Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 08 Mei 2022

Ayna #12

Cerita Bersambung

“Ya ampun Riri.. kamu masih cantik seperti dulu,” seru Tanti sambil memeluk bu Tarni.
“ Kamu juga selalu cantik Tanti.”
“Siapa yang sakit?”
“Anakku..”
“Opname?”
“Tidak, ini obat jalan.”
“Syukurlah, anakmu sudah berapa Riri ?”
“Satu.. eh.. dua..”

Tanti tertawa.

“Kok jumlah anak bisa lupa sih ?”
“Bukan lupa, salah ngomong, so’alnya yang satu bekerja di Jakarta.”
“Suami kamu juga di Jakarta?”
“Tidak Tanti, suami aku meninggal lima tahun lalu karena sakit lever. Kamu sendiri sakit apa?”
“Aku hamil anak pertama Riri.. opname tiga mingguan karena muntah terus.”“Alloh hu akbar.. kamu hamil anak pertama?”
“Iya Riri, sebuah anugerah setelah aku sama mas Danang hampir putus asa.”
“Senang mendengarnya Tanti, kamu tinggal dimana? Dirumah Danang ?”
“Iya lah Riri, aku ikut suami aku.”
“Tanti.. ternyata masih disini..” tegur bu Suprih yang lebih dulu keluar karena membawa barang-barang.
“Ini ibu ya?”
“Ini.. siapa.. seperti pernah kenal..”
“Ibu, ini kan Riri, ibu lupa ya?”
“Aduh.. iya, lupa-lupa ingat, habisnya hanya ketemu sekali. Itupun hanya sekilas.”

Bu Tarni menghampiri bu Suprih dan mencium tangannya.

“Riri, aku ditunggu mas Danang, kapan-kapan datanglah kerumah, aduuh, mana anak kamu, aku tak melihatnya disini?”
“Menunggu didepan, disini banyak orang, aku takut dia bingung. Lain kali aku ajak dia kerumah kamu.”
“Bener ya.”
“Iya Tanti, banyak yang ingin aku ceritakan sama kamu. Lain kali aku pasti kerumah kamu.”
“Iya nak, ma’af.. kami harus pulang, mas Danang sudah nungguin, lagi pula Tanti harus banyak istirahat,” sambung bu Suprih.
“Iya bu, saya maklum.”
“Aku pergi dulu ya Riri, sungguh ya, datang kerumah.”
“Akan aku sempatkan. Hati-hati, Tanti.”

Bu Tarni menggeleng-gelengkan kepalanya karena takjub. Diusia yang hampir seperti dirinya mendapat anugerah yang tiada taranya.
Lalu bu Tarni teringat ketika dirinya dikenal Tanti dengan nama Riri. Sekarang bu Tarni membenci nama itu, nama yang mengingatkan kehidupan masa lalunya yang hitam dan buruk. Ia sangat menyesalinya, dan bersyukur seorang yang semula dibencinya masih bersikap sangat baik dan bersahabat, sejak dulu.

“Nona Winarni..”

Panggilan petugas apotik membuyarkan lamunannya. Ia segera beranjak ke loket.
***

“Win, kelamaan ya?”
“Tidak bu, pastinya ngantri di apotik.”
“Iya, tadi ibu ketemu teman lama dan sempat ngobrol. Dia sahabat baik, lain kali aku ajak kamu ke rumahnya.”
“Iya bu..”
“Kamu sudah jadi ke kamar mandi, tadi?”
“Sudah bu.”
“Baiklah, ayo kita pulang. Ini obat-obat untuk kamu.”
“Banyak sekali..”
“Tidak, hanya vitamin dan ada obat yang diminum kalau pusing.”
“Apakah saya akan bisa ingat semuanya?”
“Pasti Win, kamu harus bersemangat .. suatu hari kamu akan ingat semuanya.”
“Terimakasih bu..”
“Ayo kita pulang, atau kamu ingin mampir kemana, gitu?”
“Tidak bu, kecuali kalau ibu masih punya keperluan.”
“Tidak, barangali kamu ingin jalan-jalan lagi?”
“Bukankah warung buka? Saya harus mmbantu memasak..”
“Anak baik.. biar aku panggil taksi dulu ya.”
***

“Mas, coba tebak, aku tadi ketemu siapa?” tanya Tanti dalam perjalanan pulang dari rumah sakit.
“Siapa ?”
“Riri...”
“Riri siapa sih ?”
“Ah, pura-pura lupa nih..”
“Gimana sih, emang bener-bener lupa..”
“Masa sama bekas pacar bisa lupa?”
“Bekas pacar ? Apa sih.. kalau pacar aku nggak punya selain kamu, kalau teman dekat.. aku banyak..”
“Ya ampuun.. teman dekat? Baiklah, Riri adalah salah satu teman dekat mas kan?”
“Riri... oo.. dia? Yang pernah gila itu kan?”
“Ssst.. jangan menyebutnya gila dong mas..”
“Lalu apa dong..”
“Dia hanya stress.. karena memikirkan cintanya sama mas..”
“Ah.. ya enggak, dia stress karena menyesali perbuatannya. Sudah baik kan? Ketika kita menikah dia datang kan?”
“Iya.. kami bersahabat setelahnya..”
“Bagus. Jadi tadi ketemu? Sakit apa dia?”
“Yang sakit anaknya. Aku sampai lupa menanyakan sakit apa.. tapi hanya obat jalan katanya.”
“Sudah punya anak berapa dia?”
“Dua, yang satu sudah kerja di Jakarta. Suaminya meninggal lima tahun yang lalu.”
“Sudah janda dong..Dimana rumahnya?”
“Kami bicara sekilas saja. Tapi dia janji mau datang kerumah. Semoga dia datang ketika mas ada dirumah.”
“Kok pakai semoga ketika aku ada dirumah?”
“Kan bisa rame, heboh dong mas, ketemu teman lama..”
“Itu kata-kata tulus.. atau berisi cemburu ?”
“Iih.. ya enggak lah mas.. masa aku cemburu, sudah tua cemburu.. mana pantas?”
“Kan aku masih ganteng.. pantas dong dicemburuin..”
“Eeeh.. genit ya.. sudah mau punya anak masih genit juga..”

Danang tertawa terbahak. Bu Suprih yang duduk dibelakang hanya tersenyum-senyum mendengar celotehan anak dan menantunya.

“Kalau cemburu itu kan tandanya cinta nak?” sambung bu Suprih.
“Tapi Tanti bilang tidak cemburu lho bu, berarti tidak cinta dong sama saya.”
“Tuh kan, bertambah lagi genitnya..”
“Lha itu kan benar, tidak cemburu berarti tidak cinta.”
“Tidak cemburu karena hati aku seluas lautan.. Tidak ada alasan untuk cemburu. Tapi kalau berani main-main .. awas saja.. “
“Waduh, ibu anakku sudah main ancam nih..”
“Biarin..”

Canda itu berlangsung sampai mereka kembali memasuki rumah mereka. Berseri wajah Tanti begitu memasuki rumah yang lama ditinggalkannya.
***

Sore itu Bu Tarni duduk diruang tengah sendirian. Pertemuannya dengan Tanti menguak kembali cerita lama yang sudah lama dikuburkan dalam-dalam dilubuk hatinya.

Ketika itu ia tak ingat apapun, berkeliaran dan membuat heboh dimana-mana. Itu karena dia mengandung entah anak siapa, dan mengejar Danang agar mau menutupi aibnya.
Akhirnya bayi yang dikandungnya luruh dipinggir jalan, ketika dia terjatuh sepulang dari rumah Tanti.

Aduhai, lama sekali dia tenggelam dalam dunia yang dia tak menyadarinya. Sampai masuk kerumah sakit jiwa, dan hidupnya limbung karena merasa tak punya makna. Lalu datanglah Tanti, yang semula amat dibencinya, mengulurkan tangannya penuh kasih, merengkuhnya sebagai sahabat, menyadarkannya bahwa jalan yang dilaluinya masih sangat panjang.

Ia lalu menguburkan semuanya. Dan menjalani kehidupan normal sebagai seorang perempuan lajang walau pernah mengandung. Seorang laki-laki baik kemudian menikahinya, tanpa mempedulikan statusnya. Lalu lahirlah seorang anak laki-laki rupawan yang sekarang sudah dewasa. Sayang kemudian sang suami meninggal karena penyakit lever yang dideritanya.

“Ibu..”

Bu Tarni terkejut mendengar Ayna memanggilnya.

“Mengapa ibu tampak bersedih ?”
“Tidak.. ibu hanya teringat masa lalu ibu. Duduklah disini.”
“Senang bisa mengingat masa lalu ya bu.” Kata Ayna sambil duduk didekat bu Tarni.
“Masa lalu ibu tidak begitu baik.”
“Mengapa bu?”
“Tadi ibu ketemu teman lama. Namanya Tanti.”
“Tanti ?”

Lalu Ayna merasa bahwa pernah mengenal nama itu. Tapi dimana, dan siapa dia, Ayna tak bisa mengingatnya.

“Pertemuan itu mengingatkan ibu akan masa muda ibu.”
“Masa muda yang menyenangkan ?”
“Tidak. Masa muda yang penuh hura-hura, bergaul dengan tanpa mengenal batas. Ibu sangat menyesalinya. Itu masa-masa buruk yang sebenarnya tak ingin ibu ingat kembali.”
“Buruk ?”
“Sangat buruk. Dulu aku seperti orang gila karena menyesali perbuatanku sebelumnya. Tapi seseorang merengkuh aku, menyadarkan aku bahwa aku harus melanjutkan langkahku. Dia seorang wanita berhati mulia, dimana ketika semua orang menjauhiku, dia justru merangkul aku, menujukkan jalanku. Dia Hartanti.. yang tadi ketemu di rumah sakit.”
“Oh, ibu teringat masa lalu ibu, karena tadi bertemu dengan Hartanti?”
“Benar.. orang baik, yang sebelumnya sangat aku benci.”
“Mengapa ibu membencinya kalau memang dia baik ?”
“Laki-laki yang aku cintai memilih dia menjadi isterinya.”
“Jadi.. ?”
“Suaminya Tanti itu dulu laki-laki yang ibu cintai. Tapi dia tidak mencintai ibu. Ibu benci sekali sama Tanti, tapi justru ketika ibu terpuruk, dialah yang membangkitkan ibu.”
“Syukurlah, jadi tidak ada lagi kebencian diantara ibu dan dia.”
“Benar. Dulu aku dipanggil Riri.. dari namaku Ari Sutarni, Tapi aku benci nama depanku, karena mengingatkanku akan hal-hal buruk itu. Jadi aku lebih suka dipanggil Tarni.”
“Ooh.. ibu, ini kisah yang luar biasa.”
“Aku menikah kemudian dengan bapaknya Rio, tapi sayang dia tidak berumur panjang.”
“Ikut prihatin bu.”
“Suatu hari nanti kamu akan aku ajak berziarah kemakam suamiku. Sudah lama aku tidak menaburkan bunga untuk dia.”
“Tapi kan ibu selalu mendoakannya ?”
“Iya, selalu..”
“Ibu sekarang tidak boleh sedih lagi ya. Kan semua sudah berlalu.”
“Iya benar. Dan aku bahagia menemukan kamu. Jadilah anakku..”

Ayna mengangguk. Dan tiba-tiba kata-kata ‘jadilah anakku’ itu terngiang ditelinganya, berbeda dengan suara bu Tarni ketika mengucapkannya.

“’ jadilah anakku’... suara siapa itu?” Bisik batin Ayna.

Banyak hal aneh seperti dia penah mengenalinya... nama Ayna.. Tanti... mengapa begitu akrab ditelinganya. Seperti sangat dekat, seperti kata-kata ‘jadilah anakku’.

“Ada orang lain pernah mengucapkan itu.. siapa.. dimana.. aduuh... “ kata batin Ayna terus menerus memenuhi benaknya. Lalu dia memegangi kepalanya.
“Kamu kenapa?”
“Nggak apa-apa bu, bolehkah saya istirahat? Kepala saya pusing sekali.”
“Baiklah nak, istirahatlah..”
***

Dan didalam kamar itu Ayna masih dihantui oleh nama-nama dan suara yang sangat dikenalnya juga begitu dekat dengannya.

“Siapa dia.. siapa dia... Ayna.. Tanti... siapa... siapa.. dan suara siapa itu.. jadilah anakku.. jadilah anakku.. jadilah anakku...” Ayna memegangi kepalanya yang berdenyut-denyut.
“Win.. kamu tidak apa-apa?”
“Tidak bu, hanya sedikit pusing.”
“Bukankah salah satu obat kamu ada yang obat pusing? Ibu ambilkan minum, lalu minumlah obatnya. Diminum kalau perlu kan?”
“Iya bu, biar saya ambil sendiri.”
“Sudah, tiduran saja, ibu ambilkan.”

Ayna bangkit, ketika bu Tarni mengulurkan segelas air minum, dan mengambil obat dimeja, setelah ditemukannya etiket bertuliskan ‘kalau pusing’.

“Ini obatnya.”
“Terimakasih bu.:
“Kamu sedang mengingat sesuatu ?”
“Berusaha mengingat bu, tapi belum berhasil.”
“Jangan terlalu dipaksakan, perlahan-lahan, pasti kamu akan bisa mengingatnya.”
“Baiklah.”
“Sekarang cobalah untuk tidur. Nanti sa’at makan malam ibu bangunkan kamu.”
“Terimakasih.. ibu.”
***

Pagi hari itu Ayna mau pergi ke warung untuk membantu memasak. Ia mulai senang melakukan pekerjaan itu. Tapi sebelum keluar dari rumah, bu Tarni memanggilnya.

“Win, tunggu sebentar.”
“Ya bu..”
“Pagi ini kamu tidak usah membantu di warung, ibu mau menjenguk makam mas Prapto, bapaknya Rio. Kamu mau ikut ?”
“Iya bu, tentu saja saya mau.”
“Kalau begitu ganti baju dulu, lalu kita berangkat.”
“Kalau warung ramai bagaimana?”
“Ini kan masih pagi, warung baru akan buka setelah jam sebelas siang seperti biasanya.”
“Berarti kita tidak akan lama ?”
“Hanya ke makam, lalu mampir belanja sedikit, dan pulang.”
“Baiklah, berarti saya masih bisa membantu diwarung.”
“Bisa, jangan khawatir.”
“Baiklah, saya ganti baju dulu ya bu.”
“Ibu tunggu didepan ya, mau pesen sama yang masak, so’alnya nanti akan ada yang mengirim kentang sama wortel.”
“Ya bu, saya segera menyusul.”
“Sekalian ibu pesan taksi, jadi kamu jangan lama-lama.”
“Ya bu, hanya ganti baju saja.”
***

Bu Tarni dan Ayna turun dari taksi memasuki area makam yang cukup luas.

“Makam ini terawat bersih. Ini makam keluarga. Penjaga makam mendapat gaji setiap bulan agar selalu menjaga supaya tetap bersih dan terawat."
“Iya bu, memang bersih dan terawat. Udaranya juga adem karena banyak pohon-pohon kamboja disekitar makam.”
“Benar. Makam bapaknya Rio agak ketengah.”

Keduanya terus melangkah kearah tengah-tengah makam, dimana suami bu Tarni dimakamkan.
Ayna menatap setiap batu nisan yang dilewatinya. Dan tiba-tiba terbayang suatu peristiwa yang membuatnya sangat sedih.

“Peristiwa apa ya, memasuki kuburan ini aku jadi membayangkan sesuatu. Sesuatu itu adalah kejadian yang membuat aku sedih. Apa itu.. “ bisiknya dalam hati.
“Ayo Win, itu sudah dekat.”

Ayna terus menatap setiap batu nisan yang dilewatinya, dan peristiwa itu kembali membayang dalam angan-angannya.

“Aku.. ingat.. sebuah kuburan.. lalu membuat aku menangis.. kapan ya, peristiwa apa, aku.. aku..aku.. tak bisa mengingatnya,” terus-terusan batinnya mengucapkan kata-kata itu.
“Win, itu Win, didepan..tadi ibu sudah menelpon tukang makam agar menyediakan tikar didepan makam, dengan begitu aku bisa berdo’a dengan nyaman,” kata bu Tarni sambil menarik lengan Ayna.

Bu Tarni mengajak Ayna duduk didepan sebuah makam. Lalu membuka bungkusan bunga yang tadi dibawanya, dan harum bunga segera menyeruak. Bu Tarni menyebarkan bunga itu diatas pusara suaminya. Dan tiba-tiba sebuah bayangan melintas. Bau bunga-bunga tabur, banyak orang disekelilingnya, dan dia menangis terisak didepan sebuah gundukan tanah yang sudah penuh dengan bunga.
Tiba-tiba Ayna menatap makam itu dan memekik keras.

“Ibuku... ibuku...”
“Win?” Bu Tarni menatap heran.
“Ibuku sudah meninggal.. ibuku... ibuku..”

Ayna berlari mengitari makam.

“Dimana ibuku ? Dimana makam ibuku?” pekiknya sambil berlarian diantara makam.
“Wiin !!”

==========

“Wiin... Wiin.. berhenti Win..” bu Tarni berteriak-teriak mengejar.
“Mana ibuku.. makam ibuku... manaaa..”
“Wiiin !”

Seorang petugas makam melihatnya, bu Tarni segera meminta agar dia menghentikannya.

“Tolong pak.. hentikan dia,” katanya.

Petugas itu berlari mengejar Ayna dan menghentikannya. Bu Tarni mendekati dan merangkulnya.

“Win, sayang, tenangkan hati kamu ya, ayo duduklah dulu, kita bicara,” kata bu Tarni lembut.
“Ibu saya.. ibu saya.. dimana makam ibu saya.. ibu saya sudah meninggal... saya sebatang kara..” lalu Ayna menangis terisak-isak.

Bu Tarni mengajaknya duduk, lalu memberikan minuman botol yang tadi sengaja dibawanya mengingat udara memang panas.

“Minumlah dan tenangkan hati kamu nak.”

Ayna menurut, ia duduk di tikar yang sudah digelar, lalu minum beberapa teguk air yang diberikan bu Tarni.

“Saya ingat, ibu saya sudah meninggal.. saya ditinggalkannya sendiri.”
“Baiklah, kamu tidak ingat dimana ibu dimakamkan?”
“Tidak... sebuah tanah pekuburan.. banyak pohon-pohon perdu.. saya menangis disana.. saya sendirian sekarang.”
“Lalu setelah itu kamu tinggal dimana?”

Ayna menggeleng.

“Saya lupa.. saya lupa.. lalu bagaimana..”
“Win.. kamu mulai bisa menguak masa lalumu, itu bagus. Kamu harus tenang dulu, perlahan kamu akan mengingat semuanya.”
“Mengapa ibu meninggal? Dimana bapakku?”
“Ya.. ya, nanti perlahan-lahan kamu akan mengingatnya. Jangan dipaksakan, kamu telah menemukan selangkah masa lalu kamu. Itu pertanda bagus. Sekarang ibu berdo’a sebentar untuk suami ibu ya, lalu kita pulang, dan kamu bisa menenangkan hati kamu. Kalau mau, ikutlah berdo’a.”

Ayna mengangguk sambil mengusap air matanya.
***

Tapi ketika sampai di rumah Ayna terus memikirkan makam itu, dan teringat ketika dia menangisi kematian ibunya.

“Aku ingat, aku menangis sa’at ibuku meninggal. Tapi kemana ya bapakku? Dan seperti apa wajah-wajah mereka ? Yang mana? Ada banyak orang.. menghibur aku, menyalami aku.. siapa mereka? Orang-orang baik.. orang-orang yang memperhatikan aku.. ada beberapa laki-laki muda.. seperti mas Rio? Bukan.. bukan.. wajahnya bersih, senyumnya sangat manis.. siapa dia ? Siapa mereka?” tangisnya.

Lalu ia mengingat wajah-wajah mereka, hanya sosok tak berwajah, semuanya gelap.. dan kembali rasa pusing menyerangnya.
Ayna mengambil obat yang ada didalam kamarnya, dicarinya obat dengan etiket kalau pusing, lalu ia menuju dapur, mengambil air minum. Lalu ditelannya obat itu.

“Win, kalau kamu merasa lelah dan pusing, lebih baik jangan ke warung dulu.” Kata bu Tarni.
“Iya bu, ma’af Win tidak bisa membantu, kepala Win pusing sekali.”
“Tidak apa-apa. Ibu mengerti, dan ingat,.. jangan memaksakan diri untuk mengingat-ingat, nanti kepala kamu bertambah pusing. Kalau sudah sa’atnya, kamu pasti akan mengingat semuanya, percayalah.”
“Iya bu..”
“Ya sudah, kamu tiduran saja, paling-paling orang-orang warung sudah selesai memasak, ibu akan melihatnya.”

Ayna mengangguk, lalu memasuki kamarnya. Ia berbaring dan memijit-mijit kepalanya.
Ayna terkejut ketika seseorang menepuk pundaknya. Ketika Ayna membalikkan tubuhnya, dilihatnya seorang laki-laki ganteng berdiri dihadapannya, kemudian memeluknya erat.

“Ayna... Ayna..”

Ayna mendorong tubuh laki-laki itu.

“Jangan...”
“Ayna.. aku sangat merindukan kamu..” bisik laki-laki itu.
“Tidak... jangan begitu..”

Ayna meronta ketika laki-laki itu kembali memeluknya.

“Ayna...”
“Aku bukan Ayna.. pergilah.. lepaskan aku..”
“Aku tidak bisa hidup tanpa kamu.. Ayna.”
“Aku .. aku.. bukan Ayna...”
“Tatap mataku Ayna.. mengapa kamu merasa bahwa kamu bukan Ayna? Kamu Aynaku.. kamu Aynaku..”
“Jangan.. aku bukan Ayna.. aku bukan Ayna..”
“Kamu Ayna.. Ayna yang aku rindukan...”
“Lepaaaskaan...” Ayna meronta, menendang nendang.. lalu tiba-tiba ia terjatuh sambil mencengkeram guling..
“Auugh.. lepaskan aku..” Dan Ayna melemparkan guling dengan kasar.

Ayna membuka matanya, mengelus tangannya yang terasa nyeri karena terantuk lantai.

“Aku bermimpi rupanya. Aneh.. ada seorang laki-laki memeluk aku.. aku kira dia suamiku yang aku benci. Tapi wajahnya sangat tampan.. mengapa ia memanggilku Ayna? Ia jelas-jelas bukan suamiku. Ia laki-laki lain. Mengapa memeluk aku dan memanggil aku Ayna? Pasti dia salah orang. Ya Alloh.. mimpi apa aku ini.. “

Ayna bangkit, lalu mengambil guling yang tadi dilemparkannya.

“Kalau tidak ada guling ini, pasti kepalaku terantuk lantai lebih keras. “

Ayna mengelus tangannya, lalu kembali naik ke tempat tidur. Dan wajah ganteng itu terbayang lagi. Aduhai..

“Siapa laki-laki ganteng yang datang kedalam mimpiku dan memanggil aku Ayna? Salah orang, tapi mengapa aku tak bisa melupakannya?”

Ayna menyembunyikan wajahnya dibalik bantal, berharap bayangan itu lenyap, tapi tidak, ia terus melekat dalam angan-angannya.

“Siapa kamu.. siapa kamu.. siapa kamu..” bisiknya berkali-kali.
***

“Tanti, aku senang kamu sudah boleh pulang kerumah,” kata Widi ketika mengunjungi Tanti dirumahnya.”
“Iya, sedih kalau terus-terusan dirumah sakit, seperti aku benar-benar sakit saja.”
“Iya, kamu kan sakitnya sakit senang. Masih mual, atau muntah-muntah ?”
“Sudah sangat berkurang, dan doyan makan walau hanya sedikit.”
“Mengapa makan hanya sedikit ? Harus banyak dong. Kan kamu tuh kalau makan bukan hanya untuk diri kamu, tapi juga untuk bayi yang kamu kandung.”
“Iya, ibu juga selalu memarahi aku. Aku akan mencoba lebih banyak. Tapi sebenarnya takut kalau muntah.”
“Kalau makan itu jangan berfikiran ‘kalau muntah’.. nanti jadi muntah beneran.”
“Gitu ya?”
“Perut kamu sudah mulai agak gendut. Sudah berapa bulan sih?”
“Hampir tiga bulan..”
“Biasanya usia kandungan tiga atau empat bulan itu, rasa seperti mual atau muntah perlahan akan hilang.”
“Gitu ya? Tapi dokter juga mengingatkan aku agar jangan banyak bergerak. Aku juga harus kontrol setiap dua minggu sekali.”
“Kamu memang berada diusia rawan untuk mengandung pertama, itu sebabnya dokter sangat menjaga kamu.”
“Iya Wid.. aku juga harus bisa menjaga bayiku.”
“Tadi aku bawa rujak.. kamu pasti suka. Sudah ibu bawa kebelakang.”
“Tentu saja aku suka. Nanti aku habisin..Oh ya, mana Arsi, kok kamu datang sendiri?”
“Dia kuliah, hari ini sampai sore. Aku tadi habis belanja, sekalian mampir.”
“Oh ya Wid, kamu ingat Riri ?”
“Riri yang.. yang.. agak.. ‘gini’? kata Widi sambil meletakkan jadi telunjuknya dengan posisi miring didahinya.
“Iya.. tapi dia kan kemudian sudah menjadi baik. Aku lama sekali nggak ketemu. Ketika aku pulang dari rumah sakit, sebelum sampai pintu keluar, di depan apotik aku melihat dia. Tadinya aku ragu-ragu menyapa, takut salah, ternyata benar dia.”
“Oh ya, sakit apa dia?”
“Bukan dia, dia lagi mengambil obat untuk anaknya.”
“Sudah punya anak ya? Berarti sudah menikah?”
“Sudah, anaknya dua, yang satu sudah bekerja di Jakarta, tapi suaminya sudah meninggal katanya.”
“Aku ingat, bukankah waktu kita menikah dia juga datang?”
“Iya benar, aku mengunjunginya sebelum menikah, lalu dia bilang minta diundang. Jadi aku undang dia. Ee.. bener-bener datang.”
“Syukurlah bisa waras beneran.”
“Waras lah.. itu dulu karena jiwanya terguncang. Tapi dia masih tetap cantik seperti dulu. Itu sebabnya aku bisa mengenali dia.”
“Jadi pengin ketemu.”
“Katanya dia mau main kemari, tapi nggak tahu kapan. Katanya banyak yang ingin dia ceritakan.”
“Kemarin dia ketemu mas Danang nggak? Seru dong kalau ketemu.”
“Yah, kebetulan mas Danang itu keluar lebih dulu sama ibu, karena membawa beberapa barang. Aku belakangan. Jadi cuma aku yang ketemu.”
“Sayang ya. Bagaimana nanti kalau dia ketemu dengan laki-laki yang pernah digandrungi sa’at muda?”
“Ah, aku kira biasa saja. Sudah sama-sama tua, dia juga sudah punya anak dua, mau apa coba.”
“Iya sih, paling ya cuma buat seru-seruan saja.”
“Semoga dia benar-benar mau datang kemari. Katanya banyak yang ingin diceritakan, aku jadi pengin tahu perjalanan hidupnya setelah aku menikah sama mas Danang, lalu lama sekali tidak ketemu dia.”
***

“Nda, dengar.. tadi malam aku mimpi bertemu Ayna,” kata Bintang ketika sore hari itu ketemuan sama Nanda.
“Ah, cuma mimpi, memang setiap hari kan kamu memimpikan dia?”
“Bukan begitu, yang ini benar-benar seperti nyata. Aku peluk dia, tapi dia meronta. Aku panggil dia Ayna, katanya dia bukan Ayna. Aku terbangun dengan sedih,” kata Bintang.
“Itu karena kamu terlalu memikirkan dia, sehingga terbawa dalam mimpi kamu.”
“Anehnya lagi, Ayna yang didalam mimpiku itu penampilannya berbeda. Ah ya.. seperti yang dikatakan Bimo waktu itu. Dia tidak berhijab, rambutnya pendek sebahu.”
“Nah, itu berarti kamu kebawa sama kata-kata Bimo. Ada gadis rambutnya sebahu, cantik seperti Ayna, lalu kebawa dalam mimpi kamu.”
“Begitukah?”
“Itu sebabnya dalam mimpi kamu.. gadis itu bilang bahwa dia bukan Ayna.”
“Entahlah, mimpi itu seperti nyata.”
“Sayangnya bukan aku yang mimpi. Heran, walau dalam mimpi, kamu kan bisa bertemu dia, aku ini mimpipun tidak.”
“Apa kamu tidak pernah memikirkannya?”
“Ya memikirkannya dong, kan hampir setiap hari kita menyusuri setiap jengkal jalanan untuk mencari dia.”
“Ya jangan salahkan aku kalau cuma aku yang mimpi.”
“Jangan-jangan...”
“Jangan-jangan apa?”
“Jangan-jangan.. sebenarnya Ayna sukanya sama kamu, bukan sama aku,” kata Nanda lirih.
“Wauuw... seneng dong kalau itu benar. Tapi kan hanya dalam mimpi? Kalau kenyataannya dia justru suka sama kamu.. bagaimana?”
“Ah, kita ini sebenarnya sedang memperebutkan apa sih Bin.. semuanya kan hanya kata-kata. Kenyataannya sampai sa’at ini kita belum mendapatkan apapun tentang dia.”

Bintang menghela nafas berat, sangat berat, seberat beban yang sedang disandangnya.

“Aku jadi berfikir..”
“Aku juga berfikir..”
“Jangan-jangan.. ini bukan so’al perasaan lho.. Jangan-jangan.. Ayna memang lupa siapa dirinya.” Kata Bintang.
“Nah, aku juga berfikir begitu,” seru Nanda.
“Lalu.. dia bertemu orang, mengatakan bahwa namanya memang bukan Ayna.. tapi..”
“Winarni..” entah dari mana datangnya perasaan itu, keduanya memekikkan sebuah nama yang sama.
“Mengapa kita bisa memikirkan nama itu, tiba-tiba?” tanya Nanda.
“Aku ingat ketika Sarjono membawa kerumah sakit, dia mengganti nama Ayna dengan Winarni.”sahut Bintang.
“Betul. Bahkan polisi bilang, ketika menangkap Sarjono, rumah sakit tidak tahu siapa Ayna, tahunya adalah Winarni. Jadi jangan-jangan Ayna yang masih lupa ingatan, tetap menganggap atau mengira bahwa namanya adalah Winarni. Dan itu dikatakannya kepada setiap orang yang dia temui. Entah siapa orang itu.”
“Bagus, apa yang harus kita lakukan ?”
“Iklan itu masih menyebut nama Ayna. Bodoh sekali kita, harusnya ditulis Ayna atau Winarni.”
“Bagus, ayo kita meralatnya.”

Dan pagi harinya iklan tentang pencarian hilangnya Ayna telah berganti ‘ Winarni atau Ayna.’
***

Beberapa hari ini Ayna tampak sedih. Ia terus teringat tentang kuburan ibunya, dan wajah seseorang yang kemudian sangat melekat dihatinya, tapi tidak diketahui siapa pemilik wajah itu.
Bu Tarni yang melihat keadaan Ayna tak mengijinkan Ayna membantu memasak. Dalam keadaan bingung bisa saja gula dimasukkan kedalam sayuran, atau sayuran yang sudah bergaram ditambahin garam lagi.

“Win.. sebaiknya kita jalan-jalan saja. Kamu mau?”
“Jalan-jalan kemana ?”
“Pokoknya jalan-jalan, menghibur hati dengan melihat-lihat. Kamu kan senang waktu kita memasuki sebuah supermarket dan ada bermacam barang dipajang disana?”
“Kesana lagi?”
“Ada banyak supermarket di kota ini. Kita akan ke supermarket yang lain.”
“Ibu tidak ke warung?”
“Tidak, anak-anak sudah pintar, aku sedang ingin jalan-jalan sama kamu. Kamu suka?”

Bu Tarni rela meninggalkan kesibukannya di warung, demi keinginannya menghibur Ayna. Sangat sedih melihat Ayna kembali murung setelah pulang dari makam.

“Bagaimana ?”
“Baiklah, terserah ibu saja.”
“Kalau begitu ganti bajumu, lalu susul aku kedepan, aku mau memanggil taksi setelah berpesan pada anak-anak.”
“Baiklah bu.”

Bu Tarni berjalan ke warung setelah mengambil tas tangan dan berganti sandal. Ia berpesan kepada anak buahnya agar baik-baik melayani tamu. Anak-anak sudah terbiasa dengan tugasnya, dan bu Tarni bisa dengan lega meninggalkannya.

“Kalau begitu aku akan memanggil taksi sekalian sambil menunggu Winarti,” gumam bu Tarni.
“Bu, ini koran baru mau ditaruh dimana?” kata salah seorang anak buahnya.
“Oh ya, taruh saja dirumah, berhari-hari aku tidak sempat membaca koran. Taruh dimeja depan saja ya. Koran itu baru kebaca kalau Rio ada dirumah. Aku jarang-jarang membaca koran,” kata bu Tarni sambil memanggil taksi dari ponselnya.
“Ibu, saya sudah siap..” tiba-tiba Ayna muncul, hampir bersamaan dengan datangnya taksi yang dipesan.”
“Bagus Win, itu taksinya juga sudah datang.”
***

Bu Tarni mengajak Ayna berjalan-jalan. Dan Ayna tampak merasa terhibur dengan keramaian yang ada di supermarket itu.

“Apa kamu ingin membeli sesuatu?”
“Tidak bu..”
“Bajunya bagus-bagus..”
“Tidak, masih ada baju bagus yang bisa saya pakai.”
“Tapi ini kan barang baru, harganya tidak mahal. Aku belikan satu ya, kamu pilih yang mana? Ayolah..”
“Sungguh saya senang walau hanya melihat-lihat. Tidak usah ibu beli baju lagi untuk saya.”
“Baiklah. Oh ya.. aku ingat, bagaimana kalau kita bertandang kerumah sahabat ibu?”
“Dimana rumahnya?”
“Tidak jauh dari sini. Kita naik becak saja. Kamu pernah naik becak?”
“Entahlah.. “
“Baiklah, rumah Tanti tidak jauh dari sini. Kita akan naik becak,” kata bu Tarni dengan bersemangat. Sudah lama ia ingin mengunjungi sahabatnya dan belum juga terlaksana. Sekaranglah sa’atnya, siapa tahu Ayna akan terhibur.

“Tanti.. nama itu lagi.. apakah dia mengenalnya? Seperti sangat akrab dengan dirinya,” kata batin Ayna.
“Becaaak !” bu Tarni melambaikan tangannya kearah tukang becak yang sedang nongkrong didalam becaknya.

Ketika becak sudah mendekat, bu Tarni segera mengajak Ayna untuk menaikinya.
Tiba-tiba Ayna teringat sesuatu tentang becak itu.

“Aku pernah naik becak..”
“Haa.. kamu sudah ingat bahwa pernah naik becak?”
“Beli lotis...ya.. becak.. beli lotis..”
“Oh ya? Untuk siapa lotis itu? Kamu sendiri.. atau..”
“Untuk siapa ya.. seseorang sangat ingin lotis...”
“Siapa?”
“Entahlah, saya lupa..:”
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER