Cerita bersambung
“Ah... bukan dia ya? Sama-sama hilang sih..” kata Rio.
“Ya bukan, namanya saja beda, penampilan juga beda... banyak orang mirip didunia ini. “
“Kasihan harusnya ia diingatkan pada hal-hal yang pernah dialaminya. Itu akan membantunya. Tapi kita kan tidak tahu apa-apa tentang masa lalunya?”
“Semoga dengan berjalannya waktu dia akan pulih, “
Lalu bu Tarni melihat Ayna sudah siap berdiri didepan pintu.
“Sudah Win? Ayo kita berangkat.”
Ayna mengangguk. Lalu berjalan mendekati bu Tarni.
Rio mengalihkan pandangan kearah lain, karena Ayna tampaknya masih takut melihatnya.
“Ibu naik apa?”
“Nanti didepan ibu pesan taksi. Ayo Win, kita berangkat,” katanya sambil menggamit lengan Ayna.
“Nanti mampir ke salon dulu ya?”
“Ke salon ?”
“Rambutmu potongannya tidak rapi begitu, siapa yang memotongnya?”
“Saya tidak tahu..”
“Baiklah, ke salon sebentar supaya potongan rambut kamu dirapikan, baru kita belanja ya.”
“Ya..”
“Tunggu sebentar, aku memanggil taksi.”
“Warungnya ..?”
“Kalau Minggu warungnya tutup. Biar saja. Kata teman saya hari Minggu malah rame, tapi aku memilih tutup, biar karyawanku bisa liburan. Kasihan kerja terus menerus.”
Ayna menurut saja ketika taksi yang membawanya berhenti disebuah salon. Lalu bu Tarni memerintahkan kepada penjaga salon agar merapikan rambut Ayna dan mencucinya juga.
Bu Tarni tersenyum melihat perubahan wajah Ayna setelah rambutnya dicuci dan dipotong. Tidak banyak mengurangi panjang rambutnya dan hanya merapikan agar. Tanpa make up juga Ayna tampak cantik dan menawan. Benar-benar kecantikan yang sempurna.
“Siapa pemilik gadis cantik ini? Kasihan sekali dia,” gumamnya sambil melihat wajah Ayna yang sedang berjalan mendekatinya.
Bu Tarni membayar ongkosnya, kemudian kembali memanggil taksi.
“Duduk sebentar disini ya cantik, sambil menunggu taksi.”
Ayna tersenyum, lalu duduk disamping bu Tarni, wanita baik yang sangat memperhatikannya.
“Ibu, bisakah ibu membelikan buku tuntunan shalat?” kata Ayna tiba-tiba.
“Oh, kamu belum bisa ?”
“Saya .. lupa.. hampir semua.. do’a.”
“Yaaa... baiklah, nanti kita beli. Kamu anak baik, betapa kamu sakit tapi masih mengingat ibadah kamu.”
“Ibu mengingatkan saya..”
“Iya benar. Itu taksinya sudah datang, ayo kita pergi..”
***
“Bagaimana keadaan kamu hari ini? Masih mual ?” tanya Danang kepada isterinya di rumah sakit.
“Ya begini ini mas.. masih terkadang mual, biarpun tidak terus-terusan. Muntah juga jarang. Bolehkah aku minta pulang?” kata Tanti.
“Jangan terburu pulang. Makannya belum banyak mas Danang, sesendok dua sendok, kalau begitu terus kan lemas,” kata bu Suprih menimpali.
“Tuh, kan. Sabar dulu dong. Bukankah disini ada ibu yang menemani, dan aku setiap pulang kantor juga kemari sampai malam. Beberapa kerabat juga menjenguk kamu.”
“Iya sih mas..”
“Dokter juga pasti belum mengijinkan kamu pulang kalau kamu belum mau makan banyak,” kata bu Suprih lagi.
“Ya sudah, biar saja dulu. Itu anak pertama kita, kamu harus benar-benar menjaganya.”
“Aku kangen rumah..aku juga kangen Ayna. Belum ada kabarnya ya mas?”
“Sudah dipasang iklan di koran-koran.. semoga ada hasilnya.”
“Kasihan anak itu..”
“Iya, tapi semua orang berusaha mencari, dengan segala cara. Kamu sabar ya..”
“Rasanya ingin ikut mencari..”
“Kamu begitu lemah.. bagaimana bisa ikut mencari.. “
“Sekarang makan dulu saja, sudah ibu siapkan dari tadi lho.”
“Oh, berarti minta disuapin sama suami, ya kan? Mana bu.. biar aku yang nyuapin.”
Tanti tak bisa menolak.
“Ini.. lauknya sup, sama daging terik.. enak lho, ini mas Danang.. “ kata bu Suprih.
“Ayo, ini yang makan bukan cuma kamu lho, tapi juga anak kamu. Ayo mangap..” goda Danang.
“Sedikit saja, nanti mas habiskan ya.”
“Lha kalau aku makan segini ya kurang.. ini jatah untuk adik bayi. Harus kamu yang menghabiskan.”
Mau tak mau Tanti menurut apa yang dikatakan suaminya. Memang benar perutnya lapar, tapi rasa mual masih sering mengganggunya.
“Pengin jalan-jalan mas..”
“Ya, nanti kalau kamu sudah sehat, sudah bisa makan banyak, kita jalan-jalan. Mau jalan kemana juga pasti aku turutin.”
Tanti makan beberapa suap, lalu menggoyang-goyangkan tangannya.
“Sudah mas.. sudah.. “
“Baru separo nih.. tiga suap lagi..”
“Nggak mau..”
“Dua suap.. ayolah ..”
“Emooh mas...”
“Ya sudah satu saja, masa sih satu lagi saja nggak mau, tuh, adik bayi nangis karena masih lapar..”
Tanti menurut, tapi kemudian meraih minyak kayu putih di bawah bantalnya, lalu mencium-ciumnya .
“Agak berkurang ya kalau mencium minyak kayu putih..?”
“Iya mas, lumayan..”
“Bagaimana kalau mencium aku saja?” canda Danang.
“Iih.. norak.. sudah tua masih sok romantis..”
“Lhoh, memangnya kalau sudah tua nggak boleh romantis? Lagian aku baru mau punya anak, berarti masih agak muda dong.”
“Ada ibu tuh.. nggak malu.”
“Aku nggak dengar...” teriak bu Suprih sambil tersenyum. Senang rasanya melihat kemesraan anak dan menantunya.
***
“Mas.. ayo kita jalan-jalan, mumpung hari Minggu dan kamu ada waktu,” kata Deva ketika Bimo datang kerumah.
“Pengin jalan kemana?”
“Ke mal ya, ibu nitip belanjaan sedikit.”
“Boleh...”
“Tapi aku belum mandi, tungguin ya..”
“Belum mandi? Jam segini belum mandi ?”
“Tadi diajak teman olah raga.. baru pulang .”
“Olah raga apa tadi?”
“Jalan kaki saja.. muter kampung sampai tiga kali,”
“Berarti sudah jalan-jalan dong, kok masih ngajakin jalan-jalan lagi ?”
“Kan sambil belanja. Tungguin pokoknya,” katanya sambil berlari masuk kedalam.
Bimo hanya geleng-geleng kepala. Sedikit kesal karena tunangannya manja, tapi dia sangat mencintainya.
“Nak Bimo.. minumnya..” tiba-tiba bu Mirah muncul sambil membawa segelas minuman.
“Oh, ibu kok repot-repot sih.. “
“Tidak apa-apa.. cuma minum saja kok. Ayo silahkan diminum.”
“Terimakasih bu.”
“Deva baru mau mandi, dari pagi jalan-jalan sama temannya,” kata bu Mirah sambil duduk didepan Bimo.
“Iya bu, nggak apa-apa, biar sehat.”
“Nak Bimo harus sabar ya.. Deva terkadang masih kekanak-kanakan.”
“Iya bu, saya tahu.”
“Sudah sering saya beri tahu..tapi ya.. bawaan sejak kecil karena terlalu dimanja. Saya juga ikut bersalah.”
“Tidak apa-apa bu, dengan berjalannya waktu nanti pasti dia akan menjadi lebih dewasa.”
“Iya , semoga.”
“Tapi sebenarnya dia baik. “
“Nak Bimo juga harus sering memberi tahu..”
“Iya bu.”
“Oh ya, nanti kalau mau jalan, ibu mau nitip ya, ibu sudah bilang sama Deva.”
“Iya bu, nggak apa-apa.”
“Sebentar saya lihat dia dulu, kalau dandan lamanya bukan main,” kata bu Mirah sambil beranjak kedalam.
***
“Belum ada berita ya?” tanya Nanda dirumah Bintang siang itu.
“Belum ada yang merespon iklan itu,” jawab Bintang dengan wajah muram.
“Sabar Bin, Kan baru hari ini, barangkali belum ada yang bertemu dia atau mengetahui dimana dia berada.”
“Iya, pastinya.”
“Ayo kita jalan-jalan saja.”
“Boleh, siapa tahu ada sesuatu yang bisa kita temukan..”
“Aku ikuuut..” tiba-tiba Bulan berteriak dari dalam..”
“Iih, ini anak kecil sukanya ngikut..”
“Aku kan cuma ikut, nggak akan mengganggu kok.”
“Iya, iya.. ikutlah.. kalau ada kamu kan pasti rame..” kata Nanda.
“Horeee... boleh, aku sudah rapi, nggak usah ganti pakaian.”
“Aku yang harus ganti, masa pakai sarung begini,” kata Bintang yang kemudian masuk ke dalam.
“Iya tuh, mas Bintang kalau dirumah sukanya pakai sarung,” gerutu Bulan sambil duduk didepan Nanda.
“Kan cuma dirumah, kalau pergi-pergi pakai sarung bisa dikira anak baru disunat..”
Bulan tertawa, dan lagi-lagi Nanda suka menatap bibir tipis yang menampakkan sebaris gigi putih yang berbaris rapi..
“Kata siapa, kalau dari masjid ya biasanya pakai sarung..”
“Iya kan kalau ibadah di masjid, kalau jalan-jalan ya jarang lah.”
“Ayo berangkat, lagi ngomongin apa ?”
“Lagi ngomongin sarung..”
“Oh.. ada-ada saja, aku sudah pamit sama bapak sama ibu.”
“Aku sudah dipamitin ?”
“Pamit sendiri sana..!” kata Bintang.
“Huuh.. jelek !” pekik Bulan lalu berlari kebelakang.
Bintang dan Nanda tertawa sambil beranjak keluar.
***
“Win, ini buku yang kamu butuhkan bukan?” kata bu Tarni sambil mengulurkan buku yang baru saja dibelinya disebuah toko buku.
“Iya bu.. terimakasih banyak.”
“Kamu sudah pernah melakukannya, barangkali membutuhkan sedikit waktu untuk mengingatnya kembali.”
“Iya, mudah-mudahan bu.”
“Dan semoga juga kamu segera bisa mengingat semuanya kembali.”
“Aamiin. Saya juga berharap begitu.”
Ayna merasa senang dan terhibur, melihat keramaian dikiri kanan jalan. Ia merasa terlepas dari sebuah kungkungan yang menyebalkan. Ia melihat dunia luas yang beragam, dari kendaraan bermacam bentuk, orang-orang berlalu lalang, semuanya seperti sebuah pemandangan yang baru dilihatnya.
“Kamu senang jalan-jalan di keramaian begini?”
“Senang bu.”
Bu Tarni juga senang, Ayna tak hanya mengangguk atau menggeleng, tapi bisa berucap dengan jelas.
“Kamu ingin beli apa?”
“Tidak bu.. Ibu saja yang belanja.”
“Baiklah, ayo masuk ke dalam, ada banyak barang dijual disana. Aku mau beli makanan yang akan dibawa Rio nanti.”
Ayna mengikuti bu Tarni masuk kedalam sebuah supermarket. Banyak barang dagangan disana, dan Ayna memandanginya dengan takjub. Ia merasa baru datang dari sebuah negeri yang gelap dan kemudian semuanya seperti tampak asing tapi menyenangkan. Wajahnya sedikit berseri.
“Disitu banyak bermacam sayur dijual, tapi aku jarang belanja sayur di supermarket. Untuk makanan yang dijual diwarung, lebih murah belanja di pasar tradisional. Pembantu yang melakukannya.”
“Dimana pasar tradisional?”
“Tidak jauh dari rumah. Biasanya pembantu datang sudah dengan membawa belanjaan, lalu dia memasak, aku hanya membantu. Mereka sudah pintar, lebih pintar dari aku sendiri.”
“Saya akan membantu besok.”
“Baiklah, besok kamu boleh ke warung, dan melakukan apa yang kamu ingin lakukan.”
“Saya harus banyak belajar.”
“Ya, tentu nak.”
Bu Tarni senang, Ayna banyak merespon apa yang dikatakannya.
“Ayo cari makanan. Ini tempat baju-baju, kamu ingin?”
“Tidak, kan ibu sudah memberi saya baju.”
“Tapi kan baju bekas...”
“Tidak apa-apa, bagus-bagus..”
Bu Tarni bertambah senang. Ayna sudah sangat berubah, tidak seperti kemarin yang tampak bingung dan gelisah. Lalu bu Tarni mengajak Ayna berputar-putar dulu, melihat barang-barang yang dipajang.
“Kamu mau sepatu ?”
“Untuk apa?”
“Ya dipakai, sendal kamu sudah tidak layak, bagusnya diganti,..”
“Tidak, biar ini saja.”
Tapi Tarni memaksa membelikannya.
“Ibu...” Ayna ingin protes.
“Sudah, sandal ini lebih bagus, besok kalau jalan-jalan lagi sama ibu, sandalnya harus sudah ganti yang ini.”
“Terimakasih bu.”
Masih mengajak Ayna berputar-putar, bu Tarni belum ingin membeli makanan yang akan dibelinya. Ia senang Ayna menikmati semua yang dilihatnya dengan wajah berseri.
Tiba-tiba sepasang anak muda menatapnya tak berkedip.
Bu Tarni menarik Ayna pergi ketempat penjual baju harian.
“Ini daster, untuk dirumah. Mau yang mana?”
“Tidak.. tidak..” Ayna menjauh.
“Win..”
“Ibu sudah banyak memberi untuk saya. Ayo belanja keperluan ibu sendiri. Katanya mau beli makanan.”
Dan Bu Tarni menurut. Ia teringat bahwa Rio akan pulang sore ini, kalau kelamaan belanjanya, bisa-bisa sampai sore baru sampai dirumah.
Sepasang anak muda itu terus mengawasinya.
“Itu seperti Ayna. Tunggu Deva, bukankah itu Ayna?”
“Mas Bimo itu ya, masa dia Ayna, kalau dia Ayna, siapa wanita yang satunya?”
“Deva, tapi gadis itu persis sekali.”
“Tapi Ayna bukan begitu. Hm, saking kangennya sama Ayna, jadi semua gadis cantik dikira Ayna. Ayo, aku sudah cukup belanjanya,” kata Deva sambil menarik tangan Bimo keluar dari supermarket itu.
Keduanya mendekati mobil, hanya memasukkan barang belanjaan, lalu Deva mengajaknya berjalan lagi.
“Kemana kita?”
“Aku mau beli bunga disudut pasar.. deket kok.”
Tiba-tiba seseorang berteriak memanggil.
“Bimoo !!”
“Itu mas Nanda.”
Mereka berhenti, Nanda dan Bintang turun.
“Mau kemana kalian?”
“Ini, Deva mau membeli bunga,” kata Bimo.
“Mas Nanda mau kemana?” tanya Deva.
“Haus, mau beli minum di restoran itu.”
“Mas, tadi aku melihat seorang gadis, wajahnya persis Ayna.
Bintang dan Nanda terkejut.
“Dimana?”
“Tadi didalam supermarket itu, tapi kata Deva itu bukan Ayna. Penampilannya beda. Rambutnya pendek sebahu,” kata Bimo.
Bintang menarik tangan Nanda, setengah berlari memasuki supermarket itu.
==========
“Mana dia... mana ?” kata Bintang dengan penuh semangat.
“Tenang, jangan terburu-buru. Mengawasi sekian banyak orang harus teliti. Aduh, tadi mengapa tidak tanya sama Deva ketemunya di counter apa..”
“Coba kamu telpon dia..”
Keduanya mencari kesana kemari.. di counter fashion, di counter makanan.. tidak ketemu.
“Katanya tadi melihat-lihat baju...” kata Nanda setelah menelpon adiknya.
“Tadi kita sudah mengitari tempat itu..”
“Pasti sudah ketempat lain..”
“Ayna...” Bintang memanggil agak berteriak, lupa rasa malu walau banyak orang disekitar tempat itu..
“Aynaaaa...” Nanda ikutan berteriak.
“Adakah radio di supermarket ini?” tanya Bintang.
Kaduanya berlarian, mencari letak radio yang ada di lantai atas, dan tak lama kemudian suara panggilan bergema, memenuhi seluruh ruang supermarket itu.
“Mohon perhatian, saudari bernama Ayna, ditunggu keluarganya dicounter makanan.. Saudari Ayna.. saudari Ayna ditunggu keluarganya.. mohon perhatian..“
Dan panggilan itu diulang-ulang.
“Win, ayo cepat, ibu sudah memanggil taksi, ini sudah kesiangan, nanti Rio mengomel karena kita terlalu lama,” kata bu Tarni ketika melihat Ayna berhenti mendengarkan panggilan itu.
“Ayo Win...”
Ayna melangkah keluar, mengikuti bu Tarni, tapi sungguh ia merasa mengenal nama itu.
“Siapa Ayna? Aku seperti pernah mengenalnya. Apakah ia ibuku? Tapi dia bilang saudari, pasti masih muda. Adikku? Kakakku? Atau temanku? Siapa dia? Seperti tak asing bagiku,” kata batin Ayna yang terus melangkah mengikuti bu Tarni menuju taksi yang sudah siap menunggu.
“Ayo, mengapa kamu ini?”
“Tidak.. tidak apa-apa bu..” jawabnya sambil masuk kedalam taksi, yang lalu membawanya pulang kerumah bu Tarni.
***
“Tidak ada.. kita sudah menunggu sejam Bin,” keluh Nanda.
“Ya Tuhan.. kemana kamu Ayna ?” gumam Bintang sedih.
“Ketemu?” tiba-tiba Bimo dan Deva menghampirinya di pintu keluar.
“Tidak. Benarkah yang kamu lihat?”
“Tidak, mas Bimo hanya kangen sama Ayna,” kata Deva bersungut-sungut.
“Ngawur kamu, gadis itu persis Ayna. Hanya penampilannya berbeda,” kata Bimo.
“Penampilannya bagaimana?” tanya Nanda.
"Rambutnya terurai sebatas bahu, cantik sekali,” kata Bimo. Dan Deva berdehem kesal.
“Kamu nih, tadi aku mau mendekati, kamu menarik tanganku begitu saja,” sambung Bimo.
“Deva tuh.. jangan bawa rasa cemburu kamu dimana-mana. Ini sesuatu yang sangat penting,” tegur Nanda sambil menatap adiknya tak senang.
“Kok marah sama aku, memang bukan. Mas dengar kan, rambutnya sebatas bahu, apakah Ayna berdandan seperti itu? Bukankah dia memakai hijab?” sanggah Deva.
“Mungkin dia sudah pergi,” gumam Bintang.
“Kami sudah berputar-putar dan memanggilnya melalui radio.”
“Nyatanya tak ada bukan? Berarti dia bukan Ayna,” kata Deva merasa menang.
“Ya sudah, disini jelas tidak ada..” kata Nanda lalu menarik tangan Bintang, diajaknya masuk ke mobil.
“Aku haus, ayo cari minum, kok masuk lagi ke mobil,” kata Bintang.
“Iya, aku bingung. Ayo turun lagi, barangkali dengan minum kita bisa merasa lebih tenang,” kata Nanda sambil turun, diikuti Bintang.
***
“Rio, ini barang-barang yang ibu beli untuk kamu bawa,” kata bu Tarni sambil memasukkan beberapa macam makanan kedalam kardus.
“Banyak banget bu..”
“Tidak, karena ada keripik segala, jadi makan tempat. Nggak berat kok.”
“Ya sudah. Mana Win?”
“Masuk kekamarnya, ganti pakaian pastinya.”
“Rio ingin pamitan. Jangan sampai nanti kalau Rio pulang lagi dia masih ketakutan melihat Rio.”
“Baiklah, coba temui dia, tapi pelan-pelan, jangan mengejutkannya. Tadi ketika dijalan dia sudah bisa berbicara banyak. Tampaknya senang melihat suasana ramai disana.”
Rio melangkah kearah kamar Ayna, mengetuknya perlahan.
“Win.. “
Tak ada jawaban, barangkali Ayna sedang berdebar.
“Win, aku cuma mau pamitan. Maukah keluar sebentar?”
Belum ada jawaban. Mungkin Ayna belum selesai mengganti baju.
“Kalau tidak mau keluar tidak apa-apa, aku mau kembali ke Jakarta, ini hanya mau pamit sama kamu.”
Ketika Rio membalikkan tubuhnya, didengarnya pintu kamar terbuka. Rio menoleh.
“Kamu masih takut sama aku?”
Rio senang ketika dilihatnya Ayna menggeleng.
“Tidak kan? Aku tidak menakutkan kan? Maukah berjabat tangan?” kata Rio sambil mengulurkan tangannya.
Ayna mengangkat tangannya ragu-ragu, tapi Rio menangkapnya.
“Kita akan berteman bukan?”
Ayna mengangguk pelan.
“Bagus, aku senang kita berkawan. Sekarang aku pamit dulu ya, besok kalau aku pulang, jangan sampai kamu ketakutan lagi. Jadikan aku kakak kamu, dan kamu adalah adik aku, Okey?”
Kata-kata Rio yang enak didengar membuat Ayna merasa nyaman. Ia tersenyum walau sangat tipis.
“Ya sudah, aku pamit dulu ya..” katanya lembut.
“Selamat.. jalan..” jawab Ayna.
“Terimakasih..”
Rio tersenyum lebar. Menepuk punggung Ayna, kemudian berlalu.
Ayna masih terpaku diluar kamarnya. Banyak hal baru ditemuinya, dan itu membuatnya merasa hidup kembali.
Ia memasuki kamarnya, lalu membuka-buka buku tuntunan shalat yang tadi dibelikan bu Tarni.
Ayna membacanya perlahan, urut dari depan, dan Ayna senang ketika kembali mengenali seluruh do’a yang harus diucapkannya.
“Oh.. iya.. aku mengingatnya.. aku mengingatnya..” bisiknya perlahan, lalu ia keluar untuk mengambil wudhu dan kembali kekamar untuk melakukan ibadah Ashar.
***
“Bu, ada baiknya ibu bawa Win ke rumah sakit, barangkali kita harus melakukan sesuatu agar ingatannya kembali pulih,” kata Rio ketika menunggu taksi yang akan membawanya ke bandara.
“Iya, ibu juga bermaksud begitu. Mungkin besok.”
“Iya bu, lebih cepat lebih baik.”
“Benar Rio.”
“Rio senang tadi Win sudah mau membalas uluran tangan Rio, dan menjawab ketika Rio pamitan.”
“Ibu yakin perlahan dia akan kembali pulih.”
"Iya bu, sekarang Rio pamit ya, itu taksinya sudah datang.”
“Hati-hati ya nak, kalau mau pulang kabari dulu, jangan lagi membuat kejutan,” pesan bu Tarni.
Rio tertawa sambil masuk kedalam taksi.
Bu Tarni melambaikan tangannya. Ketika ia memasuki rumah dan menjenguk kekamar Ayna, dilihatnya gadis itu sedang melipat mukena.
“Bagus nak, sudah mengingat semuanya?”
“Sudah ibu, terimakasih banyak.”
“Ayo makan, sudah lewat waktunya makan siang. Tadi Rio sudah makan sendiri sebelum kita pulang.”
“Baik bu.”
***
“Kesal aku sama Deva.. mengapa melarang Bimo mendekati gadis itu.. dasar pencemburu nggak jelas !” gerutu Nanda ketika masih duduk makan dan minum bersama Bintang.
“Ya bukan salah Deva juga.. belum tentu gadis itu siapa, katanya penampilannya juga beda.”
“Apapun itu, wajahnya mirip.. siapa tahu sekarang Ayna tidak berhijab?”
“Iya sih, jadi penasaran..”
“Lalu apa yang harus kita lakukan?”
“Menunggu, apa lagi..?”
“Tapi aku punya pemikiran begini, gadis itu, siapapun dia, aku ingin melihatnya.”
“Iya, tentu saja, aku juga.”
“Kalau tadi dia belanja disini, lain kali juga dia pasti akan belanja disini lagi.”
“Kamu benar. Apakah kita akan menunggu disini setiap siang ?”
“Pasti belanjanya tidak setiap hari. “
“Setiap Minggu. Jadi besok Minggu kita akan kemari, nongkrong didepan supermarket, menunggu kalau-kalau dia belanja.”
“Oke banget, aku setuju.”
“Tapi mudah-mudahan sebelum besok Minggu sudah ada berita tentang Ayna.”
“Aamiin..” kata Nanda.
***
Seminggu sudah berlalu, Ayna sudah terbiasa dirumah bu Tarni. Ia membantu apa saja, dan memang Ayna sangat rajin. Terkadang harus diingatkan ketika sudah waktunya istirahat, barulah ia mau berhenti.
“Win, aku tuh bermaksud membawa kamu ke rumah sakit, karena warung ramai jadi nggak sempat-sempat. Tadi Rio telpon dan mengingatkan hal itu.”
“Tapi saya tidak apa-apa kan bu.”
“Benar, tapi barangkali dokter akan bisa membantu kamu sehingga segera bisa mengingat masa lalu kamu.”
“Ya kalau ibu sempat saja kan bu.”
“Aku kira besok Senin saja kita kerumah sakit. Besok kan Minggu,”
“Iya, terserah ibu saja.”
“Apa kamu ingin jalan-jalan besok ?”
“Jalan-jalan kemana bu?”
“Ya seperti Minggu lalu itu, ke supermarket..”
“Ibu mau belanja ?”
“Tidak sih, tapi nggak tahu kalau nanti melihat sesuatu lalu ingin beli.”
“Terserah ibu saja.”
“Aku ingin kamu lebih sering keluar dan melihat-lihat..Barangkali kamu akan senang.”
“Iya sih bu, saya senang...”
“Baiklah, besok jalan-jalan lagi.. “
“Ketempat yang kemarin dulu itu ?”
“Tidak, ada banyak supermarket disini. Kita ketempat lain, yang lebih besar dan lebih lengkap. Kamu mau?”
“Iya saya mau.”
“Bagus Win, besok kita sarapan pagi, lalu bersiap jalan-jalan. Dan hari Seninnya aku akan mengajak kamu kerumah sakit.”
“Iya, terserah ibu saja.”
***
Dan hari Minggu itu Bintang dan Danang nongkrong didalam mobil yang diparkir sepanjang pagi sampai siang.
“Tidak ada gadis cantik mirip Ayna belanja disini.”
“Benar, ini sudah lewat siang hari. Mungkinkah belanja sesiang ini?”
“Kita akan shalat di supermarket itu, tapi gantian. Takutnya pas dia datang, kita tidak melihatnya.”
“Okey, siapa duluan?”
“Kamu duluan juga tidak apa-apa.. “
“Baiklah, awasi dengan baik.. “
“Siaaap.”
Tapi sampai menjelang sore, mereka tak menemukan buruannya. Ayna tidak belanja disitu, tapi ditempat lain.
***
“Bu, aku kan sudah doyan makan banyak..” kata Tanti sore itu kepada ibunya.
“Iya, lumayan..”
“Dan aku juga sudah nggak muntah-muntah lagi beberapa hari ini.. ya kan?”
“Ya.. ibu senang, kamu sudah tampak lebih sehat.”
“Nanti kalau dokternya visite, aku mau minta pulang.”
“Sudah sangat bosan ya tidur dirumah sakit?”
“Iya lah bu, tiduran terus, diinfus terus. Tapi hari ini sudah nggak diinfus kan. Tampaknya dokter sudah memerintahkan untuk menghentikannya.”
“Benar, itu karena kamu sudah jauh lebih baik. Mungkin nanti dokter akan mengijinkan kamu pulang.”
“Aku senang bu, kalau dirumah kan boleh jalan-jalan.. tidak semua dilayani.. kasihan, ibu pasti capek.”
“Ya enggak nduk, ibu senang kok. Apalagi mau punya cucu. Ibu sangat bersemangat menunggu hadirnya.”
“Iya bu, pasti kita semua senang. Jam berapa ya dokternya datang?”
“Ini kan masih sore, Mas Danang juga belum kesini.”
“Mas Danang pasti pulang dulu, mandi, ganti baju. Hari Sabtu ini biasanya libur, tapi ada tamu yang ingin melihat-lihat batik, jadi mas Danang sama mas Handoko terpaksa menemani.”
“Kalau begitu mungkin agak sore datangnya mas Danang.”
“Iya bu, yang penting mandi dulu dan ganti baju kan?”
“Iya lah, habisnya kalau dari kantor langsung kemari kamu sering teriak-teriak bau keringatnya.”
Tati tertawa.
Ia sudah duduk di tepi ranjang ketika suaminya datang.
“Kok lama sekali sih mas.”
“Aku tadi langsung menemui dokter, menanyakan keadaanmu, katanya besok sudah boleh pulang.”
“Horeee,... Tuh kan bu, apa saya bilang,” kata Tanti gembira kepada ibunya.
“Iya, kalau begitu ibu siap-siap saja dari sekarang, supaya besok tidak repot.”
“Yang bisa saya bawa pulang nanti saya bawa pulang saja bu. Jadi besok tidak kebanyakan bawaan.”
“Iya mas, baiklah, ibu siapkan dulu.”
***
Hari itu bu Tarni sudah membawa Ayna ke dokter. Tapi dokter itu hanya memberikan resep yang katanya isinya vitamin-vitamin.
“Ibu, anak ibu sehat secara fisik. Ia akan ingat semuanya, tapi ibu harus selalu mengingatkan apa-apa yang dulu pernah dialami. Terlebih hal-hal yang membuatnya terkesan.”
“Begitu ya dok.”
“Benar bu, saya kira hal itu tidak akan berlangsung lama, apabila ibu selalu mengingatkan pada masa-masa yang pernah dilaluinya.”
Bu Tarni hanya mengangguk-angguk. Itu hal yang sulit, karena dia juga tidak tahu seperti apa masa lalu Ayna. Namun ia berjanji dalam hati akan sebisa mungkin membuat Ayna menyadari kembali siapa dirinya.
Keluar dari ruangan dokter, bu Tarni menyuruh Ayna menunggu diruang tunggu di lobi rumah sakit itu, sementara dia mengambil obat di apotik.
“Win, kamu duduk disini dulu dan jangan pergi kemana-mana ya, ibu mau mengambil obat di apotik.
“Baiklah bu. Saya hanya akan ke kamar mandi sebentar,” kata Ayna.
“Tapi nanti kembali kemari kan, ingat ya, jangan kemana-mana.”
“Baik bu, kan kamar mandinya hanya disitu. Tuh kelihatan.”
“Ya sudah. Aku mengambil obatnya dulu.”
Bu Tarni menuju ke Instalasi Farmasi, lalu menyerahkan resepnya, ketika tiba-tiba seseorang menggamit lengannya.
Bu Tarni terkejut.
“Riri ?”
“Tanti ?”
“Benar kan, kamu Riri ?”
Bersambung #12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel