Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 12 Mei 2022

Ayna #16

Cerita Bersambung

Ayna meringis kesakitan. Kepalanya terantuk salah satu batu nisan yang ada didekatnya, lututnya seperti terluka.
Ia memegangi kepalanya.. lalu tiba-tiba sebuah panggilan mengejutkannya kembali.

“Ayna.”
S SD
Ayna bangkit, laki-laki itu ingin membantunya berdiri, tapi Ayna menepiskannya dengan sengit. Tiba-tiba hal buruk yang pernah dilakukan laki-laki itu kembali melintas. Kemarahannya memuncak. Tanpa menghiraukan rasa sakit di lutut dan pening kepalanya, ia bangkit, dan menuding laki-laki itu dengan mata bagai menyiratkan bara.

“Manusia jahat ! Kamu apakah bukan manusia? Apakah segala kebaikan dan kasih sayang yang tulus dari ibuku tidak pernah membuat kamu mengingatnya kembali? Terkutuk kamu! Enyah ! Ya Tuhan, bukankah kamu dipenjara ? Tak mungkin kamu bebas secepat ini.”
“Ayna.. Ayna.. ma’afkanlah aku..”
“Ma’af ? Apakah kata ma’af itu cukup bisa menghapus kelakuan busuk kamu? Enyah dari sini atau aku melaporkannya pada polisi.”

Lalu Ayna heran kepada dirinya sendiri, karena bisa mengucapkan semua itu dihadapan bekas ayah tirinya.

“Ayna.. aku memang lari dari penjara. Hanya karena ingin pergi ke makan ibu kamu, dan memohon ma’afnya..” katanya pilu.

Ayna memegangi kepalanya, lalu melangkah cepat meninggalkan Sarjono yang berdiri terpaku disana. Langkah Ayna agak tertatih, karena lututnya terasa nyeri. Barangkali luka itu berdarah, entahlah.

Sarjono mengejarnya.

“Ayna... Ayna..”

Ayna tak berhenti, ia mempercepat langkahnya walau dengan terpincang-pincang. Entah mengapa kakinya terasa sakit sekali.

“Aynaa..”

Ayna benar-benar merasa kesakitan. Ia memanggil taksi agar membawanya kerumah sakit. Beruntung taksi itu kebetulan lewat. Ayna naik dan tak peduli pada orang yang mengejarnya.

“Aynaaa..ma’afkan aku dulu..”

Taksi terus berlalu. Ayna memegangi kepalanya, lalu melihat baju bawahnya merah karena darah. Ada yang sobek. Ayna ketakutan melihat darahnya mengucur.

“Rupanya lututku terluka agak parah, “ keluhnya lirih.
“Kerumah sakit terdekat ya mbak?”
“Iya pak.. tolong.. “ katanya sambil mendekap lututnya, karena bajunya benar-benar basah oleh darah. Pedihnya bukan alang kepalang.
***

“Ya mas, ada apa?” Tanti menjawab ketika Danang menelponnya.
“Ayna jangan boleh kemana-mana. Bahaya.”
“Haa? Memangnya ada apa? Tadi dia pamit mau jalan-jalan.”
“Aduuh, mengapa kamu ijinkan dia pergi? Dia itu terkadang masih bingung juga lho, kalau nyasar bagaimana?”
“Sudah aku pesan, kalau ada apa-apa aku suruh tepon mas atau aku.”
“Ada yang lebih bahaya lho.”
“Apa sih ?”
“Sarjono kabur dari penjara.”
“Haaa? Benarkah?”
“Barusan polisi menelpon, meminta kita hati-hati.”
“Ya Tuhan, Ayna tadi kemana ya?”
“Segera telpon dia dan minta agar segera pulang.”
“Iya mas.. iya..,” kata Tanti yang tiba-tiba merasa cemas.

Tanti kemudian menelpon Ayna, tapi tidak diangkat. Kecemasannya memuncak. Berkali-kali dicobanya menelpon lagi, tetap tidak bisa.
***

Ayna turun dari taksi, membayarnya lalu dengan terpincang memasuki rumah sakit. Karena terburu-buru, ia menabrak seseorang.

“Aduh, ma’af..”
“Ayna ?” seseorang itu memekik heran. Ayna menatapnya, seorang dokter ganteng akan keluar dari rumah sakit itu. Ia mengenalnya, sangat mengenalnya.

“Mas Bintang ?”
“Ayna? Kamu kenapa ?”

Bintang tidak perlu banyak bertanya. Ia melihat darah di baju Ayna. Ia segera menuntun Ayna, dibawanya ke ruang UGD.

“Kenapa kamu? Aduh.. lutut kamu tertancap pecahan kaca,” seru Bintang. Ia sendiri menangani Ayna. Seorang perawat membantunya.

Ayna meringis kesakitan.

“Ya ampuun, lukanya parah.. lihat.. ada pecahan kaca menancap disini..”

Ayna menjerit ketika Bintang mencabut pecahan kaca itu. Darah terus mengucur. Bintang membersihkan lukanya.

“Pedih ya?”
“Sakiit..” rintihnya.
“Harus dijahit... tahan sebentar ya, biar suster menyuntiknya agar tidak terasa sakit.”

Ayna mengerjap-ngerjapkan matanya. Mata beningnya menatap wajah ganteng itu tak berkedip. Ada desir aneh yang belum pernah dirasakannya, yang Ayna sendiri tidak mengerti apa artinya.

Bintang menangani sendiri pasien istimewa itu. Lukanya sudah dijahit, lalu diberi obat.

“Bagaimana ?”
“Kepalaku pusing sekali. Tadi terantuk batu nisan.”
“Apa? Sebenarnya kamu dari mana ?” tanya Bintang setelah selesai merawat Ayna dan menuntunnya keluar dari ruang rawat itu.
“Aku.. tadi mau ke makam ibu..”
“Sama siapa?”
“Sendiri..”
“Lalu... jatuh? Kepala terantuk nisan .. lutut menghantam pecahan kaca?”
“Aku melihat dia..”
“Siapa?”
“Ayah tiri aku... “
“Di mana ?”
“Di makam ibu, dia sedang duduk didepan makam ibu, lalu aku melihatnya, dan lari. Dia mengejar aku. Aku terjatuh karena gugup."
“Dia.. bagaimana bisa berada disana? Bukankah dia di penjara?”
“Dia bilang, melarikan diri..”
“Apa? Lalu mana dia?”
“Entahlah.. aku lari dan naik taksi, ketakutan karena darah terus mengucur dari luka aku.”
“Harusnya kamu lapor polisi, tapi aku tahu kamu tidak sempat memikirkannya. “

Ponsel Ayna berdering.

“Dari ibu..” kata Ayna kemudian mengangkat ponselnya.
“Ya ibu..”
“Kamu dimana ? Dari tadi ibu menelpon tidak kamu jawab.”
“Saya.. di...”
“Ibu mengkhawatirkan kamu, karena Sarjono kabur dari tahanan.”
“Iya, saya tahu..”
“Kamu ketemu dia? Apa yang dia lakukan? Dimana ?”
“Saya melihatnya di makam ibu. Lalu saya lari.”
“Kamu ke makam ibu kamu? Lalu kemana dia ?”
“Entahlah, saya lari meninggalkan dia. Saya.. dirumah sakit.. “
“Dirumah sakit? Kamu kenapa?”
"Nanti saya cerita, ini ada mas Bintang.”
“Mana Bintang , aku mau bicara.”
“Ya tante..” kata Bintang setelah Ayna memberikan ponselnya.
“Ayna kenapa? Sarjono kabur dari tahanan. Aku mengkhawatirkan Ayna yang pergi sendirian tadi.”
“Iya, Ayna ketemu di makam, tapi dia lari. Tidak apa-apa, sayangnya kita nggak tahu Sarjono kemudian lari kemana.”
“Mengapa dia dirumah sakit? Memang mencari kamu?”
“Tidak, dia terjatuh, kakinya luka, tapi tidak apa-apa. Dia akan segera saya antar pulang.”
“Ya ampuun.. ketika mas Danang mengatakan bahwa Sarjono kabur, aku langsung ketakutan karena Ayna pergi sendirian.”
“Dia bersama saya, dan baik-baik saja. Mungkin nanti dirumah dia bisa cerita lebih banyak.”
“Baiklah, segera kamu antar dia pulang ya Bin.”
***

“Ayna...” kata Bintang didalam perjalanan pulang.

Ayna menoleh kearah dokter ganteng disampingnya. Senyumnya mengembang. Hari ini ia merasa aneh. Merasa sangat dekat dengan Bintang, merasa ada desir-desir aneh yang sejak tadi dirasakannya.

“Ada apa aku ini..” bisik batinnya.
“Ayna .. masih pusing.. ?”
“Sedikit.. Aku merasa aneh...”
“Aneh ? Aneh bagaimana ?”
“Tadi aku memaki-maki dia, dengan berani. Tanpa takut.”
“Mengapa kamu lari ?”
“Iya, tadinya aku lari. Ketika aku jatuh, dan tak lagi bisa berlari, keberanianku timbul. Aku hanya memaki-maki. Harusnya aku pukul dia sampai jatuh bangun.”

Bintang tertawa.

“Tak bisa aku bayangkan, bagaimana tangan kecilmu ini bisa memukul seseorang sampai jatuh bangun?” kata Bintang sambil meremas tangan Ayna dengan sebelah tangannya.

Ayna gemetar. Lagi-lagi ia merasa aneh.

“Tanganmu dingin sekali.”
“Iya, entahlah, mungkin karena AC mobilnya terlalu dingin,” jawab Ayna tanpa bermaksud melepaskan tangannya dari genggaman Bintang.
“Tidak sakit lagi kakinya?”
“Sedikit... perih.. tidak apa-apa.. yang penting sudah diobati. Tapi ngeri.. kok bisa ada kaca menancap di lutut ya?”
“Mungkin memang ada pecahan kaca disitu. Atau jangan-jangan kamu ingin tahu, seberapa kuat kulit lutut kamu apabila diadu dengan sepotong kaca.”

Ayna tertawa keras.
Bintang terpana. Ini kali pertama setelah menghilang, Ayna tertawa begitu lepas. Apakah Ayna sudah mulai pulih yang benar-benar pulih? Ia juga berani memaki-maki ayah tirinya. Itu membuat Bintang heran, padahal tadinya dia ketakutan.
***

“Waduh, ini gawat..” celetuk Nanda ketika sampai dirumah.
“Memangnya ada apa?” tanya pak Pri.
“Sarjono kabur dari tahanan.”
“Waduh.. jangan-jangan ingin mengganggu Ayna lagi.”
“Itu yang ditakutkan semua orang pak. Tapi tadi mas Danang bilang bahwa Ayna sudah ketemu dia, dan Sarjono sendiri bilang bahwa dia kabur dari tahanan.”
“Ayna bepergian? Sendiri pula?”
“Ayna mau ke makam, dilihatnya Sarjono sudah duduk didepan makam ibunya. Ayna lari, dia mengejarnya, sampai Ayna jatuh.”
“Diapakan Ayna?”
“Barusan Nanda telpon Bintang, katanya Ayna justru memaki-maki ayah tirinya itu.”
“Benarkah?”
“Iya, Nanda baru mau kesana supaya mendengar ceritanya.”
“Mengapa Ayna tidak melapor saja ke polisi?”
“Mungkin dia gugup.. atau bagaimana.”
“Sayang sekali, seandainya lapor barangkali Sarjono sudah ditangkap.”
“Sekarang dia masih diluaran, Ayna harus hati-hati.”
“Benar. Dan mengapa pula Ayna pergi sendirian?”
“Itulah, kata mbak Tanti hanya ingin jalan-jalan sih.”
“Semoga dia segera tertangkap lagi.”
“Mas Danang bilang, dia sudah melapor ke polisi bahwa Ayna melihatnya di makam ibunya.”
“Orang apa dia itu... nekat sekali.” omel pak Pri.
***

“Ibuuu...” teriak Ayna begitu sampai rumah. Tanti merasa lega melihat Ayna datang bersama Bintang.
“Mengapa jalannya pincang begitu?” tanya Tanti khawatir.
“Nanti Ayna cerita, ini.. ibu saya belikan lotis..” katanya sambil menunjukkan sebuah bungkusan.
“Haaa.. kamu ingat kalau ibu suka sekali lotis?” seru Tanti sambil memeluk Ayna.
“Ingat dong bu, tadi mas Bintang saya ajak mampir sebentar.”
“Terimakasih ya nak, kamu selalu baik . Tapi duduklah dulu, ayo cerita sama ibu, apa yang telah terjadi,” kata Tanti sambil menarik Ayna agar duduk.

Ayna bercerita tentang semua yang dialaminya dengan lancar. Tanti merasa senang. Ayna tidak tampak ragu-ragu dalam berucap, tidak seperti bingung.

“Syukurlah kamu selamat Ayna, tapi ibu sedih kaki kamu terluka,” kata Tanti sambil melihat luka Ayna.
“Tidak apa-apa ibu..”
“Tapi kamu berjalan sambil terpincang-pincang.
“Kan sudah diobati sama mas Bintang.”
“Syukurlah, kamu ingat untuk menemui Bintang.”
“Tidak bu, saya hanya diantar ke sebuah rumah sakit oleh tukang taksi, dan tidak mengira ketemu mas Bintang.”
“Kebetulan saya mau pulang tante. Ayna hampir menabrak saya.”
“Oh... “
“Atau mungkin Ayna sengaja mau menabrak saya tante,” seloroh Bintang.
“Aaah, enggak... “ jawab Ayna sambil mencubit lengan Bintang.

Tanti tersenyum-senyum melihat ulah mereka. Tampaknya Ayna sudah tak lagi sungkan bercanda sama Bintang.

“Ya sudah, syukur kamu nggak apa-apa Ayna, tapi mulai sekarang jangan lagi pergi keluar rumah, apalagi kalau sendiri. Bahaya bisa mengancam kamu.”
“Iya bu.”
“Tapi kalau keluarnya sama saya, boleh kan tante?”
“Boleh sekali, asal jangan dilepas dari gandengan kamu,” pesan Tanti sambil tersenyum.

Ayna tampak tersipu.

“Ayna, tumben kamu tidak menanyakan Nanda?”
“Apa?”
“Biasanya kalau melihat aku sendiri, kamu menanyakan Nanda..”
“Terkadang tiap-tiap orang punya kepentingan sendiri. Jadi tidak selalu bisa datang bersama,” jawab Ayna.

Bintang mengangguk-angguk. Ada rasa lega memenuhi hatinya, karena Ayna ternyata bukan selalu menginginkan Nanda. Mungkin Ayna sudah berubah, atau mungkin sudah bisa mengerti karena Nanda pernah mengatakan seperti yang dikatakan Ayna barusan, seperti juga dirinya yang juga pernah mengatakannya.

“Aynaaa!” teriakan itu mengejutkan semuanya.
“Aduh Nanda, kamu membuat aku terkejut. Tidak mendengar mobil kamu, tiba-tiba kamu sudah nyelonong masuk."
“Iya, aku parkir diluar mbak.”
“Ngapain kamu kesini?” tegur Bintang.
“Ketemu Ayna lah, bukan kamu,” sergah Nanda sambil mengacungkan genggaman tangannya.

Bintang tertawa.

“Apa kabar Ayna?”
“Baik mas. Mengapa sendirian?”
“Memangnya aku harus sama siapa?”
“Biasanya kan sama mbak Bulan?”
“Oh.. iya, tadi aku baru pulang dari kantor, langsung kemari. Lain kali aku datang sama Bulan, lalu mengajak kamu jalan-jalan ya.”
“Sama mas Bintang juga kan?” kata Ayna.
“O.. gitu ya.. Baiklah kalau memang harus sama dia.. aku serahkan dia sama kamu Bin," canda Nanda.

Ayna tertawa.

“Mengapa aku diserahkan pada mas Bintang?”
“Eh, tunggu dulu, aku lupa mengunci mobil, aku ambil kuncinya dulu ya,” kata Nanda yang kemudian setengah berlari keluar.
“Masih muda sudah agak pikun dia,” seloroh Bintang.

Tapi tiba-tiba mereka dikejutkan oleh teriakan Nanda dari luar pintu pagar.

“Heeiiii... ! Berhentiiii !!”
“Ada apa dia?”

Bintang berlari keluar, diikuti Ayna sambil masih terpincang-pincang.

==========

“Kurangajar kamu. Masih mau melakukan apa terhadap Ayna?” hardik Nanda sambil mencengkeram leher baju seseorang.
 
Dia adalah Sarjono. Nanda keluar dari halaman dan melihat Sarjono sedang mengendap-endap dibalik gerbang. Nanda langsung menangkapnya.

“Ma’af.. ma’af... saya tidak.. tidak.. bermaksud buruk, saya hanya..”
“Hanya apa? Hanya apa?” hardik Nanda lagi sambil menghajar Sarjono, membuatnya sempoyongan dan jatuh.
“Nanda ! Apa yang kamu lakukan?” seru Bintang yang tiba-tiba sudah berada didekat Nanda, diikuti Ayna.

Ayna menutup mulutnya melihat Sarjono terbaring ditanah, kepalanya mengucurkan darah.

“Bintang, lapor polisi, pesakitan ini sudah tertangkap.”
“Baiklah..”

Nanda menarik tubuh Sarjono sehingga dia berdiri lagi dengan sempoyongan.

“Dengar.. saya hanya ingin...”
“Ingin apa..ingin apa..?” gertak Nanda lagi sambil mengayunkan tangannya, tapi Ayna berteriak mencegahnya.

“Sudah !! Cukup mas Nanda. Hentikan.”
“Dengar, manusia busuk. Orang yang kamu perlakukan dengan buruk masih merasa kasihan sama kamu. Kamu dengar itu?”
“Ayna.. aku datang kemari.. aku lari dari penjara.. hanya karena ingin meminta ma’af, sama ibumu, dan sama kamu,” kata Sarjono gemetar.
“Bohong !!” hardik Nanda lagi.
“Aku berani bersumpah, itu benar.”
“Manusia macam kamu masih bisa mengatakan sumpah !!”
“Ayna.. ma’afkan aku. Setelah kamu mema’afkan aku, aku rela kembali ke penjara. Dihukum mati pun aku rela. Aku menyesal, aku banyak dosa, aku tak tahu diri.. Ma’af Ayna, katakan kamu mema’afkan aku,” kata Sarjono memelas.

Runtuh hati Ayna yang memang lembut itu mendengar suara memelas dari bekas ayah tirinya.

“Baiklah, saya mema’afkan bapak,” kata Ayna lembut.

Sarjono menghela nafas lega, dan sementara itu suara sirene mobil polisi sudah terdengar mengaum semakin dekat.
Nanda melepaskan cengkeramannya pada Sarjono.
Ayna menatap pilu ketika polisi menggelandang Sarjono.

“Kalau saja setan tidak menguasainya, semua ini tak akan terjadi,” bisik Ayna yang dituntun Bintang kembali masuk kehalaman.

Bintang menepuk-nepuk tangan Ayna.
***

Sebuah perjalanan hidup, tidak bisa direka-reka oleh manusia. Semua sudah ditorehkan dari atas sana. Demikian juga Ayna yang kemudian menjadi bagian dari keluarga Danang yang sangat menyayanginya. Semuanya tak pernah terbayangkan sebelumnya. Ayna yang sederhana, dari keluarga sederhana pula, kemudian bisa menjadi bagian dari keluarga terpandang yang serba tidak kekurangan.

“Ayna, sedang apa pagi-pagi begini ?” tanya bu Suprih pagi itu.
“Ini mbah, menjerang air untuk membuat minum, dan menanak nasi untuk sarapan.”
“Kamu rajin sekali, masih pagi sudah sibuk didapur. Biasanya ibumu sendiri yang mengerjakan, setelah simbah sakit beberapa minggu yang lalu.”
“Tidak apa-apa mbah, mulai sekarang biar saya yang mengerjakan. Ayo duduklah mbah, mau minum apa? Kopi.. coklat susu atau apa?”
“Ya ampuun, sudah mendidih airnya? Baiklah, supaya kamu senang. Tapi simbah lebih suka minum teh hangat saja.”
“Baiklah, saya siapkan mbah. Kalau bapak sama ibu lebih suka coklat susu kalau pagi, sorenya baru minum teh hangat,” kata Ayna sambil menyiapkan teh hangat untuk bu Suprih.
“Anak cantik, anak rajin, pantas Tanti sangat menyayanginya,” gumam bu Suprih sambil duduk menunggu.
“Apa mbah ?” tanya Ayna yang mendengar kata bu Suprih.
“Kamu itu Ayna, sudah cantik, rajin pula.. pantas ibumu sangat menyayangi kamu.”
“Ah, simbah bisa saja,” kata Ayna sambil menyajikan teh panas pesanan bu Suprih.
“Itu benar...”
“Ayna sudah membuat roti bakar juga.. ini mbah.. silahkan..”
“Waduh.. pagi-pagi sudah lengkap sarapannya..”
“Iya mbah, silahkan... Ayna mau membuat coklat susu untuk bapak sama ibu dulu.”

Bu Suprih menyeruput teh panasnya pelan.

“Enak, tidak terlalu manis.. tehnya sedap..” kata bu Suprih.
“Iya, Ayna tahu kalau simbah tidak suka manis.”
“Lho... Ayna.. kamu sudah bangun?” kata Tanti yang tiba-tiba muncul di dapur.
"Ia bahkan sudah menyiapkan roti bakar sama teh panas buat ibu,” kata bu Suprih.
“Ya ampuun... Ayna..”
“Ibu mau duduk disini, atau diruang tengah? Ini coklat susu buat ibu..”
“Ya sudah, sekalian duduk disini saja sama ibu juga. Duuh.. kamu rajin.. ibu masih ingat dulu kamu selalu melakukan ini,” kata Tanti sambil meraih gelas berisi coklat susunya.
“Mulai hari ini, Ayna yang akan melakukan semuanya bu. “
“Kamu sudah benar-benar sehat Ayna?”
“Sangat sehat bu.”
“Duduklah disini, ayo minum dan sarapan roti bersama-sama.”
“Bapak belum bangun ?”
“Belum, sebentar lagi baru dia bangun.”
“Ayna, kamu sudah bisa mengingat semuanya?” tanya Tanti sambil meghirup minumannya.
“Sepertinya sudah bu.. keseharian saya disini.. saya juga sudah mengingatnya. Nanti saya akan memasak untuk sarapan dan makan siang.”
“Ayna.. benarkah ?”
“Dulu, waktu ibu masih ngidam dan sering muntah-muntah, saya selalu masak pagi-pagi sekali, supaya ibu tidak masak untuk sarapan dan makan siang. Sore hari sepulang kerja, saya belanja sayur, lalu masak sore harinya, kadang-kadang mencicil masak yang bisa dimakan besok paginya."
“Bagus sekali Ayna, kamu benar-benar bisa mengingatnya. Ibu sangat senang. Setelah ini kamu tidak boleh sakit lagi ya?”
“Iya bu..”
“Roti bakarnya Tan.. masih hangat..” kata bu Suprih.
“Iya. Nanti Tanti habiskan..”
“Ibu.. bolehkah saya bekerja lagi?”
“Bekerja?”
“Iya bu, Ayna ingin punya penghasilan sendiri. Nanti Ayna akan pergi ke tokonya pak Yoga, barangkali masih mau menerima Ayna.”
“Tapi kamu kan disini tidak kekurangan Ayna?”
“Benar bu, tapi Ayna ingin menerima uang dari keringat Ayna sendiri, seperti dulu.”
“Padahal ibu baru saja bilang sama bapak, bahwa ibu ingin agar Ayna kuliah lagi.”
“Tidak bu, tidak usah..”
“Kalau kamu kuliah, nanti kalau kamu sudah jadi sarjana, kamu akan bisa mendapat pekerjaan yang lebih bagus.”
“Bagi Ayna, pekerjaan apapun akan bagus apabila didasari ketekunan. Ayna sudah merasa senang membantu pak Yoga. Barangkali gajinya tidak besar, tapi Ayna merasa cukup.”
“Sungguh, kamu tidak ingin kuliah lagi?”
“Tidak bu, terimakasih.”

Tanti kemudian berfikir. Dulu dia sekolah tinggi, lulus dengan titel sarjana, tapi nyatanya dia sekarang juga tidak bekerja. Suaminya melarangnya bekerja lagi beberapa tahun belakangan ini. Jadi apa salahnya membiarkan Ayna tetap bekerja seperti dulu. Bukankah sebentar lagi Bintang akan melamarnya? Dan kalaupun Ayna menjadi sarjana, apakah Bintang juga akan mengijinkannya bekerja? Pasti tidak. Para lelaki lebih suka isterinya duduk manis dirumah, menjadi ibu rumah tangga dan berbakti kepada rumah tangganya.

“Seperti kamu itu Tanti. Dulu ibu menyekolahkan kamu sampai jadi sarjana. Nyatanya kamu juga hanya melayani suami dirumah?” sambung bu Suprih.
“Sebelumnya kan Tanti juga bekerja bu. Baru beberapa tahun ini berhenti, karena mas Danang merasa bahwa Tanti sudah cukup bekerja.”
“Iya sih...”
“Saya tidak ingin kuliah, bukan karena saya merasa bahwa seorang isteri seyogyanya tinggal dirumah. Saya merasa cukup mendapat perhatian dan kasih sayang ibu serta bapak, dan tidak ingin menyusahkan lagi.”
“Baiklah Ayna, kalau itu memang mau kamu.”
“Jadi ibu mengijinkan seandainya saya masih diterima ditoko pak Yoga?”
“Apa kamu benar-benar sudah siap untuk bekerja lagi ?”
“Saya siap bu. Tapi ibu jangan khawatir. Saya akan tetap bekerja dirumah seperti biasa.”
“Ayna, anak baik..”
“Ibu tidak boleh capek, karena sedang ada adik bayi diperut ibu..” kata Ayna sambil mengelus perut ibu angkatnya.
“Lho.. didepan sepi, ternyata pada heboh didapur..” kata Danang tiba-tiba.
“Iya mas, ini.. pagi-pagi Ayna sudah bangun dan membuat minum serta membakar roti untuk kita semua.”
“Owh.. begitu?”
“Ini minum untuk bapak,” kata Ayna yang kemudian bangkit dan menuangkan coklat susu yang tadi dibuatnya.

“Mau diletakkan diruang tengah, bapak?”
“Tidak.. tidak, karena semuanya duduk disini, maka aku juga mau duduk disini,” kata Danang yang kemudian duduk disamping isterinya.
“Ini bapak..”
“Terima kasih Ayna..”
“Ayna bilang, mulai hari ini dia akan bangun pagi dan membuat sarapan untuk kita, juga memasak seperti dulu." kata Tanti.
“Lho, apa kamu sudah benar-benar bisa melakukan semuanya, Ayna?”
“Saya bisa melakukan semuanya, sudah ingat semua kebiasaan dirumah ini, pak.”
“Dia bahkan ingin kembali bekerja ditokonya pak Yoga mas.”
“Ayna, apa kamu sudah siap juga untuk bekerja? Ibumu pernah bilang ingin menyekolahkan kamu.”
“Tidak bapak, biarkan Ayna bekerja saja. Ayna tidak ingin sekolah lagi.”
“Kalau memang kamu sudah siap untuk bekerja, kami tidak bisa menghalangi. Lakukan saja apa yang kamu suka. Tapi kamu harus selalu berhati-hati.”
“Baiklah bapak, terimakasih banyak. Sekarang Ayna mau membuat sarapan, bapak sama ibu dan simbah ingin sarapan apa?”
“Terserah kamu saja Ayna.”
“Di kulkas ada sayur. Bolehkah saya masak orak arik sayur?
“Wouw.. kedengarannya enak. Sudah ada sayur, telur..”
“Kalau simbah apa saja mau, pokoknya empuk. Kan giginya simbah sudah sambungan?”
“Baiklah, saya buat yang empuk untuk simbah."

Ayna melewati hari-harinya dengan suka cita. Ia sudah mengenali semuanya, hari-hari dimasa lalunya, kebiasaannya dirumah itu, kesukaan bapak dan ibu angkatnya.
Sekarang ia ingin kembali menjalani hidupnya seperti dimasa lalu. Ia harus menemui pak Yoga, dan mohon agar bisa diterima lagi bekerja.

“Ibu, nanti saya akan pergi sebentar,” kata Ayna sambil memasak. Tanti dan bu Suprih membantu memetik sayuran sambil duduk di kursi dapur.
“Kemana ?”
“Saya akan menemui pak Yoga, barangkali masih mau menerima saya bekerja lagi disana.”
“Kamu sungguh-sungguh ingin bekerja Ayna? Benar tidak ingin kuliah?”
“Tidak bu, saya ingin kembali bekerja saja.”
“Baiklah, terserah kamu saja.”
“Saya berangkat setelah selesai memasak.”
“Kalau perlu tinggalkan saja, biar ibu yang melanjutkan.”
“Tidak bu, biar saya selesaikan, baru berangkat.”
“Tapi kamu harus hati-hati Ayna, jangan sampai jatuh lagi,” kata bu Suprih.
“Iya mbah, saya akan berhati-hati.”
“Kakimu tidak sakit lagi?”
“Tidak, lihat, saya sudah bisa berjalan tanpa terpincang-pincang.”

Tanti dan bu Suprih tertawa. Bahagia memenuhi hati mereka, menyaksikan Ayna sudah benar-benar kembali seperti dulu.
***

“Ayna.. benarkah kamu sudah siap untuk kembali bekerja?” kata pak Yoga ketika Ayna menemuinya.
“Benar pak, kalau bapak masih mau menerima saya.”
“Kamu anak baik, rajin dan pintar. Tentu saja aku akan menerima kamu kembali.”
“Terimakasih banyak pak, saya siap kapanpun bapak akan mengijinkannya.”
“Kamu boleh mulai kapan saja. Sekarang boleh..besok boleh.. “ kata pak Yoga dengan gembira.
“Kalau sekarang belum ya pak, saya belum bilang sama ibu. Mungkin besok, boleh kan?”
“Tentu saja boleh. Kamu boleh melakukan pekerjaan lama kamu, yang selama ini aku sendiri yang menggantikan. Dengan adanya kamu, pekerjaan aku jadi lebih ringan.”
“Baiklah, tapi mohon dibimbing ya pak, barangkali saya belum kembali terbiasa setelah beberapa bulan tidak melakukannya.”
“Tentu saja Ayna, tapi melihat kamu seperti ini, rasanya kamu sudah benar-benar pulih dan bisa melakukan semua tugas kamu dengan baik.”
“Mudah-mudahan ya pak.”

Sebelum pamit Ayna menemui teman-temannya, membantu menyiapkan permintaan pembeli sekali dua kali.. barulah dia pulang.
***

“Kamu mau kembali bekerja ditoko pak Yoga?” tanya Bintang ketika sore harinya menemui Ayna dirumah Danang.
“Iya mas, rasanya aku sudah bisa melakukan semuanya dengan baik.”
“Menurut aku lebih baik tidak Ayna.. “
“Memangnya kenapa kalau aku bekerja?”
“Aku akan segera melamar kamu.”

Ayna tertegun, menatap Bintang tak percaya. Ia melihat mata tajam itu memancarkan sesuatu yang membuatnya bergetar. Lalu ia gemetar ketika Bintang mendekat.

“Kamu tidak percaya? Aku mencintai kamu Ayna. Jadilah isteriku..”

Lalu Bintang menyesal, lupa membawa sesuatu untuk diberikan kepada Ayna ketika ia benar-benar mengucapkan cinta. Barangkali sebentuk cincin berlian, atau seikat mawar.
Mata Ayna berkaca-kaca. Apakah ini bahagia? Dokter ganteng yang pernah hadir dalam mimpinya dan selalu ada didalam angan-angannya ini mengucapkan cinta, ingin menjadikannya isterinya.

“Katakan bahwa kamu juga mencintai aku, Ayna.”

Ayna tak sanggup menjawabnya, tapi butiran bening bergulir dari sepasang mata indahnya. Bintang mengusapnya dengan jemari tangannya.

“Atau katakan tidak bahwa kamu menolakku..”

Mata bening itu menghadirkan lagi bulir-bulir yang mengaliri sepanjang pipinya.
Bintang mengusapnya lagi dengan jemarinya.

“Katakan sesuatu..”

Ayna masih menatap Bintang sambil matanya masih berkaca-kaca.

“Menolak aku?”

Ayna menggeleng..

“Jadi menerima dong..”

Sebuah senyuman mengembang dari bibir tipis itu, lalu seperti melihat matahari merekah diufuk timur, Bintang melihat gemerlap dalam cahaya matanya. Aduhai..

“Tapi ijinkan aku tetap bekerja..” bisik Ayna lembut.
“Mengapa harus bekerja?”
“Apa mas malu punya isteri seorang pegawai toko?”
“Tidak, bukan itu..”
“Kalau begitu ijinkan aku.”
***

Sudah seminggu Ayna bekerja. Dan pak Yoga senang Ayna tidak berubah. Ia tetap menjalani pekerjaannya seperti dulu. Rajin dan pintar. Pak Yoga sudah siap melepaskannya dan hanya ingin mengawasinya saja.
Ayna bahagia. Sering kali setiap pulang Bintang menjemputnya. Bintang tak bisa menolak keinginan Ayna.
Siang itu Bintang agak terlambat, karena ada pasien gawat yang harus ditanganinya.

“Terlambat sepuluh menit, mudah-mudahan Ayna masih menunggu aku,” gumamnya.

Bintang hampir sampai didepan toko pak Yoga, ketika melihat Ayna naik kedalam sebuah mobil, dan berlalu.
Bintang terkejut karena tak mengenali mobil siapa itu.

Bersambung #17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER