Cerita Bersambung
Bu Tarni bergegas ke warung, apakah Ayna sudah ada disana. Tapi tak ada, si tukang masak heran melihat majikannya kebingungan.
“Mungkin sedang mandi bu..”
“Tidak ada, aku sudah mencari ke sekeliling rumah, bahkan sambil berteriak memanggil. Tapi dia tidak ada. Berarti dia pergi. Mengapa tidak bilang-bilang. Pergi kemana dia?”
“Yah.. mengapa juga nak Win pergi kok tidak bilang-bilang, bikin bingung saja,” gumam tukang masak satunya.
Bu Tarni kembali ke rumah, dia tidak tahu harus menghubungi siapa. Lalu ia mengingat-ingat kejadian kemarin, dimana Ayna tampak bingung ketika melihat orang yang tertimpa kecelakaan. Apakah Ayna mengenali orang tersebut?
“Mungkinkah Win kenal sama orang yang tertimpa kecelakaan itu, lalu ingin tahu. Tapi bukankah yang kecelakaan adalah keponakannya Danang? Lalu Danang mengira Winarni adalah Ayna ? Aduh.. ini sangat membuat aku pusing. Benarkah Winarni adalah Ayna?”
Lalu Bu Tarni mencari-cari nomor kontak Danang di ponselnya.
“Masihkah ada nomor kontak Danang? Duuh, aku lupa, bukankah ini nomor kontak aku yang baru? Tak ada nomor kontak Danang. Bukankah aku sudah menghapus semua masa laluku?” gumam bu Tarni kebingungan.
“Jangan-jangan Winarni adalah Ayna. Tapi mengapa Win sendiri mengatakan bahwa namanya Winarni dan bukan Ayna? Apakah karena dia menderita amnesia? Barangkali dia seperti mengenali orang yang tertimpa kecelakaan itu dan berusaha mengingat semuanya. Jadi apakah Ayna kembali ke rumah sakit untuk menemuinya? Aduuh.. apakah Ayna ingat jalan, dan dimana rumah sakitnya? Sebaiknya aku menyusul kesana. Barangkali kalau Ayna bertemu laki-laki itu kemudian bisa mengingat lebih banyak.”
Lalu bu Tarni berganti baju dan bermaksud pergi ke rumah sakit dimana Bintang dirawat. Barangkali memang Ayna pergi kesana.
Ketika ponselnya berdering, bu Tarni sedang menunggu taksi yang dipanggilnya.
“Hallo .. Rio ?”
“Ya ibu. Aku pulang nih..”
“Ya ampun, ini belum hari Sabtu.. mengapa pulang?”
“Lho.. ibu nggak suka Rio pulang?”
“Suka.. suka.. baiklah, hanya agak heran, ini kan baru hari Jum’at?”
“Ibu gimana? Ini Sabtu ibu...”
“Ya ampun.. iya benar.. ibu lupa. Kamu masih di Jakarta ?”
“Tidak bu, sudah di bandara, lagi nungguin taksi.”
“Aduh.. ya sudah, nanti kalau sampai rumah, tungguin ibu, ibu lagi pergi nih.”
“Pergi sama Winarni?”
“Tidak, ibu justru sedang mencari Win.. dia pergi tanpa pamit.”
“Ya ampun, ibu sudah pernah membawanya ke dokter?”
“Sudah.. kata dokter dia akan mengingatnya apabila kita mengingatkannya pada hal-hal yang pernah dilaluinya. Ya sudah, ibu sudah akan naik taksi, nanti saja ceritanya.”
***
Ayna berjalan bingung. Ia membawa uang beberapa puluh ribu rupiah, bu Tarni yang memberinya, katanya untuk pegangan. Tapi dia tidak tahu harus ke arah mana? Dia tidak tahu nama rumah sakitnya..
“Aduuh.. harus kemana aku pergi? Aku harus ketemu orang itu, barangkali dengan bertemu , aku kemudian bisa mengingat masa laluku. Siapa ya nama orang itu? Tunggu.. kemarin laki-laki yang mengaku bernama Danang itu seperti menyebut nama Bintang ketika sedang menerima telpon entah dari siapa. Bintang ya namanya. Aku seperti mengenalnya, dan Danang itu juga seperti tak asing bagi aku. Ya Allah, aku bingung..” gumamnya sambil terus berjalan.
Namun ketika menyeberang, hampir saja sebuah taksi menabraknya. Untung pengemudinya bisa mengerem dan berhenti tepat hampir menyentuh tubuh Ayna.
“Ya ampun mbak.. kalau mau menyeberang lihat-lihat dong. Punya nyawa rangkap apa?” omel pengemudi taksi. Tapi ketika taksi itu hampir dijalankannya, penumpangnya berteriak.
“Eh.. tunggu... tunggu... aku mengenali dia.”
“Wiiin..!’ teriaknya.
“Minggir dulu mas.. minggir dulu,” perintah penumpang taksi yang ternyata adalah Rio.
“Wiiin..”
Ayna berhenti, menoleh kekiri kanan jalan. Ia berada ditengah-tengah jalan tanpa berani bergerak karena jalanan sangat ramai.
Rio turun, lalu menjemput Ayna ke tengah jalan.
“Kamu mau kemana ?” tanya Rio ketika mereka sudah berada di pinggir.
“Mas.. Rio ?”
“Iya, kamu ingat.. kita sahabat kan?”
Ayna mengangguk.
“Ayo naik, ibu bingung mencari kamu,” kata Rio sambil menarik tangan Ayna, mengajaknya naik keatas taksi. Tapi Ayna melepaskan tangan Rio.
“Kamu mau kemana Win? Biar aku antar kamu.”
“Aku harus ketemu dia..”
“Dia siapa?”
“Seseorang, dirumah sakit.. “
“Rumah sakit mana ?”
Tapi Ayna menggeleng.
“Bagaimana mau menemui kalau tidak tahu dia dirumah sakit mana? Dia siapa? Kamu mengenalnya?”
Ayna kembali menggeleng.
“Ayna, biarkan aku menolongmu. Siapa yang mau kamu temui? Dia sakit apa, namanya siapa.. biar aku menelpon semua rumah sakit untuk mencari tahu “.
“Bisakah ?”
“Aku akan mencobanya. Katakan dia sakit apa, namanya siapa?”
“Kemarin dia kecelakaan.”
“Oh, kecelakaan? Jadi dia dirawat karena kecelakaan? Namanya siapa?”
“Mm... Bintang.”
“Baiklah. Ayo naik kedalam taksi, disini panas, aku akan mencoba menghubungi beberapa rumah sakit besar di kota ini. Ayo.. naiklah, aku akan mengantar kamu.”
Rio berharap keinginan Ayna adalah sebuah jalan untuk menemukan kembali Ayna kepada ingatannya. Karenanya dia dengan suka rela ingin membantunya.
“Oo.. tidak ada? Benar karena kecelakaan kemarin. Baiklah, terimakasih,” kata Rio ketika menelpon sebuah rumah sakit.
“Tidak ada. Aku akan menelpon yang lainnya.”
Ayna terus memperhatikan Rio yang sedang menelpon. Sudah tiga rumah sakit yang mengatakan tidak tahu.
“Ya, kemarin.. namanya Bintang. Apa? Dokter Bintang ?”
Lalu Rio menatap Ayna.
“Apakah dia dokter?” tanyanya. Tapi Ayna menggeleng.
“Baiklah, saya akan kesana,” katanya sambil menutup ponselnya.
“Ada ?” tanya Ayna penuh harap.
“Kita lihat nanti, benarkah dia orang yang ingin kamu temui.”
Lalu ia menyuruh taksinya menuju ke sebuah rumah sakit di jalan Slamet Riyadi, sambil menelpon ibunya tentang pertemuannya dengan Ayna.
***
Bintang terbaring diruang rawat rumah sakit, dan bergantian rekan kerja serta kerabat menjenguknya. Bintang merasa sedang sakit berat, bukan karena beban sakit yang disandangnya, tapi tentang Ayna yang hampir saja ditemuinya tapi tak berhasil. Barangkali memang bukan Ayna, entahlah, tapi kalau Ayna tidak mengetahui bahwa itu adalah namanya, bisa jadi, bukankah Ayna amnesia? Rasa penasaran dan keinginannya untuk segera menemui Ayna membuat kepalanya terasa semakin pusing.
“Sesungguhnya aku ingin pulang saja,” kata Bintang ketika Nanda menjenguknya.
“Jangan begitu Bin, kamu itu kan dokter, jadi tahu dong kapan orang harus dirawat dan kapan boleh rawat jalan?”
“Pikiranku justru tidak tenang. Aku penasaran tentang gadis itu.”
“Sama, aku juga penasaran. Aku sedang berfikir bagaimana cara menemukannya.”
“Kata om Danang, ada seorang ibu yang mengakui bahwa gadis itu adalah anaknya. Ibu itu teman lamanya om Danang. Tapi sama sekali tak ada nomor kontaknya sehingga susah menghubungi.
“Itulah yang membuat aku kecewa, wanita itu sudah pergi tanpa kita ketahui dimana alamatnya.”
“Tapi aku sudah tahu sekarang,” kata Danang yang tiba-tiba datang.”
“Om? Tahu tentang apa?”
“Riri.. wanita itu adalah teman lamaku. Riri ketemu Tanti ketika mau pulang dari rumah sakit setelah opname selama beberapa hari. Jadi kita bisa bertanya dimana alamat dia, karena sa’at itu dia sedang mengambil obat untuk anaknya.”
“Bagus om. Aku bisa menanyakannya ke rumah sakit itu dimana alamatnya. Tapi siapa nama anaknya?” tanya Bintang.
“Waduh.. benar juga..hari dan tanggal serta jamnya aku kan tahu, tapi nama anaknya siapa ya? Pasti bukan Ayna.”
"Mungkin Winarni...”
“Tolong ambilkan ponselku, aku ingin menelpon,” kata Bintang.
“Selamat siang..” semuanya kaget. Seorang laki-laki muda tiba-tiba masuk keruangan itu.
“Siang..” jawab Danang dan Nanda hampir bersamaan.
“Ini ruang rawatnya saudara Bintang?”
“Saya Bintang,” sahut Bintang yang masih terbaring.
“Kamu kenal Bin?” tanya Danang.
“Nama saya Rio, saya mengantarkan seseorang yang ingin bertemu dengan saudara Bintang.”
Lalu laki-laki muda itu keluar dari pintu, dan membawa seorang gadis untuk masuk.
Bintang melompat dari tidurnya, sehingga selang infus terlepas dan lengannya mengucurkan darah. Tapi dia tak peduli.
“Aynaaa?”
Gadis itu terpaku disana. Menatap Bintang yang lengannya meneteskan darah.
“Aynaaa?” seru Danang dan Nanda. Nanda bahkan ingin memeluknya, tapi Ayna mundur kebelakang.
“Saya.. bukan Ayna..” bisik Ayna yang merasa ngeri melihat darah. Ia menunjuk kearah lengan Bintang.
“Kamu Ayna.. Aynaku...”
Dan Ayna merasa ada sesuatu yang menghentak dadanya. Ia ingat mimpinya beberapa hari lalu.. KAMU AYNA.. AYNAKU.. dan laki-laki ganteng dengan darah mengucur dilengan itu mengucapkan kata-kata yang sama.
Bintang beranjak turun. Ayna mengambil tissue yang ada diatas meja dan mengusap darah itu. Entah apa yang mendorongnya sehingga dia melakukannya.
Danang dan Nanda terpana demikian juga Rio.
“Ayna.. kamu Ayna...” Bintang membentangkan lengannya, berusaha memeluk Ayna.
“Saya bukan Ayna..” katanya sambil mundur beberapa langkah kebelakang.
Bintang terhuyung. Nanda segera menangkapnya lalu menuntun Bintang agar duduk ditepi pembaringan.
“Sebentar bapak .. dan mas-mas.. saya ingin bicara,” kata Rio tiba-tiba.
Semuanya menatap Rio.
“Beberapa Minggu yang lalu, ibu saya menemukan seorang gadis yang nyaris pingsan didepan warungnya. Ibu saya menolongnya, karena gadis itu tampak lemas karena haus dan lapar. Ibu saya memberinya makan dan minum, tapi gadis itu tampak bingung. Dia tak ingat apa-apa, kecuali namanya dan bilang bahwa dia punya suami.”
“Apa?” teriak Bintang dan lainnya.
“Bersuami?” kata Bintang lirih, dengan hati yang luruh.
“Dia bilang begitu. Namanya Winarni...”
“Aynaaaaa... bukan Winarni."
“Dia bilang lari dari rumah sakit karena tidak suka kepada suaminya.”
Bintang terus menatap Ayna tak berkedip.
“Sa’at itu hari Minggu ketika saya pulang kerumah.. oh ya, saya bekerja di Jakarta dan waktu itu sedang menemui ibu saya dikota ini. Sa’at itu.. saya membaca sebuah iklan tentang orang hilang, namanya Ayna. Wajah foto yang ada disana, persis Winarni,” kata Rio sambil menunjuk kearah Ayna.
“Kami yang memasang iklan itu, dan belakangan, pada iklan itu sudah dertulis AYNA ATAU WINARNI,” kata Nanda.
“Mungkin ibu saya tidak membacanya. Ibu saya tidak suka membaca koran.”
“Sa’at itu ibu tak percaya bahwa gadis itulah yang dicari, karena penampilannya beda. Winarni tidak berhijab, dan namanya juga beda.”
"Ibu juga sempat membawanya kerumah sakit karena Winarni seperti kehilangan semua memorinya. Tapi kemudian ibu menyayangi dia dan menganggapnya menjadi anaknya.”
“Dia itu anak angkat saya,” kata Danang.
“Ayna.. kamu Ayna..”
Ayna tampak bingung.
“Kamu bukan Winarni. Mengapa kamu bilang punya suami?”
“Dia.. laki-laki setengah tua itu, mengatakan bahwa saya isterinya. Saya benci dia, lalu saya kabur dari rumah sakit ketika dia mau mengajak saya pulang dari rumah sakit itu,” tiba-tiba Ayna bisa bicara agak lancar. Ia mendengarkan semua cerita walau belum paham semuanya. Benarkah Ayna itu dirinya?
“Ayna.. lihat, aku punya foto kamu..” kata Nanda sambil menunjukkan ponselnya dan memperlihatkan sebuah foto gadis yang sedang duduk disebuah apotik. Gadis itu berjilbab, Nanda memotretnya dari arah samping karena dia memang mencuri-curi.
“Ini.. saya ?”
“Kamu sedang membeli obat, ketika ibu kamu sedang sakit,” lanjut Nanda.
Ayna tersentak. Ibunya sakit?
“Ibu saya sudah meninggal.. saya .. “
“Ya benar, ibu kamu sudah meninggal. Dokter Bintang ini yang merawatnya sa’at sakit,” kata Danang sambil menunjuk kearah Bintang.
Ayna menatap Bintang lekat-lekat. Laki-laki ganteng yang pernah datang dalam mimpinya ini telah merawat ibunya? Perlahan bayangan-bayangan melintas di kepalanya. Wajah seorang wanita setengah tua yang cantik dan lembut.. Lalu Ayna terisak sedih.
Rio menuntunnya agar duduk di sofa yang ada diruangan itu. Semuanya ikut duduk, demikian juga Bintang yang masih agak lemas .
“Ibu kamu meninggal karena penyakit kanker yang dideritanya..” kata Bintang lembut.
“Iya.. aku ingat..” katanya sambil terisak..
“Lalu kamu tinggal bersama ayah tiri kamu..”
Ayna mengusap air matanya. Mencoba mengingat siapa ayah tirinya.
Tapi kemudian ada bayangan-bayangan buruk melintas.. Ayna menyandarkan kepalanya disandaran sofa.
“Ayna, jangan dipaksakan untuk mengingatnya. Yang penting kamu tahu bahwa kamu adalah Ayna. Selepas dari ayah tiri kamu, lalu kamu menjadi anak angkatku,” kata Danang.
Ayna menatap Danang.
“Isteriku, Tanti.. sangat menyayangi kamu. Dia sedang hamil muda dan selalu teringat kamu. Dia sedih sekali ketika kamu menghilang,” lanjut Danang.
“Tanti.. Tanti... Tanti...” gumam Ayna lirih..
Ia merasa mengenalnya.
“Dia ibu angkat kamu. Setelah ada kamu, dia hamil untuk yang pertama kali.”
“Hamil....” gumam Ayna.
“Dia sangat suka lotis, kamu sering membelikannya..”
“Lotis.. lotis.. becak... jadi itu sebabnya ketika naik becak bersama bu Tarni aku ingat lotis.”
Ayna tampak mulai menemukan dirinya, walau belum sempurna.
Rio beranjak dari duduknya karena ponselnya berdering.
“Ya bu, ini.. kami sudah ada dirumah sakit. Baiklah, saya jemput ibu. Winarni baik-baik saja, dia sudah banyak mengingat semuanya. Benar bu, yang tertimpa kecelakaan itu dikenal oleh Winarni.. ah ya.. namanya yang benar memang Ayna. Benar bu.. kami sedang membantu Ayna mengingat masa lalunya. Saya jemput ibu keluar ya,” kata Rio sambil melangkah keluar.
Rio menjemput ibunya diluar, lalu mengajaknya masuk sambil menceritakan pertemuan Ayna dengan Bintang dan yang lainnya.
“Ya Alloh, jadi benar dia Ayna. Dia anak angkat Danang..” gumam bu Tarni.
Begitu memasuki ruangan, bu Tarni memeluk Ayna erat-erat.
“Syukurlah Win.. kamu sudah menemukan keluarga kamu.. aku ikut bahagia,” katanya sambil berlinang air mata.
“Jadi dia ini anak angkat kamu Ri?”
“Iya Nang, anak angkat karena aku sangat trenyuh mengetahui nasibnya yang nggak karuan asal usulnya. Dan aku sangat sayang sama dia.”
“Tanti sangat merindukan dia..” kata Danang khawatir kalau bu Tarni mau membawa Ayna pulang.”
“Iya aku tahu. Baiklah, aku bahagia kalau Win..eh.. Ayna bahagia. Biarlah dia pulang ketempat orang-orang yang mengasihinya,” kata bu Tarni sambil memeluk Ayna.
“Ayna.. . saya mau tiduran sebentar, kepalaku sakit..”
Nanda segera membantu Bintang berdiri dan mengantarkannya ke tempat tidur.
“Kamu bandel sih, tuh.. infusnya sampai copot begitu. Biar aku panggil suster untuk memasangnya lagi,” omel Nanda sambil membantu Bintang tidur.
Suster segera memasang infus ke lengan Bintang kembali.
Tiba-tiba Ayna berdiri dan mendekati ranjang Bintang. Senyumnya merekah. Ia adalah Ayna, si pemimpi yang mengenal dokter muda ganteng itu dalam angannya, lalu tak bisa melupakannya.
“Ayna.. “ bisik Bintang sambil meraih tangan Ayna. Kali ini Ayna tak menolak. Mata mereka bertatapan.
“Kalau sembuh nanti, bisakah kamu mengantarkan aku ke makam ibuku?” kata Ayna.
Bintang mengangguk senang.
“Apapun.. akan aku lakukan untuk kamu.”
“Ayna.. maukah kamu aku antar untuk menemui mbak Tanti, ibu angkat kamu?” tiba-tiba Nanda mendekat. Tapi tak ada rasa cemburu melihat mereka bertatapan mesra. Mesra? Aduhai..
“Mereka adalah sahabat-sahabatku,” katanya dalam hati.
“Biarlah aku disini dulu bersama dia,” katanya lembut.
Ayna belum mengingat semuanya. Bahkan kepada Nanda pun ingatan itu masih hilang-hilang lenyap. Tapi Ayna merasa sangat dekat dengan Bintang. Ayna berharap akan banyak hal ditemukan dalam kehidupan masa lalunya ketika ia menemukan laki-laki ganteng itu.
==========
“Apa mas ? Ayna sudah ketemu?” teriak Tanti ketika Danang menelponnya.
“Iya benar.. sudah ketemu.”
Tanti ingin melompat-lompat karena senangnya.
“Dimana dia sekarang?”
“Dirumah sakit..”
“Apa? Dia sakit ?”
“Bukan, dia ketemu Bintang dirumah sakit, sekarang masih menungguinya.”
“Berarti dia sadar dong, mengenal Bintang?”
“Tidak, belum sepenuhnya..”
“Apa maksud mas?”
“Nanti saja ceritanya, ini aku mau pulang dulu.”
“Mas bawa Ayna sekalian pulang?”
“Tidak, dia masih ingin bersama Bintang.”
“Kalau begitu aku mau kesana sekarang.”
“Tanti, sabar dong, aku pulang dulu, nanti aku antar kamu kesana.”
“Baiklah mas, buruan ya, aku mau siap-siap dulu..”
“Baiklah, oh ya.. tolong siapkan hijab untuk Ayna. Tampaknya dia lebih cantik dengan memakai hijab.”
“Baiklah, aku siapkan.”
Tanti meletakkan ponselnya dan menemui ibunya yang masih terbaring dikamar.
“Ibu.. ibu. ..Dengar.. Ayna sudah ketemu..”
“Benarkah?” tanya bu Suprih sambil bangkit.
“Lho.. ibu tiduran dulu, belum boleh bangun..”
“Tidak, ibu sudah sehat. Tadi sudah kekamar mandi sendiri .”
“Ibu jangan terburu-buru bangun, biar sudah merasa sehat. Tanti ambilkan makan ya, dikamar saja, setelah itu ibu mau saya tinggal sebentar. Mas Danang akan menjemput Tanti. Tanti akan segera menemui Ayna.”
“Tidak usah diambilkan, ibu mau makan sendiri saja.. Tapi dimana Ayna?”
“Dirumah sakit bu.”
“Sakit ?”
“Tidak, menunggui Bintang yang masih dirawat..”
”Aah, syukurlah, ibu juga ingin ketemu sebenarnya..”
“Ibu istirahat dulu, nanti juga Ayna pasti pulang kemari.”
***
Ketika Danang dan Nanda sudah sampai di parkiran untuk menjemput Tanti, tiba-tiba dilihatnya Handoko, Palupi dan Bulan turun dari mobil.
“Sudah mau pulang Nang?”
“Iya, mau menjemput Tanti. Sudah ribut saja mau segera kemari.”
“Ya sudah, jemput sana, aku ikut senang mendengar Ayna sudah ketemu,” kata Handoko.
“Mas, aku nggak jadi pulang sekarang,” kata Nanda tiba-tiba.
“Lhoh.. nggak jadi?”
“Iya, mau ketemu si centhil itu dulu,” katanya sambil menunjuk kearah Bulan.
“Iih.. selalu gitu deh..” sungut Bulan. Tapi ia senang ketika Nanda mendekatinya.
“Ya sudah.. aku pulang dulu..” kata Danang sambil berlalu.
Handoko dan Palupi senang, Bintang tampak bersemangat dan berbahagia. Ayna yang semula duduk didepan Bintang segera berdiri.
“Ayna.. apa kabar ?”
Ayna menoleh.. melihat seorang laki-laki dan seorang wanita cantik.. bersama seorang gadis yang datang bersama Nanda.
“Itu pak Handoko, bapakku, satunya.. ibuku.. yang satu lagi adikku.. namanya Bulan.. masih mengingatnya?” kata Bintang mencoba mengingatkan.
Ayna mengangguk, lalu mencium tangan Handoko dan Palupi, serta menyalami Bulan. Tapi sungguh ia belum begitu teringat.
“Kalau aku.. Nanda.. masih ingat kan?” kata Nanda berseloroh.
Ayna tersenyum, masih mencoba mengingat-ingat.
“Kami senang kamu sudah kembali, Ayna,” kata Handoko.
“Bapak, itu bu Riri.. sama mas Rio putranya. Dia yang merawat Ayna selama ini,” kata Bintang sambil menunjuk kearah Rio dan bu Tarni.
Keduanya berdiri dan Handoko serta Palupi menyalaminya dengan hangat. Demikian juga Bulan.
“Terimakasih banyak karena telah merawat keponakan saya dengan baik,” kata Handoko ramah.
“Saya menyayangi Ayna, menemukannya dalam keadaan bingung. Lalu saya anggap dia anak saya.”
“Syukurlah Ayna berada ditangan orang-orang baik seperti ibu,” sambung Palupi.
“Kebetulan saya kenal Danang dan Tanti.. kami sahabat lama.” Kata bu Tarni.
“Oh, benarkah ? Tanti sedang dijemput Danang, sebentar lagi dia datang.”
“Iya, syukurlah.”
“Ceritanya begitu rumit. Saya belum pernah cerita sama Tanti tentang pertemuan saya dengan Winar... eh.. Ayna. Tidak menyangka bahwa Ayna adalah anak angkat sahabat saya.”
“Ayna banyak memiliki keluarga yang menyayanginya.”
“Benar, kamu cepat sembuh ya Win.. eh.. Ayna, ingatan kamu akan segera pulih setelah bertemu keluarga yang mengenali kamu,” kata bu Tarni.
Ayna mengangguk. Kedatangan Handoko dan keluarganya membuatnya rikuh karena terus mendekati Bintang. Ia kemudian duduk disamping bu Tarni.
Keadaan menjadi heboh ketika Tanti datang dan dengan berlinang air mata memeluk Ayna.
“Anakku... akhirnya kamu kembali..”
Ayna diam saja ketika Tanti memeluknya. Tapi ia merasa trenyuh melihat tangis Tanti.
Ditatapnya wanita cantik walau sudah tidak muda lagi itu lekat-lekat. Ada sesuatu yang membuatnya senang.
“Pasti ia wanita yang baik juga. Apakah dia yang pernah mengatakan .. JADILAH ANAKKU..? Seperti pernah dikatakan bu Tarni kepadanya?”pikir Ayna.
“Oh ya.. Ayna.. dulu kamu memakai ini, lihat.. aku bawakan hijab cantik ini untuk kamu,” kata Tanti.
Tanti kemudian mengeluarkan sehelai hijab, kemudian dipasangkannya di kepala Ayna.
“Tuuh.. kan, kamu benar-benar Ayna.. anakku..” seru Tanti senang.
“Kamu bertambah cantik Win..”
“Riri, aku tidak mengira, kamulah yang merawat Ayna.”
“Aku tuh mau kerumah kamu untuk bercerita tentang gadis cantik yang aku temukan, tapi belum kesampaian.”
“Apa dia juga yang sakit ketika kita bertemu dirumah sakit?”
“Iya, dia menunggu diluar, aku takut dia bingung kalau dia menunggu didalam karena banyak orang.”
“Ya ampuun.. aku sudah hampir ketemu dia sebetulnya..”
“Alloh mengaturnya seperti ini Tan.. Nanti lain kali aku akan kerumah kamu untuk bercerita banyak.”
“Iya aku menunggu kamu. Tadi mas Danang sudah cerita sedikit tentang pertemuan kamu dengan Ayna. Untunglah bukan orang jahat yang menemukannya.”
“Ia ditakdirkan menjadi anak aku juga,” kata bu Tarni.
“Iya benar.. memang harus begitu jalannya.”
“Sungguh menyenangkan akhirnya Ayna bisa ketemu keluarganya.”
“Ayna, nanti kamu akan pulang kerumah ibu kan?” tanya Tanti.
Ayna tampak bingung, ia menatap bu Tarni, mohon pendapatnya.
“Win.. kamu akan pulang ke rumah bu Danang.. atau bu Tanti ini. Tapi sekali-sekali kamu harus mengunjungi ibumu yang tukang warung ini, karena kamu juga anakku.”
Ayna menatap Tanti yang kemudian mengangguk setuju.
“Kamu tukang warung Ri ?”
“Iya, aku hidup dari berjualan nasi dan lauk pauk.. ada soto.. dan macam-macam masakan Jawa.”
“Mas, lain kali kita makan di warungnya Riri ya?”
“Ya, baiklah..” jawab Danang yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan itu.
“Tapi saya akan menunggui dia dulu,” kata Ayna tanpa sungkan sambil menunjuk ke arah Bintang.
“Oh, baiklah.. tungguin saja dia, supaya cepat sembuh,” kata Tanti sambil tertawa.
“Dulu dia juga merawat ibu saya..” kata Ayna lirih.
“Benar.. syukurlah kamu mengingatnya.. Tapi nanti malam kamu pulang ya, besok boleh kesini lagi. Kasihan kalau kamu terus-terusan menunggui dia,” kata Tanti.
“Kalau Ayna menunggu terus disini mbak, Bintang malah tidak akan sembuh-sembuh, soalnya kesenangan ditungguin terus,” kata Nanda bercanda.
“Eeh.. cemburu nih?” seloroh Bulan.
“Enggak ya.. aku kan sudah punya sendiri..” kata Nanda sambil melirik kearah Bulan.
“O.. sudah punya...?”
“Tuh, gantian Bulan yang cemburu nih..” goda Tanti.
“Enggak tante... ngapain cemburu. Nanti ke geer an dia..”
“Keponakan kamu itu cantik Tanti, kalau Rio belum punya pacar saya mau mengambilnya sebagai menantu,” sela bu Tarni sambil tersenyum.
“Tuh, aku sudah ada yang mau mengambil menantu kan?” kata Bulan sambil tertawa.
“Ini anakku .. namanya Rio...” kata bu Tarni. Rio tersenyum tersipu, dan Bulan kemudian juga mengangguk kearahnya.”
Nanda menatapnya, sedikit cemburu.
***
Ketika Handoko dan Palupi mau pulang, Nanda memaksa agar Bulan pulang bersamanya.
“Bulan akan pulang bersama saya om.. ibu Palupi mengijinkan kok..” kata Nanda berseloroh, padahal dia belum bilang apa-apa.
Palupi tersenyum lucu.
“Iya, ibu tahu kok .. kamu sukanya maksa..” kata Palupi .
“Tuuh.. benar kata ibu..”
Tapi Nanda pura-pura tak mendengar, ia tetap menarik Bulan untuk diajaknya pulang bersama.
Handoko dan Palupi hanya geleng-geleng kepala.
“Bin, apa kamu perlu ditemani malam ini? Kalau perlu biar bapak nanti kembali kemari,” kata Handoko.
“Tidak pak, saya sendiri tidak apa-apa, katanya sambil melirik kearah Ayna.
“Ayna tidak akan tidur disini, nanti ibu Tanti nya marah,” kata Palupi.
“Iya, Bintang tahu.”
“Biar nanti Ayna pulang bersama saya mas,” kata Danang.
Pertemuan itu membuahkan suasana yang tiba-tiba terasa sangat manis. Sinar bahagia tampak pada tatapan setiap mata. Ayna mulai menyadari bahwa ia pernah dekat dengan mereka, walau belum sepenuhnya ingat.
***
“Temani aku makan ya,” kata Nanda ketika dalam perjalanan mengantarkan Bulan.
“Padahal aku nggak lapar tuh..”
“Ya nggak apa-apa, kan aku cuma mau ditemani.”
“Kok tiba-tiba ramah sama aku sih? Ada apa nih ?”
“Enak aja, kan aku selamanya ramah sama kamu? Baik.. menjaga.. melindungi..”
Bulan tertawa..
“Itu benar kan ?”
“Bukan karena pelarian ?”
“Pelarian apa nih?”
“Melepaskan Ayna untuk mas Bintang, lalu larinya ke aku..”
“Yee.. kapan aku bilang suka sama Ayna? Dari dulu aku tidak bilang suka, masa kamu lupa? Dia itu hanya teman baik, dekat, akrab..”
“Sokur-sokur bisa didapat.. gitu kan?"
“Eeh.. cemburu ya?” ledek Nanda.
“Siapa cemburu.. ogah..”
“Aku yang cemburu nih..”
“Oh ya, cemburu sama siapa?”
“Kamu tuh tadi mau dijodohin sama anaknya bu Riri..”
“Ooh, ternyata mas Nanda ndengerin juga ? Cakep lho dia..”
“Ah, masih cakep aku, ganteng aku.... lihat dong baik-baik..”
“Sok ganteng.. sok cakep..”
“Benar tidak ?”
“Nggak tuh...”
“Jangan suka membohongi diri sendiri.”
“Ini lagi ngomongin apa sih? Ngaco akhirnya..”
Nanda menghentikan mobilnya didepan sebuah rumah makan. Bulan tak pernah bisa menolak. Entah mengapa.
Ia juga membiarkan ketika Nanda menggandeng tangannya masuk kedalam rumah makan itu.
“Kok kita seperti orang pacaran ya?” kata Bulan begitu mereka duduk.
“Memangnya tidak boleh, kita pacaran?”
“Ini bukan karena pelarian bener ya?”
“Ya ampun Bulan.. dari tadi bilang pelarian.. pelarian terus..”
“Biasanya kalau orang gagal mendapatkan yang satu, lalu mencari yang lain untuk pelarian.”
“Pinter... tapi salah.”
“Salah ?”
“Tunggu, aku mau pesan makanan dulu. Kamu mau apa?”
“Terserah mas deh.. aku sebenarnya nggak lapar. Mm.. gado-gado saja.”
“Okey, aku ngikutin kamu saja. Minumnya.. ?"
“Aku es jeruk..”
Nanda menuliskan pesanannya dan memberikannya kepada pelayan, sambil membisikkan sesuatu kepada pelayan itu, yang kemudian mengangguk-angguk.
“Pesen apa sih, pakai bisik-bisik begitu ?”
“Ini urusan laki-laki, kamu diam saja.”
Bulan mencibir. Nanda berdebar menatapnya. Ingin sekali dicubitnya bibir itu. Begitu indah dan menggemaskan.
“Apa sih, senyum-senyum ?”
“Kamu manis sekali..”
“Pinter ngrayunya. Belajar dari siapa?”
“Ngerayu saja harus belajar? Naluri dong.. naluri seorang laki-laki.”
“Benarkah ?”
“Tanya saja sama kakak kamu, apakah dia pernah belajar ngerayu..”
Kemudian Bulan tampak diam. Ia heran kepada dirinya sendiri, mengapa ngikut saja ketika Nanda mengajaknya pulang bareng. Ngikut saja ketika Nanda mengajaknya makan bersama, dan dia juga mendiamkannya ketika Nanda menggandengnya.
“Apa yang terjadi pada diri aku?” kata batinnya.
Nanda dan Bulan terdiam selama beberapa sa’at lamanya, sampai ketika pelayan menyajikan pesanan mereka. Tapi Bulan heran, ada setangkai mawar merah terletak di nampan yang berisi makanan itu. Nanda memberikan selembar uang kepada pelayan yang kemudian mengucapkan terima kasih. Bulan menatap heran. Nanda memungut mawar itu, lalu diulurkannya kehadapan Bulan.
“Terimalah bunga ini untuk kamu..”
“Mengapa tiba-tiba ada bunga?”
“Sebagai tanda bahwa aku suka sama kamu. Awas.. jangan bilang ini pelarian. Aku sudah memikirkannya sejak lama.”
Bulan menerima mawar itu dengan gemetar.
“Tanda suka.. dan bukan pelarian..” bisik Bulan.
“Tulus dari dasar hati aku.”
***
Ayna mulai mengenali rumah Tanti seperti sesuatu yang memang pernah dialaminya.
“Ini bukan tempat yang asing. Kamarnya, tata ruangnya, semuanya aku mengenalinya. Jadi benar, aku anak angkat ibu Danang yang sangat baik dan menyayangi aku,” gumamnya ketika beberapa hari lamanya dia berdiam dirumah itu.
“Ini wajahku... benar ini wajahku..” bisiknya ketika menatap wajahnya didepan kaca. Wajah cantik dengan hijab menutupi rambutnya.
Lalu Ayna mulai mengenali dirinya sendiri, gadis yang yatim piatu, yang kemudian dipungut oleh keluarga yang sangat baik seperti keluarga Danang.
“Ayna.. ada tamu tuh, untuk kamu.” Kata Tanti sambil menjenguk kedalam kamar Ayna.
“Tamu? Siapa ibu?”
“Keluarlah, nanti kamu akan tahu,” kata Tanti sambil tersenyum.
Ayna keluar, dan melihat sosok ganteng yang tersenyum manis sedang duduk menghadap kedalam, dan menatapnya dengan pandangan mesra. Aduhai. Ayna terpana. Wajah itu tak pernah dilupakannya, sejak datang kedalam mimpinya.
“Sudah mandi? “
“Sudah. Kok tidak bekerja?”
“Ini hari Minggu.. “
“Oh, Minggu ya..”
“Mau pergi bersama aku ?”
“Kemana ?”
“Bukankah kamu ingin tahu dimana makam ibu kamu?”
Bersambung #15
“Apa mas ? Ayna sudah ketemu?” teriak Tanti ketika Danang menelponnya.
“Iya benar.. sudah ketemu.”
Tanti ingin melompat-lompat karena senangnya.
“Dimana dia sekarang?”
“Dirumah sakit..”
“Apa? Dia sakit ?”
“Bukan, dia ketemu Bintang dirumah sakit, sekarang masih menungguinya.”
“Berarti dia sadar dong, mengenal Bintang?”
“Tidak, belum sepenuhnya..”
“Apa maksud mas?”
“Nanti saja ceritanya, ini aku mau pulang dulu.”
“Mas bawa Ayna sekalian pulang?”
“Tidak, dia masih ingin bersama Bintang.”
“Kalau begitu aku mau kesana sekarang.”
“Tanti, sabar dong, aku pulang dulu, nanti aku antar kamu kesana.”
“Baiklah mas, buruan ya, aku mau siap-siap dulu..”
“Baiklah, oh ya.. tolong siapkan hijab untuk Ayna. Tampaknya dia lebih cantik dengan memakai hijab.”
“Baiklah, aku siapkan.”
Tanti meletakkan ponselnya dan menemui ibunya yang masih terbaring dikamar.
“Ibu.. ibu. ..Dengar.. Ayna sudah ketemu..”
“Benarkah?” tanya bu Suprih sambil bangkit.
“Lho.. ibu tiduran dulu, belum boleh bangun..”
“Tidak, ibu sudah sehat. Tadi sudah kekamar mandi sendiri .”
“Ibu jangan terburu-buru bangun, biar sudah merasa sehat. Tanti ambilkan makan ya, dikamar saja, setelah itu ibu mau saya tinggal sebentar. Mas Danang akan menjemput Tanti. Tanti akan segera menemui Ayna.”
“Tidak usah diambilkan, ibu mau makan sendiri saja.. Tapi dimana Ayna?”
“Dirumah sakit bu.”
“Sakit ?”
“Tidak, menunggui Bintang yang masih dirawat..”
”Aah, syukurlah, ibu juga ingin ketemu sebenarnya..”
“Ibu istirahat dulu, nanti juga Ayna pasti pulang kemari.”
***
Ketika Danang dan Nanda sudah sampai di parkiran untuk menjemput Tanti, tiba-tiba dilihatnya Handoko, Palupi dan Bulan turun dari mobil.
“Sudah mau pulang Nang?”
“Iya, mau menjemput Tanti. Sudah ribut saja mau segera kemari.”
“Ya sudah, jemput sana, aku ikut senang mendengar Ayna sudah ketemu,” kata Handoko.
“Mas, aku nggak jadi pulang sekarang,” kata Nanda tiba-tiba.
“Lhoh.. nggak jadi?”
“Iya, mau ketemu si centhil itu dulu,” katanya sambil menunjuk kearah Bulan.
“Iih.. selalu gitu deh..” sungut Bulan. Tapi ia senang ketika Nanda mendekatinya.
“Ya sudah.. aku pulang dulu..” kata Danang sambil berlalu.
Handoko dan Palupi senang, Bintang tampak bersemangat dan berbahagia. Ayna yang semula duduk didepan Bintang segera berdiri.
“Ayna.. apa kabar ?”
Ayna menoleh.. melihat seorang laki-laki dan seorang wanita cantik.. bersama seorang gadis yang datang bersama Nanda.
“Itu pak Handoko, bapakku, satunya.. ibuku.. yang satu lagi adikku.. namanya Bulan.. masih mengingatnya?” kata Bintang mencoba mengingatkan.
Ayna mengangguk, lalu mencium tangan Handoko dan Palupi, serta menyalami Bulan. Tapi sungguh ia belum begitu teringat.
“Kalau aku.. Nanda.. masih ingat kan?” kata Nanda berseloroh.
Ayna tersenyum, masih mencoba mengingat-ingat.
“Kami senang kamu sudah kembali, Ayna,” kata Handoko.
“Bapak, itu bu Riri.. sama mas Rio putranya. Dia yang merawat Ayna selama ini,” kata Bintang sambil menunjuk kearah Rio dan bu Tarni.
Keduanya berdiri dan Handoko serta Palupi menyalaminya dengan hangat. Demikian juga Bulan.
“Terimakasih banyak karena telah merawat keponakan saya dengan baik,” kata Handoko ramah.
“Saya menyayangi Ayna, menemukannya dalam keadaan bingung. Lalu saya anggap dia anak saya.”
“Syukurlah Ayna berada ditangan orang-orang baik seperti ibu,” sambung Palupi.
“Kebetulan saya kenal Danang dan Tanti.. kami sahabat lama.” Kata bu Tarni.
“Oh, benarkah ? Tanti sedang dijemput Danang, sebentar lagi dia datang.”
“Iya, syukurlah.”
“Ceritanya begitu rumit. Saya belum pernah cerita sama Tanti tentang pertemuan saya dengan Winar... eh.. Ayna. Tidak menyangka bahwa Ayna adalah anak angkat sahabat saya.”
“Ayna banyak memiliki keluarga yang menyayanginya.”
“Benar, kamu cepat sembuh ya Win.. eh.. Ayna, ingatan kamu akan segera pulih setelah bertemu keluarga yang mengenali kamu,” kata bu Tarni.
Ayna mengangguk. Kedatangan Handoko dan keluarganya membuatnya rikuh karena terus mendekati Bintang. Ia kemudian duduk disamping bu Tarni.
Keadaan menjadi heboh ketika Tanti datang dan dengan berlinang air mata memeluk Ayna.
“Anakku... akhirnya kamu kembali..”
Ayna diam saja ketika Tanti memeluknya. Tapi ia merasa trenyuh melihat tangis Tanti.
Ditatapnya wanita cantik walau sudah tidak muda lagi itu lekat-lekat. Ada sesuatu yang membuatnya senang.
“Pasti ia wanita yang baik juga. Apakah dia yang pernah mengatakan .. JADILAH ANAKKU..? Seperti pernah dikatakan bu Tarni kepadanya?”pikir Ayna.
“Oh ya.. Ayna.. dulu kamu memakai ini, lihat.. aku bawakan hijab cantik ini untuk kamu,” kata Tanti.
Tanti kemudian mengeluarkan sehelai hijab, kemudian dipasangkannya di kepala Ayna.
“Tuuh.. kan, kamu benar-benar Ayna.. anakku..” seru Tanti senang.
“Kamu bertambah cantik Win..”
“Riri, aku tidak mengira, kamulah yang merawat Ayna.”
“Aku tuh mau kerumah kamu untuk bercerita tentang gadis cantik yang aku temukan, tapi belum kesampaian.”
“Apa dia juga yang sakit ketika kita bertemu dirumah sakit?”
“Iya, dia menunggu diluar, aku takut dia bingung kalau dia menunggu didalam karena banyak orang.”
“Ya ampuun.. aku sudah hampir ketemu dia sebetulnya..”
“Alloh mengaturnya seperti ini Tan.. Nanti lain kali aku akan kerumah kamu untuk bercerita banyak.”
“Iya aku menunggu kamu. Tadi mas Danang sudah cerita sedikit tentang pertemuan kamu dengan Ayna. Untunglah bukan orang jahat yang menemukannya.”
“Ia ditakdirkan menjadi anak aku juga,” kata bu Tarni.
“Iya benar.. memang harus begitu jalannya.”
“Sungguh menyenangkan akhirnya Ayna bisa ketemu keluarganya.”
“Ayna, nanti kamu akan pulang kerumah ibu kan?” tanya Tanti.
Ayna tampak bingung, ia menatap bu Tarni, mohon pendapatnya.
“Win.. kamu akan pulang ke rumah bu Danang.. atau bu Tanti ini. Tapi sekali-sekali kamu harus mengunjungi ibumu yang tukang warung ini, karena kamu juga anakku.”
Ayna menatap Tanti yang kemudian mengangguk setuju.
“Kamu tukang warung Ri ?”
“Iya, aku hidup dari berjualan nasi dan lauk pauk.. ada soto.. dan macam-macam masakan Jawa.”
“Mas, lain kali kita makan di warungnya Riri ya?”
“Ya, baiklah..” jawab Danang yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan itu.
“Tapi saya akan menunggui dia dulu,” kata Ayna tanpa sungkan sambil menunjuk ke arah Bintang.
“Oh, baiklah.. tungguin saja dia, supaya cepat sembuh,” kata Tanti sambil tertawa.
“Dulu dia juga merawat ibu saya..” kata Ayna lirih.
“Benar.. syukurlah kamu mengingatnya.. Tapi nanti malam kamu pulang ya, besok boleh kesini lagi. Kasihan kalau kamu terus-terusan menunggui dia,” kata Tanti.
“Kalau Ayna menunggu terus disini mbak, Bintang malah tidak akan sembuh-sembuh, soalnya kesenangan ditungguin terus,” kata Nanda bercanda.
“Eeh.. cemburu nih?” seloroh Bulan.
“Enggak ya.. aku kan sudah punya sendiri..” kata Nanda sambil melirik kearah Bulan.
“O.. sudah punya...?”
“Tuh, gantian Bulan yang cemburu nih..” goda Tanti.
“Enggak tante... ngapain cemburu. Nanti ke geer an dia..”
“Keponakan kamu itu cantik Tanti, kalau Rio belum punya pacar saya mau mengambilnya sebagai menantu,” sela bu Tarni sambil tersenyum.
“Tuh, aku sudah ada yang mau mengambil menantu kan?” kata Bulan sambil tertawa.
“Ini anakku .. namanya Rio...” kata bu Tarni. Rio tersenyum tersipu, dan Bulan kemudian juga mengangguk kearahnya.”
Nanda menatapnya, sedikit cemburu.
***
Ketika Handoko dan Palupi mau pulang, Nanda memaksa agar Bulan pulang bersamanya.
“Bulan akan pulang bersama saya om.. ibu Palupi mengijinkan kok..” kata Nanda berseloroh, padahal dia belum bilang apa-apa.
Palupi tersenyum lucu.
“Iya, ibu tahu kok .. kamu sukanya maksa..” kata Palupi .
“Tuuh.. benar kata ibu..”
Tapi Nanda pura-pura tak mendengar, ia tetap menarik Bulan untuk diajaknya pulang bersama.
Handoko dan Palupi hanya geleng-geleng kepala.
“Bin, apa kamu perlu ditemani malam ini? Kalau perlu biar bapak nanti kembali kemari,” kata Handoko.
“Tidak pak, saya sendiri tidak apa-apa, katanya sambil melirik kearah Ayna.
“Ayna tidak akan tidur disini, nanti ibu Tanti nya marah,” kata Palupi.
“Iya, Bintang tahu.”
“Biar nanti Ayna pulang bersama saya mas,” kata Danang.
Pertemuan itu membuahkan suasana yang tiba-tiba terasa sangat manis. Sinar bahagia tampak pada tatapan setiap mata. Ayna mulai menyadari bahwa ia pernah dekat dengan mereka, walau belum sepenuhnya ingat.
***
“Temani aku makan ya,” kata Nanda ketika dalam perjalanan mengantarkan Bulan.
“Padahal aku nggak lapar tuh..”
“Ya nggak apa-apa, kan aku cuma mau ditemani.”
“Kok tiba-tiba ramah sama aku sih? Ada apa nih ?”
“Enak aja, kan aku selamanya ramah sama kamu? Baik.. menjaga.. melindungi..”
Bulan tertawa..
“Itu benar kan ?”
“Bukan karena pelarian ?”
“Pelarian apa nih?”
“Melepaskan Ayna untuk mas Bintang, lalu larinya ke aku..”
“Yee.. kapan aku bilang suka sama Ayna? Dari dulu aku tidak bilang suka, masa kamu lupa? Dia itu hanya teman baik, dekat, akrab..”
“Sokur-sokur bisa didapat.. gitu kan?"
“Eeh.. cemburu ya?” ledek Nanda.
“Siapa cemburu.. ogah..”
“Aku yang cemburu nih..”
“Oh ya, cemburu sama siapa?”
“Kamu tuh tadi mau dijodohin sama anaknya bu Riri..”
“Ooh, ternyata mas Nanda ndengerin juga ? Cakep lho dia..”
“Ah, masih cakep aku, ganteng aku.... lihat dong baik-baik..”
“Sok ganteng.. sok cakep..”
“Benar tidak ?”
“Nggak tuh...”
“Jangan suka membohongi diri sendiri.”
“Ini lagi ngomongin apa sih? Ngaco akhirnya..”
Nanda menghentikan mobilnya didepan sebuah rumah makan. Bulan tak pernah bisa menolak. Entah mengapa.
Ia juga membiarkan ketika Nanda menggandeng tangannya masuk kedalam rumah makan itu.
“Kok kita seperti orang pacaran ya?” kata Bulan begitu mereka duduk.
“Memangnya tidak boleh, kita pacaran?”
“Ini bukan karena pelarian bener ya?”
“Ya ampun Bulan.. dari tadi bilang pelarian.. pelarian terus..”
“Biasanya kalau orang gagal mendapatkan yang satu, lalu mencari yang lain untuk pelarian.”
“Pinter... tapi salah.”
“Salah ?”
“Tunggu, aku mau pesan makanan dulu. Kamu mau apa?”
“Terserah mas deh.. aku sebenarnya nggak lapar. Mm.. gado-gado saja.”
“Okey, aku ngikutin kamu saja. Minumnya.. ?"
“Aku es jeruk..”
Nanda menuliskan pesanannya dan memberikannya kepada pelayan, sambil membisikkan sesuatu kepada pelayan itu, yang kemudian mengangguk-angguk.
“Pesen apa sih, pakai bisik-bisik begitu ?”
“Ini urusan laki-laki, kamu diam saja.”
Bulan mencibir. Nanda berdebar menatapnya. Ingin sekali dicubitnya bibir itu. Begitu indah dan menggemaskan.
“Apa sih, senyum-senyum ?”
“Kamu manis sekali..”
“Pinter ngrayunya. Belajar dari siapa?”
“Ngerayu saja harus belajar? Naluri dong.. naluri seorang laki-laki.”
“Benarkah ?”
“Tanya saja sama kakak kamu, apakah dia pernah belajar ngerayu..”
Kemudian Bulan tampak diam. Ia heran kepada dirinya sendiri, mengapa ngikut saja ketika Nanda mengajaknya pulang bareng. Ngikut saja ketika Nanda mengajaknya makan bersama, dan dia juga mendiamkannya ketika Nanda menggandengnya.
“Apa yang terjadi pada diri aku?” kata batinnya.
Nanda dan Bulan terdiam selama beberapa sa’at lamanya, sampai ketika pelayan menyajikan pesanan mereka. Tapi Bulan heran, ada setangkai mawar merah terletak di nampan yang berisi makanan itu. Nanda memberikan selembar uang kepada pelayan yang kemudian mengucapkan terima kasih. Bulan menatap heran. Nanda memungut mawar itu, lalu diulurkannya kehadapan Bulan.
“Terimalah bunga ini untuk kamu..”
“Mengapa tiba-tiba ada bunga?”
“Sebagai tanda bahwa aku suka sama kamu. Awas.. jangan bilang ini pelarian. Aku sudah memikirkannya sejak lama.”
Bulan menerima mawar itu dengan gemetar.
“Tanda suka.. dan bukan pelarian..” bisik Bulan.
“Tulus dari dasar hati aku.”
***
Ayna mulai mengenali rumah Tanti seperti sesuatu yang memang pernah dialaminya.
“Ini bukan tempat yang asing. Kamarnya, tata ruangnya, semuanya aku mengenalinya. Jadi benar, aku anak angkat ibu Danang yang sangat baik dan menyayangi aku,” gumamnya ketika beberapa hari lamanya dia berdiam dirumah itu.
“Ini wajahku... benar ini wajahku..” bisiknya ketika menatap wajahnya didepan kaca. Wajah cantik dengan hijab menutupi rambutnya.
Lalu Ayna mulai mengenali dirinya sendiri, gadis yang yatim piatu, yang kemudian dipungut oleh keluarga yang sangat baik seperti keluarga Danang.
“Ayna.. ada tamu tuh, untuk kamu.” Kata Tanti sambil menjenguk kedalam kamar Ayna.
“Tamu? Siapa ibu?”
“Keluarlah, nanti kamu akan tahu,” kata Tanti sambil tersenyum.
Ayna keluar, dan melihat sosok ganteng yang tersenyum manis sedang duduk menghadap kedalam, dan menatapnya dengan pandangan mesra. Aduhai. Ayna terpana. Wajah itu tak pernah dilupakannya, sejak datang kedalam mimpinya.
“Sudah mandi? “
“Sudah. Kok tidak bekerja?”
“Ini hari Minggu.. “
“Oh, Minggu ya..”
“Mau pergi bersama aku ?”
“Kemana ?”
“Bukankah kamu ingin tahu dimana makam ibu kamu?”
Bersambung #15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel