Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 06 Mei 2022

Ayna #10

Cerita Bersambung

“Sekarang makanlah, aku ambilkan ya, nasi soto saja? Mau?”

Ayna mengangguk, karena memang dia lapar. Tapi kemudian dia ingat bahwa tak punya uang sepeserpun.

“Tidak ...tidak bu.. sudah cukup.. minum saja..”
“Mengapa ? Tidak suka soto? Mau yang mana, ayo lihatlah, ada banyak macam lauk diwarung ini.”
“Tidak, saya... saya tidak punya uang..” katanya lirih.
“Ya ampuun.. aku tidak minta bayaran. Aku kasihan melihat kamu hampir pingsan karena kelaparan. Sudah jangan pikirkan.”

Si ibu warung yang baik hati itu kemudian datang mendekat sambil membawa semangkuk nasi soto yang masih panas. Harum bawang goreng ditaburan soto itu membangkitkan selera Ayna yang memang sedang lapar.
“Ayo, makanlah.. apa harus aku suapin?”
“Tidak, saya makan sendiri....”

Ayna mengaduk-aduk nasi soto itu dan menunggu panasnya berkurang, kemudian menyuapnya perlahan.

“Enakkah?”
“Sangat enak..terimakasih bu.”

Ibu warung menunggui Ayna makan sambil menatapnya lekat-lekat. Dua orang pelayan baru datang, memandangi majikannya yang tampak sangat memperhatikan ‘tamu’nya, tapi tak berani bertanya. Mereka merampungkan pekerjaan majikannya, menyiapkan segala sesuatunya apabila pembeli datang.

“Sebenarnya apa yang terjadi? Oh ya, kamu boleh memanggil aku bu Tarni.”

Ayna mengangguk, lalu menjauhkan mangkoknya dari hadapannya.

“Mau nambah?”

Ayna menggeleng. Ia meraih sisa teh di gelasnya dan meneguknya pelan.

“Apa yang terjadi pada diri kamu, Winarni?”

Ayna menggeleng.

“Kamu tak mau menceritakannya? Melihat keadaanmu yang pergi tanpa membawa apa-apa, tampaknya kamu kabur dari rumah. Benarkah ?”

Ayna mengangguk.

“Dimarahi orang tua?”

Ayna menggeleng.

“Lalu apa? Aku tidak boleh tahu?”

Ayna tiba-tiba menangis.

“Ya sudah, tidak apa-apa kalau tidak mau mengatakannya.”
“Saya.. lupa semuanya..”
“Lupa bagaimana?”
“Saya sakit, tak ingat apa-apa.”
“Sedikitpun tak ingat?”
“Hanya nama saya, dan bahwa saya punya suami.”
“Kamu sudah punya suami?”

Ayna mengangguk.

“Kamu kabur dari suami kamu?”
“Saya tidak suka dia..saya benci dia..”
“Kenapa? Dia jelek? Tidak sebanding dengan wajah kamu yang cantik ayu?”
“Dia sudah tua...”
“Ya ampun, mengapa orang tua kamu menikahkan kamu dengan orang tua? Apakah dia kaya raya?”
“Entahlah. Saya juga lupa siapa orang tua saya.”
“Ya ampuuun... kamu sakit Winarni?”
“Saya kabur dari rumah sakit, ketika suami saya mau mengajak saya pulang.”
“Aduuh.. bagaimana ini?”
“Dengan apa saya harus membayar makanan ini?”
“Kamu tidak usah membayar apapun. Tinggallah disini membantu aku berjualan.”
“Saya ...?”
“Kalau kamu menolak, lalu kamu mau kemana?”

Ayna menggeleng. Ia benar-benar tidak tahu harus pergi kemana.

“Win, tinggallah disini sampai ingatan kamu pulih, baru kamu boleh pergi. Barangkali nanti juga kamu sudah ingat siapa orang tua kamu dan dimana rumah kamu. Bagaimana?”
“Saya menyusahkan..”
“Aku tinggal dirumah sendirian. Anakku satu, tapi bekerja diluar kota dan jarang pulang. Mereka itu pegawai warung kecil ini, membantu melayani kalau ada pembeli, dan juga bersih-bersih,” kata bu Tarni sambil menunjuk kearah kedua pembantunya yang sedang mengelap piring-piring dibalik pintu kaca.

Ayna menatap mereka sekilas.

“Kalau siang ada yang membantu aku memasak, tapi sore hari mereka sudah pulang.”
“Baiklah, saya akan membantu ibu. Jadi saya harus tidur di warung ini?”
“Tidak, rumahku ada dibelakang warung. Ayo ikut aku, kamu tampak letih.”

Bu Tarni yang baik hati segera mengajak Ayna kebelakang.
Ada rumah kecil di belakang warung itu. Rumah yang lumayan bagus, dan tertata rapi.

“Ayo masuk..” bu Tarni menggandeng tangan Ayna.

Ayna mengikuti dengan perasaan tak menentu. Ia merasa bahwa ia tak akan kerasan tinggal disebuah rumah yang asing.

“Ini kamarku..” kata bu Tarni lagi sambil menunjuk kesebuah ruang, lalu membukanya sedikit.
“Sebuah kamar yang apik, dan berbahu harum, “ bisik Ayna.
“Ayo aku tunjukkan kamar untuk kamu.”

Bu Tarni membuka sebuah pintu kamar, sedikit gelap karena jendelanya juga tertutup. Lalu dinyalakannya lampu, sehingga kamar itu menjadi terang.
Tak ada wewangian dikamar itu, karena tak berpenghuni.
Bu Tarni membuka almari, kemudian mengambil seprei, selimut dan sarung bantal di almari itu. Lalu ia mengalasi kasur diranjang yang tidak begitu besar itu. Ayna membantunya.

“Nanti kamu boleh tidur disini. Sebentar, tinggal memasang sarung bantal dan guling, lanjutkan ya, aku akan mengambil baju ganti untuk kamu,” kata bu Tarni sambil beranjak keluar kamar.

Ayna melanjutkan memasang sarung bantal dan guling.

“Kamar ini nyaman, jauh beda nya dengan kamar dirumah sakit yang berbau obat dan mencerminkan suasana ngeri, apalagi kalau Sumar datang, lebih-lebih laki-laki bernama Sarjono yang mengaku suami aku. Benarkah aku isterinya? Apa salahku sehingga orang tuaku menikahkan aku dengan laki-laki tua dan menjengkelkan itu?” gumamnya lirih sambil merapikan kembali alas tidur itu.
“Win... ini baju ganti untuk kamu, ada beberapa punyaku, sudah kebesaran karena sekarang aku gemuk. Ini baju-baju waktu aku masih langsing,” kata bu Tarni sambil meletakkan beberapa potong baju diatas kasur.
“Sudah rapi kasurnya, sekarang aku tunjukkan kamar mandinya,” katanya lagi sambil menggandeng Ayna kekamar mandi.
“Nah, nanti mandilah dan ganti pakaian kamu. Kalau mau air hangat menjerang air dulu sebentar. Dapurnya disebelah situ.”

Ayna hanya mengangguk.

“Oh ya, di kamar mandi ada almari kecil, ada sikat gigi baru masih dalam plastik, pakai saja. Semua ada disitu, sampo, sabun, pasta gigi.”

Ayna mengangguk lagi.
Lalu bu Tarni menggandengnya lagi ke kamar.
Ia membuka lagi almari dan mengambil sehelai handuk.

“Ini handuk. Mandilah agar badan kamu segar, kemudian ganti bajumu, dan istirahatlah.”

Bu Tarni kemudian kembali ke warung.
Dua orang pembantunya sedang melayani pembeli. Sebenarnya mereka sudah pintar tanpa bu Tarni membantunya. Tapi bu Tarni tak bisa melepaskannya begitu saja. Ia harus melayani tamu dengan sebaik-baiknya.

“Aku kasihan sama gadis itu, tampaknya dari keluarga baik-baik, dan sedang kebingungan,” katanya tanpa ditanya oleh kedua pembantunya.
“Ibu belum mengenal sebelumnya?”
“Tadi dia hampir pingsan karena kelaparan didepan warung, lalu aku memgajaknya masuk, memberinya makan dan minum. Entah mengapa, aku merasa iba melihatnya. Dia butuh pertolongan.”
“Tapi ibu harus hati-hati.”
“Apa maksudmu?”
“Jaman sekarang banyak penjahat yang berpura-pura. Pura-pura lapar, pura-pura sakit, lalu dia menipu, bahkan merampok.”
“Jangan gila kamu. Dia sangat lemah dan pucat,” kata bu Tarni kesal.
“Bagaimanapun ibu harus hati-hati. Saya lihat ibu memberinya perhatian yang sangat besar kepada orang yang belum pernah ibu kenal.”

Bu Tarni duduk sambil melihat makanan yang siap dihidangkan kepada tamu nya, lalu mengangguk, dan salah satu pelayan membawa nya ke depan.

“Entah kenapa, aku merasa iba melihat dia. Dia tidak ingat apa-apa, tidak membawa apa-apa, Sepeser uangpun tidak.”
“Mudah-mudahan dia bukan orang yang bermaksud buruk.”
***

“Bagaimana kabarnya mas, belum ada titik terang ya?” tanya Bulan ketika Bintang mau mulai praktek sore itu
“Aku sudah berusaha mencari bersama Nanda, sudah lapor polisi juga, dan sudah pasang iklan di beberapa koran. Tinggal menunggu hasilnya. Sedih aku.”
“Mas sungguh-sungguh mencintai Ayna?”
“Dia gadis yang sangat istimewa.. aku sangat mrindukan segera ketemu dia..”
“Itukah cinta ?”
“Ini mungkin cinta.”
“Bagaimana dengan mas Nanda?”

Bintang menghela nafas berat. Kalau harus bersaing dengan sahabat, Bintang tak tahu harus bagaimana. Pasti sangat rumit..

“Rumit kan ?” kata Bulan seperti merasakan apa yang dirasakan Bintang.
“Entahlah.. tapi persahabatan itu kan lebih dari segalanya. Tak harus putus walau...”
“Walau kecintaannya direbut ?”
“Mestinya begitu..”
“Kakakku hebat ya.. semoga bisa meraih cinta kamu ya mas..”
“Kamu adikku yang baik, semoga kamu juga mendapatkan laki-laki baik yang sangat mencintai kamu,” kata Bintang sambil mengacak rambut adiknya, kemudian berlalu ketempat praktek.
Ada perasaan haru dihati Bulan, kalau sampai kakaknya tak berhasil meraih cintanya nanti. Bulan mengantarkannya sampai ke teras.
Ia hampir masuk kerumah ketika sebuah mobil memasuki halaman.

“Mas Nanda? Mau apa kemari lagi? Bukankah mas Bintang sedang praktek?”
“Bulaaan...” teriak Nanda begitu turun dari mobil dan berjalan ringan mendekati Bulan.
“Mas Bintang baru saja mulai praktek. Malam ini pasiennya banyak. Yang terdaftar saja ada enam, nggak tahu kalau nanti ada tambahan lagi,” kata Bulan.
“Aku tahu, dokter ganteng dan pintar pasti banyak pasiennya. Yuk jalan-jalan.”
“Lhoh, mas Nanda ngajakin aku jalan-jalan?”
“Iya, kamu sudah mendengarnya kan?”
“Sambil mencari jejak Ayna kan ?”

Nanda tertawa.

“Iya, siapa tahu nemu..”
“Ayuk masuk, bapak sama ibu ada didalam. Harus pamit dulu dong.”
“Iya, aku tahu..”
***

“Pasti sudah banyak orang yang membaca iklan itu,” kata Bulan dalam perjalanan bersama Nanda.

Nanda menjalankan mobilnya pelan, sambil matanya mengawasi kiri dan kanan jalan.

“Semoga ada hasilnya,” jawab Nanda.
“Mungkinkah Ayna berjalan-jalan terus sepanjang dua hari ini ?”
“Entahlah.. kita kan hanya berusaha.”
“Ayna gadis yang sangat istimewa. Banyak laki-laki memperebutkannya,” gumam Bulan.
“Aku tidak memperebutkan...”
“Menginginkan..? Oh.. aku ganti kalimat aku, banyak laki-laki menginginkannya.. begitukah?”

Nanda tertawa.

“Kamu bisa saja..”
“Benar kan ?”
“Aku hanya menginginkan dia selamat...”
“Lalu...?”
“Biarlah waktu yang menjawabnya..”
“Diplomatis sekali.. tapi aku bisa menangkapnya kok..”
“Kamu memang pinter, cerdas, cantik...”
“Ehem...”
“Kok ehem sih...”
“Ya senang lah aku dipuji, kirain cuma Ayna saja yang cantik, aku juga cantik...”
“Yakiiin lah bahwa kamu memang cantik..”
“Ehem...”
“Terkadang kamu nggemesin ya?”

Lama-lama Nanda bukan melihat kekiri kanan jalan, tapi sering melirik kearah kirinya, dimana si Bulan cantik sedang tersenyum-senyum menggemaskan.

“Mana sih mas, hari sudah malam, mana bisa mencari seseorang ditengah keramaian begini?” kata Bulan mengalihkan perhatian Nanda. Ia tahu Nanda sering melihat kearahnya dan itu juga membuat hatinya berdebar. Aduhai, apa yang sebenarnya terjadi pada kedua anak manusia ini?”
***

Ayna sudah selesai mandi. Hari mulai gelap. Ia mengenakan pakaian yang diberikan bu Tarni. Pas sekali ditubuhnya. Rupanya bu Tarni yang sedikit gemuk dulunya juga langsing seperti dirinya. Ia meraih sisir yang terletak di meja disamping tempat tidur. Ada yang terasa aneh ketika melihat kearah rambutnya. Sudah lama dia tidak bercermin, dan ketika melihat kearah cermin, ia merasa ada yang salah, entah apa.

“Benarkah rambutku pendek sebatas bahu? Rasanya aneh,” gumamnya perlahan.

Ia mengelus rambutnya perlahan.
Ayna tak mengerti, atau tak sadar ketika sebelum dibawa kerumah sakit oleh Sumar, rambutnya yang panjang tergerai sampai ke pinggang telah dipotongnya sampai sebatas pundak. Itu atas usul atau saran Sarjono, agar Ayna punya penampilan berbeda. Dia juga membuang hijab yang semula dipakainya.

“Ah, entahlah. Aku tak ingat apapun, sedih sekali rasanya. Dan semakin aku mencoba mengingat, kepalaku terasa sangat pusing."
“Dimana rumahku, siapa orang tuaku.. Duuh, aku hanya ingat namaku, Winarni dan Sarjono suamiku. Aku benci situasi ini. Sungguh aku benci laki-laki bernama Sarjono. Aku ingin bertemu orang tuaku, dan menolak dijadikan isterinya. Tapi sudah berapa lama aku menjadi isterinya? Mengapa aku jijik melihat wajahnya? Seakan dia bukan orang yang baik. Mengapa bapak.. mengapa ibu.. aku diperisteri olehnya?”

Lalu titiklah air matanya. Ia memegangi kepalanya yang kembali terasa berdenyut. Lalu ia menghampiri tempat tidur dan membaringkan tubuhnya disana.
Ia mencoba mengendapkan pikirannya. Ia lebih memikirkan orang baik yang tiba-tiba menolongnya, memberi dia minum dan makan, lalu memberi dia tumpangan, memberi pakaian pengganti, memberi perhatian.

“Beruntungnya aku bertemu dia..”

Lalu tiba-tiba pintunya terbuka, dan wanita baik itu muncul.

“Win, aku lupa, apakah kamu seorang muslim?”

Ayna mengangguk.

“Aku membawakan mukena untuk kamu, sudah lewat sa’at maghrib.”

Bu Tarni meletakkan mukena dibawah kakinya.
Ayna bangkit, lalu meraih mukena itu.

“Bersholatlah, aku sudah tadi, sekarang mau kembali ke warung.”

Ayna mengangguk lagi.

“Setelah itu tidurlah, kamu tampak lelah,” katanya sambil melangkah keluar dari kamar.

Ayna bangkit, menggelar sajadah, mendekap mukena yang diberikan bu Tarni.

“Sudah lama aku tidak pernah melakukan ini. Bukankah kalau sholat aku harus berwudhu?”

Ayna meletakkan mukena diatas sajadah, lalu keluar untuk berwudhu di kamar mandi.
Ketika kembali dan mengenakan mukena, Ayna merasa hampir melupakan semua do’a yang harus diucapkannya. Lalu ia bersimpuh diatas mukena, dan menangis terguguk disana.

“Ya Alloh ya sesembahanku, tuntunlah aku untuk bersembah kepadaMu..”

Perlahan ia bersujud, dan mengucapkan do’a yang diingatnya.
Lalu ia kembali membaringkan tubuhnya setelah melipat mukena dan sajadahnya.
Ia memejamkan matanya, mencoba mengingat semua do’a.

“Nanti aku akan minta bu Tarni, barangkali punya buku tuntunan sholat, agar aku bisa bersujud dengan sempurna,” bisiknya sambil memejamkan matanya.

Ayna hampir terlelap, ketika tiba-tiba seseorang membuka pintu kamarnya. Ayna membuka matanya. Dan terkejut melihat seorang laki-laki berdiri didepan pintu.

“Hei !! Siapa kamu?” laki-laki itu berteriak.

==========

Ayna melompat dari tempat tidur.. berusaha keluar dari kamar, tapi laki-laki itu menghadangnya.

“Kamu siapa?” tanya laki-laki itu.
“Kamu siapa?” Ayna balas bertanya dengan suara gemetar karena ketakutan.
“Aku yang punya kamar ini.”
“Ma’af.. kalau begitu biarkan saya keluar..”

Laki-laki itu melihat mata Ayna yang basah, bibir mungil yang bergetar, tiba-tiba merasa iba. Lalu pikirannya mulai tenang. Tak mungkin seseorang tidur begitu saja dikamar orang tanpa ada yang mempersilahkannya.

“Kamu siapa?”
“Aku mau pergi.. biarkan pergi...,” katanya memelas.
“Tidak, jangan pergi. Ma’af, barangkali mbak adalah tamu..”
“Bukan... bukan tamu...”
Ayna benar-benar ingin memberosot keluar. Tiba-tiba ia merasa panik. Entah mengapa ada yang membayanginya dan membuatnya takut. Seorang laki-laki, dihadapannya, lalu memeluknya.. tiba-tiba melintas dalam pikirannya kejadian itu.

“Tidaaak...” Ayna hampir memekik ketakutan.
“Ada apa mbak? Saya tidak akan melakukan apa-apa."

Lalu bayangan itu lenyap, dan Ayna jatuh terkulai. Laki-laki itu dengan sigap menangkap tubuhnya, lalu membaringkan tubuh Ayna di ranjang dengan panik. Setelah itu ia keluar dari rumah, menuju warung.

“Bu.. ibu.. ibu..”

Bu Tarni terkejut.

“Rio..? Kapan kamu datang? Tiba-tiba sudah dari belakang..”
“Tadi warung rame, Rio langsung kerumah lewat pintu samping..”
“Oh ya ampun le...”
“Ibu.. itu siapa disana?”
“Aku belum sempat mengabari kamu. Kasihan gadis itu.. kamu terkejut dia dikamar kamu? Kamu di kamar depan saja le..”
“Bu, gadis itu pingsan..”
“Pingsan ?”

Bu Tarni tergopoh pulang kerumah, diikuti Rio yang masih kebingungan.
Begitu masuk kekamar dilihatnya Ayna tergolek sambil mengatupkan matanya.

“Tolong.. minyak.. minyak... eh.. kayu putih.. dilaci itu.. lacii..” kata bu Tarni panik. Rio mengambilkan minyak kayu putih dari tempat yang ditunjukkan ibunya.

Bu Tarni menggosok-gosokkan minyak dileher Ayna, diciumkan di hidungnya.. lalu memijit-mijit tangannya.

“Siapa sebenarnya dia bu?”
“Tolong, ambilkan minum.. minum.. air hangat didapur.. termos..”

Rio ikutn panik, setengah berlari kearah dapur, dan ketika kembali kekamar sambil membawa segelas air hangat, dilihatnya mata Ayna sudah terbuka.

“Ini minumnya..” kata Rio.
“Win, minum dulu ya..”
“Biarkan saya pergi..”
“Tenang Win.. ayo minum dulu...” kata bu Tarni sambil mengangkat kepala Ayna dan meminumkan air hangat yang diulurkan Rio.
“Saya mau pergi..” ulangnya.
“Mengapa mau pergi? Bukankah kamu bersedia tinggal disini? Kamu tidak tahu mau pergi kemana kan?”
“Ini.. bukan kamar saya..”
“Oh.. ma’af ya.. dia ini Rio, anakku yang bekerja di Jakarta. Dia pulang tidak bilang terlebih dulu. Memang ini kamarnya dia, tapi ada kamar lain kok. Kamu jangan khawatir.”

Ayna menatap laki-laki yang berdiri mematung didekat pintu. Lalu dilihatnya dia tersenyum dan mengangguk.

“Win, kamu tidur saja dulu. Rio akan tidur dikamar depan.”

Ayna bangkit dan duduk ditepi pembaringan, lalu dilihatnya laki-laki bernama Rio itu keluar dari kamar.

“Dia satu-satunya anakku. Tapi percayalah dia tak akan mengganggu kamu. Kalau kamu takut, kamu boleh mengunci kamarmu.”

Ayna mengangguk, tapi tampak bahwa dia sangat gelisah.

“Win, aku kembali ke warung ya, kunci pintunya,” kata bu Tarni sambil beranjak keluar.

Ayna bangkit, lalu mengikuti bu Tarni sampai ke pintu, dan mengunci pintunya.
Ketika kembali berbaring, Ayna merasa kepalanya berdenyut pusing. Kehadiran laki-laki tak dikenal tadi membuat hatinya terguncang. Ada bayangan-bayangan menakutkan yang membuatnya ngeri. Namun kata-kata bu Tarni sedikit membuatnya tenang.

“Ternyata dia bukan orang jahat..” gumamnya pelan, dan mencoba tidur.
***

Malam setelah warung tutup, bu Tarni mengatakan kepada Rio siapa sebenarnya Winarni. Ia menemukannya dalam keadaan letih dan lapar, kemudian menyuruhnya tinggal di rumahnya.

“Dia itu lupa ingatan, tapi bukannya gila. Dia lupa segala-galanya.”
“Lupa segala-galanya?”
“Mungkin karena kecelakaan, lalu dia amnesia.”
“Dimana rumahnya?”
“Itulah, dia lupa dimana rumahnya, lupa siapa orang tuanya. Yang dia ingat hanyalah namanya, Winarni, dan bahwa dia sudah bersuami.”
“Sudah bersuami?”
“Ya.. itu saja yang diingatnya. Tapi tampaknya dia tidak suka sama suaminya. Dia kabur dari rumah sakit ketika suaminya akan membawanya pulang.”
“Berarti dia tadinya dirawat dirumah sakit?”
“Katanya begitu. Semuanya serba tidak jelas karena dia lupa semuanya.”
“Tadi begitu melihat Rio dia seperti sangat ketakutan. Ingin lari, lalu tiba-tiba pingsan.”
“Ibu kasihan melihat keadaannya. Biarkan dia tenang, dan kamu jangan mengganggunya.”
“Ah ibu, masa Rio akan mengganggunya.”
“Mungkin dia takut melihat kamu.”

Rio tertawa.

“Masa sama orang ganteng begini takut ?” canda Rio.
“Ibu juga tidak tahu, tampaknya dia pernah mengalami masa-masa yang menakutkan.. atau apa.”
“Mengapa lari meninggalkan suaminya?”
“Katanya tidak suka sama suaminya, karena tua.. entahlah..”
“Kasihan juga ya.. cantik sekali dia. Wajahnya pucat juga masih tampak cantik..”
“Ibu minta dia tinggal disini, biar membantu ibu, dan ibu anggap sebagai anak ibu..”
“Atau menantu ibu..” canda Rio lagi.
“Hush, jangan sembrono, dia punya suami.”
“Katanya tidak suka..”
“Suka atau tidak, nyatanya dia punya suami. Jangan mimpi kamu. Kamu kan sudah punya pacar?”
“Iya bu, kan Rio cuma bercanda.”
“Kamu itu pulang juga nggak bilang-bilang. Sedianya ibu mau menelpon kamu malam ini dan mengatakan semuanya, dan bahwa ibu suruh dia tidur dikamar kamu, supaya dekat dengan kamar ibu, so’alnya ibu masih menghawatirkan keadaannya. Perasaannya seperti masih bingung dan terlihat gelisah begitu. Ee.. tahu-tahu kamu sudah datang, jadi heboh deh.”
“Rio ingin membuat kejutan ..”
“Ada-ada saja.. akhirnya yang terkejut malah Winarni..”
“Rio juga terkejut lho bu.”
“Ya sudah, istirahatlah, ini sudah malam. Kamarmu sudah ibu tata rapi.”
“Ya bu, terimakasih.”
***

“Kemana saja kamu semalam sama Nanda?” tanya Bintang sebelum berangkat ke rumah sakit.
“Cuma muter-muter saja, barangkali bisa ketemu Ayna, katanya.” jawab Bulan.
“Nanda sangat suka ya sama Ayna?” sambung Handoko.
“Iya pak, mas Bintang juga cinta..”
“Eeh, anak kecil tahu apa kamu?” tegur Bintang.
“Kan mas Bintang sendiri yang bilang?”
“Cinta juga tidak apa-apa Bin, kan kamu sudah saa’atnya punya pendamping. Ibu malah suka kalau ternyata kamu bisa jatuh cinta,” sambung Palupi.
“Ya bisa lah bu, “ kata Bintang sambil tertawa.
“Nyatanya sudah jadi perjaka tua juga belum punya pacar. Nggak ada bedanya sama Nanda, Mirah juga sering mengeluhkan anaknya.”
“Bukannya tidak bisa bu, belum menemukan yang pantas dicintai,” kata Handoko.
“Giliran mencintai seorang gadis, dua-duanya mencitai gadis yang sama,” kata Palupi.
“Sejak masih kecil kedua anak itu selalu bersaing lho,” sambung Handoko lagi.
“Enggak pak, Bintang akan mengalah kalau memang Ayna memilih Nanda.”
“Benar nak, jodoh itu kan sudah ditentukan dari atas sana. Apa untungnya berebut seorang gadis. “
“Dan lagi tinggal Ayna mau pilih yang mana kan bu?” sambung Bulan.
“Benar nak.”
“Yang dibicarakan belum jelas berada dimana,” keluh Bintang sambil meneguk minumannya setelah menyelesaikan sarapannya.
“Sabar Bintang, kan kita sedang berusaha,” timpal Handoko.
”Semoga dia baik-baik saja.”
”Aamiin,” jawab yang lainnya.
***

“Bagaimana ya kabarnya Ayna?” tanya pak Yoga kepada Bimo sebelum Bimo masuk ke kantor.
“Iya pak, belum ada beritanya. Ini keluarganya sudah memasang iklan di koran.”
“Oh, sudah ya?”
“Lha ini pak, koran hari ini, ada fotonya Ayna juga.”
“Kasihan anak itu.. Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Menurut mas Nanda, Ayna mengalami kecelakaan didepan sana, nah kebetulan bapaknya ada disekitar tempat itu, maksudnya bapak tirinya. Lalu si penabrak membawanya ke rumah sakit, diikuti oleh bapak tirinya. Rupanya bapak tirinya meminta sejumlah uang agar dia tidak membawanya ke polisi.”
“Rupanya bapak tirinya itu memang orang nggak bener ya Bim.”
“Udah gitu pak, Ayna hanya dua hari dirumah sakit, kemudian dibawanya pergi dengan alasan tidak punya biaya.”
“Bukankah si penabrak memberinya uang?”
“Itulah pak, nggak tahu tuh si bapak tirinya Ayna. Nah kemudian ketahuan oleh polisi bahwa yang namanya pak Sarjono.. si bapak tiri itu memang berniat jahat.”
“Iya tuh.. jahat sekali dia.”
“Sekarang si bapak tiri sudah ditangkap polisi bersama orang yang membantunya, tapi sayangnya Ayna kemudian kabur dari rumah sakit, dimana Sarjono tadinya membawanya.”
“Kasihan..”
“Menurut dokter Ayna menderita amnesia."
“Anak itu selalu mengalami nasib buruk.. “
“Semoga dengan adanya iklan-iklan ini segera bisa diketahui keberadaan Ayna.”
“Aamiin.. Kamu tahu Bim, Deva sangat cemburu pada Ayna sejak dulu.”

Bimo tertawa.

“Iya pak, memang. Tapi Bimo hanya menanggapinya sambil tertawa.”
“Deva itu baik, hanya dia sedikit manja..”
“Iya pak. Ya sudah Bimo berangkat dulu ya.”
“Iya le, hati-hati. Biasanya jam segini Ayna sudah datang,” gumam pak Yoga.
***

“Nanti kamu mau balik ke Jakarta ?” tanya bu Tarni pagi itu.
“Iya bu, nanti sore.”
“Win.. sini.. sarapan bareng-bareng yuk..”
“Saya nanti saja bu..”
“Sekarang saja, kamu biar lebih kenal dengan mas Rio. Jadi nanti kalau dia pulang lagi, kamu tidak terkejut.”
“Tidak bu, nanti saja..”
“mBak Winarni, duduklah disini, apakah aku menakutkan? “

Ayna menatap Rio lekat-lekat.
Rio tersenyum ramah.

“Duduklah didekat ibu, jangan sungkan. Anggaplah aku ini kakak kamu, ya,” kata Rio dengan ramah, berusaha agar Ayna tidak ketakutan seperti semalam.
“Sini Win, kamu dengar kan, anggap mas Rio ini kakak kamu. Dan anggap aku ini ibu kamu.. mau kan?”

Ayna mengangguk, lalu duduk perlahan disamping bu Tarni.

“Ayo, ini piring kamu.”

Bu Tarni membalikkan piring dan mengisinya dengan nasi goreng yang dibuatnya.

“Mas Rio ini suka sekali nasi goreng,” kata bu Tarni.
“Makanlah.. ayo.. ini telur.. kerupuk..,”
Bu Tarni terus meladeni Ayna karena melihat Ayna masih takut-takut. Rio asyik menyantap nasi gorengnya, tanpa sedikitpun menatap kearah Ayna. Ia tak ingin Ayna ketakutan kalau dia menatapnya.
Ayna menjadi lebih tenang karena Rio seperti tak mempedulikannya. Ia menyendok nasi gorengnya pelan.

“Mas Rio itu anak ibu, yang bekerja jauh di Jakarta. Dia jarang pulang, karena pacarnya ada disana juga,” kata bu Tarni menerangkan.

Rio menutup sendok garpunya.

“Bu, Rio mau kedepan dulu ya,” katanya sambil minum, lalu berdiri dan berlalu.
“Ya, ada koran baru didepan. Ibu juga belum membaca.”
“Ya..” kata Rio menjauh.
“Enakkah nasi gorengnya?”

Ayna mengangguk.

“Agak pedas ya? Kamu suka?”

Ayna mengangguk lagi.

“Nanti aku ajak kamu belanja, supaya kamu terhibur, melihat keramaian.”

Ayna lebih suka mengangguk daripada berbicara.

“Kamu nanti gantilah baju dulu setelah makan, lalu ikut jalan-jalan dan belanja.”
“Sama... dia?”
“Tidak, hanya aku sama kamu. Rio akan balik nanti sore. Ibu ingin beli cemilan untuk dia bawa. Dia suka ngemil makanan Solo.”

Ayna tampak merasa lega.
Ketika selesai sarapan, Ayna membantu mencuci piring dan membersihkan meja. Ia tak canggung melakukannya. Bu Tarni senang melihatnya, dan berharap Ayna akan terbiasa dengan kesehariannya dirumah itu.

“Ganti pakaian kamu setelah ini ya Win.”
“Baik..”

Lalu bu Tarni kedepan, melihat Rio sedang membaca koran.

“Ibu akan belanja bersama Winarni. Kamu mau dibelikan apa?”
“Apa saja lah bu, seperti kalau ibu membawakan untuk Rio. Jangan lupa ampyang yang ada jahenya.”
“Iya, nanti ibu beli.”

Bu Tarni duduk didepan Rio, sambil menunggu Ayna ganti pakaian.
Tiba-tiba Rio berteriak.

"Bu, lihat, ada anak hilang..”
“Aduh, kamu bikin ibu terkejut saja. Kok bisa hilang orang tuanya kemana?”
“Bu, lihat.. ini bukan anak-anak, tapi seorang gadis, namanya Ayna.”
“Ayna?”
“Namanya bagus ya bu. Tapi menurut Rio kok wajahnya mirip sekali dengan Winarni ya bu?”

Bu Tarni melihat kearah gambar seorang gadis yang dinyatakan hilang di koran itu.

“Iya, mirip sekali. Aneh, seperti saudara kembar.”
“Bukan dia ya bu?”
“Ya bukanlah le, dia namanya Winarni. Penampilannya juga beda. Gadis itu memakai hijab, wajahnya berseri.

Bersambung #11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER