Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 03 Mei 2022

Ayna #7

Cerita bersambung

Ayna tak menyadari apapun. Ia senang menemukan penjual lotis dan memesan beberapa bungkus untuk ibu angkatnya. Lalu pulang dengan becak yang sama. Ia turun dengan perasaan gembira, melangkah dengan lincah seperti biasanya walau bawaannya lumayan berat, ketika ia menuju keteras rumah. Sementara becak yang ditumpangi seseorang itu melintas didepan rumah, penumpangnya menatap tajam kearah dimana Ayna menaiki tangga teras, kemudian berlalu.

“Ibuuu... “ Ayna berteriak ketika memasuki rumah, lalu Tanti keluar dari kamar.
“Kamu sudah pulang Ayna ?”
“Sudah ibu..”
“Dapat lotisnya.”
“Dapat dong bu.. untuk adik tercinta ini, Ayna akan mencari walau keujung dunia sekalipun,” canda Ayna sambil mengelus perut Tanti.

Tanti tertawa lalu mengelus kepala Ayna.

“Terimakasih, kakak cantik.”“Saya tempatkan di wadah dulu supaya enak ibu memakannya,” kata Ayna sambil melangkah kebelakang.

Tanti duduk di sofa, menunggu, sambil geleng-geleng kepala.

“Tidak salah aku mengambil Ayna sebagai anakku. Dia bukan hanya cantik, tapi juga baik dan rajin. Syukur kepada Allah atas karunia ini,” gumam Tanti sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa.
“Ini ibu, irisan buahnya sudah Ayna cuci dengan air garam, supaya bersih,” kata Ayna sambil meletakkan irisan buah itu lengkap dengan sambelnya.
“Hm, segar sekali baunya, bikin ngiler,” kata Tanti sambil mencomot sepotong bengkoang.”
“Ayna mau membuat minuman, lalu masak dan mandi.”
“Ayna, sebaiknya kamu istirahat dulu.”
“Sekalian bu, sebentar lagi bapak sudah pulang, harus ada minuman hangat tersedia, bukankah biasanya ibu melakukannya seperti itu?”
“Iya Ayn, tapi kan kamu pastinya lelah.”
“Tidak bu, Ayna akan menggantikan semua tugas ibu selama ibu belum bisa melakukannya. Ibu jangan khawatir, Ayna sudah biasa melakukan semua pekerjaan ini.”
“Ya ampun Ayna, kamu juga akan masak sore ini?”
“Tidak apa-apa bu, Ayna akan bikin gudeg. Besok pagi tinggal buat sambel gorengnya. Bukankah sayur gudeg lebih enak kalau diinapkan semalam?”
“Ya sudah, terserah kamu saja Ayna, lakukan apa yang kamu suka, asalkan kamu tidak kecapekan. Istirahatlah kalau kamu merasa lelah, aku tidak ingin kamu sakit.”
“Tidak ibu, pokoknya nikmati saja lotisnya sambil menunggu bapak pulang,” kata Ayna sambil berlalu.

Tanti hanya bisa geleng-geleng kepala.

“Semoga aku segera bisa melakukan banyak hal sehingga kamu tidak terlalu capek Ayna,” gumamnya lagi.
***

“Saya sudah bisa menemukan dimana Ayna tinggal pak,” kata Sumar tetangga Sarjono.
“Benarkah ?” tanya Sarjono senang.
“Benar, ini alamatnya, sudah saya tulis pak,” kata Sumar sambil mengulurkan selembar kertas.
“Rupanya Ayna tinggal di rumah sebuah keluarga kaya. Rumahnya bagus sekali pak,” sambung Sumar.
“Benarkah? Ya sudah ini uang pengganti ongkos becak kamu.”
“Terimakasih banyak pak.”
“Susah sekali mengajak dia pulang.”
“Apakah bapak mau mengambilnya sebagai isteri?”
“Ah, kamu..”
“Ya tidak apa-apa pak, sah-sah saja karena Ayna kan hanya anak tiri, apalagi sudah tahu bagaimana hatinya, cara melayaninya, saya do’akan semoga berhasil ya pak.”
“Sudah.. sudah.. kamu jangan banyak bicara, nanti kalau aku butuh bantuan kamu, aku panggil kamu lagi ya.”
“Iya pak, siap..” kata Sumar sambil ngeloyor pergi setelah mencium uang ratusan ribu yang diberikan Sarjono.

Sarjono masuk kerumah, lalu mengamati tulisan Sumar yang berisi alamat dimana sekarang Ayna tinggal. Sesungguhnya Sarjono tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia merasa kesepian. Rumah yang biasanya ramai oleh celoteh Ayna kini senyap bagai kuburan. Ia hanya butuh teman, ia ingin Ayna pulang, tapi tampaknya Ayna ketakutan. Sarjono merasa bersalah telah terbakar oleh nafsu yang tidak semestinya. Kalau dia ingin memperisterinhya, harusnya ia melakukannya dengan lemah lembut, tidak langsung seruduk seperti yang pernah dia lakukan. Duuh, semuanya sudah terjadi, bisakah dia memperbaikinya?

“Aku harus menemui dia lagi, dan berusaha mengajaknya pulang. Kalau kemarin-kemarin belum berhasil, aku harus mencobanya lagi, masa tidak runtuh belas kasihannya melihat aku menghiba-hiba, bukankah puluhan tahun aku menjaganya dan menyayanginya?” gumam Sarjono.

Sampai larut malam ia memikirkannya, lalu memejamkan matanya dan berusaha tidur, siapa tahu ia akan bermimpi ketemu Ayna.
***

“Ibu, sarapan sudah siap..” seru Ayna yang sudah siap dengan pakaian kerjanya.
“Sudah selesai masaknya?”
“Sudah dari tadi bu, kan tinggal masak sambal goreng sama menggoreng telur dan kerupuk?”
“Ya ampun Ayna, aku sendiri belum tentu bisa masak selengkap itu. Pasti bapak suka. Biar bapak dulu yang makan, perutku masih mual. Barangkali aku harus makan jeruk dulu, masih adakah?”
“Masih ada bu, biar saya ambilkan,” kata Ayna sambil berlalu dan mengambil sebuah jeruk lalu diberikannya kepada ibu angkatnya.
“Terimakasih Ayna. Kalau begitu kamu saja menemani bapak sarapan, aku akan makan nanti kalau mualnya sudah hilang.”
“Ayna mau langsung berangkat kerja bu.”
“Kamu tidak sarapan dulu?”
“Saya sudah membawa bekal bu, sebagian untuk sarapan, sebagian lagi untuk makan siang nanti.”
“Baiklah Ayna, jangan sampai karena sibuk lalu kamu melupakan kebutuhan kamu sendiri.”
“Tidak, ibu jangan khawatir.”
“Mau berangkat sekarang?”
“Iya ibu, Ayna pamit dulu, bapak masih dikamar, nanti pamitkan pada bapak,” kata Ayna sambil mencium tangan Tanti, kemudian berlalu.

Tanti tersenyum, sambil mengupas jeruk yang diberikan Ayna.

“Ayna sudah berangkat?” tanya Danang.
“Sudah mas, baru saja, kalau mas mau sarapan, semua sudah siap.”
“Ayo sarapan kalau begitu.”
“Mas sendiri saja, aku masih mual. Nanti kalau sudah baikan baru aku makan.”
“Temani aku dong, masa aku makan sendiri.”
“Iya, aku makan jeruknya ini dulu, biasanya lalu lebih enakan.”
“Baiklah, aku tunggu di ruang makan.”

Tanti menghabiskan jeruknya, lalu masuk kekamar. Diambilnya botol minyak kayu putih, lalu menuju keruang makan. Ia menunggui suaminya sarapan sambil mencium aroma minyak kayu putih yang menurutnya membuatnya lebih segar.

“Masakan Ayna selalu enak ya Tan?”
“Iya, kan aku sudah bilang dia itu anak yang hebat, anak perempuanku,” kata Tanti sambil tersenyum.
“Tapi jangan biarkan dia melakukan semuanya, nanti dia capek.”
“Aku sudah berkali-kali mengingatkan mas, dia tuh begitu.. Jadi aku biarkan saja dia melakukan apa yang dia suka.”
“Yah, mau bagaimana lagi?”
“Mas, nanti kalau pulang aku dibelikan jeruk lagi ya, tinggal satu, kemarin lupa pesan sama Ayna.”
“Iya, gampang.”
***

Siang itu Tanti duduk diruang tengah sambil menikmati acara televisi. Tapi sesungguhnya ia tidak menikmatinya. Ia menatap ke arah layar sambil mencium aroma minyak kayu putih yang selalu digenggamnya. Hari sudah agak siang, tapi belum sa’atnya suaminya pulang. Ia ingin berbaring saja dikamar, ketika tiba-tiba didengarnya bel tamu berdering.
Tanti bangkit, lalu melangkah kedepan.

“Tantii...” sebuah panggilan mengejutkannya.

Tanti membuka pintu, berseri wajahnya melihat Palupi bersama Bulan berdiri didepan pintu. Mereka berpelukan lama sekali.

“Kangen mbak, lama tidak ketemu, aku juga kangen sama Bulan, kamu semakin cantik saja.”
“Terimakasih tante.”
“Aku dan mas Handoko bahagia sekali mendengar kamu hamil. Ini karunia yang tak terhingga, Tanti.”
“Iya mbak, tadinya aku juga nggak percaya.”
“Tante, aku tadi buat ronde buat tante. Eh, wedang ronde.” Kata Bulan.
“Benarkah? Aku suka itu. Buat sendiri ? Benarkah ?”
“Iya tante, ibu yang buat, aku ngebantuin. Ayo tante icipin dong.”
“Bulan, kamu ke belakang mengambil tempat, atau mangkuk yang besar, lalu mangkuk kecil, sama sendok, biar tantemu tidak susah menyantapnya.”
“Iya baiklah,” kata Bulan sambil beranjak kebelakang.
“mBak .. kok bisa membawa wedang ronde, idenya siapa?”
“Bulan bilang, kata Bintang kamu ngidam wedang ronde, lalu aku buatkan sama Bulan, Bulan senang sekali tadi, lucu ketika bola-bola ronde setelah dimasukkan ke air mendidih lalu muncul keatas.”
“Lain kali aku diajarin juga ya mbak.”
“Silahkan... wedang ronde sudah siap...” kata Bulan sambil membawa nampan berisi wedang rondenya.
“Hm.. baunya.. sedap. Kok mangkuknya cuma satu, mana buat ibu sama kamu, Bulan?”
“Ibu sama Bulan sudah kenyang, sebelum berangkat sudah habis masing-masing dua mangkuk.”
“Oh ya? Asyik bener bisa masak berdua. Baiklah, hm.. enaknya.. lebih enak dari kalau kita beli diluar lho mbak.”
“Mana Ayna?” tanya Bulan.
“Ayna kan bekerja. Tapi dia tuh rajinnya bukan main. Sebelum berangkat sudah masak buat sarapan dan makan siang. Sudah bersih-bersih. Pokoknya semua pekerjaan aku dikerjakan oleh dia.”
“Anak baik, beruntung kamu memungut anak begitu baik dan cantik.”
“Sebetulnya nggak sampai hati melihatnya mbak, tapi aku tuh kalau mencium bau masakan langsung mual, Lalu badan rasanya lemas..”
“Iya lah, itu lumrah buat orang ngidam Tan, yang penting kamu harus sehat, banyak makan sayur dan buah.”
“Iya mbak.”
“Kami tidak akan lama, karena mas Handoko sebentar lagi pulang.”
“Aduh, kirain mau makan siang disini bareng-bareng. Masakan Ayna enak lho mbak.”
“Nanti mas Handoko bagaimana?”
"Panggil saja kemari, jadi nanti bisa ketemu mas Danang juga.”
"Wah, iya.. pasti rame. Coba telpon bapak deh Bulan, biar makan siangnya disini saja.”
“Baik, bu.”
“Kapan nih, mantu mbak? Bulan sudah punya pacar belum ?”
“Nggak tahu tuh. Lha Bintang saja masih susah Tan, nggak tahu juga mau cari gadis yang bagaimana.”
“Oh, Bintang sama Nanda itu kan lagi bersaing mbak.”
“Ooh.. Ayna ya?” kata Bulan yang sudah selesai menelpon bapaknya.
“Iya..”
“Rame deh kalau lagi datang kesini bareng-bareng.”
“Mana kelihatannya yang dipilih Ayna?”
“Nggak tahu mbak, Ayna itu kan terkadang masih seperti anak kecil, jadi menurut aku sikapnya juga biasa-biasa saja sama mereka berdua.”
“Ya nggak apa-apa Tan, kalau sudah jodohnya nanti pasti akan kelihatan mana yang dipilih Ayna.”
***

“Hallo ibu...” Bintang menelpon ibunya.
“Ya Bintang?”
“Kok dirumah nggak ada orang? Memangnya pada kemana ?”
“Kami ada dirumah tante kamu, sudah sejak siang. Tapi bapak makan siang disini juga, tapi sekarang sudah kembali ke kantor.”
“Dirumah tante Danang?”
“Iya.. Bulan juga ada disini.”
“Ayna ada?”
“Hahaa.. ini jam berapa Bintang? Kata tante kamu dia jam tiga baru pulang dari bekerja,” kata Palupi sambil tertawa.
“Tapi mestinya Ayna langsung pergi belanja lho mbak,” sambung Tanti.
“Oh, iya.. kata tante kamu, Ayna dari tempat kerja langsung pergi belanja.”
“Nggak apa-apa, biar nanti Bintang antar dia,” kata Bintang yang langsung menutup ponselnya.
“Jam tiga kurang sedikit, aku bisa langsung ke tokonya sekarang,” gumam Bintang dengan bersemangat ketika meninggalkan rumahnya yang kosong.

Bintang memacu mobilnya. Siang ini dia senang, karena pasti tak akan bersaing dengan Nanda.

“Aku akan menjemputnya, lalu mengantarnya berbelanja, ahaa.. seperti tuan dan nyonya bukan?” gumam Bintang gembira.
***

Jam tiga tepat Ayna sudah menutup tokonya. Ya menyerahkan semua uang dan laporan kepada pak Yoga.

“Baiklah Ayna, hati-hati dijalan.”
“Terimakasih bapak, selamat sore.”
“Selamat sore Ayna.”

Ayna keluar dari toko dan menunggu angkot yang akan membawanya pergi belanja. Sekarang Ayna punya kesibukan baru. Sepulang kerja, belanja sayur yang akan dimasaknya nanti atau besok paginya. Nanti ia akan belanja untuk dua atau tiga hari sekali, supaya ketika pulang ia bisa langsung kerumah.
Ia hampir melambaikan tangannya kearah angkot yang mau lewat ketika terdengar teriakan dari arah toko.

“Ayna...!”

Ayna menoleh, dan melihat pak Yoga melambaikan tangannya. Dengan setengah berlari Ayna menuju kearah toko, dan kembali masuk

“Ya bapak.”
“Kamu melupakan sesuatu.”
“Apa ya?” tanya Ayna bingung.
“Amplop gaji kamu tertinggal dimeja tuh.”
“Oh, iya bapak, terimakasih banyak.”

Ayna menghampiri meja kerjanya dan mengambil amplop itu lalu dimasukkannya kedalam tas nya.

“Kamu seperti tergesa-gesa tadi, jadinya ketinggalan.”
“Iya bapak, terimakasih,” kata Ayna yang lalu bergegas keluar.

Ia berjalan kearah pinggir jalan, dan ia terkejut ketika melihat mobil melintas.

“Bukankah itu mobil mas Bintang? Kok tidak berhenti disini ya, aah.. mungkin karena mengira aku sudah pulang.”

Itu benar, ketika Bintang berhenti ditoko, dilihatnya toko sudah tertutup. Dilihatnya jam tangannya.

“Aduh, sudah hampir setengah empat. Pasti karena macet sebelum perempatan itu tadi,” pikir Bintang. Lalu ia kembali menjalankan mobilnya. Jalanan agak macet, sa’atnya bubaran kantor. Ia harus menjalankannya pelan.

“Tapi kemana ya Ayna?” gumamnya.

Ia meraih ponselnya tapi belum sempat memutar nomornya karena jalanan benar-benar macet.
Ayna juga tak mempermasalahkan berlalunya mobil Bintang.. Mungkin Bintang hanya kebetulan lewat, bukan untuk menjemputnya.
Lalu ia kembali mencegat angkot dipinggir jalan.
Tapi tiba-tiba Ayna terkejut, melihat sepeda motor Sarjono menuju kearahnya. Tanpa berfikir panjang Ayna menyeberang jalan untuk menghindarinya. Tak disangkanya sebuah mobil sudah sangat dekat dengan dirinya. Terdengar rem berderit kencang, tapi sebuah jeritan merobek hiruk pikuk jalanan rame disore itu.

==========

Ketika jalanan agak sepi, Bintang baru bisa membuka nomor kontak Ayna. Tapi tak ada jawaban. Sama sekali ia tak tahu bahwa beberapa ratus meter dibelakangnya sedang terjadi kecelakaan yang menimpa kekasih hatinya.
Bintang terus menjalankan mobilnya dan terus menelponnya, dan tidak juga ponsel Ayna diangkat.

“Apakah dia sedang dalam perjalanan dan tidak mendengar panggilan telponku ya? Aduh, kemana dia belanja kira-kira?”

Lalu Bintang menelpon Tanti. Barangkali tantenya itu tahu kemana biasanya Ayna belanja.

“Ya Bintang, ada apa?” tanya Tanti ketika Bintang menelpon.
“Ini tante, mau tanya, kemana ya biasanya Ayna belanja?”
“Oh, kamu bukannya menjemput dari toko ?”
“Saya agak terlambat karena jalanan macet dimana-mana tante, tampaknya dia sudah pergi. Saya mencoba menelpon tapi tidak diangkat.”
“Oh, barangkali dia masih di jalan. Tapi kemana ya dia belanja? Kalau kemarin itu belanja yang didekat Ngapeman. Sekarang kesitu lagi atau enggak ya? Tante kurang tahu.”
“Baiklah tante, akan saya cari disitu saja lebih dulu, barangkali juga setelah sampai dia bisa membuka ponselnya lalu gantian menelpon saya.”
“Ya Bintang, ini ibu kamu juga sudah mau pulang. Tapi katanya menunggu sampai Ayna datang.”
“Ya tante, jadi tante bisa ada temannya ngobrol.”
“Ya, kamu hati-hati ya nak.”
“Baik tante.”

Bintang menuju ke arah supermarket yang dikatakan Tanti. Ia berhenti lalu turun dan langsung memasuki supermarket itu sambil mencari-cari.
Tapi beberapa sa’at lamanya Ayna tak juga ditemukannya. Barangkali sudah tiga empat kali Bintang mengitari supermarket itu, tapi bayangan Ayna tak tampak disana. Lalu ia mencoba menelpon lagi, dan kali ini ponsel Ayna mati.

“Ya Tuhan, kemana ya dia?”

Bintang keluar dari supermarket itu dan menaiki mobilnya.

“Kemana ya Ayna kira-kira? Giliran mendapat kesempatan bagus, Ayna malah ngilang. Sekarng ponselnya mati, mungkin karena lupa nge cas. Kemana aku harus mencari kamu?” Bintang terus bergumam dengan perasaan bingung.
“Mungkin ke supermarket yang ada di jalan Slamet Riyadi. Adduhh.. mengapa jauh-jauh kesana? Tapi aku akan mencobanya mencari kesana.”

Tapi susah juga menemukan seseorang didalam supermarket yang begitu besar. Bintang turun ke lantai bawah. Bermacam sayuran ada disana.

“Mana dia... mana.. ? Ayna.. dimana kamu... dimana kamu... ?”

Tapi dia tetap tak menemukannya.

“Di counter tempat menjual baju-baju? Sepatu? Tas? Tidaak.. Ayna bukan pesolek, dia tak akan membuang waktunya hanya untuk membeli segala macam perlengkapan fashion.”

Bintang keluar dari supermarket itu, lalu meluncur kerumah Danang.

“Aku kebingungan setengah mati, dia sudah enak-enak bersantai dirumah, awass kamu Ayna, begitu ketemu aku pasti akan langsung mengatakan cinta. Kelamaan, keburu keduluan Nanda.”

Dan Bintang mengendarai mobilnya sambil tersenyum-senyum sendiri.
***

Danang sudah sampai dirumah, dan heran melihat Palupi dan Bulan masih ada disana, sementara Tanti tiduran di sofa sambil berbincang.

“Hai... masih ada tamu-tamu cantik disini,” seru Danang.
“Iya nih, menemani aku sambil menunggu Ayna.”
“Memangnya Ayna kemana?”
“Pulang dari bekerja, biasanya kan belanja. Tapi kok belum datang ya mas,” jawab Tanti sambil bangkit.
“Ini pasti karena Bintang,” kata Palupi sambil tersenyum.
“Bintang?” tanya Danang heran.
“Bintang tadi menjemput Ayna, nggak tahu dibawa kemana lagi anak itu.”
“Tapi barusan masih nyari-nyari lho mbak, nggak tahu ketemu atau enggak,” kata Tanti.
“Tapi kalau nggak ketemu kok bisa sampai jam segini?” kata Danang.
“Berarti pastinya sudah ketemu mas..”
“Ya sudah, sekarang aku sama Bulan mau pamit dulu ya, kan Danang sudah pulang, berarti kamu tidak sendirian.
“Iya mbak, terimakasih banyak sudah dibawakan wedang ronde, ditemani makan siang, lalu ditemani menunggu Ayna dan mas Danang. Malah Ayna yang belum pulang.”
“Jangan khawatir Tanti, kalau ada Bintang kan semuanya beres.”
“Benar, pasti Ayna sudah diberesin,” seloroh Danang.
“Lho, diberesin bagamana sih Nang?’
“Artinya semua urusan beres, gitu lho mbak.”

Tapi ketika Palupi dan Bulan sampai di teras, terlihat mobil Bintang memasuki halaman, dan tak kelihatan ada Ayna disampingnya.

“Mana Ayna?” semua heran karena Bintang justru bertanya.
“Lho, bukan pergi sama kamu?” tanya Tanti.
“Aku memasuki semua supermarket yang kira-kira Ayna belanja disana, tapi nggak ada, sampai pegel kakiku. Nanti Bulan harus memijit kaki mas ini ya,” kata Bintang sambil mengacak rambut adiknya.
“Ya, upahnya dulu..”
“Eh.. belum-belum minta upah...”
“Iya dong.”
“Tapi kemana sebenarnya Ayna? Saya kira sudah sampai di rumah, tante.”
“Belum, kami semua mengira dia pergi sama kamu.”
“Aduuh.. kok aneh ini. Apa belanjaannya sangat banyak?” tanya Bintang.
“Tidak, tadi cuma bilang mau beli sayur untuk dua atau tiga hari. Masa begini lama?”

Lalu semuanya kembali duduk. Hati mereka diliputi kegelisahan.

“Coba kamu telpon lagi Bin.”
“Ponselnya mati.”
“Kalau begitu dia kemana? Ini aneh, pasti terjadi sesuatu. Jangan-jangan diajak pulang oleh bapak tirinya,” gumam Tanti dengan khawatir.
“Apa? Mana mungkin Ayna mau,” kata Danang.
“Lalu bagaimana mas, mas harus mencari dia..” rengek Tanti.

Danang menepuk punggungnya lembut.

“Tenanglah Tanti, aku akan mencarinya, belum-belum jangan panik dulu dong.”
“Ini sudah tidak wajar mas. Cobalah, apapun .. carilah dirumah bapak tirinya. Aku curiga dia punya akal-akalan untuk membawa Ayna pulang.”
“Baiklah, biar saya saja kerumah bapaknya, tante. Om Danang baru pulang, pasti capek. Ibu sama Bulan masih mau disini atau pulang?” tanya Bintang.
“Sebaiknya pulang dulu ya, nanti bapak kamu pulang, nggak ada orang dirumah.. Nanti gampang kalau perlu aku akan kemari lagi menemani Tanti.
“Jadi kamu mau kerumah Sarjono sekarang Bin?”
“Iya om. Biar saya yang kesana.”
***

Ketika Bintang sampai dirumah Sarjono, ia melihat pintu rumah itu tertutup. Tapi Bintang terus masuk lalu mengetuk pintu rumah itu.

“Assalamu’alaikum...”

Tak ada jawaban..
Lalu Bintang mengetuk lebih keras.

“Selamat malam..”

Dan akhirnya terdengar langkah mendekat, lalu orang membuka pintu.

“Selamat malam pak Sarjono..” sapa Bintang lebih dulu.
“Selamat malam, apa ini nak dokter.. mm... siapa ya.. lupa..”
“Bintang pak.”
“Ha.. benar, ada perlu apa ya nak?”

Bintang melongok-longok kedalam rumah.

“Mencari sesuatu?” sapa pak Sarjono ketika melihat Bintang seperti mencari-cari.
“Saya.. mm.. apakah.. apakah Ayna ada disini ?”
“Ayna ? Mengapa nak dokter mencarinya kemari? Sejak pergi dari rumah dia tak pernah mau kembali lagi kemari.”
“Barangkali.. bapak yang mengajaknya, ma’af.”
“Tidak, saya memang pernah mengajaknya, meminta ma’af.. dan memintanya pulang, dengan janji tak akan mengulangi perbuatan buruk saya. Tapi dia tetap tidak mau.”
“Owh..”
“Sebetulnya saya sedang tidak enak badan, jadi.. ma’af kalau saya tidak dapat melayani nak dokter lebih lama.”
“Baiklah, kalau begitu saya permisi.”

Bintang membalikkan tubuh dan pergi setelah melihat pak Sarjono mengangguk kemudian menutupkan kembali pintu rumahnya.
Bintang masih duduk didalam mobilnya dan belum beranjak pergi. Sungguh dia bingung. Pak Sarjono sepertinya memag tidak tahu dimana Ayna. Atau.. dia hanya berpura-pura? Tapi kalau benar dia membawa Ayna, bagaimana mungkin Ayna menurut begitu saja sementara pengalaman terakhir bertemu pak Sarjono dirumah itu membuatnya sangat ketakutan.
Lalu Bintang menelpon Danang.

“Bagaimana Bin? Ada disana?”
“Tidak ada om. Jadi dia belum pulang juga?”
“Belum. Kami menunggu kabar dari kamu.”
“Pak Sarjono ada dirumah dan tampak tidak tahu menahu tentang Ayna.”
“Aku khawatir tante kamu sangat cemas dan itu berbahaya bagi kandungannya. Sejak tadi dia diam, lalu muntah-muntah sampai lemas.”
“Harus ada yang selalu mendampingi dia. Bagaimana kalau saya jemput bu Suprih?”
“Itu ide bagus Bin, tapi terkadang dia ada dirumah mas Pri. Coba kamu telpon dulu, aku rasa nanti ibunya akan bisa menenangkannya.”
“Baiklah om, saya akan menelpon om Pri sekarang juga.”
“Ya, mas Bintang, ada kabar apa?” sapa Pri ketika Bintang menelponnya.
“Apa bu Suprih ada disini ?”
“Oh, baru kemarin yu Suprih pulang. Dia itu selalu tidak kerasan tinggal dimana-mana. Kesini ya paling menginap satu dua hari, lalu pulang. Demikian pula kalau dirumah Tanti. Dia tadi juga bilang kepengin pergi kerumah Tanti.”
“Oh, baiklah, saya akan menjemputnya saja om.”
“Tanti tidak apa-apa kan?”
“Baru ada kejadian yang membuat tante Tanti mungkin agak shock..”
“Kenapa ?”
“Ayna belum pulang sejak dari bekerja tadi. Katanya mampir belanja tapi sampai sekarang belum pulang juga.”
“Jangan-jangan pergi kerumah ayah tirinya, siapa itu namanya..”
“Saya sudah dari sana om. Saya pikir Ayna juga nggak mau lagi pulang kesana setelah peristiwa yang menakutkan bagi Ayna waktu itu. Dan ternyata pak Sarjono juga tidak tahu.”
“Kok aneh. Lalu kemana dia? Sudah bertanya kepada pak Yoga?”
“Belum om. Tapi kalau memang masih ada disana pasti Ayna juga memberi kabar. Sekarang saya mau menjemput bu Suprih dulu, kasihan tante Tanti, harus ada yang mendampinginya, mengingat dia sedang hamil muda.”
“Baiklah, nanti biar Deva yang menelpon kesana. Itu dia baru datang bersama Nanda.”
“Ada apa pak? Siapa yang menelpon ?” tanya Nanda.
“Mas Bintang. Dia mencari Ayna.”
“Huh, apa dia pikir aku menyembunyikan Ayna?”
“Aduh, bapak salah, Ayna hilang, dia tadi mau menjemput bude kamu supaya menemani mbakyumu Tanti.”
“Ayna hilang? Bagaiman bisa hilang?” tanya Nanda cemas.
“Deva, coba kamu menelpon pak Yoga, apakah Ayna masih ada disana, atau barangkali pak Yoga tahu Ayna pergi kemana.”
“Kok bisa hilang sih?”
“Sudahlah, cepat telpon, jangan banyak komentar,” desak Nanda.
“Ya Deva, ada apa?” sapa pak Yoga ketika Deva menelponnya.
“Bapak, apakah Ayna masih ada disini?”
“Ayna ? Kamu mimpi apa? Ini sudah malam, dan Ayna sudah pulang sejak jam tiga tadi.”
“Oh, gitu ya. Tapi sampai sekarang dia belum sampai rumah. Apa bapak tahu, barangkali tadi dia bilang mau kemana?”
“Tidak, tadi dia tergesa-gesa , sampai uang gajinya ketinggalan, lalu dia yang sudah ada dijalan aku panggil lagi, kemudian dia kembali mengambil uang lalu pulang. Nggak tahu aku dia pergi kemana, aku langsung mengunci toko.”
“Oh, baiklah bapak, terimakasih.”
“Bagaimana?” tanya Nanda.
“Pak Yoga tidak tahu dia pergi kemana. Tadi dia kembali sebentar karena uang gajinya ketinggalan, lalu pergi lagi.”
“Kemana Ayna?” Nanda tampak gelisah, lalu dia membalikkan tubuhnya dan pergi.
“Nanda, mau kemana ?”
“Kerumah mbak Tanti, pak.”
“Jangan main kabur begitu, pamit dulu sama ibu.”
“Oh, iya.. ma’af.”

Lalu Nanda berlari kebelakang untuk pamit kepada ibunya.
***

“Ibu, Tanti senang ibu datang,” kata Tanti sambil memeluk ibunya.
“Tadi mas Bintang menjemput ibu. Sebenarnya sudah lama ibu ingin kemari.”
“Bu, mengapa ibu tidak tinggal saja disini ?”
“Yang namanya orang tua itu suka nggak kerasan kalau lama-lama meninggalkan rumah nduk, tapi ini ada apa, kok mas Bintang kelihatan bingung.”
“Semua sedang bingung bu, Ayna sampai sekarang belum pulang.”
“Iya, tadi mas Bintang juga sudah cerita sedikit, sekarang pergi lagi katanya mau mencari kerumah sakit, barangkali Ayna mengalami kecelakaan dan dibawa kerumah sakit.”
“Iya bu, Ayna itu sangat baik, Tanti sedih sekali kalau terjadi apa-apa atas dia.”
“Ibu bisa mengerti, karena kamu sudah menganggap dia sebagai anak. Tapi kamu harus ingat bahwa kamu sedang mengandung. Kamu harus memikirkan juga kandungan kamu, jangan sampai terbawa perasaan lalu berpengaruh pada janin ini,” kata bu Suprih sambil mengelus perut Tanti.
“Iya bu.”
“Ibu ada disini untuk menguatkan kamu nak. “
“Terimakasih ibu.”
“Tenangkan hati kamu nak.”
“Ibu tidak tergesa-gesa pulang kan?”
“Tidak Tanti, ibu akan menemani kamu disini.”
“Tanti sedih, Ayna anak baik, kami amat menyayangi dia bu, bagaimana kalau dia kenapa-kenapa?”
“Tanti, kamu tidak boleh terlalu memikirkannya, sudah banyak orang yang mengurusnya, percayalah dan selalu berdo’a untuk keselamatannya, tapi kamu tidak boleh bersedih begitu. Kalau kamu sedih, anak didalam kandungan kamu juga pasti akan ikut bersedih.”
“Benarkah?”
“Benar Tanti, percayalah pada ibu.”
“Itu ada mobil, sepertinya mobilnya Nanda.” Kata bu Suprih.
“Nanda juga sangat menyukai Ayna.”
***

Bintang dan Danang memasuki beberapa rumah sakit, barangkali ada korban kecelakaan yang bernama Ayna. Namun sejauh ini belum ada rumah sakit yang menerima pasien kecelakaan bernama Ayna.

“Tinggal satu rumah sakit ditempat aku bekerja om, semoga ada titik terang,” kata Bintang.
“Tapi kalau benar dia mengalami kecelakaan, kan Ayna membawa data diri, misalnya KTP, atau ponsel dimana mereka bisa menghubungi siapapun yang ada di ponsel itu. Kenapa tidak ada yang menghubungi kita ya Bin?”
“Iya juga sih om, saya juga berfikir begitu."
“Nggak tahu juga kalau ponsel Ayna terlempar entah dimana lalu diambil orang.”
“Nah, terakhir saya menghubungi, ponselnya mati.”

Tiba-tiba ponsel Bintang berdering, dari Nanda.

“Nanda, ada apa?”
“Baru saja pak Yoga menelpon. Katanya siang tadi didepan toko agak keselatan terjadi kecelakaan. “
“Maksudnya Ayna?”
“Belum tahu juga Bin, tapi ada yang mengatakan bahwa korban itu adalah karyawan tokonya pak Yoga. Kemungkinan besar itu adalah Ayna.

“Benarkah? Lalu kemana dia dibawa pergi?”

Bersambung #8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER