Cerita Bersambung
“Memangnya kenapa bu? Salahkah orang jatuh cinta?”
“Kamu salah menjatuhkan cinta kamu.”
“Perasaan tidak pernah salah.” “Jangan cari masalah Rio.”
“Apa ibu tidak suka bermenantukan Ayna? Kalau Ayna jadi menantu ibu, ia akan lebih sering bersama ibu.”
Bu Tarni termenung, tampaknya benar apa yang dikatakan Rio. Dan tiba-tiba saja terbit keinginannya untuk itu. Rio benar, kalau Ayna jadi menantunya, maka ia akan lebih sering bersamanya. Itu sangat menyenangkan. Ia tak usah merengek-rengek pada Tanti untuk ‘meminjam’ Ayna hanya untuk sehari saja.
“Iya kan bu..?”
Ketika mendengar mobil berhenti didepan warung, bu Tarni dan Rio menghentikan pembicaraannya.
“Sepertinya mereka datang..,” kata Rio.
Bu Tarni bangkit, ia sudah bersiap akan ikut mengantar Rio ke bandara, dengan mengajak Ayna, seperti yang telah dikatakannya.
“Syukurlah kalian segera datang.,” kata bu Tarni sambil tersenyum.
“Kita berangkat sekarang bu?” tanya Rio.
“Iya, nanti daripada kamu terlambat, jalanan terkadang macet.”
“Kalau tidak keberatan biar saya antar saja bu," kata Bintang.
“Lho, ke bandara lho nak, jauh itu.”
“Tidak apa-apa bu, sambil putar-putar kota.”
“Aduh, aku terlanjur memesan taksi tadi.”
“Kan bisa dibatalkan mas..” kata Bintang.
“Gimana ya, sudah lengganan sih, jadi nggak enak,” bantah Rio.
“Tapi mas, mobilnya mas Bintang kan sudah siap, kita tidak usah menunggu lama," sela Ayna.
“Ini juga pasti nggak akan lama, sudah pesen dari tadi kok. Lagian nggak enak ngrepoti mas Bintang.”
Lalu Rio mengangkat ponselnya.. dan ‘menelpon’..
“Sudah ya? Iya.. syukurlah, saya tunggu ini.. jangan telat ya..” kata-kata itu diperdengarkan semua orang. Entah menelpon beneran atau tidak.
“Saya ambil tas saya dulu,” katanya sambil beranjak kebelakang.
Ayna saling pandang dengan Bintang. Wajah gelisah tampak di air muka Ayna. Pasti sulit untuk menolak, walau sebenarnya enggan.
“Ayna, nanti sepulang dari bandara temani ibu belanja ya,” kata bu Tarni seperti tak peduli pada Bintang yang masih berdiri dibawah teras.
“Mas Bintang duduk dulu..” kata Ayna mempersilahkan.
“Tidak, aku mau pulang saja dulu,” akhirnya kata Bintang sambil tersenyum tipis.
“Ooh, nak Bintang mau pulang dulu? Ma’af lho nak, saya mau mengantarkan Rio dulu, kemudian pulangnya mampir belanja, itu sebabnya saya mengajak Ayna,” kata bu Tarni sambil tersenyum.
“Baiklah bu, tidak apa-apa.”
Ayna mengantarkan Bintang sampai kedepan. Ia tahu Bintang sangat kesal.
“Mas, jangan cemberut dong, besok aku sudah pulang.. jadi mas Bintang bisa menemui aku kapan saja mas suka dirumah ibu Danang.”
“Aku curiga sama dia.”
“Dia siapa?”
“Rio lah, cara dia memandangi kamu sangat aneh, aku tidak suka.”
“Yaaah, mas Bintang.. jangan berprasangka buruk lah mas, ingat lho, dia sudah punya pacar, mbak Arsi putranya bu Widi kan ?”
“Baru pacar, apa susahnya berpaling?”
“Mas Bintang tidak percaya sama aku ?”
Bintang menatap Ayna lekat-lekat. Menatap sepasang mata bintang yang setiap kali berkedip membuat jantungnya bergetar. Siang itu mata itu kembali berkerjap-kerjap.
“Aku ingin mas Bintang mempercayai aku.”
“Kamu harus hati-hati Ayna,” kata Bintang sambil membuka pintu mobilnya.
“Iya, aku akan berhati-hati.”
“Besok sore aku akan menjemput kamu di toko, jangan sampai ada orang lain mendahului aku.”
Ayna tersenyum lebar, lalu mengacungkan ibu jarinya.
Bintang berlalu, membawa hatinya yang sedikit resah.
***
“Arsi.. mengapa makan hanya sedikit?” tanya Widi ketika melihat Arsi duduk diteras sendirian.
“Sudah kenyang bu, nanti kalau lapar makan lagi.”
“Kamu lagi ngapain?”
“Dari tadi menelpon mas Rio tidak diangkat.”
“Tuh, sekarang bingung menghubungi, tadi disuruh menemui nggak mau.”
“Arsi menyesal bu, Arsi ingin meminta ma’af.”
“Ya sudah, hubungi dia dan meminta ma’af, karena kamu memang telah salah menilai dia.”
“Sudah beberapa kali Arsi mencoba, tapi tidak diangkat juga. Ini sudah sa’atnya dia berangkat ke bandara.”
“Coba kamu ke rumahnya saja, jadi permasalahan sudah bisa selesai sebelum dia berangkat pergi.
“Kerumahnya bu?”
“Kalau dia belum berangkat. Coba saja.”
“Baiklah, Arsi ganti pakaian dulu, lalu kerumahnya. Apakah bapak mau pergi?”
“Sepertinya tidak..”
“Arsi mau pinjam mobil bapak sebentar.”
“Ya sudah, kamu ganti baju, ibu akan bilang pada bapak.”
***
Arsi memacu mobilnya ke rumah bu Tarni.
“Warungnya tutup, tapi kan kalau Minggu memang selalu tutup,” gumam Arsi sambil turun.
Ia bermaksud masuk kerumah melalui samping warung itu, tapi pintu kearah belakang tampak terkunci.
“Berarti dia sudah berangkat ke bandara, tapi apa bu Tarni juga ikut pergi? Biasanya mas Rio berangkat sendiri.”
Arsi kembali mencoba menelpon, tapi lagi-lagi Rio tak mau mengangkatnya.
“Mas Rio benar-benar marah sama aku. Duuh.. apa yang harus aku lakukan? Kemana ya bu Tarni?”
Seorang tetangga yang kebetulan lewat, melihat Arsi tampak kebingungan, lalu mendekat.
“Nak, mencari bu Tarni?”
“Oh, iya bu, tapi tampaknya rumahnya kosong.”
“Iya, belum lama mereka pergi.”
“Mereka ?”
“Bu Tarni, mas Rio sama seorang gadis, entah siapa, pergi naik taksi.”
“Oh, baiklah bu, terimakasih banyak,” kata Arsi sambil kembali naik ke mobilnya.
“Seorang gadis, entah siapa.. bersama mereka? Apa Ayna masih ada disini, lalu ikut mengantar mas Rio, atau mau pergi bersama bu Tarni?”
Arsi menstarter mobilnya, bimbang mau dibawa kemana mobil itu.
“Aku harus menyusul dia. Ke bandara. Betul apa yang dikatakan ibu. Permasalahan harus selesai sebelum dia berangkat ke Jakarta,” gumamnya lalu memacu mobilnya ke arah bandara.
***
“Dari mana Bin? Kok wajahmu kusut begitu?”
“Bulan mana ?”
“Kok datang-datang mencari Bulan? Dia tadi kerumah om Danang, tapi nggak tahu sampai sekarang belum pulang juga. Ada apa?”
“Nggak apa-apa. Pengin bercanda saja sama dia.”
“Lho, tumben ..?
“Kangen candaannya Bulan.”
“Lhoh..”
“Bintang lagi kesal. Terkadang dengan adanya Bulan bisa sedikit mengurangi rasa kesal. Walaupun dia juga mengesalkan.”
“Bintang, kamu ngomongnya nggak karuan begitu. Ada apa sebenarnya?”
“Kesal..”
“Kamu ini sudah dewasa.. perjaka tua pula.. kok masih seperti anak kecil sih?”
“Aahahaaa...ibu.. masa sih aku perjaka tua?” kata Bintang sambil tertawa, lalu menghempaskan tubuhnya di sofa.
Palupi mengikutinya duduk.
“Memang iya. Teman-teman seumur kamu ada yang anaknya sudah dua.”
“Iya.. iya.. baiklah, memang Bintang belum laku. Tapi jangan dibilang perjaka tua dong bu.”
“Baiklah, anakku yang masih remaja..”
“Bu.. nanti bilang sama bapak ya, lamarkan Ayna untuk Bintang..”
“Ahaa.. bagus lah, dibilang perjaka tua langsung minta agar dilamarkan seorang gadis.”
“Ini serius bu.”
“Iya, ibu juga akan serius. Tapi kamu bilang kesal.. lalu minta dilamarkan Ayna. Kok seperti nggak nyambung ya. Hubungan kesal dengan lamaran itu apa? Ibu ingin tahu."
“Itu memang tidak nyambung bu. Masalah yang terpisah.”
“Bagaimana sih..”
“Bintang kesal karena Ayna sejak kemarin ada dirumah bu Riri...”
“Lho, masih disana ?”
“Tadi Bintang menjemput kesana, tapi bu Riri menelpon tante agar mengijinkannya menginap semalam ini lagi.”
“O, iya sih, kabarnya ketika ditemukan, Ayna juga diangkat anak oleh bu Riri. Kamu nggak suka?”
“Nggak sukanya itu, disana ada anak laki-lakinya yang bernama Rio.”
“O, yang ada dirumah sakit waktu kamu opname itu? Iya, ganteng anak itu.”
“Bintang agak kesal, tampaknya Rio suka sama Ayna.”
“Masa? Ibu dengar Rio itu calon menantunya tante Widi.”
“Itulah, sudah punya pacar masih melirik-lirik sama Ayna.”
Palupi tertawa keras.
“Ceritanya kamu ini lagi cemburu ?”
“Bintang khawatir kalau Ayna keterusan dekat sama Rio. Itu sebabnya Bintang tadi bilang sama ibu, agar segera melamar Ayna.”
“Oo.. ternyata nyambung. Hal yang terpisah, tapi ternyata nyambung.”
“Serius nih bu.”
“Iya.. ibu tahu, nanti ibu bilang sama bapak, lalu biar bapak bicara juga sama om Danang. Begitu nak, ayo senyum dong, jangan khawatir. Kalau Ayna memang cinta sama kamu, biar ada Dewa yang gantengnya seperti Kamajaya, dia tak akan terpikat.”
“Benarkah.”
“Cinta itu sekuat baja. Dia susah dipatahkan, tapi bisa terlepas dari genggaman. Genggam jangan sampai lepas dari tangan.”
Bintang memeluk ibunya erat.
“Ibu adalah kekuatanku,” bisiknya haru.
***
“Bu Riri minta agar Ayna menginap sehari lagi? Waah.. gawat..” kata Bulan selesai makan dirumah Danang.
“Mengapa mbak Tanti ijinkan sih? Pasti Bintang sangat kesal.”
“Iya, duh.. kalau mas Bintang kesal, aku jadi sasaran nih.”
“Bagaimana tidak mengijinkan? Nggak enak dong Nda, dia juga sayang sama Ayna.”
“Tapi kelihatannya dia gimanaaa gitu lho mbak..”
“Gimana bagaimana sih?”
“Ketika Nanda melihat dia dirumah sakit ketika Bintang kecelakaan itu, kan Ayna juga ada disana. Kelihatan dia keberatan kalau Ayna pulang kemari.”
“Ya enggak lah Nda, kamu itu mengada-ada. “
“Kan dia merasa yang menemukan Ayna semenjak Ayna hilang.”
“Tapi dia tahu kok kalau Ayna itu anak angkat aku.”
“Mudah-mudahan dugaanku salah.”
“Yang aku nggak enak, bu Tarni juga mengajak jalan Ayna bersama anaknya yang bernama Rio itu," sambung Bulan.
“Nah, jangan-jangan....”
“Nanda, kamu itu suka mengarang cerita ya..”
“Bukan mengarang. Ayna itu kan cantik.. baik.. nggak salah dong kalau seorang ibu ingin mengambilnya sebagai menantu.”
“Iya tante.. itu bisa saja terjadi..”
“Aah, anak-anak ini mas.. mereka berfikir yang bukan-bukan.”
“Aku juga setuju dengan pendapat mereka. Hal itu bisa saja terjadi,” kata Danang.
“Aduuh... mengapa kalian semua ini. Janganlah punya prasangka buruk terhadap seseorang kalau belum jelas terbukti."
Dering telpon menghentikan perdebatan itu.
“Dari ibu kamu Bulan, pasti dia kehilangan kamu, tadi pamit nggak?” kata Tanti sambil mengangkat ponselnya.
“Ya mbak, Bulan disini, jangan khawatir..” kata Tanti menyambut telpon Palupi.
“Oh, iya.. sudah aku duga. Aku juga mau kesini sebenarnya, tapi sekedar omong kecil-kecilan dulu ya Tan?”
“Ada apa sih mbak?”
“Bintang, tiba-tiba mrengek-rengek agar kami melamar Ayna..”
“Oh, ya ampuun mbak... senang mendengarnya..”
“Karena kamu sudah menjadi orang tuanya, ya nanti kami melamarnya sama kamu. Ya kan?”
“Iya dong mbak, aku sudah tahu bahwa Ayna sama Bintang itu saling mencintai. Mereka cocok kok, satu cantik, satu ganteng, dan Bintang juga sudah mapan. Sudah pasti lah mbak, mereka akan jadi pasangan yang sangat serasi.”
“Baiklah Tanti, aku cuma mau ngomong masalah itu. Tapi ngomong-ngomong Bulan betah sekali dirumah kamu. Kamu suguhin apa dia, pasti enak, ya kan?”
“Kami cuma makan nasi pecel, sayur asem pakai jagung, tempe goreng.. Nanda juga ada disini nih mbak, calon menantu juga tampaknya nanti.”
“Eeeh.. tanteee...” protes Bulan.
Tanti tertawa.
“Tuh, Bulan protes mbak..”
“Dia nggak suka sama Nanda?”
“Bukan nggak suka mbak, malu...”
“Anak itu .. Ya sudah Tanti, aku cuma mau ngomong itu, saking senengnya aku, belum-belum sudah menelpon kamu.”
“Iya mbak, aku juga seneng.”
Ketika Tanti menutup ponselnya, Nanda tertawa-tawa.
“Ya kan mbak, ibu Palupi pasti mengijinkan aku sama Bulan.”
“Iih.. ge er.. kalau aku nggak mau?”
“Kamu itu mau tapi malu... “ ledek Nanda, dan kemudian Nanda pun harus berteriak-teriak karena Bulan mencubitnya sakit sekali.
***
“Ibu, sudah tinggalin saja, aku mau chek in.. “ kata Rio .
“Iya, kamu hati-hati ya..”
“Ya bu. Ayna.. aku pamit ya...”
“Selamat jalan mas,” kata Ayna pelan.
“Ibu, titip Ayna ya...”
Ayna tertegun. Ia tak bisa menerima ucapan itu. Mengapa Rio harus mengucapkan kata-kata ‘titip’ kepada ibunya.
“Memangnya aku barang, dan memangnya aku ini milik dia sampai dia menitipkannya kepada ibunya?” kata batin Ayna.
Dan Ayna terkejut ketika tiba-tiba Rio meraih tangannya dan menciumnya.
Ayna menarik tangannya cepat-cepat, dan menampakkan wajah tak suka.
“Ayna, kita bersahabat kan?” kata Rio sambil tersenyum.
Ayna tak menjawab, ia ingin bu Tarni segera menariknya pergi.
“Daaag.. Ayna..” teriak Rio sambil menjauh.
Tapi tiba-tiba sebuah teriakan lain terdengar.
“Mas Rio.... tunggguuuu !!”
==========
Yang menoleh adalah Ayna dan bu Tarni.
“Eh.. itu mbak Arsi...” teriak Ayna.
“Mas Riooo...” teriak Arsi lagi.
“Mas Riooo..” Ayna ikut berteriak, barulah Rio menoleh.
Rio melihat Arsi setengah berlari mendekati dirinya yang sudah hampir masuk. Rio berhenti, menunggu Arsi.
“Hm.. gadis keterlaluan. Tadi nggak mau ketemu, sekarang mengejar sampai kemari,” gerutu bu Tarni.
Ayna tak hendak berlalu, ia menunggu sampai Rio bertemu Arsi. Ia lega ketika keduanya sudah tampak bercakap-cakap. Bu Tarni menarik Ayna pergi.
“Sudah, ayo pulang.”
“Kita tunggu mbak Arsi dulu, barangkali nanti akan pulang bareng kita bu.” Kata Ayna yang masih belum mau beranjak pergi. Ayna bahkan mencari tempat duduk, lalu duduk disana. Bu Tarni terpaksa mengikuti.
“Mas Rio.. jangan dulu pergi..” kata Arsi pelan. Rio meletakkan tas ditangannya.
“Ada apa?”
“Mengapa tidak mau mengangkat telpon aku ? Aku minta ma’af, aku merasa bersalah mas, itu sebabnya aku mengejar kamu sampai kemari.”
“Alangkah lamanya kamu menyadari bahwa kamu memang bersalah.”
“Ma’af mas, aku salah sangka. Aku dibakar cemburu, karena mengira mas tidak peduli sama aku. Aku tidak tahu bahwa mas mengira aku yang sakit sehingga mas tidak datang kerumah malam itu.”
“Baiklah, apa sekarang semua sudah jelas bagi kamu?”
“Aku mengerti dan menyadari kesalahan aku. Tolong ma’afkanlah aku.”
Rio menatap wajah Arsi lekat-lekat. Wajah cantik itu tampak masih gelisah. Tiba-tiba Rio merasa iba.
“Mas, sebelum kamu pergi, katakanlah bahwa mas mema’afkan aku. Mas tahu kan, aku cemburu karena aku sangat mencintai mas Rio.”
“Ya, aku tahu.. “
“Katakan bahwa mas mema’afkan aku,” kata Arsi sambil berlinang air mata.
Pada dasarnya Rio selalu tak sampai hati melihat wanita menangis. Dulu juga ketika melihat penderitaan Ayna ketika belum menyadari siapa dirinya, dia juga merasa iba. Sekarang melihat air mata mengambang , runtuhlah belas kasihannya.
“Apa mas benar-benar marah sama aku, sehingga mengangkat telpon aku saja tidak mau? Katakan apa yang harus aku lakukan agar mas mau mema’afkan aku,” kata Arsi sambil mengusap sudut matanya dengan jari tangannya.
“Tidak Arsi, aku tidak lagi marah.”
“Mas mema’afkan aku ?”
“Aku ma’afkan Arsi.”
“Terimakasih mas, lihat, arloji cantik ini sudah aku pakai.”
“Kamu suka?”
“Aku suka mas, sangat suka. Sekali lagi ma’af aku salah sangka.”
“Kita masing-masing juga salah sangka. Baiklah, aku harus segera chek in..”
“Selamat jalan mas, nanti kalau sudah sampai mas menelpon aku ya?”
“Baiklah, hati-hati,” Rio berpesan sambil tersenyum, kemudian membalikkan tubuhnya.
Arsi menghela nafas lega, ia juga membalikkan tubuhnya, tapi kemudian dilihatnya bu Tarni dan Ayna masih duduk diruang tunggu.
“Ibu, belum pulang?”
“Ayna minta agar aku menunggu nak Arsi.”
“Oh, baiklah, kalau ibu mau pulang, biar saya antarkan, Arsi kebetulan membawa mobil bapak. Mau kan Ayna?”
“Syukurlah mbak, jadi kita bisa bersama-sama.”
“Tapi kami masih mau mampir belanja nak.”
“Tidak apa-apa bu, biar Arsi antarkan. Kemanapun ibu mau pergi,” kata Arsi sambil menggandeng lengan bu Tarni.
Ayna tersenyum ramah.
“Saya dengar mbak Arsi sakit?”
“Mas Rio salah tangkap. Ibu bilang yang sakit bapak, dikiranya saya.”
“Oh, syukurlah,” kata Ayna sambil mengikuti melangkah.
“Arsi ambil mobilnya dulu ya bu, ibu tunggu disini sama Ayna,” kata Arsi sambil melangkah menuju area parkir.
“mBak Arsi sangat baik.”
“Terkadang dia judes.”
“Masa sih bu?”
“Rio bilang tadi ketika Rio kerumahnya, dia tidak mau menemui karena marah. Tampaknya dia tahu kalau kita pergi bersama semalam. Masa begitu saja dia marah?”
“mBak Arsi juga salah terima, dikiranya mas Rio pergi tanpa mengajak dia, padahal kan mas Rio mengira mbak Arsi sakit.”
“Mengapa cuma tidak diajak saja dia marah.”
“Ah ibu, barangkali begitulah kalau orang sedang jatuh cinta.”
“Ayna, kamu tahu apa tentang cinta?”
“Tahu dong bu.”
“Kamu pernah jatuh cinta ?”
“Ibu... mas Bintang sudah mau melamar saya.”
“Apa ?” tanya bu Tarni terkejut.
“Iya bu, do’akan ya..”
“Ayna, kamu harus hati-hati memilih orang yang akan menjadi pendamping kamu. Keluarga dokter Bintang itu kan keluarga terpandang. Yakinkan diri kamu bahwa dia benar-benar bisa menerima kamu, dan asal usul kamu .”
Ayna tiba-tiba merasa tak enak. Bu Tarni mengingatkan sebuah ‘asal-usul’, seakan dirinya mempunyai asal usul yang tidak pantas disandingkan dengan keluarga Bintang.
“Apa kamu yakin bahwa nak Bintang akan benar-benar mencintai kamu?”
Ayna tak ingin menjawabnya. Perasaan tak enak tiba-tiba menyergapnya. Sementara itu mobil Arsi sudah sampai, lalu ia mempersilahkan bu Tarni dan Arsi masuk.
“Ayo ibu, Ayna..” katanya sambil turun. Ia membukakan pintu belakang untuk bu Tarni.
“Ayna didepan sama aku ya?”
“Iya mbak, tentu saja,” kata Ayna sambil tersenyum.
***
Arsi mengantarkan bu Tarni belanja, ia menolak ketika bu Tarni menyuruhnya meninggalkannya saja.
“Nak Arsi, tinggalkan saja kami disini, mungkin akan lama karena saya harus belanja agak banyak.”
“Nggak apa-apa bu, saya juga ingin sekalian belanja,” kata Arsi.
Ketika mengantar belanja itu, Ayna melihat bu Tarni tampak agak kurang suka kepada Arsi. Ayna merasa itu sangat aneh, mengingat Arsi adalah pacar Rio. Tapi dengan manis Ayna menemani Arsi belanja. Sambil berbincang dengan akrab.
“Ayna, semalam aku melakukan kesalahan.”
“Apa tuh mbak?”
“Aku melihat mas Rio sama kamu, lalu aku cemburu..”
Ayna tertawa.
“Semalam ibu ingin jalan-jalan sama saya, mas Rio menemani. Dia tidak kerumah mbak Arsi karena mengira mbak Arsi sakit.”
“Iya, aku baru tahu.”
“Ayna.. lihat, ini ikan segar, kamu besok mau ya, goreng ikan, di warung tidak ada. Lain kali akan aku suruh menambah jualan warung dengan ikan.” kata bu Tarni.
“Besok kan saya tidak kembali lagi kerumah ibu. Saya dari bekerja, langsung kerumah ibu Danang.”
“Ooh, iya.. aku lupa. Bagaimana kalau sehari lagi saja kamu dirumah ibu? Aku mau telpon Tanti lagi.”
“Jangan bu, kasihan ibu Danang, saya juga harus membantunya karena dirumah tidak ada pembantu,” kata Ayna.
“Ah, sayang sekali. Aku sebenarnya masih ingin kamu tinggal dirumah aku.”
“Saya mau membeli kerupuk udang untuk ibu,” kata Arsi sambil menjauh.
“Ya mbak, silahkan..” kata Ayna.
“Karena bersama Arsi, jadi lupa mau belanja apa,” gerutu bu Tarni.
Ayna mendiamkannya. Ada perasaan tak suka melihat sikap bu Tarni yang dingin kepada Arsi.
“mBak Arsi gadis yang baik ya bu,” kata Ayna.
Bu Tarni tidak menjawab.
“Mas Rio pasti akan bahagia kelak kalau mbak Arsi sudah menjadi isterinya.”
“Ayna, belanjanya sudah cukup, aku akan melihat-lihat kesana, aku butuh handuk dan perlengkapan mandi, semuanya sudah usang,” kata bu Tarni sementara Ayna mendorong troly belanjaannya.
“Sebentar bu, tunggu mbak Arsi, nanti dia mencari kita.”
“Kemana sih dia, duuh.. lama sekali..”
“Itu bu, sudah kemari,” kata Ayna.
“Masih butuh apa lagi mbak?”
“Sudah cukup. Ini bukan ibu yang pesan, tapi aku tahu barang-barang yang habis di almari dapur.”
“Wah, mbak Arsi sangat perhatian sama orang tua ya.”
“Ah, biasa saja. Ibu.. mau belanja apa lagi?”
“Sudah, ibu mau melihat-lihat kesana.”
“Sebaiknya belanjaan dibayar dulu, lalu dititipkan ditempat penitipan, jadi lebih ringan, ya kan Ayna?”
“Itu benar bu,” kata Ayna meng ‘iya’ kan.
“Mana bu, biar saya bawa ke kasir sekalian.”
“Eh, jangan. Ayna, bawa ini uangnya, jangan sampai merepotkan nak Arsi,” kata bu Tarni sambil mengulurkan beberapa lembar uang kepada Ayna.
“Ah, ibu.. sebenarnya tidak apa-apa,” kata Arsi, tapi dia tak ingin memaksanya.
Dibiarkannya bu Tarni pergi mencari barang yang dicarinya, sementara dia dan Ayna mengantri di kasir.
“Apakah ibu sedang marah?” tanya Arsi.
“Tidak, ibu sedang akan mencari handuk dan perlengkapan mandi.”
“Kok seperti tidak suka atau marah sama aku ya.”
“Ah, mbak Arsi bisa saja. Ibu mungkin sungkan karena merasa telah merepotkan mbak Arsi.”
“Oh.. gitu ya?”
***
“Arsi.. kok sampai malam sih? Darimana saja? Memangnya Rio belum kembali ke Jakarta, lalu kamu jalan-jalan sama dia?” tanya Widi ketika Arsi sampai dirumah.
“Memangnya sebenarnya bapak mau pergi ya bu?”
“Tidak, ibu hanya bertanya-tanya, mengapa lama sekali.”
“Mas Rio langsung kembali ke Jakarta bu, Arsi menyusulnya ke bandara.”
“Kamu sampai menyusul ke bandara?Ketemu?”
“Ketemu, tapi dia langsung pergi.”
“Mengapa sampai malam baru pulang?”
“Mengantar bu Tarni belanja. Tadi tuh ternyata mas Rio diantar ibunya sama Ayna ke bandara, pulangnya mampir belanja, lalu Arsi antar sekalian. Ini, ibu juga saya belikan macam-macam, duitnya ditukar lho bu,” kata Arsi sambil menurunkan satu tas penuh belanjaan.
Widi tertawa..
“Iya.. iya, ibu tukar. Anak pintar kamu, ini barang-barang ibu yang habis ya? Tapi nanti dulu, Ayna ada dirumah bu Tarni sekarang?”
“Iya bu, hanya sejak Sabtu itu, besok katanya sudah kembali ke tante Tanti.”
“Oh, begitu.. memang kan ceritanya bu Tarni yang pertama menemukan Ayna, dan terlanjur sayang sama dia.”
“Tapi sikap ibunya mas Rio tadi kok seperti aneh ya bu..”
“Aneh bagaimana ?”
“Sepertinya beda dari biasanya, apa mungkin marah sama Arsi karena masalah Arsi sama mas Rio ya bu?”
“Tapi kamu sudah bicara sama Rio kan ?”
“Sudah, Arsi sudah minta ma’af.. dan dia sudah mema’afkan.”
“Ya sudah, nggak usah difikirkan, yang penting kamu sudah bicara sama Rio. Dan itu bisa menjadi pelajaran buat kamu. Jangan suka marah tanpa tahu permasalahannya.”
“Iya bu. Sekarang Arsi mau mandi dulu, takutnya bapak bilang Arsi bau aceeem...” kata Arsi sambil tertawa, lalu bergegas kebelakang sambil membawa tas belanjaan.
***
“Ini... yang sudah mau dilamarin.. duuh... bentar lagi ada pengantin nih..” ledek Bulan ketika Bintang mau berangkat kerja.
“Reseh ya...”
“Bukan reseh, tapi aku seneng lho.. Kemarin aku mendengar kok ketika ibu telpon sama tante Tanti. “
“Ngapain ibu telpon?”
"Bilang sama tante kalau akan segera melamar Ayna... duuuh.. senyum-senyum sekarang.. kakakku ngganteng ya kalau lagi bahagia?”
“Enak aja.. memangnya biasanya nggak ganteng?”
“Nggak.. apalagi kalau lagi ngacak rambut Bulan, jelek banget,” kata Bulan sambil lari, tapi Bintang mengejarnya, dan Bulan sudah bersembunyi dibelakang ayahnya sambil memeletkan lidahnya.
“Ini apa ya.. aduuh mas... dua orang anak yang sudah dewasa semua.. tiap hari ribuut saja.. mana.. biar ibu jewer satu-satu.”
“Mas Bintang itu bu.. lihat.. dia mengancam Bulan ..”
Handoko hanya tersenyum sambil merangkul Bulan.
“Bintang.. mengalah dong..." kata Handoko.
"Week.. . Ayo kalau berani sama bapak.."
"Sudah.. sudah.. ayo sarapan dulu.. nanti Bintang kesiangan.. kasihan pasiennya sudah pada nunggu lho," kata ibunya.
Akhirnya Bintang duduk di kursi makan, menikmati sarapan bersama keluarganya.
"Bapak.. kapan melamar Ayna?" tanya Bulan kepada bapaknya.
Bintang melotot memandangi adiknya.
"Tuh pak.. lihat.. mas Bintang memelototi Bulan," rengek Bulan manja.
"Kakak kamu minta secepatnya tuh," sambung ibunya.
Bintang mengacungkan jempolnya.
"Iya.. soalnya bapak sama ibu juga sudah ingin punya cucu. Ya kan mas?"
"Betul.. habis itu Bulan juga harus segera menyelesaikan kuliah lho."
"Tuh.. dengeŕin.. habis itu siap-siap dilamar," kata Bintang.
"Benar lho.. Nanda sudah wanti-wanti ingin segera melamar begitu Bulan selesai," kata ibunya.
"Nah.. giliran ngomongin dia.. langsung diam tuh si cerewet."
"Bintang.. berhenti nggodain adiknya ah.. kamu tuh.. "tegur ibunya.
"Ya sudah.. Bintang berangkat dulu bapak.. ibu.." kata Bintàng sambil berdiri lalu mencium tangan ibu dan bapaknya sambil tak lupa mampir mengacak rambut adiknya, membuat Bulan berteriak-teriak marah.
Handoko dan Palupi hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum.
***
Danang dan Tanti ditemani bu Suprih juga sedang makan pagi. Mereka senang ketika ingat bahwa Ayna akan pulang siang nanti.
"Sykurlah.. Ayna nanti sudah pulang," kata Danang.
"Iya mas. Rumah ini akan kembali semarak dengan kepulangan Ayna."
"Ibu juga kangen sama Ayna. Tiga hari nggak melihat wajahnya."
"Rupanya Riri benar-benar sayang sama dia," kata Danang.
"Ayna gadis yang baik. Siapapun akan sayang sama dia. "
"Oh ya mas, nanti sore kan aku akan kontrol kandungan ke dokter, aku mau perginya sama Ayna saja, mas nggak usah terburu-buru pulang."
"Waduh, anak perempuannya datang, aku jadi nggak kepakai nih bu," keluh Danang bercanda.
"Nanti sama nak Danang kan juga tidak apa-apa Tan?"
"Mas Danang sudah bilang akan pulang agak sore, jadi karena kebetulan ada Ayna, maka aku sama Ayna saja. Ibu ikut juga boleh."
"Gampang kalau ibu sih."
Sebuah dering telpon menghentikan perbincangan itu.
"Dari Riri.." kata Tanti lalu mengambil ponselnya.
Bersambung #20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel