Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 13 Mei 2022

Ayna #17

Cerita Bersambung

Bintang sedikit merasa cemas, ia tak mengenali mobil itu, entah milik siapa. Tapi mengapa Ayna menurut saja? Apakah dia mengenali pemilik mobil itu, atau orang yang ada didalamnya?
Bintang memacu mobilnya, tapi jalanan sangat ramai, karena berbarengan dengan bubaran kantor, apalagi ini hari Sabtu. Terus dicarinya celah agar bisa menyalip kendaraan didepannya. Mobil itu masih terlihat, diam-diam dia mencatat nomor plat yang sempat dilihatnya.

“Siapa dia.. benarkah Ayna mengenalnya?” gumamnya.

Bintang meraih ponselnya, ditelponnya Ayna.. tapi tidak diangkatnya.

“Aduuh.. Ayna.. angkat dong.. angkaaaat...”

Apakah ponsel Ayna sangat tersembunyi di dalam tasnya, atau Ayna sedang bicara heboh dengan orang yang ada didalamnya, sehingga tidak mendengar dering panggilannya?.
Bintang tetap saja khawatir, karena belum jelas siapa yang bersama Ayna. Ia terus memacu mobilnya, dengan perasaan tegang, karena sebentar-sebentar ada saja kendaraan yang menutupinya, sementara dia belum berhasil mendekatinya.
Kalau saja dia tahu nomor kontak teman-teman Ayna.. atau pak Yoga.. barangkali.. Oh ya, Nanda pasti punya. Lalu ditelponnya Nanda.

“Ya, ada apa? Jangan bilang Ayna kangen sama aku..”
“ Jangan ke ge-er an kamu. Ini justru aku kehilangan Ayna lagi.”
“Apa maksudmu? Ayna hilang?”
“Aku menjemput ke tempatnya bekerja, tapi dia sudah lebih dulu dijemput orang lain.”
“Percayalah itu bukan aku.”
“Bukan, aku tidak mengenali mobilnya, tapi Ayna seperti naik dengan suka rela.”
“Waah, pasti ada cowok yang lebih ganteng dari kamu.”
“Nanda.. aku serius nih.”
“Kalau Ayna naik ke mobil itu dengan suka rela, pastilah Ayna mengenal orang yang menjemputnya.”
“Aku ingin tahu siapa.. jalanan rame, aku belum berhasil mendekati mobil itu.”
“Mengapa menelpon aku? Kamu menyuruh aku membawa heli, lalu mengawasinya dari atas..?”
“Nanda.. hentikan .. aku cemas, kamu malah bercanda..”
“Aku tadinya kaget, tapi setelah kamu bilang bahwa Ayna naik dengan suka rela, berarti Ayna mengenali orang itu dong. Jadi jangan terlalu khawatir.”
“Nda, aku menelpon kamu karena mau minta nomor kontak pak Yoga.”
“Nomor pak Yoga?”
“Aku ingin bertanya, siapa yang menjemputnya.”
“Oo..oo.. begitu, baiklah, aku kirimin nomornya ke kamu.”

Bintang menutup ponselnya dengan kesal. Nanda sering menanggapi omongannya dengan bercanda. Sementara dia benar-benar cemas. Memang iya, kalau Ayna naik ke mobil itu dengan suka rela, pastilah dia mengenalnya, tapi rasa keingin tahuannya tentang siapa yang menjemput, membuat perasaannya tidak tenang.
Nanda sudah mengirim nomor pak Yoga, Bintang segera menelponnya.

“Hallo.. ma’af ini siapa ya?”
“Ma’af pak, saya Bintang... mm.. calonnya Ayna...” ehem.. pede sekali kan Bintang?
“Oh... ya.. ya, bagus Ayna sudah punya calon. Yang sering menjemput itu ya? Bagaimana nak, ada yang bisa saya bantu?”
“Saya mau tanya pak, apakah bapak tahu siapa yang menjemput Ayna?”
“Tadi ? Waduh... sayangnya bapak tidak tahu. Bapak menutup toko, ketika Ayna masih menunggu didepan. Memangnya ada apa nak?”
“Tidak ada apa-apa pak, terimakasih banyak dan ma’af sudah mengganggu.”
“Baiklah nak, tidak apa-apa kok.”

Bintang menutup ponselnya dengan gelisah. Tapi dilihatnya mobil itu masih didepan. Oh tidaaak.. didepan traficlight mobil Bintang terhenti, sementara mobil yang diikuti sudah melaju.

“Sial benar, apakah aku harus menerjang lampu merah itu?”

Tapi Bintang tidak ingin melanggar peraturan yang ada. Dia tetap menunggu dengan rasa kesal yang terus merayapi hatinya.
Lalu ketika lampu mulai hijau, Bintang segera memacunya. Duuh.. pastilah dia sudah jauh,...
Bintang terus mamacu mobilnya, tapi ketika tiba disebuah persimpangan, Bintang bingung, apakah dia harus terus, atau belok kekiri, atau kekanan.

Akhirnya Bintang memilih belok ke kiri, tapi didepan tak ada lagi mobil yang diburunya.
Bintang menghembuskan nafas dengan kesal. Lalu dia meminggirkan mobilnya.
Dicobanya lagi menelpon Ayna.

“Ayna.. Ayna... angkat Aynaaa....”

Tak diangkat juga, Bintang menelpon Tanti.

“Hallo tante..”
“Bintang.. kamu mencari Ayna?”
“Iya.. ma’af tante.. tadi saya melihat...:”
“Ayna dijemput seseorang? Itu Riri.. teman tante yang dulu itu.”
“Apa?”

Tanti tertawa membayangkan Bintang kebingungan mencari Ayna.

“Iya, Riri sudah menelpon tante. Ayna juga sudah bilang. Kan besok hari Minggu, Riri kangen sama Ayna.”
“Astaga... “
“Susul saja kesana, saya kirim alamatnya.”
“Ayna saya telpon nggak diangkat tante, saya jadi bingung.”
“Jangan bingung, ini.. alamatnya tante tulis ya, susul saja kesana, supaya kamu juga tahu rumahnya teman tante yang sudah menolong Ayna. Cari sebuah warung, tapi warungnya namanya Warung Makan Bu Tarni. Bukan bu Riri.”
“Baiklah tante.”

Bintang menutup ponselnya sambil menghembuskan nafas lega.
“Begini ya rasanya orang jatuh cinta? Benar-benar jatuh bangun ketika tidak tahu bagaimana keadaannya,” gumam Bintang sambil menjalankan mobilnya, setelah Tanti mengirimkan alamat bu Riri.
***

“Mas Bintang..?” seru Ayna ketika melihat Bintang datang.
“Kamu membuat aku bingung..” gerutu Bintang sambil mengerucutkan bibirnya.

Ayna tertawa.

“Tadi mas ke toko ?”
“Iya, aku melihat kamu menaiki sebuah mobil, aku mengikutinya tapi tidak ketemu. Aku menelpon kamu, tidak diangkat.”
“Oh, iya.. ma’af.. aku pelankan suara deringnya, jadi nggak kedengaran.”
“Pantesan.. “
“Tadi itu ibu Tarni bilang kangen sama aku, lalu dia minta ijin sama ibu untuk mengajakku kerumahnya.”
“Mengapa tidak bilang sama aku?”
“Aku nggak tahu kalau mas mau menjemput, kan mas bilang ada pasien gawat?”
“Aku hanya terlambat sebentar.”
“Ma’af ya..”
“Mas Bintang ?” sebuah suara mengejutkan Bintang. Seorang laki-laki ganteng mendekati mereka dan duduk diantaranya.
“Mas Rio ya ?”
“Iya, syukurlah masih ingat,”
“Masih dong, kan mas Rio yang mengantarkan Ayna kerumah sakit?”
“Iya benar. Kebetulan aku pulang, dan ada Ayna disini.. seneng rasanya melihat dia sudah pulih dan tampak sehat.”

Bintang tersenyum, sedikit cemburu melihat kata-kata Rio dan tatapannya kearah Ayna.

“Mas Bintang, nanti Ayna saya minta menginap disini ya, ibu sangat kangen,” tiba-tiba bu Tarni muncul sambil membawa gelas-gelas berisi es kelapa muda dengan gula merah.

Bintang menatapnya. Mana bisa dia menolak, sementara tampaknya Ayna menerimanya dengan senang hati?

“Silahkan diminum nak, itu es degan gula jawa, segar lho,” kata bu Tarni ramah.
“Ayo mas, silahkan, ini sih kesukaan saya. Kalau di Jakarta jarang bisa minum es sesegar buatan ibu.”
Bintang tersenyum, meraih gelasnya sambil melirik kearah Ayna.

“Ayna, kamu nggak minum ?”
“Iya.. terimakasih bu.”
“Nanti Ayna tidur sama ibu ya, bekas kamar kamu sudah dipakai kembali oleh Rio.”
“Iya bu, nggak apa-apa.”
“Ibu ingin kamu cerita tentang pengalaman kamu, pasti seru..”
“Ah, ibu.. cerita saya ya biasa-biasa saja kok.”
“Apapun itu, pasti menyenangkan.”

Ayna tersenyum sambil mengaduk es kelapa mudanya.
“Enakkah ?” tanya bu Tarni.
“Sangat segar bu..”
“Besok ibu akan membuat puding buah, seperti dulu kita pernah membuatnya. Kamu ingat kan?”
“Ingat bu.”
“Nanti kita akan mengajak Ayna jalan-jalan..” kata Rio tiba-tiba.

Bintang menoleh kearahnya. Dalam hati Bintang berteriak.. jangaaan.

“Iya, kalau nak Bintang mau ikut, datang saja kemari, nanti kita bisa jalan ramai-ramai,” sambung bu Tarni.
“Terimakasih bu, tapi nanti sore ada pasien, kami sudah janjian kemarin,” kata Bintang tak senang mendengar Rio akan jalan-jalan bersama Ayna.
“Oh.. sayang ya. Nanti kamu nyamperin nak Arsi bukan?”
“Tidak bu, Arsi sudah bilang kalau dia agak flu, nggak berani keluar malam.”
“Oh, ya sudah tidak apa-apa hanya kita bertiga.”

Bintang pulang sore itu dengan wajah muram..
***

“Mas, kok sore sekali pulangnya? O.. aku tahu, jalan-jalan sama Ayna kan?”
“Nggaaak,” kata Bintang sambil berlalu. Tapi bukan Bulan kalau mendiamkannya. Ia mengejar kakaknya, lalu bergayut dilengannya.
“Kalau enggak, mengapa pulangnya sore?”
“Suka-suka aku dong.”
“Iih.. kok tumben kakakku galak bener sama adiknya. Lagi kesel ya? Atau.. karena Ayna nggak mau diajak jalan-jalan? Atau Ayna ngajakin, tapi mas nggak mau karena nanti janjian sama pasien, lalu Ayna marah?”
“Kamu bisa diam nggak sih? Cerewet amat,” dengus Bintang kesal, lalu masuk kekamarnya. Bulan tetap mengikuti masuk kedalam.
“Heii.. mau apa kamu?”
“Mas harus jawab dulu pertanyaan aku.”
“Kamu itu cewek, nggak boleh masuk kekamar cowok seenaknya.”
“Yee.. kan cowoknya kakak sendiri.. memangnya salah?”
“So’alnya kamu cerewet.. Sudah keluar sana, aku mau mandi.”
“Mandi aja, kalau masuk kekamar mandi aku nggak akan ikut, percaya deh,” kata Bulan sambil membaringkan tubuhnya di ranjang kakaknya.
“Eeeh.. ngapain kamu tidur disitu ?”
“Nungguin mas Bintang mandi, lalu mas harus cerita, kenapa pulang sambil marah-marah.”
“Apa sih.. kayak polisi menginterogasi pesakitan saja.”
“Biarin.”

Bintang kewalahan. Kalau sudah begitu Bulan susah dihentikan. Ia masih berbaring diranjang sambil membuka-buka majalah yang ada dimeja Bintang ketika Bintang selesai mandi.

“Bulaaan...” tiba-tiba terdengar teriakan ibunya dari luar.
“Ya bu...”
“Itu, ponsel kamu berdering dari tadi..”
“Oh.. iya bu..” jawabnya sambil melompat dari ranjang dan berlari keluar.
“Rasain !!” ejek Bintang yang kemudian mengunci pintu kamarnya dari dalam.
***

“Mas Bintang pulang-pulang uring-uringan,” keluh Bulan ketika menerima telpon dari Nanda.
“Memangnya kenapa ?”
“Nggak tau tuh, aku baru mau memaksanya bicara, mas Nanda telpon, habis itu kamarnya dikunci dari dalam.”

Nanda tertawa.

“Memangnya Ayna belum ketemu ?” tanya Nanda.
“Lhoh, Ayna hilang lagi? Kok ilang-ilangan terus sih ?”
“Tadi dia menjemput Ayna, rupanya Ayna sudah dijemput oleh orang lain.”
“Berarti nggak ilang dong.”
“Ya enggak, kata mbak Tanti ketia aku menelpon tadi, Ayna dijemput bu Riri.”
“O.. itu yang menemukan Ayna pertama kali ya?”
“Iya. Bu Riri itu juga sangat sayang sama Ayna, katanya dia kangen sama Ayna, lalu minta ijin mbak Tanti agar diperbolehkan menginap sehari dirumahnya.”
“O.. berarti mas Bintang belum ketemu..”
“Kata mbak Tanti sudah diberi alamat bu Riri. Masa dia nggak menyusul kesana.”
“Pastinya menyusul, baru saja dia pulang, tapi wajahnya keruh.”
“Mungkin kecewa karena nggak bisa malam mingguan.”
“Kasihan.. Tapi aku yang kena getahnya nih, ditanya baik-baik jawabnya ketus begitu.”
“Ya sudah, nggak apa-apa, so’alnya penginnya kan jalan-jalan berdua, tapi nggak bisa. Kita aja nanti yang jalan-jalan ya. Sehabis maghrib aku samperin kamu.”
“Kemana?”
“Jalan-jalan lah..”
“Baiklah, aku mau mandi dulu .. kalau begitu.”
***

Ayna sebenarnya segan ketika bu Tarni dan Rio mengajaknya jalan malam itu. Katanya hanya akan belanja sesuatu. Tapi ia merasa sungkan untuk menolak. Akhirnya ia ikut saja walau merasa kurang nyaman. Ayna teringat wajah Bintang ketika berpamit pulang. Tampaknya ada rasa tak senang ketika Rio mengajaknya. Ia berharap Bintang mau ikut seperti tawaran bu Tarni, tapi Bintang menolak karena katanya sudah janjian sama pasien. Benarkah? Bukankah ini hari Sabtu? Biasanya hari Sabtu dia kan nggak praktek.

Sekarang mereka sudah memasuki sebuah supermarket. Mengapa ya, kalau namanya jalan-jalan itu selalu supermarket tujuannya. Mungkin karena disana banyak yang bisa dilihat, mungkin menarik, kemudian dibelinya. Atau hanya melihat-lihat barang-barang bagus yang dipajang.

“Ayna, mengapa diam saja ?” tegur Rio.
“Nggak apa-apa mas... itu.. melihat-lihat barang-barang bagus.”
“Kamu ingin sesuatu ?”
“Tidak, hanya senang melihat saja..”
“Aku mau beli arloji.. kamu mau Ayna? Ayo kita melihat kesana,” kata Rio yang berusaha menggandeng Ayna, tapi Ayna menghindar, memilih menggandeng tangan bu Tarni.
“Lihat Ayna, ini bagus-bagus.. kamu mau?”
“Tidak mas, terimakasih, saya tidak biasa memakai arloji.”
“Ini hadiah dari aku. Bukankah kita adalah sahabat?”
“Iya, tapi saya tidak biasa. Mas saja yang beli.”
“Ayna, mengapa menolak pemberian mas Rio? Dia ingin menyenangkan kamu, sebagai seorang sahabat, atau saudara. Terimalah nak.”
“Tidak bu.. sungguh saya tidak biasa memakai arloji.. nanti malah tidak kepakai, sayang kan,” kata Ayna sambil melihat-lihat.
“Mana ya bu, yang bagus,” kata Rio kepada ibunya.
“Ya terserah kamu suka yang mana, selera orang tua kan selalu tidak cocok dengan selera anak muda," jawab bu Tarni.
“Kalau begitu Ayna saja yang memilihkan, ayo Ayn.. pilihkan mana yang bagus untuk aku..” kata Rio sambil menggamit lengan Ayna.
“Apalagi saya mas, beda dong selera saya sama mas Rio.”
“Baiklah, mana yang menurut kamu bagus, itu yang aku pilih,” kata Rio memaksa.
“Ah, enggak.. selera saya rendah..”
“Lho.. kok gitu.. ayolah..”
“Mas sendiri yang memilih.. saya tidak bisa..”

Rio kemudian meminta kepada penjaga toko agar mengambilkan sebuah arloji. Rio mengambilnya dan menempelkannya pada lengannya sendiri.

“Ini Ayna? Baguskah ?” sambil berkata begitu Rio menempelkan arloji itu di lengan Ayna.
“Saya tidak lho mas.”
“Bukan, aku hanya ingin melihat dari lengan kamu, bagus atau tidak, mungkin beda kalau aku melihatnya dilengan aku sendiri,” kata Rio sambil kembali menempelkannya dilengan Ayna.

Sa’at itulah sepasang mata melihatnya.

==========

“Sepertinya kurang bagus, ya nggak bu..?” kata Rio sambil menatap lengan Ayna yang sudah memakai arloji pilihan Rio.
“Bagus kok.. menurut ibu bagus,” kata bu Tarni
“Bagaimana menurut kamu Ayna?”
“Ya bagus.. “ kata Ayna sambil melepas arloji dari tangannya, lalu mengulurkannya pada Rio.

Ayna tak ingin berlama-lama memakai arloji yang hanya dipergunakan sebagai tontonan. Itu sebabnya dia bilang bahwa itu sudah bagus.

“Baiklah, aku ambil yang ini,” katanya kepada penjual.

Penjual segera menerima arloji itu lalu menyetelnya dan mencocokkan waktunya.

“Kalau yang untuk perempuan ... itu mas, coba..” kata Rio sambil menunjuk kearah sebuah arloji cantik yang cocok untuk perempuan.

Ayna menjauh.. melihat-lihat ke counter lain. Ia kesal sama Rio, karena tampaknya Rio nekat mau membelikannya arloji. Tapi tiba-tiba Rio memanggilnya.

“Ayna.. sini..”

Ayna menggoyang-goyangkan tangannya, memberi tanda bahwa dia tidak mau.

“Tolong Ayna..”
“Rio, dia tidak mau, mengapa kamu nekat membelikannya, nanti dia marah,” tegur bu Tarni.
“Ya sudah mas, ini saja sekalian,” kata Rio kepada penjual arloji itu yang segera menyetelnya.

Ayna berjalan-jalan di counter lain, melihat barang-barang yang dipajang. Lalu bu Tarni menyusulnya.

“Kamu ingin apa, Ayna? Baju ya? Ini bagus sekali, warnanya cocok dengan kulit kamu,” bujuk bu Tarni.
“Tidak bu, baju Ayna masih banyak.”
“Barangkali modelnya lain.. Cobain, ibu ingin membelikan sesuatu untuk kamu. Kamu lupa ya kalau ibu ini juga ibu angkatmu?”
“Ibu, saya tidak lupa. Sungguh saya harus berterimakasih pada ibu karena telah membuat saya hidup kembali. Tapi ibu tidak usah memberikan apapun lagi. Semua yang ibu berikan kepada Ayna sudah lebih dari cukup. Saya ingin membalasnya, tapi tidak tahu dengan apa.”
“Ayna, mengapa harus ada balas membalas? Kasih sayang seorang ibu tidak memerlukan balasan. Kasih sayang itu bukan barang dagangan. Kamu tahu Ayna?”
“Iya bu, saya tahu.”
“Kalau begitu terimalah pemberian ibu kali ini, pilih baju yang kamu suka.”
“Tapi bu...”
“Kalau kamu ingin membalasnya, terimalah pemberian ibu ini, jangan membuat ibu kecewa.”
“Ibu...”
“Pilih yang kamu suka Ayna...”
“Ya ampun ibu... Baiklah kalau ibu ingin saya menerimanya. Tapi tolong ibu pilihkan yang mana, Ayna tidak bisa memilih.”
“Baiklah nak, yang ini bagaimana, warnanya hijau bersemu kuning.. cocok dengan kulit kamu yang bersih. Ini ya?”
“Baiklah bu, terimakasih banyak.”

Ketika bu Tarni membawa baju itu ke kasir, Rio mendekatinya.

“Beli baju? Biar Rio yang bayar,” kata Rio yang segera mengeluarkan uangnya.

Ayna ingin memprotes, tapi bu Tarni diam saja. Aduuh.. alangkah beratnya orang berhutang, apalagi kalau hutang budi. Ingin menolak pemberian saja nggak bisa. Akhirnya Ayna hanya diam dan pasrah.

“Sudah ?” kata Rio sambil menerima bungkusannya lalu diulungkannya pada Ayna.

Ayna menerimanya, lalu menggandeng lagi tangan bu Tarni.

“Kemana lagi kita bu?” tanya Rio kepada ibunya.
“Terserah kamu saja... ayo.. “
“Ya sudah, jalan-jalan saja.. barangkali ada yang menarik,” kata Rio yang terus melangkah. Bu Tarni mengikuti, Ayna terus menggandeng tangan bu Tarni.
***

“Bulan, lama-lama capek ya.. aku jadi lapar..” kata Nanda ketika capek berjalan-jalan.
“Ayo istirahat dulu kalau begitu.”
“Ada rumah makan disitu, kelihatannya enak.”
“Eh, lihat.. bukankah itu tante Widi? Juga Arsi, mengapa Arsi menarik-narik tante Widi seperti itu?”
“Seperti memintanya segera pergi. “
“Tampaknya keluar dari supermarket itu.”
“Tante Widi !!” teriak Bulan.
“Hei.. Bulan sama Nanda tuh.. ayo kesana.”

Arsi yang sudah mau naik keatas mobil terpaksa mengikuti ibunya mendekati Bulan.

“Tante.. mana om Ryan?”
“Om Ryan agak masuk angin, sepertinya flu berat, jadi kami berangkat sendiri.”
“Ooh.. om Ryan sakit?”
“Iya.. tapi nggak apa-apa.. tadi sudah bisa bangun sih, cuma belum berani keluar malam. Mau kemana kalian?” tanya Widi.
“Cuma jalan-jalan tante.. ini mau makan. Ayuk ikut..” ajak Nanda.
“Iya, aku mau..ayo Arsi.. kangen sama Bulan aku.. “

Arsi ingin menolak, tapi sungkan. Akhirnya ia mengikuti langkah mereka memasuki rumah makan.

“Arsi.. sejak kapan kamu jadi pendiam?” tanya Bulan melihat wajah Arsi tampak murung.
“Nggak apa-apa. Tiba-tiba kepalaku pusing,” jawab Arsi.
“Benar kamu pusing?” tanya ibunya.
“Iya bu, makanya Arsi ingin cepat-cepat pulang.”
“Padahal masih beberapa yang belum sempat kita beli,” gerutu Widi.
“Ya sudah, kita istirahat saja dulu, nanti pesan yang hangat-hangat,” kata Bulan sambil menarik Arsi memasuki rumah makan, kemudian memilih tempat duduk yang sekiranya nyaman.

“Agak lama kita nggak ketemu ya Bulan? Kapan menikah nih ?” tanya Widi sambil menatap Bulan dan Nanda bergantian.
“Secepatnya tante...” jawab Nanda.
“Eeh.. enak saja... Belum tante.. menyelesaikan kuliah dulu. Arsi kapan nih?” tanya Bulan.
“Aku nggak mau menikah.”
“Lhoooh.. gimana sih?” tanya Bulan heran.
“Arsi jangan ngomong seenaknya.” tegur ibunya.
“Ngomong yang baik dong Arsi, kalau ada setan lewat bagaimana?” canda Nanda.
“Biarin. Emang iya kok.”
“Apa maksud kamu Arsi?” tanya Widi lagi.
“Dimana-mana ada saja laki-laki yang tidak setia.”
“Oouw.. lagi marahan sama pacar ya?” canda Nanda lagi.
“Ada aja kamu Arsi, ayo pesan apa.. aku yang tulis. Tante Widi apa?”
“Aku ngikut yang muda saja..”
“Mas Nanda apa?”
“Aku nasi rames.. minumnya jeruk panas.
“Tante?”
“Aku selat segar. Minumnya jeruk panas juga.
“Arsi?”
“Aku terserah, pokoknya bukan yang menyebabkan orang mati.” jawab Arsi.
“Arsi, kamu ngomong apa sih? Jangan ngomong yang enggak-enggak..”
“Baiklah, aku bakso sama teh panas.” Jawab Arsi sekenanya.

Lalu semua mengerti bahwa Arsi sedang kesal.

“Habis dimarahi om Ryan ya?” tanya Bulan sambil menyerahkan pesanan kepada pelayan.
“Mana pernah bapaknya marah sama dia. Dia itu anak emas,” kata Widi.
“Kok hari ini kamu aneh?”
“Ooh.. karena malam minggu nggak ketemu pacar ya?” lagi-lagi Nanda berseloroh.
“Memangnya Rio nggak pulang?”

Arsi diam, Widi yang menjawab.

“Pulang kok, tadi dia menelpon, tapi Arsi lagi melayani bapaknya yang lagi sakit flu. Setelah itu tidak menelpon lagi. Barangkali takut mengganggu,” kata Widi.
“Lalu dia jalan dengan gadis lain,” kata Arsi dengan wajah gelap.
“Eee.. nggak boleh gitu dong Arsi..”
“Emang iya,” kata Arsi sengit.
“Siapa bilang?”

Lalu pesanan mereka sudah siap terhidang.

“Ayo.. semua pesanan sudah siap. Jangan gitu dong Arsi.. ayo makan baksonya, hangat-hangat begitu bisa mengendapkan kemarahan kamu,” kata Nanda.
“Lagian kalau tidak melihat sendiri, jangan percaya pada omongan orang lain,” kata ibunya.
“Tidak bu, aku melihat dengan mata kepala sendiri.”
“Apa? Kapan?”
“Barusan, makanya Arsi mengajak ibu segera pulang.”
“Lho.. kalau melihat pacar berselingkuh, dekati saja dan hajar, Arsi,” kata Bulan dengan berapi-api.
“Duh, kamu kok sadis sih,” tegur Nanda.
“Iya lah, aku sadis, apalagi kalau melihat pacar tidak setia. Awas saja kamu ya mas,” kata Bulan sambil menatap tajam Nanda.
“Kok aku sih yang dipelototin?”
“Itu peringatan buat kamu.?”
“Aduuuh... ayo kita makan saja dulu.. Kalau ada acara makan lalu ada ancaman-ancaman begini, jadi nggak nikmat dong. Ayo tante, Arsi.. makan saja dulu.”
“Ayo Arsi, makan saja dulu, beritahu aku dimana Rio sedang pergi bersama gadis lain, biar aku omelin dia.”
“Nah, itu agak lunak, omelan kan tidak sekeras hajaran, sakit tahu,” kata Nanda sambil menghirup jeruh panasnya.
“Ayo Arsi, makan dulu, aku ada dipihak kamu,” kata Bulan bersemangat.

Widi hanya tersenyum.

“Ini apa sih... anak-anak muda.. bicaranya nggak keruan. Sudah Arsi, makan saja dulu, nanti kita bicara lagi,” kata Widi.

Arsi diam. Ia menyendok pelan bakso yang dipesannya, tapi wajahnya tetap saja muram. Tadi dia melihat Rio, sedang mengenakan sebuah arloji ditangan seorang gadis yang dikenalnya. Itu Ayna. Bagaimana Rio bisa pergi bersama Ayna dan tampak begitu dekat? Tentu saja Arsi cemburu. Barangkali Arsi tidak tahu, ketika Rio menelpon siang tadi, yang menerima ibunya, ibunya mengatakan bahwa Arsi sedang melayani bapaknya yang sedang sakit flu agak berat. Rupanya Rio salah terima. Dikiranya Arsi yang sakit. Aduhai.

“Kamu tahu Bulan, siapa yang tadi sedang bersama mas Rio?” kata Arsi setelah hanya menghabiskan separo bakso pesanannya.
“Siapa? Kamu mengenalnya? Kenapa tidak kamu dekati saja dan ...”
“Menghajarnya...?” sambung Nanda.
“Bukan hanya aku. Kalian pasti juga sangat mengenalnya,” kata Arsi.
“Siapa sih ?”
“Ayna.”

Dan itu benar-benar mengejutkan mereka semua.
***

“Maas... mas.. aduh, sudah tidur ya mas,” kata Bulan begitu pulang dari bepergian bersama Nanda.
“Eeh.. apa sih ini.. nyelonong saja masuk ke kamar orang,” gerutu Bintang sambil memunggungi adiknya yang berdiri disamping ranjang.
“Eh.. dengar, ada berita bagus untuk kamu mas.”
“Nggak mau dengar.. nggak mau..pergi sana.. aku mau tidur. Duh.. kenapa aku lupa mengunci kamarku sih. Nggak ingat ada kucing garong yang suka nyerobot masuk ke kamar.”
“Enak aja, ngatain aku kucing garong. Dengar ya.. ini berita tentang pacar kamu.”
“Nggak mau dengar.. nggak mau dengar..”
“Ya ampuun.. pacar kamu selingkuh, tahu !!”

Bintang menutupi wajahnya dengan bantal. Tapi Bulan menarik bantal itu.

“Mas Bintang.. aku gelitikin kamu...” kata Bulan sambil menggelitik pinggang kakaknya. Tentu saja Bintang berteriak-teriak.

Bulan memang nakal, ia tak mau diacuhin kakaknya tanpa sebab. Ia akan terus berusaha agar kakaknya mendengarkan apa yang dikatakannya. Apapun akan dilakukannya. Ia terus menggelitik pinggang kakaknya sampai Bintang bangkit dan menjauh sambil berteriak-teriak. Bulan ikut naik ke ranjang, Bintang memukulinya dengan guling.
Teriakan kedua anak bersaudara itu membuat Palupi kemudian masuk ke kamar mereka dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Ini ada apa sih... duuuh.. ibu kira ada gempa. Lihat.. tempat tidur kamu seperti kapal pecah,” kata Palupi sambil memungut bantal dan guling yang terserak dilantai.

Bulan menghentikan serangannya. Turun dari ranjang kakaknya.

“Itu bu, kucing garong ngamuk,” omel Bintang.
“Kalian ini bukan anak kecil lagi lho, kalau bercanda kok keterlaluan begitu. Aduuh... berhenti mengganggu kakak kamu dong ..”
“Kesel aku sama mas Bintang.. dari tadi nggak peduli sama Bulan..” sungut Bulan sambil keluar dari kamar.
“Bintang, kamu itu jadi saudara tua, kok ya nggak mau ngalah sama adiknya,” kata Palupi memarahi Bintang.
“Dia itu selalu ingin tahu urusan Bintang bu..”
“Karena adik kamu sangat memperhatikan kamu. Tahu nggak sih kamu.”
“Tahu bu, tapi hari ini Bintang sedang nggak ingin diganggu.”
“Tampaknya begitu, kamu tampak suntuk sejak siang. Capek karena hari Sabtu ada pasien?”
“Tidak bu.. “
“Ya sudah, sekarang ayo makan dulu, bapak sudah nungguin tuh.”
“Bintang lagi ogah makan..”
“Bintang, nggak boleh begitu. Dokter kok nggak bisa jaga kesehatan. Ayo bangun dulu, udah ditungguin bapak tuh.”

Bintang dengan malas bangun. Ketika keluar dari kamar, dilihatnya Bulan duduk didepan televisi. Bintang menghampiri, lalu mengacak rambutnya pelan.

“Iih... sebel.. !” sergah Bulan sambil memiringkan kepalanya.
“Dengar Bulan, aku sudah tahu apa yang akan kamu katakan.”
“Apa ?”
“Tadi kamu jalan-jalan, ketemu Ayna kan ?”
“Nggak...”
“Lalu... kamu mau bilang apa?”
“Sekarang ingin tahu...”
“Mungkin beda dengan yang aku pikirkan. Ayna pergi sama Rio dan bu Riri kan ?”
“Haa, jadi sudah minta ijin sama mas, kalau mereka mau jalan?”
“Bukan minta ijin, memberi tahu.”
“Lalu mas tampak kesal kan tadi? Itu sebabnya?”
“Ya.. jadi jangan lagi memperkeruh keadaan karena aku sudah tahu.”
“Aku tidak ketemu mereka.”
“Lalu ?”
“Aku ketemu tante Widi dan Arsi, yang marah-marah karena melihat pacarnya jalan sama Ayna.”
“Lho.. bukannya Arsi sakit ?”
“Siapa bilang Arsi sakit? Yang sakit itu om Ryan. Tadi tante Widi yang menerima telponnya.”
“Hm.. jadi Rio salah terima nih. Dia mengira Arsi yang sakit, jadi tidak jadi nyamperin kesana.”
“Waah.. bakal terjadi perang nih. Arsi kan tidak tahu tentang salah terima itu.”
“Bintaaaang... buruaan,” teriak Palupi dari kamar makan.
“Makan sana, aku sudah kenyang.” Kata Bulan.
***

Pagi itu Rio berpamit kepada ibunya akan keluar sebentar. Ayna merasa lega karena Rio tidak memberikan jam tangan yang semalam dibelinya. Tapi bu Tarni memaksa agar Ayna memakai gaun yang dibelikannya.
Duduk sambil sarapan pagi Ayna sudah mengenakan gaun itu. Bu Tarni tersenyum senang, dan Rio menatapnya tak berkedip.

“Ayna benar-benar cantik ya,” puji Rio.
“Iya, anak ibu ..” kata bu Tarni senang.
“Iya bu, Rio percaya.. Sekarang Rio pamit dulu ya.”
“Mau kerumah Arsi ya?”
“Iya, ingin melihat keadaannya, katanya kemarin sakit.”
“Bawakan buah atau apa..”
“Sudah beli kan semalam?”
“Iya, ibu lupa.”
“Baiklah. Ayna, mau ikut kerumah Arsi?”
“Tidak mas, aku mau menemani ibu masak puding buah.”
“Oh, bagus.. nanti begitu mas Rio datang bisa menikmati segarnya puding buatan kamu dong ya.”

Ayna hanya tersenyum. Ia melanjutkan sarapannya bersama bu Tarni yang tak bosan-bosan menatap anak angkatnya. Ada sesal mengapa Ayna harus menjafi anak angkat Tanti, bukan anak angkatnya sendiri.
***

Rio turun dari taksi, dan dengan langkah ringan memasuki halaman rumah Ryan.
Dipintu, dilihatnya Widi sedang menata tanaman bunga dikebun kecilnya.

“Selamat pagi ibu,” sapa Rio.
“Nak Rio ? Aduh.. pagi-pagi sudah sampai disini. Ayo masuk,” kata Widi ramah.

Rio mengikutinya masuk, lalu duduk di teras.

“Arsiii... “ teriak Widi keras.
“Arsi sudah sembuh bu?”
“Arsi tidak sakit.. yang sakit bapaknya. Flu berat, tapi sudah agak mendingan,” kata Widi sambil berjalan masuk.

Rio tertegun. Bersama itu Arsi keluar. Tapi begitu melihat Rio, wajahnya berubah masam. Lalu ia membalikkan tubuhnya, masuk kedalam rumah, langsung ke kamarnya dan menguncinya dari dalam.

Bersambung #18

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER