Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 05 Mei 2022

Ayna #9

Cerita bersambung

“Ooh.. baiklah,” kata orang tadi.
“Ada apa ya?”
“Jadi tadi nggak ada orang kesini?”
“Nggak ada pak..”
“Baiklah. Saya permisi,” kata orang itu kemudian berlalu.

Sarjono menatap punggung orang asing itu sampai menghilang dibalik pagar. Suara sepeda motor menjauh menandakan bahwa orang tersebut menaiki sepeda motor.
Sarjono menutup pintu rumahnya. Tapi rasa khawatir tiba-tiba menghantuinya. Penggeledahan rumah, orang yang mondar mandir didepan rumah, lalu orang yang tiba-tiba menanyakan sesuatu yang tak jelas.

“Celaka, jangan-jangan Sumar ketemu orang tadi dan mengatakan bahwa dia dari rumah ini untuk mencari pekerjaan. Aku yang kebingungan tidak bisa berfikir sejauh itu,” gumamnya dengan perasaan gelisah.
Lalu dia mengemas beberapa pakaian dan barang yang sekiranya harus dia bawa.

“Benar kata Sumar tadi, aku harus pergi dari sini.”

Sarjono kemudian mengambil sepeda motornya, lalu keluar dari halaman, tak tahu harus pergi kemana.
Ia berhenti sebuah jalanan sepi agak di pinggiran kota. Terbersit keinginannya untuk menumpang di rumah Sumar, tapi ia merasa sungkan. Rumah Sumar kecil, dan ia nggak enak sama isterinya. Ia tahu isteri Sumar seperti kurang suka ketika dia datang ke rumahnya beberapa hari yang lalu.

“Tapi bukankah lebih baik aku ke rumah sakit saja? Aku tak bisa menyerahkan semuanya pada Sumar. Aku harus melihat keadaan Ayna.”
***

“Mas... aku tidak suka kalau terus-terusan begini.” Kata Winarni kepada suaminya malam itu.
“Terus-terusan bagaimana sih bu?”
“Mas itu membantu perbuatan yang tidak baik, ingat mas, itu dosa.”
“Perbuatan yang tidak baik itu apa? Namanya membantu itu ya perbuatan baik. Mana ada orang tidak baik mau membantu orang lain.”
“Itu ngelesnya melenceng mas, maksudku yang tidak baik itu perbuatan orang lain, lalu mas membantunya. Jadi sama saja mas itu melakukan dosa besar.”
“Kamu itu tidak usah kebanyakan protes. Kita itu butuh uang tambahan. Penghasilanku itu terkadang tidak cukup. Kamu sering protes kan?”
“Kalau menambah penghasilan dengan cara tidak benar ya lebih baik tidak usah mas. Kita bisa usaha lain.”
“Usaha lain apa? Aku ini cuma buruh. Tukang disuruh-suruh.. kalau harus usaha apapun kan harus punya modal. Jangan asal ngomong.”
“Apapun aku nggak setuju apa yang mas lakukan. Namaku dipakai untuk nama gadis yang sedang kecelakaan. Udah begitu aku harus berbohong ketika ada orang yang datang kemari dan banyak bertanya-tanya.”
“Kamu kan cuma bilang, ya.. dan ya.. itu cukup. Kok pakai ngomong macam-macam.
“Dengar ya mas, kelihatannya apa yang mas lakukan itu sudah tercium bau busuknya. Mungkin yang datang kemari itu polisi, siapa tahu?”
“Ah.. sudah.. sudah.. pusing mendengar omongan kamu bu.”
“Pokoknya aku tidak mau terlibat. Urus saja sendiri. Dan kalau sampai polisi benar-benar datang kemari aku akan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.”
“Apa?”
“Iya, itu yang akan aku lakukan.”
“Kamu suka kalau suami kamu masuk penjara?”
“Lebih baik kamu masuk penjara untuk menebus dosa kamu mas, daripada terus menerus melakukan dosa.”
“Bodoh kamu itu. Melakukan dosa itu dosa apa? Aku tidak melakukan apa-apa, aku hanya dimintai tolong, dan aku hanya membantu.”
“Membantu sebuah kejahatan itu sama saja dengan melakukan kejahatan.”
“Yang kamu maksud kejahatan itu apa? Pak Sarjono hanya ingin mengambil isteri lagi, dan aku membantunya. Mana yang namanya jahat?”
“Kalau itu bukan sesuatu yang salah, mengapa harus sembunyi-sembunyi? Orang sakit bukannya dibiarkan dirawat dirumah sakit yang lebih bagus, malah dibawa kemana-mana. Nanti kalau sakitnya nggak sembuh lalu bertambah parah bagaimana? Dirumah sakit kecil seperti itu, bisakah sakitnya disembuhkan? Sekarang saja dia tidak bisa menjawab apapun. Namanya sendiri saja lupa. Dan kalian mengatakan bahwa namanya Winarni. Itu kan namaku? Apa itu bukan jahat namanya?”
“Sudah, diam !! Pusing kepalaku mendengar ocehan kamu,” kata Sumar yang kemudian beranjak masuk kedalam kamar.
Meninggalkan isterinya yang tetap saja gelisah karenar.ulahnya membantu perbuatan Sarjono yang dianggapnya tidak benar.

“Aku benar-benar tidak suka. Aku harus menentangnya, tapi apa yang harus aku lakukan?”

Winarni masih duduk diruang tengah. Belum bisa memejamkan mata karena masih ada peperangan didalam batinnya. Kalau dia melaporkan semuanya pada polisi, suaminya akan dipenjara. Tak mungkin dia akan senang kalau suaminya masuk penjara.

“Lalu bagaimana? Kejahatan itu harus dihentikan,” gumamnya masih dengan perasaan gelisah.
***

Sarjono memasuki rumah sakit kecil yang ada dikota itu. Ada sebuah ruangan tempat pasien menginap yang sederhana. Sarjono mendapat uang yang banyak dari pemilik mobil yang menabrak Ayna, dan dipergunakannya untuk membawa Ayna kerumah sakit yang ada diluar kota. Beberapa dokter menyarankan agar Ayna dibawa saja kekota, tapi Sarjono menolaknya. Secara fisik Ayna tidak sakit, tapi dia tak ingat apapun. Benturan dikepala yang cukup keras menimbulkan trauma yang disebut amnesia. Dan gilanya Sarjono mensyukuri hal itu karena bisa membohongi Ayna seperti apa yang diinginkannya.

Ketika ia memasuki ruang dimana Ayna tergolek tidur, dada Sarjono berdentang kencang. Gadis cantik yang pernah menjadi anak tirinya selama berpuluh tahun itu tiba-tiba membangkitkan gairah dan keinginan untuk memilikinya, lebih daripada seorang bapak kepada anaknya, yaitu memperisterikannya.
Didekatinya ranjang itu, dan Ayna menatapnya dengan perasaan tidak suka. Entah mengapa ia sangat membenci laki-laki yang mengaku sebagai suaminya.

“Siapakah kamu?” tanyanya lirih ketika melihat Sarjono berdiri disampingnya.
“Kamu sudah berkali-kali menanyakannya," jawab Sarjono sambil berusaha memegang tangan Ayna, tapi ditepiskannya.
“Aku tidak percaya.”
“Kamu tidak percaya? Bukankah Sumar yang selalu menjengukmu juga mengatakan itu?” kata Sarjono sambil berusaha tersenyum.

Ayna memalingkan muka kearah lain, ia sungguh tidak suka melihat wajah ‘suaminya’.

“Malam ini aku akan tidur disini, menemani kamu. Jadi tenangkan hati kamu. Ya.”

Ayna tak menjawab.

“Benarkah namaku Winarni, dan aku adalah isteri laki-laki yang tidak lagi muda itu?” berkali-kali Ayna membatin.
“Tidurlah, sebenarnya kamu sudah sehat, tak ada luka, dan memar dikepala itu sudah memudar. Kalau boleh besok aku akan membawa kamu pulang.”
“Dimana rumahku?”
“Aku akan mencari rumah kecil yang nyaman untuk kita tinggali berdua, didekat-dekat sini saja. Besok aku akan melihat-lihat, lalu aku akan menunjukkan sama kamu, apakah kamu suka atau tidak.”

Ayna tidak menjawab. Ia memejamkan matanya dan tidur memunggungi suaminya yang masih saja berdiri disampingnya.. Ia merasa tidak sakit, kecuali kadang-kadang rasa pusing sangat menyiksanya.
Melihat Ayna tampaknya ingin tidur, Sarjono menggelar tikar yang tadi dibelinya, lalu berbaring disana. Ia merasa lebih aman, setelah merasa diawasi ketika berada dirumahnya. Besok ia benar-benar akan membawa Ayna pergi jauh dari rumahnya semula, dimana tak akan ada orang yang mengetahuinya.

Sarjono sudah pensiun, dan dia akan berusaha membuka lembaran baru bersama ‘isterinya’. Masih ada uang sisa pemberian pemilik mobil itu setelah nanti akan dibuatnya untuk membayar biaya rumah sakit. Mungkin ia akan menyuruh Ayna membuka warung makan kecil, bukankah Ayna pintar memasak? Tapi jangan-jangan dia juga lupa bagaimana cara memasak. Tapi itu akan difikirkannya nanti. Menurutnya Ayna sudah sembuh.

“Ia akan terus menjadi Winarni, isteri Sarjono,”
***

“Polisi sudah merasa pasti bahwa Sarjono menyembunyikan sesuatu,” kata Nanda yang malam itu masih berada diruang praktek Bintang.
“Hampir pasti dia dalangnya. Aku ingin cepat-cepat mendatangi rumahnya dan memaksanya mengaku dimana Ayna disembunyikan.”
“Biarkan polisi melakukannya Bin, kalau bukti sudah cukup pasti dia akan menangkapnya.”
“Iya sih, aku saja yang sebenarnya tidak sabar. Ingin tahu bagaimana keadaan Ayna,” kata Bintang dengan wajah gelisah.
“Iya sih, semoga dia baik-baik saja.”
“Kirain masih ada pasien..” tiba-tiba Bulan muncul.
“Ya, pasiennya aku nih," kata Nanda sambil tersenyum.
“Oh ya, sakit apa pasien yang satu ini?”
“Sakit cinta..” canda Bintang.
“Ooh, iya aku tahu.. kalian memang sedang sama-sama jatuh cinta kan?”
“Tepat sekali. Harusnya kamu jadi ahli nujum.” Seru Nanda.
“Kasihan..”
“Kok kasihan? Kalau kasihan, tolong buatkan minuman hangat untuk kami berdua. Buruan,” kata Bintang.
“Oh, begitu ya. Baiklah, mau minum apa kedua laki-laki bawel malam ini?”
“Enak aja, aku dibilang bawel.”
“Buruan..”
“Lha iya, mau dibuatkan minum apa? Kopi, coklat, atau apa..?”
“Kopi saja.. tanpa gula.”
“Aku nggak mau tanpa gula,” kata Nanda.
“Yang satu tanpa gula, yang satu manis.. gitu?”
“Kopi tanpa gula itu sehat,” kata Bintang.
“Nggak untuk kali ini, pokoknya yang manis, kayak kamu," canda Nanda.

Bulan tertawa, dan tawa itu kembali membuat Nanda terpesona.

“Baiklah...” kata Bulan yang kemudian berlalu.

Nanda menatapnya sampai Bulan hilang dibalik pintu.

“Bulan sangat penurut ya sama kamu?” kata Nanda.
“Iya lah, kalau nggak nurut bisa aku jewer telinganya.”
“Duuh, kok kamu jadi kakak kejam amat.”
“Enggak.. nggak pernah .. dia itu manja kalau sama aku, tapi dia juga selalu nurut sama aku. Adik yang baik. Besok kalau cari isteri harus yang baik, cantik, penurut..” kata Bintang.
“Bagaimana kalau Ayna ?” canda Nanda.
“Waduuh.. dia lagi? Jadi sedih mengingatnya.”
“Ya sudah, jangan diingat lagi, selalulah berdo’a untuk dia.”
“Iya, pastinya.. semoga kemelut ini segera berakhir..”
“Aamiin..”

Keduanya berbincang agak lama, tentang kemungkinan yang terjadi pada Ayna, dan berencana akan mengawasi rumah Sarjono setiap sa’at.

“Dan rumah laki-laki bernama Sumarno itu juga,” kata Nanda.
“Pesanan sudah siaap..” seru Bulan sambil membawa pesanan kakaknya.
“Hei.. mana yang manis, mana yang pahit?” tanya Nanda.
“Yang manis itu akuu...” canda Bulan sambil meletakkan gelas dihadapan masing-masing yang memesannya.
“Oh iya, tahu begitu aku tadi juga pesan yang pahit. Bukankah biarpun minumannya pahit kalau minumnya sambil menatap wajah kamu maka akan terasa manis?” kata Nanda sambil meraih gelasnya.
“Ada-ada saja, ayo diminum..” kata Bintang.

Tapi tiba-tiba keduanya berteriak karena pesanan mereka terbalik. Nanda mendapat kopi pahit, dan Bintang mendapat yang manis.

“Heeiii... kebalik, tahu !” teriak Bintang.
“Iya nih, aku benar-benar dapat yang pahit.”
“Oh, ya ampuun.. ma’af... iya aku salah,” seru Bulan yang kemudian memindahkan kedua gelas itu seperti pesanan mereka.
“Mau dijewer ya?”
“Kan aku sudah minta ma’af?”

Dan kegelisahan kedua anak muda itu sedikit mencair dengan adanya Bulan yang ikut duduk diantara mereka.
***

“Tanti, bagaimana keadaan kamu?” itu suara Widi ketika menelpon Tanti.
“Ya ampun Wid, aku dipaksa opname sama dokternya..” kata Tanti.
“Opname, jadi ini kamu ada dirumah sakit?”
“Iya, sudah sejak kemarin, aku sebenarnya nggak mau, tapi dokter dan suamiku sendiri memaksa aku.”
“Memangnya kamu nggak doyan makan?”
“Doyan sih, tapi setiap makan sedikit saja langsung muntah.”
“Ya ampun, ya bener lah kalau begitu. Kalau terus-terusan muntah bisa lemas, kasihan anak kamu.”
“Iya, aku tahu.”
“Mas Danang menemani kamu?”
“Tadi, iya.. tapi ini aku bersama ibu.”
“Oh, syukurlah kalau bersama ibu, jadi kamu lebih merasa tenang. Arsi besok mengajak kerumah kamu, tapi baiklah aku kerumah sakit saja.”
“Iya Wid, terimakasih. Aku nih juga sedih memikirkan Ayna. Sampai sekarang belum ada kabarnya.”
“Iya aku tahu, tapi kamu nggak boleh terlalu bersedih Tan, sudah banyak yang memikirkannya. Kamu harus fokus pada kandungan kamu. Apalagi kamu kan sedang berada dalam usia rawan untuk mengandung.”
“Iya, mas Danang juga wanti-wanti agar aku menjaga kandungan aku.”
“Luar biasa kamu Tan, aku ikut berbahagia bener. Oh ya, besok mau dibawakan apa?”
“Wedang ronde..”
“Apa? Siang-siang mana ada orang jualan wedang ronde?”
“Iya sih, nggak apa-apa. Lotis saja atau rujak.”
“Baiklah bumil.. sa’at datang aku akan membawa rujak, sorenya biar mas Ryan mencarikan wedang ronde untuk kamu.”
“Waah, senangnya. Kamu tahu nggak Wid, beberapa hari yang lalu mbak Lupi datang siang-siang sambil membawa wedang ronde. Dia mendengar ketika hamil ini aku selalu ingin minum wedang ronde.”
“Siang? Beli dimana mbak Lupi ?”
“Dia buat sendiri..”
“Astaga, aku pengin bisa buat ah. Yang susah buat yang bulet-buletnya itu ya?”
“Ngebayanginya seperti susah, tapi bagi yang bisa ya enak saja. Tapi jangan risau, aku bukannya ingin kamu membuatnya untuk aku lho. Besok cukup rujak saja.”
“Baiklah Tanti, dan aku janji sorenya mas Ryan akan datang membawakan wedang ronde untuk kamu.”
***

Pagi itu Ayna sudah bangkit dari tempat tidur dan mandi sendiri. Wajahnya kecut ketika melihat Sarjono masih duduk diatas tikar yang semalam digelarnya.

“Sudah bangun, isteriku?”

Ayna tak menjawab. Sungguh ia sangat membenci panggilan itu. Siapa sebenarnya orang tuanya sehingga mencarikan suami setengah tua dan sangat menjengkelkan itu untuknya.

“Sebentar lagi aku juga akan mandi, lalu membayar semua biaya selama kamu dirawat, lalu kamu harus menunggu aku yang akan pergi sebentar untuk mencari rumah kontrakan.”
“Rumah kontrakan? Kamu tidak punya rumah.”
“Karena kamu sakit, aku akan mencari rumah yang agak terpencil, yang pemandangannya indah, supaya kamu bisa kembali segar seperti sebelum sakit."
“Apakah aku punya anak ?”
“Oh ya, belum sayang, kita belum dikaruniai seorang anakpun, tapi nanti ditempat yang indah, dimana kamu merasa tenang dan senang, kita pasti akan segera punya anak.”

Dan tiba-tiba saja bulu kuduk Ayna merinding.

“Ya sudah, aku mau mandi dulu, bersiap-siaplah, mana pakaian yang harus kamu bawa. Tapi jangan tergesa, aku akan keluar sebentar nanti. Kamu harus menunggu, semoga aku mendapatkan rumah yang akan kamu sukai.”

Ayna tak menjawab, dan Sarjono mandi dengan perasaan gembira. Hari ini ia akan pergi jauh, dimana tak seorangpun akan bisa menemukannya. Bahagia yang diimpikannya untuk hidup bersama Ayna yang cantik akan segera terwujud.
Sarjono ingin bernyanyi dikamar mandi itu, tapi sungguh ia tak pintar bernyanyi. Suaranya juga sumbang, padahal ia benar-benar ingin bernyanyi.
Lalu ia keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang sudah disiapkannya, bersih dan wangi. Ia memasuki kamar Ayna, tapi tak didapatinya Ayna disana.

“Isteriku... isteriku.. dimana kamu?”

==========

“Mana isteriku... ? Kamu dimana ?”
Seperti orang gila Sarjono keluar masuk ruangan, lalu ke kamar mandi, kemudian bertanya kepada setiap petugas rumah sakit. Tapi tak seorangpun tahu. Mereka justru ikut mencari kesegenap lorong sambil memanggil-manggil namanya.

“mBak Winarni... bu Winarni..”
“Isterikuuuu...”

Tidak ada. ‘Isteri’ Sarjono lenyap bagai ditelan bumi.

“Aduh.. kemana dia ya?”

Ayna benar-benar pergi, tanpa membawa apapun. Ia menyusuri jalan-jalan kecil agar tak gampang ditemukan.
Sarjono memacu sepeda motornya. Melarikannya kesana kemari tanpa hasil. Lalu ia kembali lagi kerumah sakit. Duduk diruang tunggu sambil memeluk tikar dan tas bawaannya, Dia sudah membayar semua biaya sampai hari itu, karena bermaksud mengajak Ayna pergi.

“Kemana dia ? Dan kemana aku harus pergi?” gumamnya sedih karena dia juga tak berani pulang kerumah.
“Mungkin isteri bapak sudah pulang duluan,” kata salah seorang petugas yang merasa kasihan melihat Sarjono tampak sedih.
“Tidak mungkin..” ucapnya lirih.
“Mengapa tidak mungkin?”
“Dia seperti masih bingung. Mana bisa dia pulang kerumah?”
“Tapi ya siapa tahu pak, daripada bapak duduk disini dan semuanya serba nggak jelas, apa tidak lebih baik bapak pulang dulu, siapa tahu dia sudah ada dirumah.”

Tapi Sarjono diam, tak menjawab apapun. Petugas itu tidak tahu bahwa dia takut pulang kerumah.
Tapi benar, pagi itu beberapa petugas polisi mendatangi rumah Sarjono tanpa hasil. Rumah itu kosong, penghuninya keburu kabur. Tapi mereka sudah tahu harus pergi kemana. Ada rumah Sumarno yang mereka curigai.
***

“Mas... mau kemana lagi?”
“Mau kerumah sakit sebentar, melihat keadaan calon isteri pak Sarjono.”
“Mas itu kok ya nggak mau mendengarkan kata-kataku..”
“Kata-kata apa sih bu.. sudah diam..kau nggak usah ikut-ikutan. Aku sudah janji akan sering melihatnya, kalau aku tidak menjalani, aku tidak akan dikasih uang.”
“Uang.. uang.. uang terus yang mas fikirkan.”

Tapi Sumar tak mau mendengarnya, ia terus melangkah keluar rumah. Tapi baru sampai dihalaman, sebuah mobil polisi berhenti. Hati Sumar tercekat. Ia ingin kabur, tapi polisi sudah mulai memasuki halaman.

“Bapak Sumarno ?”
“Ya. Ada apa ya pak?”
“Saya mendapat perintah untuk menangkap bapak.”
“Saya? Ditangkap? Memangnya ada apa?”
“Bapak terlibat dalam perbuatan menculik orang. Ini surat penangkapan itu.”
“Tidak, terlibat apa? Saya tidak tahu menahu, tidak.. tahu, biarkan saya pergi.”
“Eiit.. tidak bisa begitu pak, bapak bisa memberi keterangan nanti di kantor polisi. Saya hanya bertugas membawa bapak.”
“Ada apa ini pak?” tiba-tiba isteri Sumar muncul dari dalam rumah.
“Suami saya mau ditangkap?” lanjutnya cemas.
“Iya bu, ma’af..”
“Apakah ini perkara hilangnya seorang gadis bernama Ayna?”
“Ibu tahu so’al hilangnya gadis itu?”
“Kalau saya beri tahu dimana sekarang gadis itu berada, apakah suami saya dilepaskan? Sudah saya peringatkan berkali-kali agar jangan ikut-ikutan melakukan kejahatan. Tapi dia nekat, hanya gara-gara butuh uang,” kata Winarni terbata.
“Dimana sekarang gadis itu ?”
“Disebuah rumah sakit. Hanya ada satu rumah sakit didaerah sini.”
“Tahukan ibu dimana Sarjono?”
“Itu saya tidak tahu pak.”
“Baiklah bu, terimakasih banyak.. tapi bapak tetap akan saya bawa. Tentang bagaimana nanti nasibnya, tergantung bagaimana nanti hasil pemeriksaannya.”
“Tolong pak, jangan tangkap saya. Saya hanya orang suruhan. Saya melakukannya karena saya miskin pak.. tolong lepaskan pak,” kata Sumar sambil meronta.
Tapi apa dayanya ketika dua orang bertubuh kekar mencengkeram lengannya.

“Tolong pak.. lepaskan saya.. saya hanya buruh..”
“ Mengapa suami saya tetap dibawa? Kan saya sudah memberitahu dimana gadis itu berada?”
“Jangan bawa saya pak.. tolong pak,” rintih Sumar.
“Bukan kami yang berhak melepaskan suami ibu. Tunggu hasil pemeriksaan.”

Lalu dua orang polisi menarik paksa Sumar untuk dibawa bersama mereka.

“Ya ampun pak, aku bilang apa.. kamu jangan sampai ikut-ikutan.. sekarang bagaimana kalau begini ini?” kata Winarni sambil duduk lemas didepan rumahnya, lalu manangis terisak isak.
***

Sarjono masih duduk sambil merangkul gulungan tikar yang semalam dibuatnya tidur dibawah ranjang Ayna. Anjuran petugas agar dia lebih baik pulang saja, sama sekali tak digubrisnya. Ia tak tahu harus pergi kemana sementara kalau pulang ia merasa hidupnya terancam.

“Bapak, coba bapak pulang, siapa tahu isteri bapak sudah ada dirumah. Dia pasti merasa kesal kalau harus terus menerus tinggal dirumah sakit, sementara dia sudah merasa sehat,” kata petugas yang lain.
“Dia masih bingung, tak mungkin pulang.”
“Mengapa bapak tidak mencobanya saja? Nanti kalau dia sampai dirumah dan tidak melihat bapak disana, dia pergi lagi, lalu bapak semakin bertambah bingung.”
“Baiklah, tapi ijinkan saya menenangkan pikiran saya terlebih dulu ya.”
“Ya sudah, terserah bapak saja. Saya hanya mengingatkan.”

Dan Sarjono masih saja duduk sambil memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya.

“Baiklah, lebih baik aku cari rumah kontrakan saja dulu disekitar tempat ini, kemudian aku akan mencari lagi kemana perginya Ayna. Ia dalam keadaan bingung, pasti hanya berputar-putar disekitar tempat ini,” kata hati Sarjono.

Lalu dia bangkit.

“Saya titip barang-barang saya ini disini ya mas.. saya mau pergi sebentar.”
“Oh, kalau begitu taruh dipojokan sana saja pak, takutnya nanti hilang.”
“Baiklah, tapi kalau mau hilang juga ya biarkan saja, saya hanya pergi sebentar,” kata Sarjono sambil meletakkan barang-barangnya disebuah sudut yang tidak ramai pengunjung.
Kemudian Sarjono menuju ke tempat parkir. Tujuannya mencari sebuah rumah untuk bersembunyi.

“Kalau ada ..yang masuk jauh kedalam kampung, supaya tidak gampang dicari,” gumamnya sambil menuntun sepeda motornya, lalu siap naik lalu menstarternya.
Tapi tiba-tiba dua orang polisi menghampirinya.
Sarjono pucat seketika.

“Bapak Sarjono ?”
“Ss..saya..? Ada apa ya?”
“Apa yang bapak lakukan disini?”
“Saya.. ini.. agak kurang enak badan.. jadi..”
“Dimana Ayna ?”
“Ap.. apa? Itu.. saya tidak mengerti.. mengapa bapak.. bapak.. tanya sama saya?”
“Kami bertugas menangkap bapak. Ini surat tugas saya,” kata salah seorang polisi sambil menunjukkan surat tugasnya.
“Nanti dulu.. nanti dulu.. atas dasar apa saya ditangkap?”
“Nanti bapak bisa menanyakannya di kantor polisi. Dimana Ayna ? Dirumah sakit ini kan?”
“Ti.. tidak.. saya tidak tahu..”
“Katakan terus terang pak.Kalau tidak, hukuman bapak akan bertambah berat.”
“Tt..tapi..”

Salah seorang polisi memasuki rumah sakit.

“Selamat siang, kami dari kepolisian, tolong ditunjukkan dimana saudari Ayna dirawat.”

Petugas itu tampak kebingungan.

“Ayna? Kami tidak punya pasien bernama Ayna..”
“Tidak ada? Yang bersama bapak itu..” kata polisi sambil menunjuk kearah Sarjono.
“Oh, isteri bapak itu, namanya Winarni.”
“Baiklah, dimana dia?”
“Tadi pagi dia melarikan diri pak.”
“Melarikan diri ?”
“Kami juga tidak tahu, tiba-tiba pak Sarjono berteriak-teriak mencari. Sangat menyesal kami tidak bisa menemukannya.”
“Bagaimana dia bisa lepas dari pengawasan rumah sakit ini?”
“Ma’af pak, sebelumnya, pak Sarjono sudah bilang mau membawa pulang isterinya. Jadi kami kira dia pergi atas sepengetahuan suaminya. Mungkin beli sesuatu diluar sana atau apa. Nggak tahunya dia kabur.”

Polisi pergi sambil membawa Sarjono. Tak ada yang bisa dilakukannya kecuali pasrah.
Mimpi tentang hidup bersama gadis cantik yang sebelumnya menjadi anak tirinya, musnah sudah. Kabur terbawa angin.

“Impianku tak bakal menjadi nyata,” bisik batinnya pilu.
***

“Tanti, kamu pucat, tapi wajahmu tampak berseri. Aku tahu kamu bahagia, dan akupun juga. Akhirnya Arsi akan punya adik,” kata Widi sambil mengelus perut Tanti.
“Iya Wid, kamu bawa apa tuh?”
“Katanya kamu pengin rujak, aku bawakan rujak sama lotis. Bu Suprih, adakah tempat untuk wadah rujak dan lotisnya?”
“Ada nak, sebentar, saya membawa banyak peralatan makan. Seperti pindah rumah saja. Maksud saya supaya tidak repot,” kata bu Suprih.
“Itu benar bu, mana.. biar saya saja..”
“Biar saya saja nak, .. ngobrol saja disitu, nak Arsi sudah besar dan semakin cantik ya.”
“Iya bu, kan sudah mahasiswa..”
“Mana saya bantu bu,” kata Arsi.
“Sudah, duduk saja disitu, Tanti itu senangnya diajak ngobrol. Kalau enggak lalu ingat rasa mual, lalu muntah.”
“Berarti nanti anakmu cerewt seperti Arsi,” canda Widi.
“Oh ya, seneng aku kalau cerewet.. tapi kalau cowok.. lalu cerewet.. duuh.. “
“Ya nggak apa-apa.. cerewet untuk hal-hal baik itu bagus.”
“Memangnya adikku nanti cewek apa cowok sih tante?” tanya Arsi.
“Belum tahu Arsi, baru beberapa minggu, jadi belum kelihatan,” jawab Tanti.
“Cewek atau cowok nggak apa-apa, yang penting sehat. Ya kan bu?”
“Iya benar. Ini rujaknya, mau dimakan sekarang?” tanya bu Suprih.
“Sekarang dong bu, kan penginnya sejak kemarin.”
“Biar saya suapin bu..” kata Arsi yang kemudian mengambil mangkok yang sudah berisi rujak.
“Widi, Arsi.. kamu sendiri mana?”
“Aku sama Arsi nggak usah, tadi sudah beli, nanti dimakan dirumah.”
“Oh, baiklah, aku habisin saja kalau begitu.”
“Jangan langsung dihabisin, nanti perut kamu sakit,” bu Suprih mengingatkan.
“Nggak bu, sedikit-sedikit, nanti lagi.”
“Ini tante, saya suapin.”
“Aku jadi seperti orang sakit beneran nih, makan saja disuapin.”
“Ya nggak apa-apa dong Tan, kan kamu lagi di infus, mana bisa duduk dengan nyaman.”
“Iya sih, terimakasih ya Arsi? Kamu selalu baik sama tante. Kamu seperti Ayna,” kata Tanti yang tiba-tiba sendu teringat Ayna.
“Sudah, jangan memikirkan itu lagi."
“Tadi mas Danang telpon, katanya ayah tiri Ayna dan teman yang membantu sudah tertangkap. Tapi Ayna pergi entah kemana.”
“Alhamdulillah kalau penjahatnya tertangkap. Tapi pergi kemana ya Ayna?”
“Semoga pulang kerumah, ya tante.”
“Mudah-mudahan.. tapi.. kabarnya Ayna amnesia.”
“Ya Tuhan.. “
“Tapi beruntung dia bisa lepas dari ayah tirinya yang tidak tahu diri itu. Ya kan nak Widi? Kalau sampai ayah tirinya melakukan hal yang buruk, apa tidak lebih kasihan lagi?” sambung bu Suprih.
“Iya benar Tan, semoga Allah menunjukkan jalan pulang. Sekarang habiskan dulu rujaknya dan jangan memikirkan apa-apa.”
“Baiklah Widi, terimakasih ya, kamu selalu ada untuk aku.”
“Tadi bapak bilang, pulang agak sorean, sekalian beli wedang ronde untuk tante,” kata Arsi.
“Lhoh, jam berapa mas Ryan pulang? Kan masih sore, memang sudah buka warung rondenya?”
“Sudah, mas Ryan bilang sudah kok. Kan setiap hari dia lewat warung ronde.”
“Waah, senengnya...”
***

Berita tertangkapnya Sarjono dan Sumar sudah didengar oleh Bintang dan Nanda, yang tadi juga sudah mengabarkannya kepada Danang. Tapi kebingungan masih menyelimuti hati mereka karena Ayna pergi entah kemana.

“Sedikit lega, tapi masih bingung ya Bin..” kata Nanda yang siang itu bersama Bintang berputar-putar disekitar rumah sakit, dimana tadinya Ayna dititipkan disana oleh Sarjono.
“Iya, pergi kemana Ayna?”
“Mungkin dia sudah merasa kuat, dan ingin menghindari ayah tirinya. Dan bagusnya walau dia amnesia, tapi masih sadar bahwa dia tak suka dengan Sarjono yang dimana-mana mengaku suaminya.”
“Alam bawah sadarnya masih mengingatkan dia.”
“Semoga tidak ada halangan lagi.”
“Aamiin..”
“Mungkinkah dia menginap disalah satu rumah penduduk? Pastilah dia bingung dan tak tahu harus kemana.”
“Benar Nda.. Tapi menurut keterangan, Sarjono sudah mencarinya dan tidak ketemu, berarti dia berjalan melalui jalan-jalan kampung.”
“Ayo kita turun dan bertanya-tanya, barangkali ada yang melihat seorang gadis berjalan sendirian pagi tadi.”

Lalu mereka kemudian turun dan bertanya-tanya. Tapi tak seorangpun bisa memberikan keterangan yang memuaskan. Kebanyakan dari mereka hanya melihat seorang gadis berjalan entah kemana, tapi tak tahu dia itu siapa.

“Kalau begitu benar tadi Ayna lewat daerah sini,” kata Bintang.
“Didepan sudah jalan besar. Kalau sudah disana lebih susah lagi mencarinya,” keluh Nanda.
“Benar juga.. kita harus belok kekiri atau kekanan, coba.”
“Ya sudah, coba belok kekiri dan bertanya-tanya lagi saja,” ajak Nanda.

Merekapun berbelok kearah kiri, lalu bertanya-tanya lagi.
Tapi titik terang itu belum juga nampak. Kedua anak muda semakin cemas, karena hari sudah menjelang sore.
***

Seorang gadis berjalan lemas. Sejak pagi dia berjalan, dan merasa haus serta lapar. Ia tak tahu harus kemana, karena ia lupa segala-galanya.
Ketika melihat sebuah warung, Ayna melangkah kesana, tapi rupanya ia tak mempunyai uang sepeserpun.
Didepan warung itu tubuh Ayna limbung, lalu terjatuh.

“Eh, ya ampuun.. kenapa gadis itu?” pemilik warung yang kebetulan sedang menata dagangannya kemudian berlari mendekati.
“Nak, kamu kenapa? Aku kira pingsan..”
“Saya.. lapar...”
“Ya ampun, ayo masuklah ke warung, bisa bangunkah? Ayo aku bantu.”

Dan pemilik warung yang baik hati itupun membantunya bangun, lalu memapahnya masuk kewarung.

“Duduklah disini, aku buatkan teh hangat dulu.”

Ayna terduduk lemas. Tak punya daya.
Ibu pemilik warung itu seorang perempuan setengah tua yang masih tampak cantik. Ia datang dengan membawa segelas teh hangat.

“Minumlah nak, ayo ibu bantu.. ini, karena masih panas, sesendok demi sesendok minumnya ya.”

Dan pemilik warung itu menyuapkan teh hangat itu sesendok demi sesendok ke mulut Ayna.

“Kamu ini siapa, dan mau kemana? Wajahmu cantik, tapi pucat. Rumahmu mana nak?”

Ayna hanya mampu menggelengkan kepala, karena ia benar-benar tak tahu dimana rumahnya. Tapi ia meneguk setiap suap yang diberikan, dengan lahap.

“Siapa namamu?”
“Winarni,” jawabnya lirih.”

Bersambung #10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER