Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 09 Mei 2022

Ayna #13

Cerita Bersambung

Jilid #12

Bu Tarni diam, beberapa sudah diingat oleh Ayna, itu membuatnya senang. Barangkali tak lama lagi dia akan mengingat semuanya.

“Dimana ya saya pernah beli lotis? Lupa tempatnya, tapi ingat ketika naik becak lalu beli lotis.”
“Bagus Win, sudah banyak yang kamu ingat. Aduh, tapi aku sekarang lupa, dimana ya rumah Danang?”

Ayna terkejut lagi, ia seperti mengenal nama itu.

“Danang.. Danang.. Tanti.. Ayna...ada tiga nama yang aku ingat, tapi siapa dia dan dimana mengenalnya..” bisik batin Ayna.
“Sepertinya didaerah sini deh.. kok sudah banyak berubah ya.. aduuh.. jangan-jangan sudah lewat..”
“Jalan ini saya seperti pernah melewatinya.”
“Benarkah? Berarti rumah kamu ada disekitar tempat ini ?”
“Entahlah, saya juga masih lupa. Tapi saya seperti mengenal daerah ini..”
Becak yang ditumpangi bu Tarni dan Ayna masih terus berjalan.

“Pak.. pak.. coba pak, berhenti dulu.. sepertinya kita kebablasan deh.”
“Oh, salah ya bu?” tanya si tukang becak.
“Sebentar pak, aku ingat-ingat dulu rumahnya. Saya tuh jarang lewat sini. Tapi dulu sering. Kok sekarang disini ada hotel.. ada mall baru.. “
“Ya sudah, ibu ingat-ingat saja dulu, disebelah mana rumahnya, nanti saya antar sampai ketemu,” kata si tukang becak.
“Ya, ya.. baiklah, minggir saja dulu, nanti ongkosnya saya tambahin ya pak.”
“Iya bu, gampang.”
“Jadi ini belum sampai, apa sudah kebablasan ya..?” gumam bu Tarni.
“Dulu didekatnya ada apa ya bu,?” tanya Ayna.
“Seperti ada pos ronda.. tapi kok nggak ketemu pos rondanya, sebentar.. sabar ya pak becak.,” kata bu Tarni.
“Apa ibu tanya orang disekitar sini, barangkali kenal dengan rumahnya.. siapa yang ibu cari itu?”
“Pak Danang.. eh.. dulu rumah ibunya.. namanya saya juga lupa.. Ada nggak ya yang kenal nama Danang disekitar tempat ini?”
“Ayo kita turun dulu bu, tanya ke orang-orang, barangkali kenal dengan namanya Danang. Tapi tadi itu kan mau mencari rumah teman ibu yang namanya Tanti?”
“Iya, Danang itu suaminya Tanti.”
“Oh, dia yang pernah ibu ceritakan?”
“Iya Win..” kata bu Tarni sambil turun, diikuti Ayna.
“Sampeyan tunggu sini dulu ya pak, saya mau bertanya pada penjual rokok didepan itu,” kata bu Tarni kepada penarik becak.
“Ya bu, silahkan, biar lebih gampang mencarinya.”
***

Dokter Bintang berdiri dari tempat duduknya, ketika pasien sudah habis. Ia ingin pulang lebih awal karena entah mengapa badannya terasa kurang enak.

“Suster, saya mau pulang sekarang ya, badan saya terasa kurang enak.”
“Oh, dokter mungkin kecapekan..” kata suster pembantunya.
“Iya, agak seperti masuk angin.”
“Baiklah, lebih baik dokter segera istirahat.”
“Terimakasih suster..”

Bintang keluar dari ruangan dan menuju kearah parkiran.. pulang.
Beberapa hari ini pikirannya agak sedikit kacau. Belum adanya berita tentang Ayna terasa sangat menyiksanya, sehingga semangat kerjanya juga menurun.
Begitu memasuki halaman rumah, dilihatnya Bulan juga baru pulang kuliah. Ia langsung mendekati mobil kakaknya karena biasanya kakaknya belum pulang sesiang itu,

“Mas.. nggak salah nih, jam segini sudah pulang?”
“Nggak apa-apa, aku agak kurang enak badan nih.”
“Wah, kecapekan atau karena banyak pikiran nih,,”
“Iya ‘kali,” katanya sambil melangkah kedalam rumah, diikuti oleh adiknya.
“Mau dikerokin ?”
“Dipijitin saja..”
“Hiih, manja.. siang-siang mau dipijitin.. kalau ngerokin aku mau.”
“Sakit dong.”
“Enggak, aku pelan kok. Tanya sama ibu yang sering aku kerokin. Ibu bilang, kalau masuk angin, dikerokin pasti sembuh.”
“Dokter suka memberi obat, sekarang sakit mau dikerokin." kata Bintang sambil tertawa.
“Cobain dulu, memangnya nggak boleh, dokter kerokan?”
“Ya sudah, mau ganti baju dulu..”
***

“Tanti, mau makan sekarang ?” tanya bu Suprih ketika selesai masak.
“Sebentar lagi bu..”
“Kok masih susah ya, kalau disuruh makan. Apa ke dokter lagi supaya disuruh opname lagi?” kata bu Suprih mengancam.
“Aah.. ibu tuh..”
“Habisnya, kamu itu bukan anak kecil lho Tan, jangan susah-susah kalau disuruh makan.”
“Iya bu, baiklah, sebentar lagi saya makan. Tapi wajah ibu kok kelihatan pucat, ibu sakit? Ibu kecapekan ‘kali?”
“Ah, enggak.. cuma sedikit pusing. Makanya ibu suruh kamu segera makan supaya ibu bisa istirahat.”
“Bu, sekarang ibu istirahat saja, biar saya nanti ambil sendiri, tidak usah dilayani.”
“Nggak, ibu nggak mau tidur kalau kamu belum makan.”
”Ya ampun ibu. Baiklah.. saya mau makan, tapi tidak usah dilayani. Ibu tidur saja, atau makan sekalian bareng Tanti.”
“Baiklah, ayo kita makan..”
“Rasanya bagaimana bu? Pusing, Tanti ambilkan obatnya dulu, nanti sehabis makan ibu minum obatnya, lalu istirahat.”
“Iya, nggak apa-apa.. ambilkan dulu.”

Tanti mengambilkan obat pusing dari almari obat, kemudian diletakkan dimeja makan, lalu makan bersama ibunya.

“Enak ya, ibu masak selat nih..”
“Iya, kan sayurannya banyak, sehat. Ada daun selada, wortel, tomat, kentang, daging.”
“Iya bu. Tanti suka, tapi sedikit-sedikit, takut mual.”
“Nggak, makan saja sesuka kamu, yakinlah bahwa kamu tidak akan mual.”
“Baiklah bu.”

Bu Suprih makan menemani Tanti, tapi berbeda dengan Tanti yang ternyata bisa makan lebih banyak, bu Suprih hanya mengambil nasi sedikit dan bistik dagingnya.

“Kok ibu makan cuma sedikit? Tanti dipaksa-paksa, sementara ibu sendiri hanya makan sedikit,” tegur Tanti.
“Agak kurang selera makan hari ini. Ibu mau tidur saja setelah ini.”
“Ibu minum obatnya saja dulu. Itu, sudah Tanti siapkan. Biar nanti yang membersihkan meja ini Tanti, ibu harus langsung tidur.”
“Baiklah, terserah kamu saja.”

Bu Suprih langsung masuk kekamar begitu selesai minum obat.”
Tanti membersihkan meja makan dan mencuci piring bekas makan mereka, lalu masuk kekamar ibunya. Dilihatnya bu Suprih meringkuk sambil memeluk guling. Tanti mendekati, dan memegang dahi bu Suprih.

“Aduh, ibu .. ternyata badan ibu panas. Saya akan memanggil dokter,” kata Tanti dengan cemas.
“Nggak usah nak, kan sudah minum obat. Nanti juga sembuh.

Tanti mengambil selimut tebal, lalu menyelimuti tubuh ibunya. Ia kemudian menelpon Danang, suaminya.

“Ada apa Tanti?”
“Mas, badan ibu panas sekali.”
“Panas? Sudah minum obat ?”
“Sudah sih, tapi kok Tanti khawatir. Bagaimana kalau memanggil dokter ?”
“Ya, nggak apa-apa. Aku menelpon Bintang saja, supaya dia bisa mampir kerumah untuk melihat kesehatan ibu.”
“Ya mas.. segera ya mas. Aku khawatir sekali.”
***

“Aduh,, Bulan.. katanya kalau ngerokin nggak sakit, sakit nih..” keluh Bintang sambil meringis kesakitan.
“Diamlah mas, lihat nih.. sampai gosong-gosong, berarti kamu bener-bener masuk angin.”
“Iya.. pelan-pelan.”
“Iya, ini juga pelan.”
“Aduuh.. ini ada apa.. dokter kok minta dikerokin?” tiba-tiba Palupi muncul dikamar Bintang.
“Ini bu, Bulan yang maksa. Katanya kalau ibu masuk angin, dia kerokin langsung sembuh.”
“Itu benar kan bu ?”
“Iya sih, apa dokter bisa percaya khasiat kerokan itu?”
“Nggak percaya sih bu, ini dia yang maksa... aduuuh.. sakiit, tahu.”
“Habisnya .. nggak percaya, ya aku kerokin lebih keras,” omel Bulan.
“Ya sudah.. sudah.. cukup.. Bulan.”
“Bulan, sudah lah.. itu punggung kamu gosong lho Bin..” kata Palupi yang merasa kasihan melihat Bintang meringis kesakitan.
“Iya bu, ini sudah cukup.”
“Sini ibu gosokin pakai minyak, biar anget.”
“Ya sudah bu.. gosokin saja, Bulan mau cuci tangan.” Kata Bulan sam bil beranjak pergi.
“Habis ini makan saja dulu, lalu minum obat.”
“Ya bu..”

Bintang bangkit setelah ibunya menggosok punggungnya dengan minyak angin, lalu dikenakannya bajunya.

“Ibu tunggu diruang makan ya,” kata Palupi.

Bintang segera memakai baju ketika tiba-tiba ponselnya berdering, ternyata dari Danang.

“Ada apa om ?”
“Mau minta tolong kamu Bin, nanti kalau pulang dari rumah sakit, tolong mampir ke rumah bisa?”
“Aku sudah dirumah nih om, ada apa?”
“Waduh, ya sudah, aku panggil dokter lain saja kalau kamu nggak bisa.”
“Lho, saya kan tidak bilang nggak bisa om, siapa yang sakit?”
“Ibu mertua aku, bu Suprih. Tadi Tanti menelpon dan tampak khawatir.”
“Baiklah om, saya akan segera kesana.”
“Nggak capek kamu Bin?”
“Ya enggak om, saya ganti baju dulu, lalu berangkat kerumah om.”
“Baiklah Bin, terimakasih.”

Bintang bergegas keruang makan setelah meletakkan ponselnya.

“Ayo makan dulu, lalu minum obat dan istirahat, kamu itu kecapekan.”
“Mas Bintang itu banyak pikiran bu..” kata Bulan yang kemudian ikut duduk di kursi makan.
“Tahu aja kamu?” omel Bintang.
“So’alnya belum ada berita tentang Ayna.”
“Belum ada ya? Kasihan anak itu.”
“Saya habis makan mau kerumah om Danang dulu bu.”
“Lho.. mau ngapain, katanya masuk angin?” kata Palupi.
“mBah Suprih sakit.”
“Sakit apa dia?” kata Palupi khawatir.
“Belum tahu bu, Bintang baru mau melihatnya, kata om Danang badannya panas.”
“Aduh, jangan-jangan kecapekan merawat Tanti..”
“Mungkin saja, tapi kabarnya tante sudah tidak rewel lagi kok. Kan sudah pulang dari rumah sakit, berarti sudah tidak seperti kemarin-kemarin.. mual muntah terus.”
“Syukurlah. Dan mudah-mudahan juga yu Suprih juga tidak sakit yang menghawatirkan.”
“Iya bu.”
“Tapi kamu nggak apa-apa.. langsung kerumah om kamu?”
“Nggak apa-apa, sudah dikerokin, lebih enak..”
“Ya sudah, sampaikan salam ibu ya, dan kamu hati-hati.”
***

“Mas, aku mau pulang dulu,” kata Danang kepada Handoko siang itu.
“Lhoh, nanti ada meeting jam satu, kok kamu malah pulang.”
“Barusan Tanti menelpon, ibu mertuaku sakit.”
“Sakit apa ?”
“Nggak tahu, katanya panas, tapi aku sudah menelpon Bintang, dia bilang akan segera datang kerumah.”
“Syukurlah kalau Bintang sudah mau datang.”
“Aku cuma mau pulang sebentar saja untuk melihat keadaannya kok mas, aku khawatir Tanti panik karena ibunya sakit.”
“Ya baiklah, kamu harus menjaga isteri kamu juga karena dia sedang hamil muda.”
“Ya mas, aku hanya ingin menenangkan Tanti dan melihat keadaan ibunya, nanti aku segera kembali ke kantor.”
“Baiklah.”

Danang segera pulang, bukan hanya menghawatirkan sakit mertuanya, tapi juga ingin menenangkan isterinya.
Begitu turun dari mobil, dilihatnya mobil Bintang sudah ada disana. Danang segera masuk dan melihat Bintang sudah selesai memeriksa bu Suprih.

“Bagaimana Bin ?”
“Tidak apa-apa, mbah Suprih hanya lelah.”
“Benarkah ?”
“Iya om, saya sudah memeriksanya dan menuliskan resepnya. Tadi sudah minum obat panas, sebentar juga pasti akan reda panasnya.”
“Terimakasih ya Bin, tadi aku sudah takut sekali, aku kira ibu sakit apa. Habis badannya panas sekali,” kata Tanti.
“Sekarang sudah nggak panas bukan? Saya sudah menyuntiknya.”
“Iya Bin, untunglah ada kamu.”
“Biarkan mbah Suprih beristirahat dulu.”
“Kita terlalu bergantung pada ibu Tan, jadi ibu kecapekan,” sesal Danang.
“Mulai besok aku akan mengerjakan semuanya sendiri. Iya benar mas, mungkin ibu kecapekan. Itu karena aku,”
“Ya tidak usah menyalahkan diri sendiri begitu. Ibu mungkin justru suka melakukannya. Baiklah, kalau kamu sudah bisa melakukan banyak hal, lakukanlah, tapi jangan sampai kecapekan juga. Ingat kamu sedang mengandung anak kamu. Jadi lakukan sebisa kamu saja, yang tidak bisa jangan lakukan. Kalau tidak sempat masak, beli lauk matang. Gampang sebenarnya kalau tak ingin repot.”
“Iya mas, aku tahu.”
“Baiklah, kalau begitu saya mau pulang dulu ya om,” kata Bintang.
“Ya Bin, terimakasih banyak. Ini aku juga mau langsung kembali ke kantor, nanti obatnya aku belikan di apotik, biar dikirim kerumah, ya Tan?”
“Mas masih harus kembali ke kantor?”
“Nanti jam satu akan ada meeting, mas Handoko sudah wanti-wanti agar aku segera kembali ke kantor.”
“Baik mas, obatnya suruh segera kirim nanti ya, supaya ibu bisa segera meminumnya.”
“Siap.. “
***

“Oh, jadi rumahnya yang disebelah rumah makan itu?” kata bu Tarni ketika bertanya kepada seorang penjual rokok yang ada dipinggir jalan.
“Iya benar bu, itu rumahnya pak Danang. Juragan batik terkenal di kampung ini.”
“Ya ampuun.. kita benar kebablasan, ayo kembali ke tukang becaknya tadi. Kasihan dia menunggu, lagian ibu belum membayarnya.”
“Iya bu, pasti dia juga sedang menunggu.”

Keduanya kembali berjalan kearah becak yang menunggunya, setelah tahu dengan jelas mana rumah yang sedang dicarinya.

“Sudah ketemu bu,?” tanya si tukang becak.
“Iya pak, disana.. disebelah rumah makan itu. Aku benar-benar tidak mengenali karena banyak bangunan baru disekitar tempat ini.”

Bu Tarni lebih dulu naik keatas becak, ketika tiba-tiba sebuah teriakan terdengar.

“Aynaaaaa!!”

==========

Ayna urung mengangkat kakinya sebelum menaiki becak, karena mengenal nama itu. Siapa yang memanggil, dan siapa yang dipanggil ?

“Win, cepatlah naik.. kasihan pak becak sudah kelamaan menunggu.”
“Nggak apa-apa kok bu..” kata si tukang becak.
“Aynaaaa !” panggilan itu terdengar lagi.

Ayna naik keatas becak karena bu Tarni sudah menarik tangannya.
Ia menoleh, melihat siapa yang berteriak.
Rupanya seorang yang mengendarai mobil diseberang jalan.

“Aynaaaa !!”

Danang turun dari mobil, Ia tak bisa memutar mobilnya karena di jalur itu mobil hanya boleh berjalan searah. Ia bertepuk tangan dan berharap agar becak yang ditumpangi Ayna segera berhenti.

“Benarkah dia Ayna? Mengapa sudah menoleh tapi tidak mau berhenti?” gumamnya.

Lalu tiba-tiba sebuah mobil berhenti didekatnya.

“Ada apa om ?” Bintang turun dari mobil, melihat kearah dimana Danang menatap.
“Ada apa?”“Ayna...”

Bintang terkesiap.

“Ayna ?”
“Becak itu.. becak itu..” Danang menunjuk kearah becak.
“Naik becak itu ?”

Bintang membalikkan tubuhnya, dan tanpa berfikir panjang berlari mengejar becak.

“Aynaaa !!” ia berteriak, sambil menyeberang , karena sudah ada didekat becak yang ditunjuk Danang.

Ayna menoleh kearah Bintang yang bergerak ingin menyeberang. Ayna terkesiap, wajah itu pernah hadir dalam mimpinya. Ia ingin melompat turun.
Namun tiba-tiba sebuah mobil menyerempet Bintang yang menyeberang tanpa melihat lalu lalang disekitarnya.
Bintang berteriak, lalu roboh.
Pak Becak menghentikan becaknya.

“Aduh pak.. mengapa berhenti, ada orang tertabrak mobil, aku takut melihat darah,” seru bu Tarni. Tapi Ayna merasa bahwa ia harus turun.

“Wiin, kemana kamu?”

Ayna turun dan setengah berlari kearah orang yang tertabrak. Ia penasaran karena orang tersebut juga memanggil-manggil nama Ayna.
Beberapa orang sudah mengangkatnya ke pinggir. Danang mendekat, dilihatnya Bintang tak bergerak.

“Tolong, naikkan ke mobil saya,” pinta Danang kepada beberapa orang yang menolongnya.”

Ayna menatap Bintang yang sedang diangkat oleh dua orang. Dan Ayna terkejut melihatnya.

“Ia.. ia seperti.. yang terlihat dalam mimpiku. Mimpi yang begitu nyata,” bisiknya pelan.

Ia mengikuti orang-orang yang mengangkat tubuh Bintang. Lalu ikut naik keatas mobil Danang, seperti tak sadar akan apa yang dilakukannya.

“Hei.. kamu...” seru Danang, tapi kemudian terkejut sendiri.
“Kamu Ayna ?”

Ayna menggeleng.

“Kamu Ayna kan ?”

Ayna kembali menggeleng.

“Bukan..”
“Aduuh.. bagaimana ini? “keluh Danang. Ia lebih khawatir akan keadaan Bintang, maka tanpa memperdulikan Ayna yang ikut duduk, ia segera melarikan mobilnya ke arah rumah sakit.

“Wiiin ! Wiin !!” bu Tarni berteriak-teriak ketika Ayna masuk kedalam mobil dan mobil itu berlalu.
“Kenapa anak itu?”
“Tiba-tiba dia ikut kedalam mobil itu bu. Mobil yang membawa orang kecelakaan tadi,” kata pak becak yang pastinya juga bingung.
“Ya ampuun, ada apa ini? Ayo pak, ikuti mobil itu”
“Pasti kerumah sakit bu..”
“Baiklah, bawa aku kerumah sakit. Pastinya mobil itu menuju ke rumah sakit terdekat,” kata bu Tarni panik.

Pak becak pun kemudian memutar becaknya dan kemudian mengayuhnya menuju rumah sakit.
***

Danang melihat gadis yang dipanggilnya Ayna itu ikut turun, dan mengikuti brankar yang membawa Bintang masuk kedalam ruang UGD.
Ketika petugas menolak Ayna ikut masuk, maka iapun duduk di kursi tunggu. Ayna kemudian bingung sendiri, mengapa mengikuti orang yang tertabrak itu.

“Siapa dia, mengapa datang dalam mimpi aku? Seperti nyata.. aku ingin tahu, siapa dia..” gumamnya pelan.

Setelah Danang berbicara dengan petugas, lalu ia duduk didekat Ayna.

“Kamu Ayna bukan?”
“Bukan..” jawabnya sambil menggeleng bingung.
“Mengapa kamu mengikuti kami?” tanya Danang heran. Ia yakin gadis itu Ayna, tapi Ayna tampak bingung.

“Benar, kamu bukan Ayna ?”

Karena kesal menjawab, Ayna memalingkan wajahnya ke arah lain.

“Mengapa mengikuti kami?” tanya Danang lagi, tapi Ayna hanya menggeleng.

Danang bingung sendiri.

“Kamu pasti Ayna. Kamu lupa siapa aku? Aku pak Danang, bapak angkat kamu.”

Ayna masih memalingkan wajahnya ke arah lain.
Danang ingin menelpon isterinya atas ‘penemuannya’, tapi diurungkannya. Ia khawatir Tanti malah tiba-tiba menyusul kerumah sakit dan terguncang melihat Bintang kecelakaan, apalagi kalau mengetahui sikap Ayna yang tak mengakui bahwa dirinya adalah Ayna.

Lalu sebuah dering panggilan telpon terdengar, itu dari Handoko.

“Danang, bagaimana kamu ini? Kami menunggu kamu,” tegurnya.
“Mas, aduh mas, ma’af.. aku dirumah sakit.”
“Dirumah sakit? Mertua kamu dibawa kerumah sakit?”
“Bukan, Bintang kecelakaan.”
“Apa? Bagaimana ?”
“Masih di UGD, semoga tidak apa-apa.”
“Bagaimana bisa terjadi ? Mobilnya menabrak sesuatu, atau tabrakan.. atau apa?” kata Handoko panik.
“Dia mengejar seorang gadis yang mirip Ayna.”
“Mirip? Jadi bukan dia?”
“Entahlah, gadis itu tiba-tiba mengikuti sampai rumah sakit, tampak bingung, dan mengatakan bahwa namanya bukan Ayna.”
“Baiklah, meeting hari ini akan aku batalkan saja, aku menyusul ke rumah sakit.”
***

Ayna duduk termangu, tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Ia hanya ingin tahu, siapa laki-laki yang dikenalnya dalam mimpi itu.

“Ayna...” Danang kembali menyapa.

Ayna sangat kesal, mengapa dia dipanggil Ayna.
Tiba-tiba bu Tarni bergegas masuk, mencari-cari disekitar ruang tunggu diluar UGD.
Danang menatap nya lekat-lekat. Dia mengenal wanita itu.

“Danang?” bu Tarni lah yang lebih dulu menyapa dengan terkejut, tak menyangka akan bertemu ditempat itu.
“Kamu.. Riri ?”
“Iya, aku Riri.. kok kamu ada disini..”
“Keponakanku kecelakaan. Kamu ngapain ?”
“Itu, menyusul anakku..” kata bu Tarni sambil menunjuk kearah Ayna yang masih tampak bingung dan gelisah.
“Itu anak kamu?”
“Wiiin, apa yang kamu lakukan?” tanya bu Tarni sambil mendekati Ayna.
“Ibu...”
“Itu anak kamu?”
“Iya.. anak aku. Sini Win, ngapain kamu disitu ?”

Ayna menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Dia itu tadi mengikuti kami sa’at membawa keponakanku yang kecelakaan. Entah mengapa. Tapi dia sangat persis dengan gadis yang aku cari, namanya Ayna.”
“Ayna.. aku pernah membaca sebuah pengumuman di koran. Dia anak hilang bukan? Memang wajahnya mirip sekali dengan anakku itu.”
“Itu anak kandung kamu ?”
“Danang, sebenarnya aku tadi mau ketemu Tanti, tapi belum sampai disana, ada kecelakaan itu. Dan nggak tau kenapa, Win tiba-tiba mengikuti sampai ke rumah sakit.”
“Aku juga heran, aku tanya mengapa, dia tampak bingung.”
“Sebenarnya dia memang suka bingung..”
"Jadi dia bukan Ayna?”
“Ya ampun Danang, kan aku sudah bilang bahwa dia anakku. Nanti kalau ketemu Tanti aku mau cerita tentang hidup aku. Win.. ayo kita pulang,” ajak bu Tarni kepada Ayna.

Tapi Ayna menunjuk kearah ruang UGD.

“Ada apa?”

Lalu seorang perawat membuka pintu, dan memanggil Danang. Danang bergegas masuk.

“Ayo kita pulang...Win.. ada apa kamu ini ?”

Ayna berdiri ketika bu Tarni menarik tangannya. Ia mengikuti berjalan keluar, tapi sebentar-sebentar menoleh kearah ruang UGD.

“Mengapa kamu Win?”

Ayna hanya menggelengkan kepalanya.

“Kalau begitu tidak usah kerumah teman ibu saja, kamu kok kelihatan bingung begitu.”
“Tidak jadi ?”
“Kita pulang dulu, kamu harus menenangkan diri. Nanti kalau kamu sudah tenang, kita jalan-jalan lagi. Ya Win?”

Ayna hanya mengangguk.

“Ibu memanggil taksi dulu ya, becaknya tadi sudah ibu bayar dan ibu suruh pergi. Kasihan kalau masih disuruh mengantar pulang. Rumah kita kan jauh dari sini.”

Ayna masih menoleh kearah rumah sakit, ketika ia sudah harus masuk ke dalam taksi.
***

Danang keluar dari ruang UGD , ia mencari-cari Riri dan anaknya, tapi ia justru melihat Handoko datang dengan wajah cemas.

“Bagaimana Bintang?”
“Sudah sadar. Kata dokter hanya gegar otak ringan, tapi harus dirawat dulu, paling tidak dua tiga hari.”
“Oh, boleh ditemui ?”
“Boleh, masuklah, dia sudah sadar.”

Handoko masuk, dan melihat Bintang tampak pucat.

“Kenapa kamu ini Bin ?”
“Mana Ayna ?”
“Ayna apa, tidak ada Ayna disini..”
“Tadi saya melihat dia pak, saya mengejarnya, tanpa melihat kiri kanan, lalu tertabrak mobil, untung saya masih hidup.”
“Kamu itu ada-ada saja Bin.. mengejar Ayna, ternyata bukan.”
“Bukan ?”
“Ketika bapak datang, tak ada gadis bernama Ayna itu.”
“Om Danang melihatnya. Coba bapak tanya, dimana dia..”
“Iya, nanti bapak tanya. Tampaknya sekarang kamu akan dibawa ke ruang rawat.”
“Saya mau pulang saja. Saya tidak apa-apa, hanya sedikit pusing.”
“Jangan mentang-mentang kamu dokter lalu seenaknya menyepelekan penyakit. Menurutlah.”
“Saya harus ketemu Ayna, pak.”
“Nanti kamu boleh bertanya pada om kamu tentang Ayna yang kata kamu dia melihatnya.”
***

“Aku mencari-cari setelah keluar dari ruang UGD, tapi dia tak ada” kata Danang setelah Bintang berada diruang rawat inap.
“Tapi om sempat ketemu kan?”
“Dia itu tiba-tiba ikut bersama kita, ketika om membawa kamu ke rumah sakit.”
“Tuh kan, berarti dia Ayna, dia mengenali saya om.”
“Tidak, namanya bukan Ayna, dia tampak kesal ketika aku terus memanggilnya Ayna. Tapi ketika aku tanya, mengapa mengikuti kami, dia bingung, tak bisa menjawabnya.”
“Ya Tuhan, dia benar Ayna, mengapa om membiarkannya pergi?”
“Tenang Bin, tadi itu ketika kami sedang menunggu, tiba-tiba muncul teman om, yang namanya Riri. Dia bilang gadis itu anaknya. Bingung aku.”
“Aneh.. siapa teman om itu?”
“Teman lama, tantemu tahu, nanti om akan tanya pada dia, barangkali punya nomor kontaknya Riri.”
“Sebaiknya om tanya pada tante sekarang, saya tidak akan bisa tidur, saya nggak mau di opname.”
“Bintang, sabar ya, baiklah, om akan pulang sekarang. Bapak kamu masih diluar, sepertinya sedang mengabari ibumu.”
***

“Ya ampun mas, ketemu Riri? Kejadiannya bisa rumit begini. Riri sama anaknya mau datang kemari, lalu mas mengira dia Ayna?”
“Wajahnya Ayna. Aku heran dia mengikuti aku ketika membawa Bintang ke rumah sakit. Tapi dia bilang bahwa dia bukan Ayna. Dan Riri ketika datang menyusul juga mengatakan bahwa dia itu anaknya.”
“Tapi yang aneh mengapa dia mengikuti mas yang sedang membawa Bintang ke rumah sakit.”
“Nah, itulah Tan yang aku tidak mengerti.Tapi menurutku dia itu Ayna. Kan dia itu amnesia. Mungkin tidak tahu bahwa namanya Ayna. Tapi kok Riri bersikeras bahwa itu anaknya.”
“Aduh, aku juga bingung nih mas. Sayang Riri nggak jadi datang kemari.”
“Ketika aku keluar dari ruang UGD, mereka sudah tidak ada. Tadi Riri bilang mau ke rumah kita ini, aku kira dia datang kemari.”
“Nyatanya tidak tuh.”
“Coba kamu telpon dia..”
“Ya ampun mas, aku tuh ketemu sampai lupa menanyakan nomor kontaknya. Dulu pernah punya, sepertinya sudah tidak aktif. Mas sendiri apa tidak punya?”
“Ya enggak lah, puluhan tahun berlalu, sudah aku hapus semuanya. Lagian kalau kamu bilang nomor dia sudah tidak aktif berarti sama juga dong.”
“Sayang sekali mas.. dia tuh sebenarnya mau cerita banyak.. jangan-jangan dia juga mau cerita tentang anaknya yang mirip Ayna itu.”
“Aku hampir yakin dia itu Ayna.”
“Ya Alloh.. bagaimana ini..” Tanti tampak sedih. Ia duduk disofa sambil matanya berlinang.
“Tanti, tenanglah, kita tinggal mencari dimana Riri tinggal, lalu kita akan mengerti siapa anak gadisnya yang mirip Ayna itu. So’alnya sikap dia itu lho.. kok mengikuti sampai rumah sakit, jangan-jangan dia mengenali Bintang, tapi tidak tahu bagaimana mengungkapkannya.”
***

Pagi hari itu bu Tarni sudah berada di dapur, karena tukang masaknya baru saja datang dengan membawa banyak barang belanjaan.

“Ini bu, semua barang-barang naik.. aduuh.. sayuran saja juga naik,” keluh sang pembantu.
“Tidak apa-apa yu, kalau memang harus naik ya kita turuti saja.. memangnya kalau harga-harga naik lalu kita tidak jadi belanja?”
“Iya bu, saya cuma mengingatkan, barangkali ibu bermaksud menaikkan harga dagangan ibu nanti.”
“Gampang yu, aku kira masih ada sisa.. tidak usah buru-buru dinaikkan. “
“Ya bu.”
“Aku akan melihat Winarni dulu, sudah agak siang kok belum bangun, aku khawatir dia sakit,” gumam bu Tarni sambil kembali ke rumah.

Bu Tarni memasuki kamar Ayna, tempat tidurnya sudah rapi, berarti Ayna sudah bangun.

“Mungkin dia mandi. Syukurlah kalau dia sudah lebih tenang. Aku heran kemarin kok seperti orang bingung begitu. Mengejar-ngejar orang sampai ke rumah sakit. Semoga nanti dia sudah bisa mengatakan apa sebabnya.”

Bu Tarni duduk di kursi dapur, menghirup sisa teh yang tadi dibuatnya sendiri. Tapi dia heran, kalau memang Ayna mandi, harusnya ada suara gemercik air.

“Kok nggak ada suara ?”

Bu Tarni bangkit, berjalan menuju kamar mandi.

“Lhoh, kok kosong? Apa sudah kembali ke kamarnya? Kok aku tidak melihatnya, kan kalau mau ke kamar harusnya dia lewat sini.”
“Wiin.. Wiiin..”

Bu Tarni memasuki kamar Ayna, kosong.

“Wiiin,” bu Tarni terus memanggil-manggil, sambil hilir mudik disekitar rumah, tapi bayangan Ayna tak ada.
“Wiiin... dimana kamu Wiiin?”

Ayna lenyap tak berbekas.

Bersambung #14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER