendiri. Aku menyayangimu," pungkas Reyhan. Dia berjalan mendekat ke arah Bu Dilah dan memeluknya haru.

"Aku bahagia melihat Tuan yang sekarang. Teruslah seperti ini, Tuan," harap Bu Dilah dalam pelukan, perempuan itu menatapku dengan senyum. Kulihat matanya mulai berkaca-kaca. Pancaran cinta terlihat begitu nyata.

"Jangan panggil 'Tuan' lagi. Cukup panggil namaku saja."
"Boleh?" Bu Dilah bertanya tak yakin.
Reyhan mengangguk mantap. "Tentu saja."

Aku bergeming. Menatap dua orang itu dengan haru. Aku tahu, Reyhan sebenarnya mendambakan sosok ibu dalam hidupnya. Hanya saja, butuh kerja keras untuk bisa mewujudkan meruntuhkan ego di hatinya untuk bisa berdamai dengan keadaan.
***

Reyhan benar-benar mengantarku menemui Ibu, sebelum sampai dia berhenti sejenak saat melihat penjual bunga segar yang tak jauh dari rumah Bu Anjar.

"Aku mau beli bunga dulu di situ. Kamu tunggu sebentar. Aku parkirkan mobilnya di sini saja," ucapnya sembari menunjuk toko bunga yang berada di jalan sebrang. Dia memarkirkan mobilnya di depan mini mareket.

"Bukankah, rumahmu sudah menjadi taman bunga sekarang? Kamu tidak memetiknya tadi?" sindirku.
"Sekarang kamu akan meledekku pula? Hemm?"
"Awhhh!" Reyhan mencubit hidungku, sebelum aku menjawab pertanyaannya.
"Itu bunga khusus untuk kita berdua, Sayang," ucapnya. Untuk pertama kali dia memanggilku 'Sayang'. Rasanya aneh. Seperti ada yang menggelitik perutku.

"Ya sudah, kamu tunggu sebentar. Aku ke sana dulu. Lelaki itu pun beranjak turun dari mobil dan berjalan menyebrangi padatnya jalan raya dengan lalu lalang kendaraan.
Beberapa menit kemudian aku turut ke luar mobil, menyandarkan punggung dan membuka ponsel.

"Binar, kamu di sini?" Suara Daffa tiba-tiba muncul dari arah samping.
"Daffa! kamu kok di sini?" tanyaku sedikit kaget. Lelaki yang menenteng plastik putih berisi beberapa barang itu mendekat.

"Kamu habis belanja?" tanyaku setelah melirik barang bawaannya.
"Kamu sama siapa di sini? Sama bosmu? Di mana dia?" Tanpa menjawab pertanyaanku, lelaki berkaos putih itu justru menyerbuku dengan beberapa pertanyaan. Matanya menilik arah mobil di belakangku, yang memang kosong.

"Binar, kamu mau ke mana? Kenapa bisa berada di sini? Kamu mau mengunjungi ibu? Sebaiknya ikut sekalian denganku." Entah kenapa, wajah Daffa seolah risau kali ini. Tidak seperti biasanya.
"Tapi, aku--"
"Kamu sama bos jahat itu? Entah kenapa aku selalu tidak senang jika kamu semakin dekat dengan bosmu itu. Binar ... aku menyukaimu. Aku benar-benar tak bisa berhenti memikirkanmu. Kurasa ... aku telah jatuh cinta padamu."

Terkejut luar biasa, Daffa tiba-tiba mengucapkan hal itu di saat seperti ini. Apa maksudnya? Keresahannya begitu jelas, seolah tak terima jika aku sedang bersama Reyhan. Aku terperangah menatapnya, ditambah tiba-tiba ada Intan di belakang Daffa. Sepertinya, dia mendengar apa yang diungkapkan Daffa barusan. Ya Tuhan ....
***

"Reyhan, kita diem dulu yah."
"Memangnya kenapa?"
"Aku belum bisa tentukan perasanku sebenarnya."
"Kamu mau nggantung cinta dan perasaanku?"
"Bukan, kita lanjutkan cerita ini di dalam buku."
"Kamu nggak takut dibully?"
"Kagak, tenang saja. Sekarang, para pembaca semakin cerdas dan bijak kok. Dari pada kisah kita di copas orang, ya, 'kan?"
"Tapi di buku kamu makin cinta nggak sama aku?"
"Duhh ... jangan spoiler, Bambang!"
"Ya udah kita do'ain buat para readers agar dipermudah rizkinya biar bisa beli novel kita dan bisa ngekepin kita."
"Amiin ..."


--- TAMAT ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER