Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 11 Mei 2022

Ayna #15

Cerita Bersambung

“Oh iya.. dimana makam ibuku ?”
“Nanti akan aku tunjukkan.. kamu sudah siap?”

Tiba-tiba Ayna merasa ada yang janggal dengan kedatangan Bintang. Entah mengapa, ia heran. Tak segera beranjak dari tempatnya berdiri, Ayna justru seperti mencari-cari kearah halaman.

“Ada apa?” tanya Bintang heran.
“Mas hanya sendiri ?”
“Ya, memangnya harus sama siapa?”
“Biasanya mas datang berdua..”
“Berdua ?” Bintang mencoba mengingat.
Aduhai.. apakah Ayna teringat bahwa dia dulu selalu datang bersama Nanda?

“Ya.. ada satu lagi.. mas dan...”
“Nanda ?”
“Yaa.. bukankah yang dulu itu ada juga dirumah sakit ? Bukankah setiap kali mas datang selalu bersama dia ?”

Bintang tersenyum senang. Sudah banyak yang diingat Ayna.

“Mana dia ?”
“Ayna.. kali ini aku datang sendiri.”
“Ooh...”
“Kamu kecewa aku datang tanpa Nanda?” tanya Bintang dengan nada ‘sedikit khawatir’.
“Kelihatannya aneh.”
“Tidak, jangan anggap ini aneh.. terkadang orang bisa datang bersama-sama, tapi karena suatu keperluan bisa saja datang sendiri.”

Ayna mengangguk.

“Ayo kita berangkat..”
“Aku pamit sama bapak sama ibu dulu,” kata Ayna sambil melangkah ke belakang.

Bintang termenung.

“Apakah sebenarnya Nanda lah yang diharapkan Ayna? Kalau itu benar maka Bintang bersiap untuk mengalah,” kata batin Bintang.

Ada sebuah harapan yang tiba-tiba seperti retak. Rupanya ia harus menunggu waktu, dimana Ayna akan menentukan, siapa yang akan dipilihnya, dirinya atau Nanda. Atau bahkan tidak dua-duanya. Atau barangkali justru Rio, anak bu Tarni yang lumayan ganteng, yang mengantar Ayna menemuinya.

“Tapi aku mendengar, katanya Rio sudah punya pacar..” gumamnya pelan.
“Ayo mas.. kita berangkat.”

Lamunan Bintang buyar, tapi tidak semua harapannya ambyar. Semuanya belum pasti, jadi dia harus menahan rasa bahagia sampai mimpi itu akan tiba di muara.
***

“Mas Nanda rumahnya dimana ?” tanya Ayna dalam perjalanan.

Tuh kan.. Nanda lagi ditanyakan..

“M.. agak jauh dari sini...” jawabnya sambil tersenyum, untuk menyembunyikan rasa cemburu yang menggigitnya.
“Aku ingat.. dulu kalian sering datang bersama-sama..” gumamnya pelan.
“Ayna.. aku senang kamu bisa mengingatnya..” kata Bintang sambil melirik kearah gadis cantik disampingnya.
“Ada bayangan-bayangan yang sedikit bisa aku ingat. Ya Tuhan... sangat sulit mengingatnya..”
“Kamu sabar ya ..”
“Aku masih sering pusing..”
“Nanti pasti tidak lagi.”
“Tunggu... didepan itu ada sebuah toko.. " sambung Bintang
“Toko ?”
“Ya.. sebentar.. apakah kamu ingat tentang toko itu...”
“Toko apa?”
“Dia menjual beras.. gula.. sabun.. banyak barang dagangannya.. sebentar.. tuh.. didepan.. yang ada pohon talok didepannya..”

Bintang melambatkan laju mobilnya. Ia melewati toko pak Yoga, dimana dulu Ayna bekerja disana. Lalu Bintang menghentikannya sejenak.

“Kamu ingat tempat itu ?”

Ayna menatap lekat kearah toko. Ada dua orang wanita melayani pembeli.. dan seorang laki-laki membantu mengambilkan barang-barang.

“Aku.. lupa-lupa ingat...”
“Kamu dulu bekerja disitu..”
“Aku.. bekerja disitu ?”
“Mau mampir kesitu sebentar ? Barangkali lebih menambah ingatan kamu..”

Ayna mengangguk. Bintang memarkir mobilnya, lalu membantu Ayna turun. Bintang menggandeng tangan Ayna, melangkah menuju toko.
Begitu sampai didepan etalase, semua orang yang ada didalam berteriak.

“Aynaaaaa !!”

Ayna terpaku ditempatnya. Ditatapnya teman-teman lamanya satu persatu.

“Ingat mereka?”

Teriakan para pegawai toko itu membuat pak Yoga yang ada didalam ruangannya segera berdiri dan keluar kearah toko. Ia berteriak melihat Ayna.

“Aynaaaa !!”

Ayna seperti bingung.

“Ayna, itu teman-teman kamu ketika kamu bekerja. Dan ini....”
“Ayna.. aku pak Yoga,, kamu lupa ?”

Ayna menatap mata tua yang tampak teduh itu dengan perasaan mengharu biru.

“Ayna...” pak Yoga memanggilnya lagi.”
“Ayna sedang mengingat-ingat masa lalunya pak.”

Pak Yoga sudah mendengar dari Bimo bahwa Ayna sudah kembali, tapi menderita amnesia. Ia senang hari itu Ayna datang.

“Iya.. iya.. aku mengerti. Kalau begitu ayo ajak dia masuk, barangkali banyak barang-barang yang bisa membuatnya teringat sesuatu,” kata pak Yoga ramah.

Bintang mengangguk, lalu menggandeng Ayna masuk kedalam, melalui samping toko.

“Ayna.. ini dulu menjadi meja kerja kamu, ketika kamu mencatat barang-barang dan menulis laporan..” Pak Yoga menunjukkan meja kerja Ayna. Lalu Ayna duduk dikursi yang ada didepan meja itu.
“Lihat.. didepan meja itu ada foto kamu bersama teman-teman kamu. Itu foto ketika kita merayakan ulang tahun berdirinya toko ini, tahun lalu.”

Ayna meraih sebuah pigura berisi foto. Ia melihat wajah dirinya, wajah pak Yoga dan teman-temannya.
Ayna tersenyum. Ia tampak tertawa bahagia diantara teman-temannya yang juga tertawa didalam foto itu, Sebuah ingatan melintas.. lalu ia berdiri.. dan berjalan agak masuk kedalam, lalu mengetuk sebuah pintu.

“Saya sering mengetuk pintu ini..” desisnya.
“Ini ruanganku. Kamu masuk kemari setiap kali membuat laporan, atau setiap kali aku memanggil kamu untuk melakukan sesuatu,” kata pak Yoga.

Ayna mengangguk tersenyum. Lalu ia meraih tangan pak Yoga dan menciumnya. Ia juga menyalami teman-temannya.

“Ayna.. kamu masih cantik seperti dulu..” kata salah seorang teman yang disusul kata-kata setuju oleh yang lain.

Ayna merasa sedang menemukan sesuatu yang hilang. Ia kembali kemeja yang katanya adalah meja kerjanya.

“Terakhir kali kamu berada ditoko ini, ialah ketika kamu baru saja menerima gaji, tapi kamu lupa membawanya. Aku berteriak memanggil kamu karena amplop gaji kamu masih tertinggal dimeja. Ketika itu kamu sudah berjalan jauh.. agak jauh kearah sana. Lalu kamu kembali untuk mengambil uang itu. “

Ayna seperti mengingat-ingat.

“Setelah itu lalu terbetik kabar bahwa kamu menghilang. Dan ada yang mengatakan bahwa kamu tertimpa kecelakaan.”

Tiba-tiba Ayna setengah berlari keluar dari toko, berjalan kearah selatan. Bintang mengejarnya.

“Ayna.. !! Mau kemana kamu ?” teriak Bintang.

Dilihatnya Ayna berdiri ditepi jalan.. menatap kearah jalanan..”

“Aku merasa.. dijalan itu ada benda keras menghantam kepalaku..” bisik Ayna.
“Ya.. bagus Ayna, itu benar, sebuah mobil menabrak kamu. Kamu ingin menyeberang ketika itu? Dan tidak melihat jalan ?” tanya Bintang.
“Aku sedang ketakutan.. aku melihat sesuatu.. “ lalu Ayna memegang kepalanya.

Bintang merengkuhnya kedalam pelukan.

“Pak, kami permisi dulu, barangkali sudah banyak yang diingat Ayna, biarkan dia tenang dulu,” kata Bintang kepada pak Yoga yang mengikuti mereka sampai ketepi jalan.
“Benar nak, dia sudah banyak mengingatnya. Aku berharap dia segera pulih.”

Bintang mengangguk, lalu menuntun Ayna masuk kedalam mobilnya.
***

“Tanti... apa kabar kamu? Duuh, bahagia ya, anak kamu sudah pulang..” seru Widi ketika mengunjungi Tanti.

“Iya Wid, aku bersyukur sekali, akhirnya dia kembali. Tapi ya itu..keadaannya masih belum pulih. Banyak yang dia lupa. Tapi banyak juga yang sudah diingatnya.”
“Kasihan, dia amnesia..”
“Iya Wid.. tapi sedikit-sedikit sudah banyak yang diingatnya.”
“Mana dia, coba kalau sama aku masih ingat nggak ?”
“Ini dia lagi pergi sama Bintang..”
“Wooow... sudah dekat sama Bintang ya?”
“Pertama kali yang diingatnya adalah Bintang. Walau belum ingat dia itu siapa.. “
“Iya, aku dengar ada yang mengantar ketika Bintang dirumah sakit.”
“Iya, namanya Rio.. Rio itu anaknya Riri...”
“Rio..? Aku seperti kenal nama itu.. Rio siapa Tan?”
“Waduh, aku nggak nanya kepanjangannya. “
“Pacarnya Arsi juga namanya Rio...”
“Oh ya? Kata Riri, Rio itu bekerja di Jakarta.”
“Iya benar. Duuh.. jangan-jangan bener Rio anaknya Riri..”
“Nggak apa-apa lah Wid, seandainya benar. Aku sudah melihat dia ketika dirumah sakit, anaknya ganteng, santun.. “
“Nanti aku mau tanya dia. Sekarang Arsi lagi pergi sama Rio. Dia pulang kemarin, katanya nanti sore sudah mau kembali ke Jakarta.”
“Bagus lah Wid, sebentar lagi mantu ya..”
“Ah, nunggu kalau Arsi selesai lah, tangung, semoga tahun depan.”
“Aamiin.”
“Kamu tampak segar, sudah selesai ngidamnya ya?”
“Lumayan, sudah doyan makan banyak dan tidak mual karena bau masakan. Aku sudah masak sendiri lho. Kasihan ibu kalau aku dilayani terus.”
“Syukurlah. Tapi aku bawa lotis untuk kamu.”
“Kalau itu aku tetep mau... terimakasih banyak Widi..”
“Perut kamu sudah tampak membuncit lho..”
“Iya nih.. makan melulu..”
“Bukan karena makan, karena anak kamu tumbuh semakin besar..”
“Iya benar.”
“Kelihatannya Ayna dekat sama Bintang? “
“Entahlah, tadi Ayna bilang mau ke makam ibunya.. Bintang yang mengantarnya.”
“Oh.. baguslah, semoga semakin banyak yang diingatnya.”
“Nah, ini ada Widi.. bagaimana kalau kita ajak dia makan diwarungnya Riri?” kata Danang yang tiba-tiba muncul.
“Oh iya... aku lupa bilang, hari ini kami omau makan di warungnya Riri.”
“Dia punya warung makan?”
“Iya, kami ingin mencobanya. Sekarang mas?”
“Iya, aku sudah siap. Mau ya Wid ?”
***

“Ibu.. kenalkan.. ini namanya Arsi..” kata Rio memperkenalkan pacarnya.
“Oh.. cantiknya.. Ibu sudah sering mendengar nama kamu, tapi baru kali ini melihat.,” kata bu Tarni ramah.

Arsi mengulurkan tangannya, lalu mencium tangan bu Tarni

“Ya inilah rumahnya Rio nak, kecil.. karena sebagian dipakai untuk warung makan.”
“Iya bu, kecil tapi nyaman.”
“Rio, ajak nak Arsi makan, di warung kan ada banyak pilihan.”
“Iya Ar, mau makan disini ?”
“Nanti saja, kan baru minum es kelapa muda, jadi masih kenyang.”
“Baiklah, terserah kamu saja.”

Tiba-tiba salah seorang pegawai warung datang.

“Ibu, ada tamu..”
“Siapa? “
“Ada tiga orang, dua wanita dan satu laki-laki.”
“Mengapa tidak disuruh kerumah?”
“Mereka tidak mau bu, katanya ingin makan di warung.”

Bu Tarni bergegas menuju warung, diikuti Rio dan Arsi.

“Riri... aku mau gudeg sambel goreng ya..” teriak Tanti begitu melihat bu Tarni datang.

Tapi kemudian Tanti terkejut, juga Widi dan Danang.

“Arsi ? Kamu disini ? “ seru mereka bersamaan.

Arsi tersenyum.

“Iya.. belum lama. Kok ibu juga bisa datang kemari?”
“Ya ampun Widi... benar kan kataku. Ini Rio anaknya Riri.” kata Tanti.
“Ini bagaimana, aku bingung.”
“Riri, kamu ingat Widi kan? Yang menikah bareng aku waktu itu? Arsi itu anaknya Widi.”
“Ya ampuun.. iya aku ingat, kan aku datang ketika kalian semua menikah. Jadi Arsi ini anak kamu?”
“Yaa ampuun.. dunia tidak begitu lebar rupanya.”
“Baguslah, ayo kalian mau makan apa, kita ngobrol sambil makan, ayuk.. nak Arsi.. Rio.. kok bengong.. beri salam kepada tamu-tamu kita .”

Rio mendekati mereka dan menyalaminya satu persatu.
***

“Mana Bintang? Kok sepi ?” tanya Nanda ketika datang kerumah keluarga Handoko.
“Pergi, sudah dari tadi.”
“Ke rumah mas Danang ?”
“Iya ‘kali. Kenapa? Cemburu ?”
“Yee.. dari kemarin-kemarin bilang begitu. Nggak ah, aku lebih suka kalau dia nggak ada, lebih gampang nyomot adiknya.”
“Enak aja, nyomot orang seenaknya.”
“Yang penting kan yang dicomot itu mau..”
“Nggak, aku nggak mau..”
“Ya sudah, kalau begitu aku pulang saja..”
“Ya sudah, pulang saja sana..”
“Ibu..... Nanda diusir nih bu...” teriak Nanda sambil melongok kedalam rumah.
“Mentang-mentang punya ibu Palupi..”
“Ada apa ini..? Nanda.. sudah lama ?” tanya Palupi yang kemudian keluar dari dalam.
“Baru datang bu, Bulan sudah mengusir saya nih..”
“Bulan.. jangan galak-galak dong..”
“Iya, sama pacar galak bener nih bu..”
“Yeee... pacar siapa?”
“Bu, boleh nggak Nanda pacaran sama Bulan ?”
“Boleh saja, asalkan dia dijaga dengan baik.”
“Horeeee...”

Palupi tertawa.

“Nanda itu sukanya maksa.. tapi dia baik kok..”

Bulan mencibir.

“Bu, boleh ya Nanda ajak Bulan jalan-jalan?”
“Boleh saja, pulangnya jangan sampai sore, nanti kita mau ke rumah Danang. Tapi kalau kalian mau menyusul kesana ya nggak apa-apa.”
“Iya bu, gampang. Yang penting sekarang Nanda boleh ngajakin Bulan.”

Palupi tersenyum. Ia tahu Bulan tak akan menolak.
***

Bintang menggandeng Ayna memasuki area makam dimana ibunya Ayna dimakamkan. Ayna mulai merasakan seperti mengenal tempat itu, mengenal gundukan tanah penuh bunga, dan aroma khas yang merebak.. banyak orang datang.. dan dia menangis meratap disana..

“Itu.. itu kan ?”

Bintang mengangguk, Ayna mengenali makam ibunya, biarpun tidak lagi berupa gundukan tanah penuh bunga.
Ayna menjatuhkan tubuhnya didekat pusara .. mencengkeram pusara itu dan kembali menangis haru.

“Ibu.. aku menemukanmu.. aku rindu ibu.. “

Bintang ikut duduk disitu, terpekur dan melantunkan do’a. Ia ingat dulu dialah yang merawatnya. Didiamkannya Ayna melepas rindunya kepada ibunya, walau hanya berupa pusara yang bisu.

“Dimana ayahku ? Dimana makam ayahku?”
“Aku tidak tahu Ayna, yang aku tahu bahwa kamu kemudian tinggal bersama ayah tiri kamu.”
“Ayah tiri aku?”
“Aku punya fotonya ketika kita masih berada dimakam.”

Bintang mengambil ponselnya, mencarikan gambar Ayna bersama ayah tirinya yang sedang bersalaman dengan para pelayat.

“Ini ? Disamping aku ini? Bukankah dia...”
“Dialah ayah tiri kamu..”
“Tidaaaaak...” tiba-tiba Ayna berteriak.

==========
Ayna mundur kebelakang, ponsel Bintang dijatuhkannya ke tanah.

“Ayna...” Bintang mengambil ponselnya yang untungnya tidak pecah, lalu direngkuhnya Ayna.
“Aku tidak mau... aku tidak mau dia.. dia.. aku benci dia...”
“Baiklah.. baiklah.. kamu tenang ya... ayo duduk sebentar disini, tenang Ayna.”
“Dia itu jahat.. jahat sekali.. aku tidak mau..”
“Benar, dia jahat.. dia sudah mendapat hukumannya. Dia tidak akan mengganggu kamu lagi.”

Ayna menatap Bintang, seakan bertanya, benarkah laki-laki yang dibencinya itu tak akan mengganggunya lagi?

“Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Kamu berada di tempat yang aman. Diantara keluarga yang menyayangi kamu,” katanya sambil mengelus kepala Ayna.

Ayna menengadah, menatap langit,

“Adakah kamu mengingat sesuatu?”
“Sangat menakutkan...Dia sakit.. aku mendekat.. lalu dia memeluk aku... aku menjerit-jerit..”

Bintang mengangguk-angguk..

“Lalu....?”
“Aku sudah memutuskan untuk mati kalau dia memaksa aku.. Aku terus meronta.. lalu dia datang .. “
“Dia?”
“Mas Nanda... menarik aku keluar, menenangkan aku..”
“Astaga, hanya Nanda yang diingatnya? Sedangkan aku yang hampir menghajar si tua itu tidak?” kata hati Bintang. Tapi dia terus bersyukur, Ayna mengingat semuanya.

Bintang terus menatap Ayna tak berkedip.. Wajah cantik itu tampak kuyup oleh derita. Bening matanya tersapu genangan air bening yang tak henti-hentinya mengalir.
Bintang menarik sapu tangan dari dalam sakunya, mengusap wajahnya dengan lembut.

“Semua sudah berlalu bukan ?”
“Tidak.. ia masih mengejarku.. ia meminta aku pulang, aku menolak.”

Ayna ingat, ketika itu kebetulan Tanti lewat, dan menyelamatkannya. Ayna tidak lupa, ia mengatakannya dengan jelas.
Bintang terus mengangguk-angguk.

"Ketika itu.. aku melihatnya lagi didepan toko, aku lari menyeberang, tapi aku tertabrak sesuatu. Aku tak ingat apapun.”

Kemudian Bintang mengerti, mengapa Sarjono mengetahui kalau Ayna kecelakaan. Rupanya memang Ayna melihatnya lalu berusaha kabur. Sayang kemudian Ayna mengalami kecelakaan. Betapa jahatnya Sarjono. Melihat Ayna tertabrak mobil, dia memeras si penabrak dengan alasan harus merawat dan mengobati Ayna, tapi kemudian membawa Ayna pergi, dan yang lebih gila, dia mengganti nama Ayna dengan Winarni, lalu nama itu tertanam terus selama Ayna masih amnesia.

“Ketika aku sadar, dia mengatakan bahwa aku isterinya... Ia membawa aku kesebuah rumah sakit lain, dan temannya yang bernama Sumar setiap hari mengunjungi aku dirumah sakit itu. Lalu.. hari itu.. laki-laki yang mengaku suami aku itu ingin mengajak aku pergi dari rumah sakit, lalu aku kabur..”

Ayna kembali terisak.
Bintang tak tega membiarkannya. Ia merengkuhnya dan memeluknya erat.

“Ayna, kamu ditemukan oleh orang-orang baik. Sekarang kamu berada ditengah-tengah keluarga yang menyayangi kamu.”
“Aku mau ketemu dia..”
“Siapa ?”
“Dia.. yang menyelamatkan aku..”

Bintang menelan ludah, menahan gejolak cemburu yang kembali mengiris perlahan.

“Nanda ?”
“Mengapa dia tidak lagi datang menemui aku ?”
“Dia...” hampir saja Bintang mengatakan bahwa Nanda sedang pacaran dengan adiknya, tapi diurungkannya. Kalau itu dilakukan maka kelihatan benar bahwa dia cemburu, sirik, .. tidak.. itu bukan dirinya.

“Jauhkah rumahnya?”
“O.. mm.. ya.. lumayan.. Kamu mau kesana ?”
“Aku mau...” kata Ayna sambil mengangguk.

Tuh kan...?

“Baiklah, sekarang ayo kita berdo’a lagi untuk almarhumah ibu, lalu kita jalan, kemanapun kamu mau.”

Ayna mengangguk. Ia dan Bintang kembali bersimpuh dihadapan pusara sang ibu, menundukkan kepala, melantunkan do'a. Dan segumpal do’a membubung terbawa angin. Barangkali akan sampai diatas sana, dan Sang Maha Pencipta mendengarnya. Terik matahari siang itu tak lagi terasa membakar. Yang ada hanya kesejukan.
Keduanya meninggalkan makam itu dengan bergandengan tangan. Bintang tak tahu, apakah dia akan terus bisa menggandengnya, ataukah nanti ada tangan lain yang bisa lebih erat menggenggamnya, dan yang bisa menaungi hati sang cantik yang baru saja mengurai segala dukanya. Aduhai..
***

“Ibu Mirah...” Bintang berteriak ketika melihat bu Mirah hampir menutup pintu rumahnya.
“Mas Bintang?” sambutnya riang.
“Kok mau ditutup pintunya bu?”
“Iya mas, habisnya semua pada pergi. Ibu lagi dibelakang, jadi sebaiknya ditutup saja pintunya. Ini Ayna kan ?”

Ayna mendekat dan mencium tangan bu Mirah.

“Ayna ingin ketemu Nanda.”
“Waduh, Nanda pergi sudah dari tadi tuh. Bukan kerumah mas Bintang?”
“Saya juga tidak tahu bu, saya pergi sudah dari pagi juga.”
“Ya sudah, nggak apa-apa, duduklah, ibu juga kangen sama mas Bintang. Ketika sakit nggak bisa bezoek, karena kebetulan ada beberapa pesanan yang sangat menyita waktu, sehingga tidak bisa pergi kemana-mana.”
“Tidak apa-apa bu, cuma sakit sedikit..”
“Syukurlah, sudah kelihatan sehat. Ayna apa kabar?”
“Saya baik bu.”
“Iya, ibu lihat wajahnya sangat bersih dan berseri.. ibu yakin ini wajah yang sangat sehat. Ibu senang nak.”
“Iya bu.”
“Pak Pri kemana bu?”
“Biasa mas, banyak barang-barang habis, dia belanja .”
“Sendiri ?”
“Sama salah seorang pegawai. Duduklah dulu, ibu buatkan minum ya, tapi nanti ibu tinggal memasak dibelakang ya, ada pesanan yang harus dikirim sore nanti,” kata bu Mirah sambil beranjak kebelakang.
“Ya ibu Mirah, biar saya menunggu Nanda bersama Ayna.”
“Mas Nanda kemana ?” Ayna kembali bertanya.
“Pergi dari tadi, kata ibunya. Biar aku menelponnya ya?”

Ayna mengangguk.
***

Nanda sedang duduk disebuah taman, sambil menikmati es krim yang baru saja dibelinya. Bulan sangat suka es krim, tapi Nanda ingin makannya ditempat yang tidak terlalu banyak orang.

“Kalau sepi begini kan enak. Dunia seperti milik kita berdua..” celetuk Nanda.
“Orang lain ngontrak ya ?”

Nanda terbahak. Berdua sama Bulan selalu terasa nyaman. Canda yang diumpankannya selalu nyambung.

“Kapan kuliah kamu selesai?”
“Sebentar lagi. Lagi ngerjain tugas akhir.”
“Baguslah..”
“Memangnya kenapa?”
“Aku mau segera melamar kamu.”
“Wauw.. serius nih? Belum tentu juga aku mau menerima.”
“Yang benar..?”
“Iya, itu benar,” kata Bulan sambil terus mengecap-ngecap es krim yang masih dipegang ditangannya.
“Aku ngelamarnya sama ibu Palupi, bukan sama kamu. Kalau ibu mengijinkan, masa kamu mau menolak?”
“Bagaimana kalau aku sudah punya pacar?”
“Nggak, aku nggak percaya..”
“Kok nggak percaya sih..”
“Kalau kamu sudah punya pacar, nggak mungkin kamu mau sering-sering jalan sama aku. Itu selingkuh namanya. Tahu?”
“Kata orang selingkuh itu nikmat..”
“Kamu jahat ya..”

Bulan tertawa, sampai tersedak-sedak..

“Uhukkkckk.. uhuckkk..”
“Tuh kan... awas .. ini ada air putih botol.. ayo diminum dulu..” kata Nanda sambil menepuk-nepuk punggung Bulan.

Bulan meneguknya, lalu masih tertawa ketika mengulurkan kembali botol minum itu kearah Nanda.

“Ma’af ya mas.. aku jahat...” katanya.
“Hm.. bercanda kan kata ma’af itu?”
“Nggak, sungguh... nih, gara-gara nggak serius aku jadi tersedak.”

Nanda tersenyum. Wajah Bulan memerah karena terbatuk-batuk. Tapi kecantikan itu seperti tak pernah pudar. Nanda menatapnya tanpa bosan.

“Bulan, ketika aku mengatakan suka sama kamu, itu aku serius. Bukannya bercanda,” bisik nya lembut.
“Iya, aku tahu..”
“Kalau tahu, lalu bagaimana ?”
“Apanya ?”
“Kamu suka nggak sih sama aku?”

Bulan menatap kearah pepohonan yang ada disekitar taman. Gemersik daun karena tiupan angin, terdengar bagai sebuah nyanyian. Manis dan sangat merdu. Lalu Bulan bertanya, nyanyian itu apakah datang dari gemersik daun-daun, atau dari bibir laki-laki ganteng yang dengan nekat bilang menyukainya?

Tapi sungguh, Bulan tak ingin menolaknya. Nanda sangat ganteng, baik, dan ia yakin bahwa laki-laki itu benar menyayanginya.

“Jawab dong Bulan..” bisik Nanda lembut.
“Iya...”
“Iya apa?”
“Pertanyaannya apa sih ?”
“Bulan, aku cinta kamu...” kata Nanda ditelinga Bulan, membuat Bulan tersipu. 
Ketika kata suka diganti cinta, maka kemudian aromanya jadi berbeda. Ini lebih dalam menusuk ke dasar hati.
Mata Bulan membulat, menatap Nanda tak berkedip, bagai sepasang bintang hadir kesiangan karena panas lagi terik.

“Katakan sejujurnya kalau kamu menolaknya.” Kata Nanda sambil menyibakkan anak rambut Bulan yang tergerai menutupi dahi karena angin nakal mempermainkannya.

Ini sebuah pertanyaan serius, dan Bulan tak ingin bercanda. Mata bintangnya berkejap karena Nanda juga menatapnya tajam.

“Nanti kalau sampai dirumah, bilang pada ibu. Kalau ibu suka, aku juga suka,” kata Bulan sambil tersenyum.

Ia mengatakan itu karena ia tahu bahwa ibunya juga sangat menyayangi Nanda. Ia yakin ibunya tak akan menolak. Lalu apa susahnya menuruti kata ibunya kalau memang hati juga bertaut?
Nanda hampir menjawab seloroh Bulan, ketika ponselnya berdering.

“Ada apa? Duuh,, ngapain sih mengganggu saja?” omelnya ketika tahu bahwa Bintang yang menelponnya.
“Aku menelpon dari tadi, mengapa baru dijawab?”
“Benarkah? Ma’af sobat, kan aku lagi sibuk, jadi tidak mendengar.”
“Memangnya lagi sibuk apaan?”
“Pacaran lah.. apa lagi?”
“Nanda.. dengar, ada yang ingin bertemu kamu.”
“Siapa ingin bertemu aku?”
“Ayna..” kata Bintang sedikit kesal.
“Ayna ? Memangnya kenapa?”
“Aku nggak tahu, ini kami lagi bersama ibu Mirah.”
“Baiklah, aku segera pulang,” kata Nanda lalu menup ponselnya.
“Tuh kan.. bingung karena ada yang ingin ketemu ,” ledek Bulan sedikit cemburu.
“Pasti ada sesuatu, jangan cemberut dong.”
“Nggak, siapa cemberut?”
“Ayo kerumah dulu, mereka ada dirumahku.”
“Aku pulang saja...”
“Jangan begitu Bulan, nanti aku antar, tapi kita kerumah dulu.” Nanda menarik tangannya, dan Bulan tak bisa menolak. Ada rasa cemburu ketika ia mendengar bahwa Ayna ingin bertemu Nanda. Ia tak ingin ikut, tapi ia juga ingin tahu apa yang diinginkan gadis yang menurutnya masih amnesia itu.
***

Bintang mengajak Ayna ngobrol.. bercerita tentang masa lalu Ayna, dan Bintang sangat lega karena Ayna sudah banyak mengingatnya.

“Ingatan kamu sudah sangat bagus Ayna.. senang aku mendengar kamu banyak menangkap apa yang aku ceritakan.”
“Tapi aku masih bingung..”
“Apa yang membuat kamu bingung ?”
“Mengapa mas Bintang tidak datang bersama mas Nanda?”

Aduhai... itu lagi? Bintang menghirup nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Rupanya Ayna sangat terkesan dengan Nanda, ketika ia menyelamatkannya dari nafsu setan bapak tirinya. Atau ada perasaan yang lain? Pemikiran yang terakhir ini membuatnya sedikit risau. Benar, dia sudah meyakinkan dirinya bahwa dia akan rela apabila Ayna bersama Nanda, tapi Bintang juga manusia. Terkadang sangat berat melepaskan sesuatu yang disayanginya.

“Aku ingat, mas Bintang selalu datang bersama mas Nanda. Pernah bersama-sama memberi aku bunga disebuah rumah makan..”
“Haaa... kamu juga ingat itu?”
“Aku mengingatnya..” kata Ayna sambil menoleh kearah jalan.”

Bintang menatap Ayna dan polahnya yang tampak gelisah. Rupanya kedatangannya yang sendiri tanpa Nanda membuat Ayna bertanya-tanya. Dan pertanyaan itu akan terus dibawanya sampai barangkali kalau Nanda sudah datang. Mungkin bersama Bulan. Akan cemburukah Ayna menyaksikan kedekatan Nanda dan Bulan ?
Ketika sebuah mobil memasuki halaman, Ayna segera berdiri. Bintang mengikutinya ketika Ayna turun dari teras.
Nanda turun dengan diikuti Bulan. Dan begitu melihat Nanda, Ayna lalu memburunya lalu memeluknya erat. Bulan terpana, Bintang memalingkan muka. Ayna bahkan tidak pernah memeluknya, kecuali dia yang memeluknya lebih dulu. Itu ketika dia sedang menenangkannya.
Nanda sedikit gugup Ia melirik kearah Bulan yang kemudian juga memalingkan muka.

“Ayna.. ada apa?" Hanya itu yang dikatakan Nanda.
“Mas Nanda, mengapa mas Nanda tidak datang bersama mas Bintang?”
“Oh.. itu.. ayolah duduk dulu dan bicara..”

Ayna mengikuti Nanda , lalu semuanya duduk di teras.
Nanda masih tampak gugup melihat sikap Ayna.

“Ada apa sebenarnya?” Nanda menatap Bintang.
“Nda, rupanya, Ayna sangat heran ketika aku datang tanpa kamu. Yang diingatnya ialah bahwa ketika itu kita selalu datang untuk Ayna bersama-sama. Selalu begitu. Dan tadi ketika aku datang sendiri, yang pertama kali diingatnya adalah kamu. Mengapa kamu tidak datang bersama aku.”
“Apa mas Nanda marah sama aku ? Aku berhutang nyawa pada mas Nanda, jangan marah sama Ayna..”
“Oh, ya ampuun.. tidak Ayna, aku tidak marah sama kamu. Dengar, aku dan Bintang punya kesibukan masing-masing. Jadi tidak bisa selalu datang bersama-sama. Kamu mengerti?”

Mendengar percakapan itu, baik Bintang maupun Nanda merasa sedikit lega. Rupanya Ayna belum sepenuhnya bisa mengerti dan menerima apa yang terjadi.
***

“Ibu, bolehkah saya pergi sebentar ?”
“Kemana Ayna ?”
“Hanya ingin jalan-jalan, ibu.”
“Baiklah, jangan jauh-jauh ya. Bawa ponsel kamu yang kemarin dibelikan bapak, kalau ada apa-apa, kamu telpon ibu atau bapak.”
“Baik bu.”

Ayna keluar rumah, membawa sebuah tas kecil berisi dompet dan sedikit uang. Ia senang ayah angkatnya membelikannya ponsel yang sekarang juga dibawanya.
Ayna memanggil taksi, ia ingin pergi ke makam ibunya. Ia merasa disana akan bisa menemukan ketenangan dan memulihkan semua ingatannya. Ia tidak lupa nama makam itu, dan juga tempatnya.
Memang benar sudah banyak yang diingatnya, tapi masih banyak yang membuatnya bingung, termasuk ketika melihat Bintang tidak datang bersama Nanda. Dan ia masih merasa bahwa Nanda lah yang telah menyelamatkannya dari nafsu setan ayah tirinya.
Wajah Ayna muram, ia berjanji akan mengadukan semuanya didepan makam ibunya.

Taksi itu berhenti tepat didepan makam. Ayna berjalan dengan langkah ringan. Beberapa langkah lagi ia akan sampai, tapi dilihatnya seorang laki-laki berjongkok disana. Jantung Ayna serasa berhenti berdetak. Ia kenal laki-laki itu, dan serta merta ia membalikkan tubuhnya lalu berlari.

“Aynaa!!”

Panggilan itu membuatnya gugup, sehingga kakinya tersandung batu dan ia jatuh tertelungkup.

Bersambung #16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER