Cerita Bersambung
Bintang memacu mobilnya kearah rumah sakit. Kalau kecelakaannya didekat toko pak Yoga, sebenarnya terlalu jauh kalau harus kerumah sakit dimana Bintang berpraktek. Cuma saja Bintang harus kesana, karena justru rumah sakit terdekat dengan kejadian tak ditemukannya pasien bernama Ayna.
Turun dari mobil Bintang setengah berlari masuk kedalam diikuti Danang.
Bintang minta daftar pasien yang masuk hari itu, terlebih karena kecelakaan, tapi ternyata tak ada yang namanya Ayna.
“Bagaimana?”
“Tidak ada pasien bernama Ayna.”
“Jangan-jangan pakai nama lain.”
“Pasien perempuan muda juga tidak ada.”
“Apa yang harus kita lakukan?”
“Kalau kecelakaan itu sempat ditangani polisi kita bisa bertanya kemana korban itu dibawa.”
“Kalau begitu kita ke kantor polisi saja.”
“Mungkin rumah sakit terdekat dari tempat kecelakaan itu. Tapi kita sudah kesana tadi.”
“Makanya, kita langsung ke kantor polisi saja.”
Namun rupanya begitu terjadi, si penabrak langsung membawanya ke rumah sakit terdekat, sehingga tidak ditangani polisi. Bintang bertanya-tanya kepada orang yang ada disekitar tempat terjadinya kecelakaan.
Dan benar, si penabrak langsung membawanya ke rumah sakit.
Bintang menuju ke rumah sakit itu dan menanyakannya.
“Tadi ada pasien, korban kecelakaan, sekitar jam empat lebih, perempuan muda, tapi namanya bukan Ayna,” kata petugas rumah sakit.
“Siapa namanya?”
“Winarni. Dan sekarang pasien tersebut dibawa pulang paksa.”
“Siapa yang membawanya?”
“Katanya suaminya. Namanya Sumarno.”
Bintang geleng-geleng kepala. Begitu sulit melacak. Apakah Ayna diganti namanya menjadi Winarni? Tapi mengapa dibawa oleh suaminya?”
“Baiklah Bintang, lebih baik kita lapor polisi saja,” kata Danang.
“Ya om. Kita lapor polisi saja.”
***
“Bintang, bagaimana? Dirumah sakit mana? Kok aku nggak dikabarin sih?”
“Ya ampuun, belum ketemu Nanda, ini juga habis lapor ke polisi.”
“Kok bisa nggak ada? Kalau kecelakaan pasti dibawa kesalah satu rumah sakit dikota ini. Ya kan?”
“Nggak ada pasien bernama Ayna dirumah sakit seluruh kota ini. Ada pasien perempuan muda karena kecelakaan, namanya bukan Ayna, dibawa pulang paksa oleh suaminya.”
“Berarti bukan Ayna?”
“Nggak tahu, aku sudah lapor polisi. Tampaknya bapak tirinya akan diperiksa.”
“Mungkin dibawa dia? Bagaimana bisa? Kok tahu kalau Ayna ada dirumah sakit?”
“Ya itulah yang baru dicari.”
“Aduuh...”
“Aku mau mengantarkan om Danang. Kamu masih disana?”
“Ya, aku bersama bude Suprih. Kasihan mbak Tanti, tampaknya kepikiran terus.”
“Makanya aku jemput bu Suprih supaya bisa menenangkan hatinya.”
“Ya sudah, cepat kesini, kita omong-omong disini saja.”
“Iya, baiklah, ini juga aku kan bersama om Danang.”
***
Pak Sarjono sedang duduk didepan rumah, seperti ada yang ditunggunya, ketika tiba-tiba dilihatnya beberapa polisi datang. Terkesiap hati pak Sarjono, agak gemetar ketika dia berdiri menyambut.
“Selamat siang..”
“Selamat siang.. mm.. anu.. bapak..bapak.. mencari siapa?”
“Saya sedang mencari seorang gadis bernama Ayna..”
“Aap..apa? Aa..Ayna?” jawabnya gugup.
“Ya, Ayna.”
“Meng..ngapa bapak.. mencari disini?”
“Bapak menyembunyikannya disini ?”
“Tidak.. tidak.. tidak mungkin.. dia sudah pergi..”
“Saya mendapat perintah untuk menggeledah rumah ini.. “ kata salah seorang polisi sambil mengulurkan sebuah surat.
Dan dengan wajah pucat pak Sarjono membiarkan beberapa polisi masuk untuk menggeledah seisi rumah.
Pak Sarjono jatuh terduduk di kursi teras, wajahnya pucat pasi.
Beberapa sa’at lamanya polisi masuk kerumah, lalu dipanggilnya Sarjono. Lalu Sarjono masuk dengan gemetar. Polisi memasuki sebuah kamar.
“Ini kamar siapa?”
“Kamar saya pak.”
“Ini baju-baju siapa?” tiba-tiba seorang polisi membawa beberapa potong baju perempuan yang tampak pada almari yang sedikit terbuka lalu diambilnya baju-baju itu,
“Itu.. itu baju.. almarhum isteri saya ..”
“Bapak disini tinggal bersama siapa?”
“Sendiri pak..”
“Mengapa bapak tampak ketakutan?”
“Ssa..ya? Saya.. kaget.. dan takut.. tentu saja.. tiba-tiba ada polisi datang..” kata Sarjono masih dengan gagap.
Polisi itu pergi, namun menyisakan perasaan takut dihati Sarjono.
***
“Tidak menemukan apa-apa?” kata Nanda ketika ketemu lagi sama Bintang.
“Benarkah dia tidak tahu apa-apa, atau tidak berperan dalam hilangnya Ayna? Rasanya sulit dipercaya,” kata Bintang.
“Tapi nyatanya dia selalu ada dirumah, dan polisi yang menggeledah rumahnya tidak menemukan apa-apa.”
“Bagaimana kalau disembunyikan ditempat lain ?” ujar Nanda.
“Nah.. “
“Tapi bagaimana dia tahu kalau Ayna kecelakaan lalu dia membawanya?”
“Apakah yang mengalami kecelakaan sudah pasti Ayna?”
“Kalau ada orang yang mengenalinya sebagai pegawai toko pak Yoga, siapa lagi kalau bukan Ayna, sedangkan karyawan yang tak hadir hanya Ayna.” Kata Nanda
“Aku ingat waktu kamu bilang ada pasien perempuan muda, bernama Winarni atau Minarni itu Bin.. jangan-jangan dia Ayna yang namanya disamarkan,” lanjut Nanda.
“Tapi katanya dibawa pulang paksa oleh suaminya.”
“Seorang penjahat bisa saja melakukan hal supaya tidak ketahuan.”
“Bagaimana dia tahu, seandainya benar, bahwa Ayna kecelakaan?”
“Siapa tahu ada yang menelpon, dan celakanya telpon yang dihubungi adalah telpon bapak tirinya.”
“Aduuh... bisa saja itu terjadi. Apa yang harus kita lakukan?”
“Kita kembali ke rumah sakit dan menanyakan ciri wanita muda bernama Winarni itu. Apakah dia cantik, atau gemuk, atau kurus, terus cari tahu alamatnya.”
“Kamu pinter Nda.. Oke, ayo kita kesana.”
“Baiklah, pakai mobilku saja.”
***
“Pasien itu masih muda, cantik, tidak gemuk. Tinggi semampai.” Kata perawat yang menangani waktu itu.
“Bagaimana lukanya? Parah?” tanya Bintang.
“Kalau luka tidak tampak, tapi seperti ada trauma di kepala. Dia tidak bisa menjawab sepatah katapun pertanyaan yang diajukan.”
“Mengapa tidak dirawat sampai sembuh?”
“Suaminya memaksa membawanya pulang dengan alasan tidak ada biaya.”
“Tidak adakah penabrak yang bertanggung jawab?”
“Dia membawanya kemari, sepertinya sudah bicara sama suami pasien itu. Entah bagaimana, dia minta untuk membawanya pulang.”
“Siapa nama suaminya?”
“Sumarno.”
“Alamatnya ?”
Karena Bintang memperkenalkan dirinya sebagai dokter maka ia bisa mendapatkan informasi tentang pasien yang dimaksud.
Hari sudah sore ketika itu. Nanda bermaksud segera menuju ke alamat tersebut, tapi perawat pembantu Bintang tiba-tiba menelpon.
“Dokter, ada tiga pasien yang menunggu, apakah dokter akan datang?”
“Pasien lama ?”
“Yang dua pasien lama, yang satu baru, apa harus saya bacakan nama dan alamatnya?”
“Tidak.. tidak usah.”
“Terimakasih dokter. Ma’af apakah masih lama? Ada yang datangnya sudah sejak jam lima tadi.”
“Oh.. mm.. baiklah, aku pulang sekarang.”
“Ada apa?” tanya Nanda.
“Dirumah ada tiga pasien. Bagaimana ini, semuanya berat.”
“Tenang saja, aku antar kamu pulang, aku akan mencari alamat tersebut.”
“Sendiri ?”
“Iya lah, sendiri, memangnya kenapa?”
“Baiklah, kalau ada apa-apa kabari aku ya.”
“Siap, laksanakan.”
***
“Mas Bintang, tadi tante Tanti menelpon,” kata Bulan begitu Bintang turun dari mobil.
“Menanyakan kabarnya Ayna?”
“Iya, aku kasihan sama dia.”
“Iya, belum ada titik terang. Ini aku pulang karena ada pasien menunggu.”
“Mas Bintang sama siapa?”
“Itu Nanda. Mau mencari alamat yang kemungkinan disitu bisa ada tanda-tanda tentang adanya Ayna.”
“Aku boleh ikut ya?”
“Bilang saja sendiri, aku mau langsung praktek, kasihan pasien sudah menuggu,” kata Bintang yang terus pergi ke ruang praktek yang ada disamping rumahnya.
“Mas Nanda... tunggu..” teriak Bulan yang berlari kearah mobil Nanda.
“Ada apa?”
“Aku ikut ya, bolehkah?”
“Ini lagi nyari orang, apa kamu nggak capek kalau misalnya nyarinya nggak ketemu-ketemu?”
“Nggak, aku lagi suntuk dirumah sendirian, bapak sama ibu pergi kondangan di tetangga.”
“Baiklah, cepat, aku tunggu, janji nggak akan rewel ya?” goda Nanda.
“Nggak lah...” kata Bulan sambil berlari kedalam rumah untuk ganti pakaian dan sepatu.
“Lama sekali sih, pakai gincu, lipstick .. ” kata Nanda setelah Bulan naik ke mobilnya lalu menjalankannya.
“Nggak lah... aku nggak suka dandan, tahu.”
“Iya sih, orang cantik nggak usah dandan juga sudah cantik.. “
“Oh ya, aku cantikkah?”
“Cantik dong..”
“Sama Ayna cantik mana?”
“Sama-sama cantik. Bedanya adalah kamu sedikit cerewet, sedangkan Ayna agak pendiam.”
Bulan tersenyum senang. Bagaimanapun Nanda adalah sahabat kakaknya yang sudah sangat dekat dengan keluarganya.
“Aku cerewet ya?”
“Iya, nggak terasa ya.. kan dari tadi kamu ngoceh..”
“Jahat ya, kan mas Nanda yang membuat aku ngoceh...Masa diajak ngomong aku diam saja?”
“Ya sudah, aku mau diam saja.”
“Baik, aku juga akan diam,” kata Bulan sambil menatap kedepan, sedikit cemberut karena Nanda mengatakannya cerewet.
“Kok merengut sih.. kalau merengut hilang cantiknya lho,” goda Nanda.
Tapi Bulan diam saja.
“Heiiii.... “ Nanda menowel lengan Bulan.
“Aku mau diaaaam, nanti dibilang cerewet,” sungut Bulan.
Nanda terbahak, senang juga menggoda adik sahabatnya ini. Untung dia ikut, kalau tidak dia akan tegang dalam mencari jejak Ayna.
“Ma’af.. ma’af.. tapi aku suka gadis cerewet kok.”
Bulan menatap Nanda sambil tersenyum.
“Bukannya mas Nanda suka gadis pendiam?”
“Nggak, suka yang cerewet...”
“Kalau begitu nggak suka sama Ayna dong, katanya suka, dan katanya Ayna pendiam..” goda Bulan.
Nanda tersenyum.
“Ayna ya? Nggak tahu suka apa enggak.. tapi Ayna itu gadis yang berbeda.”
“Berbeda bagaimana?”
"Dia itu gadis yang nasibnya sangat menyedihkan. Ditinggal ayahnya sejak kecil, lalu ditinggal ibunya ketika dia menginjak dewasa.. sekarang diculik orang atau entah bagaimana,” kata Nanda seperti bergumam.
“Benar, dia pantas dikasihani.”
“Barangkali aku dan Bintang punya perasaan yang sama.”
“Kalian jatuh cinta sama Ayna?”
“Terkadang aku bertanya pada diri aku, apakah aku cinta sama dia, atau hanya kasihan saja, entahlah.”
“Ayna gadis yang baik, dia pantas dicintai.”
“Tapi cinta sama kasihan itu kan beda.”
“Lalu mas Nanda ada yang di perasaan mana? Kasihan, atau jatuh cinta?”
“Aku tidak tahu. Kamu pernah jatuh cinta?”
“Aku?”
“Ya, kamu. Atau kamu sekarang sedang mencintai seseorang?”
“Nggak tahu aku.”
“Kok nggak tahu.”
“Mas Nanda sendiri nggak tahu perasaannya bagaimana, apalagi aku. Aku masih kecil tahu.”
“O, kecil ya... duh.. “
“Mas Bintang sering bilang bahwa aku masih kecil.”
“Kamu sudah mahasiswa, sudah pantas jatuh cinta.”
“Bulan punya banyak teman, cowok.. ganteng-ganteng, baik-baik..”
“Nah..”
“Kok nah? Hanya teman, belum ada yang membuat Bulan tertarik. Laki-laki dimanapun sama kan? Selalu suka yang cantik-cantik?”
“Benar, tapi suka beda dengan cinta.”
“Nah, kalau bicara cinta lagi, aku nggak bisa jawab. Eh.. ngomong-ngomong kita mau kemana nih?”
“Sebentar, aku ngikutin map.. tuh lihat.. Alamatnya ada disitu.”
“Kayaknya masih jauh ya?”
“Agak di pinggiran kota.”
“Hm, berburu gadis sampai rela bersusah payah begini..”
“Kamu capek?”
“Nggak, aku suka..sekalian jalan-jalan.”
“Semoga alamat ini bisa menunjukkan keberadaan Ayna."
“Kalau dia kecelakaan, pasti luka dong.”
“Suaminya memaksa membawanya pulang dengan alasan tak punya biaya.”
“Ayna punya suami?”
“Bukan, ini kami sedang mencurigai sebuah nama yang mungkin palsu.”
“Maksudnya?”
“Ayna dibawa kerumah sakit dengan nama lain, yang membawa pulang seorang laki-laki yang katanya adalah suaminya. Aku curiga dia adalah Ayna."
Mobil Nanda sudah sampai pada suatu titik dimana alamat yang tertera ada disana.
“Yang mana rumahnya?”
“Kalau menurut alamat ini, memang benar ini alamatnya. Ayo turun,” kata Nanda yang kemudian beranjak turun. Bulan mengikutinya.
Hari mulai gelap, dan lampu dirumah itu tampak remang. Sebuah rumah sederhana.
Keduanya mendekat, lalu melihat seorang wanita membuka pintu.
“Selamat sore..” sapa Nanda.
“Ya, mau mencari siapa?”
“Ini rumahnya pak Sumarno?”
“Ya, benar.”
“Ibu siapa?”
“Saya Winarni, isterinya.”
Nanda tertegun.
==========
Nanda tak bisa menjawab sepatah katapun. Nama Winarni dan Sumarno ada didalam benaknya, dan dia mengira bahwa Winarni pastilah Ayna. Tapi ini bukan Ayna.
“Ada apa ya? Maksud saya ada perlu apa sama suami saya?”
“Mm.. apakah ibu.. baru saja mendapat kecelakaan?”
“Kecelakaan?” wanita isteri Sumarno itu tampak berfikir.
“Benarkah?” desak Nanda.
“Oh, hanya terjatuh.. ketika membonceng kendaraan.”
“Oh, sampai dibawa kerumah sakit?”
“Ya, tapi nggak sampai opname. Ada apa ya?” tanya Winarni lagi.
“O.. ya sudah, saya hanya mencari pak Sumarno. Terimakasih bu,” kata Nanda sambil menarik tangan Bulan diajaknya pergi dari tempat itu.
“Bagaimana sih ini.. mana Ayna ?”
“Bingung aku, ayo pergi dulu.., ajak Nanda lalu menaiki mobilnya dan berlalu.
“Itu tadi siapa?”
“Orang, yang dicurigai mengerti tentang Ayna.”
“Ternyata bukan ?”
“Entahlah, kita tunggu Bintang, lalu kita bicara.”
“Aneh orang itu ya.”
“Kamu nggak capek ?”
“Aku cuma lapar sama haus..” kata Bulan malu-malu.
Nanda tertawa keras.
“Baiklah, kita cari rumah makan, sambil menunggu Bintang ya.”
“Memangnya mas Nanda juga lapar ?”
“Iya sih, jadi kamu nggak perlu sungkan, aku juga lapar dan haus.”
Bulan tersenyum. Entah mengapa malam itu Bulan merasa sangat nyaman. Dia jarang ketemu Nanda, dan ternyata Nanda agak kocak juga. Itu membuatnya nyaman jalan bersamanya.
***
“Katanya lapar, kok makan cuma sedikit ?” tanya Nanda ketika makan bersama Bulan.
“Aku tuh nggak bisa makan banyak mas. Sedikit-sedikit...”
“Lama-lama menjadi bukit kan ?” canda Nanda.
Bulan tertawa, dan Nanda tiba-tiba menyadari, bahwa Bulan kalau tertawa manis sekali. Beberapa sa’at dia terpukau dan tak sanggup melepaskan pandangannya pada wajah cantik yang masih saja tertawa sambil memasukkan suapan terakhirnya.
“Eh.. kok nglihatin aku begitu? Aku aneh ya?”
“Kamu cantik..”
“Tadi sudah bilang begitu.”
“Bilang lagi boleh kan?”
“Boleh, nggak bosan?”
“Ya enggak lah, wajah cantik mana membosankan?”
Bulan kembali tertawa, dan Nanda tak henti-hentinya terpesona. Kemana saja perasaannya selama ini sehingga tak pernah memperhatikan adik sahabatnya yang menggemaskan ini.
“Mas Nanda malam ini aneh deh.”
“Aneh.. tapi nyata kan?”
“Nyata.. kan bukan mahluk halus...”
Lalu keduanya tertawa riang. Sejenak Nanda bisa menhilangkan kegelisahannya karena sejauh ini berita tentang Ayna masih merupakan tanda tanya.
“Mas Bintang mau kesini kan?”
“Iya, aku sudah menelpon supaya kalau sudah selesai menyusul kemari.”
“Kalau pasiennya hanya tiga pasti sudah selesai. Tapi seringkali ada pasien lagi, sehingga kadang dia selesai praktek sampai malam.”
“Iya, tadi bilang ada pasien satu lagi.”
Tapi tak lama kemudian Bintang muncul.
“Wah, sudah pada makan malam nih. Aku juga lapar.”
“Aku pesenin ya mas, mau makan apa?”
“Terserah, kamu kan tahu aku suka makan apa.”
“Iya, ayam goreng kremes, dada kan? Minum jeruk panas..”
“Pinter kamu.. “
“Tadi Bulan juga lapar, jadi aku ajak kemari.”
“Bagaimana tadi, ketemu alamatnya Sumarno.”
“Ketemu, yang nemuin isterinya.”
“Isterinya? Siapa nama isterinya?”
“Winarni..”
“Jadi yang dirumah sakit itu benar dia? Tapi yang dimaksud perawat rumah sakit itu kan gadis, cantik, semampai, korban kecelakaan, trauma otak..”
“Namanya benar, Winarni, suaminya bernama Sumarno, tapi dia hanya jatuh dari sepeda motor, dan benar juga kerumah sakit, tidak opname, tapi tadi tampak baik-baik saja. Cedera otak? Cedera tubuhnya saja sepertinya enggak.”
“Jadi tetap Ayna masih menjadi teka teki?”
“Menurut aku tetap ada yang aneh.”
“Aneh ?”
“Sangat aneh. Mengapa namanya Winarni, mengapa suaminya Sumarno, mengapa alamatnya benar, tapi mengapa bukan korban kecelakaan yang luka parah.”
“Berarti apa?”
“Berarti Sumarno menyembunyikan sesuatu.”
“Kamu mencurigai dia?”
“Bagaimana menurut kamu?”
“Menurut aku, mas Bintang makan dulu, tuh pesanan sudah siap,” kata Bulan menyela sambil tersenyum.
“Baiklah, aku makan ya?”
“Jadi sebenarnya tadi mas Nanda mencurigai perempuan itu ?” tanya Bulan.
“Ya.. sesa’at aku tak bisa omong apa-apa, tapi lama kelamaan terpikir olehku bahwa tampaknya Winarni atau Sumarno menyembunyikan sesuatu.”
“Kamu tadi tidak langsung menyebut nama Ayna?” tanya Bintang.
“Tidak, bagaimana aku bisa menyebutnya. Sekilas tak ada hubungannya Ayna dengan mereka."
“Tapi kalau dipikir-pikir, siapa sebenarnya Sumarno, dan mengapa kamu mengira bahwa dia ada hubungannya dengan hilangnya Ayna,” kata Bintang sambil menghirup jeruk panasnya.
“Bisa jadi dia hanya orang suruhan.”
“Orang suruhan ya?”
“Sarjono otaknya?”
“Mungkin.”
“Berarti kita harus mengawasi mereka terus menerus mas,” sela Bulan.
“Itu benar. Kita lapor polisi saja tentang kecurigaan kita ini, biar polisi membantu mengawasi mereka.”
“Baik Sumarno atau Sarjono.”
“Benar.”
“Kalau rumahnya bapak tirinya Ayna itu dimana?” tanya Bulan.
“Daerah Kampung Baru,” jawab Bintang.
“Oh, aku sering lewat sana, rumah temanku ada yang didaerah itu.”
“Aku sama Nanda juga dulu sering main kesana.”
“Iya lah, kalian kan lagi gandrung sama Ayna.”
“Gandrung? Gatutkaca...’kali.” seru Nanda yang lagi-lagi membuat Bulan tertawa.
***
“Tanti, makanlah, dari tadi kamu belum makan.”
“Iya bu, sebentar lagi, Tanti masih mual.”
“Itu buahnya dimakan dulu, nanti kan mualnya berkurang.”
“Iya bu..”
“Ibu kupasin jeruknya ya..”
“Iya bu..”
“Bu Suprih mengambil sebuah jeruk dan dikupas untuk Tanti. Beberapa hari ini Tanti sering diam, melamun. Dan bu Suprih khawatir karena tampaknya Tanti terus memikirkan Ayna.”
“Mengapa belum ada berita tentang Ayna ya bu.”
“Lho, kamu itu jangan begitu nduk, Ayna sudah ada yang mengurusnya. Kita cukup mendo’akan agar Ayna segera diketemukan. Kamu tidak boleh terlalu memikirkannya. Ingat kandungan kamu lho nduk.”
“Iya bu..”
“Pasti mas Danang juga akan sedih kalau kamu begitu.”
“Iya..”
“Ya sudah, jeruknya dihabiskan, setelah itu makan, sedikit juga tidak apa-apa, kalau kamu tidak makan ya lemas ta nduk.”
“Iya bu, habisnya kalau habis makan pasti muntah.”
“Tuh, mas Danang sudah datang, nanti kamu dimarahi karena belum makan.”
“Tanti, apa kabar anak bapak..?” datang-datang Danang merangkul isterinya kemudian mencium perutnya.
“Belum mau makan sejak tadi.”
“Lho, gimana isteriku ini..”
“Habisnya kalau makan pasti muntah mas..”
“Kalau begitu kita ke dokter saja nanti.”
“Benar mas Danang, lebih baik ke dokter saja, kasihan kalau muntah-muntah terus.”
“Belum ada berita tentang Ayna?”
“Belum, tapi tadi Bintang menelpon, katanya dia dan Nanda mencurigai bapak tirinya.”
“Ya ampuun, tidak jera-jeranya orang itu. Bagaimana kalau Ayna di apa-apain?”
“Tanti, semua sudah ditangani polisi, kamu tidak perlu khawatir. Pikirkan saja kandunganmu itu. Ya kan bu?”
“Iya mas, saya juga sudah bilang begitu. Itu nanti kalau tetap susah makan, sama dokter pasti disuruh opname. Seperti tetangga saya juga begitu mas. Hamil muda muntah terus lalu opname sampai hampir sebulan.”
“Saya kira itu lebih baik ya bu, supaya kesehatannya lebih terkontrol.”
“Tapi aku nggak mau opname.”
“Jangan seperti anak kecil Tanti, kalaupun opname kan bukan karena kamu sakit, tapi karena kamu harus lebih terjaga.”
“Iya, jangan ngeyel nduk, tapi ya nanti apa kata dokter saja mas Danang.”
“Iya bu, nanti ibu ikut ke dokter ya. Tampaknya Tanti lebih senang setelah ada ibu. “
“Iya nak, tidak apa-apa. Saya mau siap-siap sekarang. Kamu mau mandi pakai air hangat ya Tan?”
“Cuci muka saja ya bu, rasanya malas mandi.”
“Hm, kalau malas begitu itu kayaknya nanti anaknya bakal laki-laki.”
“Masa bu ?”
“Kata orang tua begitu, kalau ketika hamil itu malas, apalagi malas dandan.. biasanya anaknya laki-laki. Kalau anaknya perempuan pasti rajin. Rajin masak, rajin dandan..”
“Danang tertawa dan kembali mencium perut isterinya.
“Laki-laki atau perempuan bapak mau kok, ya nak, yang penting sehat.”
“Benar mas. Ya sudah, ibu buatkan minum dulu untuk mas Danang.”
“Ibu, biar saya membuat sendiri saja, ibu nanti kecapekan sudah mengurus Tanti segala.”
“Tidak nak, mana pantas laki-laki membuat minuman sendiri, “ kata bu Suprih yang langsung melangkah ke belakang.
“Aku mau mandi dulu saja ya. Kita siap-siap ke dokter.”
“Ya, aku mau rebahan sebentar.”
***
Sarjono sedang duduk diteras, seperti menunggu seseorang. Sebentar-sebentar kepalanya melongok kearah jalan. Tapi yang ditunggu belum tampak juga.
“Dasar bandel. Disuruh setiap hari datang kok ya masih saja semaunya dia. Awas nanti kalau tidak datang lagi,” omelnya.
Tiba-tiba seseorang memasuki halaman.
“Hm, itu baru muncul. Orang eddan.”
“Menunggu saya pak?”
“Iya lah, siapa lagi? Kamu kan aku suruh datang setiap hari. “
“Iya pak, ma’af, kemarin ada tetangga hajatan, jadi tidak bisa datang kemari.”
“Apa hajatan itu ya sehari semalam, ayo masuk, bicara didalam saja.”
“Tapi nanti dulu pak, saya kok tadi melihat ada orang mondar mandir didepan situ ya?”
“Siapa mondar mandir ?”
“Nggak tahu pak, kan saya tadi berdiri beberapa sa’at didepan. Saya melihat ada sepeda motor lewat, lalu melihat kearah rumah ini. Ee.. tidak lama dia kembali lagi, dan melihat kerumah ini lagi.”
“Kamu jangan menakut-nakuti aku lho Mar, beberapa hari yang lalu polisi menggeledah rumah ini, mengira aku menyembunyikan Ayna.”
“Masa sih pak? Kok tiba-tiba bisa kemari ya?”
“Ya nggak tahu .. mereka menggeledah rumah, untung mereka tidak menemukan apa-apa. Tapi hatiku sudah sangat ciut waktu itu.”
“Kalau memang mereka tidak menemukan apa-apa berarti ya tidak ada alasan mencurigai sampeyan. Tapi siapa ya yang tadi mondar mandir didepan sana, jangan-jangan polisi.”
“Wah.. kamu itu Mar.”
“Sudah pak, kalau begitu saya pamit dulu saja, daripada nanti bakal celaka”
“Eh, kita belum bicara lho Mar.”
“Bicaranya besok saja pak. Saya kok khawatir. Atau lebih baik untuk sementara bapak jangan pulang kemari saja.”
“Lha aku harus pulang kemana lagi?”
“Pokoknya jangan pulang. Sudah pak, saya permisi dulu."
“Eh.. gimana sih!”
Tapi Sumar yang ketakutan benar-benar pergi.
Ia terus saja melangkah, dan berdiri dijalan menunggu angkot.
Ia hampir melompat keatas angkot yang sudah berhenti ketika seseorang tiba-tiba memanggilnya.
“Pak.. pak, sebentar pak.”
“Ada apa ya?” dan Sumar terpaksa membiarkan angkot itu berlalu karena orang itu memegang lengannya.
“Bapak kenal ya dengan pemilik rumah itu?”
“Ya kenal pak, saya ini seorang buruh yang cari pekerjaan dimana-mana. Kadang-kadang pemilik rumah itu menyuruh saya membetulkan rumahnya yang bocor.”
“Tadi bapak kesana mau ngapain?”
“Mencari pekerjaan pak, barangkali ada yang bisa saya lakukan.”
“Kok cuma sebentar?”
“Ya, so’alnya ternyata belum ada pekerjaan untuk saya.”
“Rumah bapak dimana ?”
“Jauh pak, Palur sana.”
“Cari pekerjaannya jauh ya?”
“Ya dimana-mana pak, namanya cari uang.”
“Ya sudah, bapak boleh pergi.”
Lalu Sumar bergegas pergi menjauh, mencegat angkot di tempat yang agak jauh dari tempat itu.
Sementara itu pak Sarjono yang sebenarnya ingin berpesan kepada Sumar, dengan kesal segera menutup pintunya. Namun belum sampai pintu itu tertutup, seseorang menyapanya.
“Tunggu pak, saya permisi sebentar.”
Sarjono mengurungkan niatnya menutup pintu.
“Ada apa ya? Saya sudah mau tidur.”
“Cuma ingin tanya, apa tadi ada orang yang datang kemari untuk mencari pekerjaan?”
“Tidak, tidak ada.” Jawab Sarjono.
Bersambung #9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel