Cerita Bersambung
“Ngapain pagi-pagi menelpon. Jangan boleh kalau dia minta Ayna menginap lagi,” bisik Danang dengan wajah kesal.
Tanti mengangguk, lalu menjawab telponnya.
“Ya Riri.. ada apa?”
“Tanti.. duh.. ma’af ya, pagi-pagi menelpon..”
“Tidak apa-apa.. kami sedang sarapan nih.”
“Wah, enaknya. Ini tadi Ayna baru saja berangkat bekerja.”
“Oh, syukurlah.. kami sudah kangen katemu Ayna.”
“Tanti.. ada yang ingin aku bicarakan sama kamu. Begini, kamu kan sudah sejak dulu mengangkat Ayna menjadi anak kamu.. Aku, ketika menemukan Ayna juga sudah menganggap Ayna seperti anak aku sendiri. Aku suka dia. Dia cantik, baik, seperti tak ada cacat celanya. Itu sebabnya banyak yang menyayangi dia.”
“Iya, benar..”
“Begini Tanti, baiklah.. Ayna menjadi anak angkat kamu, aku mengalah karena aku seperti orang yang datang belakangan,” kata bu Tarni sambil tertawa.
“Iya .. aku tahu.”
“Begini Tanti, kalau seandainya Ayna menjadi menantu aku, maka diantara kita masing-masing bisa tetap memiliki Ayna.”
“Apa?” Tanti sungguh terkejut.
“Itu benar kan? Ayna anak kamu, Ayna menantu aku. Tak ada bedanya diantara kita, masing-masing bisa memiliki Ayna,” kata bu Tarni seenaknya.
“Aduh.. kamu ini ngomongnya seperti orang sedang tawar-menawar dipasar saja Riri. Dengar, ini bukan masalah gampang, karena menyangkut hati orang-orang yang mau menjalani. Baiklah, kamu dan aku adalah sahabat. Tapi dalam hal ini harus banyak yang kita pertimbangkan. Iya kan?”
“Apa maksudnya banyak yang kita pertimbangkan?”
“Sesungguhnya Ayna itu sudah dipinang.”
“O, mas dokter Bintang ?”
“Benar, dan kelihatannya mereka juga saling mencintai. Kami para orang tua juga akan segera berembug mengenai hal itu."
“Tanti, menurut aku, Ayna pasti masih ragu-ragu.”
“Mengapa ragu-ragu?”
“Ayna kan harus menyadari siapa dirinya, dan siapa yang akan menjadi suaminya.” Dokter Bintang itu kan dokter terkenal, putera dari orang terpandang. Ayna pasti masih akan berfikir seribu kali untuk menerimanya.”
“Aku kira tidak Riri, mereka saling mencintai. Dan Ayna itu kan anak aku. Apa maksud kamu bahwa Ayna itu siapa?”
“Asal-usulnya itu lho Tan. Beda kalau dia menjadi menantu aku. Aku kan hanya tukang warung, meskipun anakku bisa sukses berkarya di Jakarta.”
“Tidak, janganlah kita membedakan satu dan orang lain dengan kata-kata 'siapa dirinya'. Kamu juga tahu aku ini anak siapa, dan keluarga mas Danang menerima aku dengan penuh sayang. Demikian juga kalau menurut kamu Ayna itu hanya seorang gadis yang tidak lagi punya orang tua.. aku kira itu bukan masalah. Bintang mengenal orang tuanya, dan walau bukan orang berada tapi dari keluarga baik-baik kok.”
“Tapi Tanti, baiklah.. kalau hal itu tidak dipertimbangkan. Cuma saja aku punya keinginan juga untuk merengkuh Ayna menjadi keluarga aku.”
"Bagus Riri, tapi bukan itu satu-satunya cara. Ayna anak baik, dia tidak akan melupakan kamu sebagai orang yang telah menyelamatkannya, dan menyayanginya juga. Percayalah, dimanapun dia atau siapapun yang ada disampingnya, kamu akan tetap diperhitungkan.”
“Lalu... usulku akan ditolak?”
“Bukan karena ingin menolak Ri, tapi Ayna sudah ada yang meminangnya.”
Lalu tiba-tiba telpon itu mati. Riri memutuskan pembicaraan dengan nada kesal, dan Tanti merasakannya.
Tanti menghela nafas berat, sambil meletakkan ponselnya.
“Ada apa?”
“Riri ingin mengambil Ayna sebagai menantu.”
“Gila benar. Bukankah Rio itu pacarnya Arsi?”
“Entah apa yang difikirkan orang itu.”
“Jangan hiraukan. Hm, untung aku sudah menghabiskan sarapan aku, kalau belum bakal nggak doyan makan mendengar keinginan Riri yang nggak masuk akal itu,” kata Danang.
***
“Mas Rio.. sudah sampai di kantor ?” tanya Arsi ketika menelpon pagi hari itu.
“Oh, sudah.. baru saja sampai. Ma’af Arsi, kemarin belum sempat menelpon, kepalaku pusing sekali, aku langsung tidur.”
“Nggak apa-apa mas, lebih baik segera tidur supaya nggak keterusan sakit.”
“Kamu nggak kuliah?”
“Ini mau berangkat, nyempetin telpon mas dulu, daripada nanti kelupaan.”
"Terimakasih Arsi."
“Iya, nggak apa-apa, mas, yang penting mas sehat dan semangat. Besok Sabtu balik nggak?”
“Akan aku sempatkan balik hari Jum’at sore saja, so’alnya kemarin belum ketemu kamu.”
“Senangnya.. Bener ya mas. Kemarin hanya sempat bicara sepatah dua patah kata. Terus pulangnya aku bareng ibu, belanja-belanja sama ibu.”
“Ah ya, syukurlah, bersama Ayna juga kan?”
“Iya, kan kebetulan aku ke bandara membawa mobil bapak, jadi pulangnya bisa sekalian mengantar ibu sama Ayna. Nanti lain kali bicara lebih banyak ya mas, kemarin nggak sempat omong-omong.”
“Benar, so’alnya waktunya sudah sangat mepet.”
“Ya sudah mas, kamu hati-hati ya, aku berangkat dulu.”
“Kamu juga harus hati-hati..”
“Terimakasih mas..”
Arsi menutup ponselnya. Ada rona gembira mendengar Rio mau datang minggu ini.
“Lho, belum berangkat juga kamu nih?” sapa ibunya ketika melihat Arsi masih berdiri di teras.
“Menunggu ojol bu.. sambil menelpon mas Rio.”
“Kenapa tadi nggak bareng bapak saja?”
“Iya sih bu, habisnya bapak tampaknya buru-buru. Ya sudah bu, itu ojolnya sudah datang, Arsi berangkat dulu ya bu.”
“Hati-hati nak..”
***
Tapi pagi itu Rio juga mendapat telpon dari ibunya.
“Ya bu, ini Rio sudah ditempat kerja.”
“Oh, nggak sadar bahwa sudah siang,” kata bu Tarni.
“Ada yang penting bu?”
“Aku tadi bicara sama bu Tanti..”
“Tentang apa bu?”
“Tentang ingin menjodohkan kamu dengan Ayna.”
“Ah, ibu.. menurut Rio, Ayna tidak suka sama Rio. Bintang lebih ganteng dari Rio, dan dia seorang dokter yang sudah punya nama biarpun masih muda.”
“Tapi sebenarnya ibu ingin sekali. Seperti katamu, kalau Ayna menjadi isteri kamu, ibu akan sepenuhnya bisa memiliki Ayna.”
“Bagaimana tanggapan bu Tanti ?”
“Katanya dokter Bintang sudah melamarnya.”
“Tuh kan, ya sudah bu, lagian Rio sudah baikan sama Arsi. Dan dia juga tidak mengecewakan. Kemarin itu kami masing-masing hanya salah kira.”
“Watak seseorang itu tidak akan berubah. Arsi itu sudah jelas bahwa hatinya keras, gampang ngambeg, lalu kita harus selalu memanjakannya.. mengalah untuk dia. Ibu kurang suka.”
“Tidak bu, kami hanya salah kira. Sekarang Rio harus mulai bekerja ya bu, nanti sa’at istirahat Rio menelpon ibu.”
Rio meletakkan ponselnya. Hatinya menimbang-nimbang. Memang benar Ayna cantik, lembut, baik, tapi Rio sadar bahwa Ayna tidak pernah bersikap manis padanya. Ayna selalu dingin dihadapannya, walau tidak pernah mengatakan apa-apa. Jadi tak mungkin Ayna mau menjadi isterinya, apalagi ada Bintang yang lebih segalanya dari dirinya. Memang sih, pernah terbersit keinginan untuk bisa memiliki Ayna, tapi Rio masih punya banyak pertimbangan. Ia harus berfikir realistis.
“Aku tiba-tiba ingin berpaling, karena sikap Arsi yang menjengkelkan. Tapi ternyata kami sama-sama salah terima. Dan harus aku akui, Arsi gadis yang baik, dan juga cantik. Sesungguhnya bahwa aku mencintainya,” gumam Rio kemudian membuka-buka berkas yang sudah disodorkan di mejanya.
***
Bu Tarni dari pagi uring-uringan. Ia tidak mau ke warung, hanya duduk diam dirumahnya. Beberapa karyawan yang ingin menanyakan sesuatu harus pergi kerumah karena bu Tarni tidak berada di warung seperti biasanya.
Ia membongkar almari kecil dimana dulu Ayna menyimpan baju-bajunya, lalu dimasukkannya semua baju kedalam keresek besar yang sudah disediakannya.
“Kesal aku, biar aku bakar semua baju-baju kamu dan semua yang sudah tersentuh oleh kamu agar aku bisa melupakan kamu. Melupakan bahwa kamu pernah menjadi bagian dari keluargaku, menolongmu dari papa yang hampir membuat kamu mati. Kamu tidak pernah ada Ayna. Kamu tidak pernah ada dalam kehidupanku,” teriaknya agak keras sambil memasukkan baju-baju itu kedalam keresek. Semuanya. Bahkan tas kecil yang belum lama diberikannya ikut dimasukkannya.
Lalu bu Tarni membawa tas keresek itu kehalaman belakang, mencari kertas-kertas koran bekas yang dipergunakan untuk menyulut api, lalu dibakarnya keresek beserta isinya.
“Biar lebur menjadi abu, biar aku bisa melupakan kamu, dan melupakan keinginan aku untuk memìliki kamu,” teriaknya diantara kobaran api yang membubung.
Asap yang ditimbulkan oleh pembakaran itu tampak dari warung.
“Eeh.. lihat.. itu kebakaran apa?”
“Jangan-jangan rumah bu Tarni. Cepat lihat kesana !” teriak yang lainnya.
Seorang karyawan lari kebelakang, memasuki rumah bu Tarni, lalu melihat bu Tarni sedang membakar sesuatu di halaman belakang.
“Aduuh, ibu sedang membakar apa?”
“Barang-barang yang tidak terpakai. Sudah sana, bukan apa-apa.”
“Ya bu, kami hanya khawatir, seperti ada yang terbakar,” kata karyawan itu sambil berlalu.
“Biar saja.. habis semuanya menjadi abu..” katanya sambil membawa sebatang kayu untuk mendekatkan serpihan baju yang terserak agar semuanya bisa terbakar habis.
Angin yang tiba-tiba bertiup kencang, menebarkan serpihan baju yang sudah menghitam, dan sebagian terhambur masuk kedalam rumah.
“Angin kurangajar kamu. Membuat rumahku kotor ! Bodoh!! Apa kamu tidak tahu bahwa aku hanya sendirian dirumah ini? Aku sendiri. Bodoh kamu. Tidak punya belas kasihan!”
Bu Tarni masuk kedalam rumah, mengambil sapu dan menyapu kotoran dari pembakaran itu, namun karena ringan maka kotoran yang sudah disapu berhamburan kembali bahkan lebih masuk kedalam rumah.
“Benar-benar tidak mengenal rasa kasihan kamu, angin !!”
Bu Tarni terus menyapu sisa-sisa kain yang terbakar yang mengotori rumahnya. Karena kesal ia menyapu dangan gerakan yang sangat kasar. Sapu itu tanpa sengaja menyentuh tumpukan gelas yang ada dirak piring, lalu beberapa gelas pecah berhamburan, menambah kemarahan dihati bu Tarni.
“Ini lagi? Ini lagi? Mengapa semuanya menyiksa dan menyakiti aku?” teriaknya.
Tak ada yang mendengar teriakan itu, karena para karyawan sudah sibuk melayani pembeli.
Bu Tarni membiarkan sisa baju yang menghitam dan masih terserak dilantai, lalu dia memungut pecahan gelas yang bertebaran disekeliling meja dapur.
Karena dalam suasana marah yang tak terkendali, sebuah pecahan gelas menggores pergelangan tangannya dengan sangat dalam. Darah segera menyembur, lalu bu Tarni merasa tiba-tiba semuanya gelap, dan dia terkapar didekat meja dapur.
Seorang karyawannya sedang menuju kerumah untuk menukarkan uang kecil untuk kembalian, karena di warung kehabisan.
“Bu.. bu.. ibu dimana?”
Karyawan itu masih melihat asap mengepul dihalaman yang sudah mulai mengecil.
“Bu.. “
Lalu karyawan itu terkejut melihat bu Tarni terbaring dilantai dapur dan darah membasahi lantai itu.
“Bu.. bu... Ada apa bu, aduh.. pecahan gelas. Darahnya banyak sekali.
“Tolooong..” teriaknya, lalu diambilnya serbet yang ada dimeja, lalu dibalutkannya pada pergelangan tangan bu Tarni.
Salah seorang karyawan berlari kerumah karena mendengar teriakan temannya.
“Aduh, kenapa itu ?”
“Cepat panggil taksi, ibu harus segera dibawa kerumah sakit. Aku mau menelpon mas Rio.”
***
“Ayna.. kamu lagi ngapain ?” tanya Bintang ketika menelpon Ayna sa’at istirahat makan siang.
“Lagi makan mas.. “
“Sebenarnya aku ingin nyamperin kamu untuk makan diluar bersama. Bisakah ?”
“Wah, nanti kelamaan mas, waktu istirahat hanya satu jam, ini sudah jalan sepuluh menit, mas Bintang kesini berapa menit, nanti makan berapa menit, kembali lagi kemari berapa menit.. repot kan?”
“Ayna ? Apa didepan kamu ada kalkulator?” tanya Bintang sambil tertawa.
“Mas Bintang.. apa tuh maksudnya?”
“Itu, kan kamu lagi menghitung dari menit per menit.. kalau pakai kalkulator hasilnya lebih akurat tuh.”
Ayna tertawa.
“Aku nggak usah pakai kalkulator.. yang jelas nanti makannya bakal nggak enak karena terburu-buru.”
“Baiklah, kalau begitu nanti makan sore saja ya.”
“Makan sore?”
“Aku tahan laparku sampai setelah menjemput kamu, lalu temani aku makan. Bagaimana?”
“Itu lebih baik mas, tapi menahan lapar sampai menjelang sore, nanti lemas bagaimana?”
“Nggak apa-apa lemas, kan nantinya setelah ketemu kamu, jadi nggak lemas lagi.”
“Baiklah, aku tunggu sampai tutup toko ya mas.”
“Dan ingat, jangan sampai kamu ikut orang lain seandainya aku belum datang.”
“Iya mas... aku tunggu nanti.”
Ayna menutup telpon dan tersenyum-senyum sendiri. Teman-temannya melihat lalu meledek Ayna.
“Duuuh, yang habis telponan sama pacar.”
“Sudah, jangan meledek lagi, lanjutin makannya, sebelum ada pembeli datang, bisa-bisa nggak jadi kenyang kamu,” kata Ayna sedikit tersipu.
***
Rio terkejut ketika pegawai ibunya menelpon, dan mengatakan bahwa ibunya ada dirumah sakit.
Kebetulan banyak pekerjaan yang tak bisa ditinggalkannya.
“Bagaimana kalau aku menelpon Ayna supaya melihat keadaan ibu. Duh.. sayangnya aku nggak mencatat nomor kontak Ayna. Oh ya, bagaimana kalau Arsi saja, pasti Arsi mau melakukannya."
“Ya mas, ini sudah nggak sibuk, kok nelpon?” sambut Arsi ketika Rio menelponnya.
“Ada berita kurang menyenangkan, aku kebetulan sedang sangat sibuk, maunya pulang tapi belum bisa.”
“Berita apa tuh mas, kok aku jadi nggak enak.”
“Ibu dirumah sakit, belum lama.”
“Ya ampun, memangnya ibu sakit apa? Semalam baik-baik saja.”
“Terkena pecahan gelas, tampaknya mengiris nadi di lengannya. Untung anak-anak warung melihatnya lalu segera membawanya kerumah sakit. Kata anak-anak lukanya sudah dijahit, tapi ibu butuh transfusi karena kehilangan banyak darah.”
“Aku akan melihatnya sekarang juga mas.”
“Terimakasih Arsi, kalau bisa mampirlah kerumah, barangkali ibu membutuhkan baju ganti, soalnya kata anak-anak bajunya tadi terkena darah.”
“Baik mas, aku segera kesana..”
“Titip ibuku ya Arsi, kabari kalau ada apa-apa. Kalau bisa sore nanti aku pulang, tapi kalau pekerjaan belum kelar juga aku pulang besok pagi.”
Arsi menutup ponselnya, lalu bersiap pergi ke warung untuk mengambil baju bu Tarni, baru kerumah sakit.
***
Arsi memasuki rumah sakit yang alamatnya dan ruang inapnya sudah diberi oleh anak-anak warung. Hari sudah agak siang. Arsi terus mencari ruang inap bu Tarni sambil membawa tas berisi baju ganti bu Tarni.
Rupanya anak-anak warung sudah mendapat instruksi dari Rio bahwa bu Tarni harus diinapkan di ruang terbaik.
Perlahan Arsi memasuki ruangan itu. Dingin dari AC menyergap tubuh Arsi yang semula terasa gerah, bukan hanya karena udara yang memang panas, tapi juga karena rasa khawatir mendengar kejadian yang menimpa bu Tarni.
Arsi melihat bu Tarni tergolek di ranjang. Sebuah selang menghubungkan tubuh bu Tarni dengan kantung darah yang tergantung disampingnya.
Wajahnya pucat, dan bu Tarni tampak memejamkan mata.
Ada bercak-bercak darah dibajunya, tampak disana-sini. Perlahan Arsi mendekati, lalu memegang tangannya.
“Apa kamu Ayna?”
“Ibu..”
“Ayna .. aku benci Ayna..” bisik bu Tarni tanpa membuka matanya.
Arsi tertegun. Genggaman ditangan bu Tarni dipererat.
==========
“Ibu... “ Arsi kembali meremas tangan bu Tarni. Ia mengira ibunya Rio sedang mengigau. Agak heran dia, mengapa seperti benci pada Ayna? Semalam baik-baik saja, bahkan sikapnya pada Ayna sangat manis. Dosa apa yang dilakukan Ayna sehingga bu Tarni sangat membencinya? Atau dia hanya bermimpi buruk, lalu dalam mimpi itu terjadi perselisihan dengan Ayna, dan terbawa dalam igauan.
“Kalau kamu Ayna.. pergilah..” kali ini suaranya agak keras, membuat Arsi terkejut. Dilihatnya mata bu Tarni masih terpejam. Arsi memegang dahi bu Tarni, terasa panas. Arsi menarik selimut bu Tarni agak keatas.
“mBak, apakah mbak membawa ganti baju untuk ibu Tarni?” tiba-tiba suster mendekati Arsi.
“Ada suster, ini sudah saya bawakan.”
“Baiklah, saya akan membersihkan tubuh bu Tarni lalu menggantikan bajunya yang terkena darah.”
Arsi membuka bungkusan yang dibawanya, mengulurkan sebuah baju yang sekiranya mudah dikenakan sambil tiduran, berikut perlengkapan lainnya.
“Suster, tapi suhu tubuh ibu sangat panas,” kata Arsi.
“Iya benar, setelahnya akan kami suntikkan penurun panasnya.”
Suster itu kemudian pergi untuk mengambil washkom berisi air hangat, dan dengan washlap dia membersihkan tubuh bu Tarni. Arsi membantunya melepas, dan setelah dirasa bersih, mereka kembali mengenakan baju yang dibawakan Arsi. Mata bu Tarni tetap terpejam.
“Suster, mengapa tubuh ibu panas sekali?” tanya Arsi khawatir.
“Iya mbak, tidak apa-apa, terkadang ada reaksi demam dan menggigil, nanti akan kami beri obatnya,” kata suster sambil berlalu.
Arsi terus menatap bu Tarni yang masih memejamkan mata. Lalu tiba-tiba dilihatnya bu Tarni menggigil.
Arsi membetulkan letak selimutnya. Rasanya selimut itu tak cukup menghangatkan tubuh bu Tarni. Arsi mencari suster jaga untuk meminta lagi selembar selimut, lalu Arsi merangkapkan kedua selimut ditubuh bu Tarni.
“Ibu..” panggilnya lirih.
“Aku tak mau membuka mataku, kalau kamu adalah Ayna.”
Arsi terkejut. Berarti bu Tarni bukannya mengigau. Bukan kata-kata dalam mimpi yang keluar sebagai igauan, tapi nyata dikeluarkan dalam keadaan sadar.
“Pergilah.. “ katanya lagi dengan bibir gemetar.
Arsi merangkulnya agar bu Tarni merasa lebih hangat.
“Pergi kataku..”
“Ibu.. saya Arsi..”
“Apa?”
“Ibu tenang ya.. “
Bu Tarni membuka matanya, tapi kemudian diam. Ia terus menggigil, tapi kemudian dibiarkannya Arsi memeluknya.
Tak lama suster memberikan suntikan, entah apa, barangkali untuk meredakan demam atau entahlah, tapi Arsi masih tetap memeluknya. Ia ingin menelpon Rio tapi belum bisa. Ia menunggu kalau keadaan bu Tarni sudah mereda.
***
“Kemana Arsi ? Belum pulang dari kuliah?” tanya Ryan setelah pulang kantor.
“Nggak tahu tuh mas, tadi bilang kalau mau ke rumah sakit, bu Tarni opname disana.”
“Sakit apa?”
“Belum tahu. Arsi berangkat buru-buru. Tadi aku menelpon berkali-kali tidak diangkat.”
“Masih nungguin yang sakit barangkali, apa Rio ada disini?”
“Sudah balik Jakarta kemarin. Nggak tahu, mungkin karena tidak bisa meninggalkan pekerjaannya lalu minta agar Arsi melihat ibunya atau apa.”
“Sakit apa sebenarnya?”
“Aku juga ingin tanya, tapi Arsi belum menjawab telpon aku. Padahal semalam katanya Arsi menemaninya belanja juga, dan tidak bilang kalau bu Tarni agak-agak sakit.. gitu.”
“Ya mungkin sakitnya mendadak atau apa. Nanti ibu telpon lagi saja, bagaimana keadaannya.”
“Iya mas, padahal tadi dia juga belum sempat makan.”
“Bagaimana sebenarnya hubungan Arsi dengan Rio? Apakah mereka serius?”
“Tampaknya begitu mas, kemarin itu agak ada perang sedikit, gara-gara salah terima, tapi sepertinya sudah baikan kembali.”
“Biasa kalau anak muda bertengkar sama pacar. Maksud aku, hubungan mereka serius apa tidak, kita harus tahu.”
“Nanti kalau Rio datang kemari ibu atau bapak tanya deh. Orang sudah dewasa masa mau main-main? Lagian Arsi juga harus menyelesaikan kuliahnya dulu kan?”
“Iya benar. Ya sudah bu, aku mau mandi dulu. Jangan lupa coba telpon Arsi lagi.”
“Iya mas.”
***
“Syukurlah.. aku tidak terlambat menjemput..” kata Bintang ketika keduanya sedang makan siang disebuah restoran.
“Tidak, bu Tarni kan sudah mengijinkan aku pulang kerumah ibu Danang hari ini, jadi pasti tidak akan menjemput lagi dong.”
“Biasanya kan minta diperpanjang..” olok Bintang.
Ayna tertawa.
“Sudah ada surat keputusan yang pasti, jadi tidak akan diperpanjang.”
“Mana suratnya?
“Sudah aku baca didalam hati.”
“Bagaimana kemarin, mengantar Rio ke bandara, pasti mengharukan dong perpisahannya.”
“Ya enggaklah, cuma gitu aja kok terharu. Kemarin itu mbak Arsi malah menyusul ke bandara.”
“Oh ya? Lalu kamu kecewa dong.”
“Ih, sukanya gitu deh, nanti kalau beneran nggak nyesel..?”
“Bukan cuma nyesel.. ya pasti aku nggak akan mengijinkan dong.”
“Nah.. kan? Lalu.. kami pulang sama-sama, karena kebetulan mbak Arsi bawa mobil sendiri.”
“O.. lalu..?”
“Kami belanja-belanja, karena bu Tarni memang ingin mampir belanja.”
“Sampai malam ?”
“Enggak.. kami pulang, makan, terus aku tidur deh. Tapi pagi itu bu Tarni tampak berat melepaskan aku pergi.”
“Tuh kan, barangkali kalau nggak sungkan, bener-bener diperpanjang tuh, minta kamunya nginep lagi.”
“Nggak tahu mas, tapi sebenarnya kasihan juga, bu Tarni kan sendirian dirumahnya.”
“Dari dulu kan juga sendirian. Memangnya sebelum ada kamu temannya siapa?”
“Iya sih..”
“Aku mau bilang, bahwa ibu sama bapak benar-benar akan melamar kamu. Mungkin Minggu ini.”
“Secepat itu?”
“Iya, keburu jadi perjaka tua dong aku, kalau kelamaan.”
“Mas harus pikirkan lagi ya, jangan sampai menyesal dikemudian hari.”
“Yaaah, kenapa itu saja yang diomongin.”
“Itu benar kan, mas harus ingat, aku ini siapa, dan mas itu siapa?”
“Kamu itu Ayna, dan aku Bintang Perkasa. Kamu lupa ya?”
“Bercanda deh, maksud aku, asal usul aku, kan mas harus tahu, aku hanya anak yatim piatu, tidak punya derajat apalagi pangkat, sedangkan mas Bintang itu seorang dokter terkenal, anak seorang terpandang..”
“Teruuus.. terussss...”
Ayna teringat kata-kata bu Tarni, yang selalu mengingatkan siapa dirinya. Hal itu membuatnya terkadang ragu akan keputusan yang pernah diambilnya. Keputusan didalam hatinya bahwa ia akan mantap mencintai dan mengabdi kepada cintanya terhadap Bintang. Bersedia dengan penuh kebahagiaan ketika Bintang ingin melamarnya.
“Kok diam ?”
“Aku serius mas..”
“Aku juga serius. Memangnya kamu mengira bahwa aku main-main? Kalau aku main-main .. tak mungkin aku bilang kepada kedua orang tuaku bahwa aku minta agar mereka melamar untuk aku.”
“Ya, terkadang aku ragu, setiap kali mengingat siapa diriku.”
“Ayna, apa aku harus bersujud dihadapan kamu, dan meminta agar kamu mau menerima aku?”
“Bukan itu..”
“Kalau begitu jangan pernah meragukannya. Apapun syaratnya, akan aku penuhi.”
Ayna tersenyum.. sebenarnya dia sungguh bahagia. Hanya saja peringatan bu Tarni agak mengganggunya.
“Apa yang kamu minta, akan aku berikan.”
“Aku hanya ingin memetik bintang, dan akan aku sematkan didadaku.”
“Kalau begitu aku akan menyematkan hati dan jiwaku didadamu, agar menyatu dengan pemilik nurani yang bersih seperti dirimu. Aku ini Bintang bukan?”
Ayna mengangguk bahagia.
Tatapan mereka bertaut, seakan tak ingin melepaskan.
“Kamu adalah Aynaku,” bisik Bintang. Aduhai..
***
Ketika keadaan bu Tarni lebih tenang, dan bahkan bisa benar-benar tertidur, Arsi duduk di sofa, bermaksud menelpon Rio.
Tapi ketika ia membuka ponsel, dilihatnya beberapa panggilan tak terjawab dari ibunya. Ya, tentu saja karena Arsi lama tak memberi kabar tentang kepergiannya ke rumah sakit dan bagaimana sebenarnya keadaan bu Tarni.
“Ibu, ma’af, Arsi baru bisa menelpon ibu.”
“Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Tadi bu Tarni mengalami kecelakaan kecil, pergelangan tangannya tergores pecahan gelas dan lukanya agak dalam. Barangkali terlambat diketahui karena dia sendirian, dan ketika karyawannya mengetahui baru dilarikan kerumah sakit.”
“Ya Tuhan, lalu bagaimana keadaannya?”
“Lukanya sudah dijahit, tapi bu Tarni harus di tranfusi karena banyaknya darah yang keluar.”
“Tapi sadar kan?”
“Tadi sempat menggigil tapi sekarang sudah tenang. Itu sebabnya Arsi tidak menjawab telpon ibu tadi.”
“Rio belum datang?”
“Dia kebetulan lagi banyak pekerjaan, jadi minta tolong Arsi yang menungguinya.”
“Kamu belum makan juga kan?”
“Iya bu, gampang, sebentar lagi Arsi mau menelpon mas Rio dulu, baru mencari makan.”
“Ya sudah, jangan sampai tidak makan ya, ingat, nanti maag kamu kambuh lho.”
“Iya bu.”
“Bapak sudah pulang, biar nanti bapak sama ibu ke rumah sakit, kalau bapak sudah istirahat sebentar.”
“Terimakasih bu, Arsi mau menelpon mas Rio dulu.”
Arsi merasa lega, ketika Rio mengatakan akan pulang sore itu juga, setelah dia menceritakan bagaimana keadaan ibunya.
Melihat bu Tarni tertidur, Arsi keluar sebentar untuk mencari makanan.
***
“Ibuu... aku pulaaang", teriak Ayna sambil berjalan lincah masuk kedalam rumah.
“Kalau kamu Ayna.. pergilah..” kali ini suaranya agak keras, membuat Arsi terkejut. Dilihatnya mata bu Tarni masih terpejam. Arsi memegang dahi bu Tarni, terasa panas. Arsi menarik selimut bu Tarni agak keatas.
“mBak, apakah mbak membawa ganti baju untuk ibu Tarni?” tiba-tiba suster mendekati Arsi.
“Ada suster, ini sudah saya bawakan.”
“Baiklah, saya akan membersihkan tubuh bu Tarni lalu menggantikan bajunya yang terkena darah.”
Arsi membuka bungkusan yang dibawanya, mengulurkan sebuah baju yang sekiranya mudah dikenakan sambil tiduran, berikut perlengkapan lainnya.
“Suster, tapi suhu tubuh ibu sangat panas,” kata Arsi.
“Iya benar, setelahnya akan kami suntikkan penurun panasnya.”
Suster itu kemudian pergi untuk mengambil washkom berisi air hangat, dan dengan washlap dia membersihkan tubuh bu Tarni. Arsi membantunya melepas, dan setelah dirasa bersih, mereka kembali mengenakan baju yang dibawakan Arsi. Mata bu Tarni tetap terpejam.
“Suster, mengapa tubuh ibu panas sekali?” tanya Arsi khawatir.
“Iya mbak, tidak apa-apa, terkadang ada reaksi demam dan menggigil, nanti akan kami beri obatnya,” kata suster sambil berlalu.
Arsi terus menatap bu Tarni yang masih memejamkan mata. Lalu tiba-tiba dilihatnya bu Tarni menggigil.
Arsi membetulkan letak selimutnya. Rasanya selimut itu tak cukup menghangatkan tubuh bu Tarni. Arsi mencari suster jaga untuk meminta lagi selembar selimut, lalu Arsi merangkapkan kedua selimut ditubuh bu Tarni.
“Ibu..” panggilnya lirih.
“Aku tak mau membuka mataku, kalau kamu adalah Ayna.”
Arsi terkejut. Berarti bu Tarni bukannya mengigau. Bukan kata-kata dalam mimpi yang keluar sebagai igauan, tapi nyata dikeluarkan dalam keadaan sadar.
“Pergilah.. “ katanya lagi dengan bibir gemetar.
Arsi merangkulnya agar bu Tarni merasa lebih hangat.
“Pergi kataku..”
“Ibu.. saya Arsi..”
“Apa?”
“Ibu tenang ya.. “
Bu Tarni membuka matanya, tapi kemudian diam. Ia terus menggigil, tapi kemudian dibiarkannya Arsi memeluknya.
Tak lama suster memberikan suntikan, entah apa, barangkali untuk meredakan demam atau entahlah, tapi Arsi masih tetap memeluknya. Ia ingin menelpon Rio tapi belum bisa. Ia menunggu kalau keadaan bu Tarni sudah mereda.
***
“Kemana Arsi ? Belum pulang dari kuliah?” tanya Ryan setelah pulang kantor.
“Nggak tahu tuh mas, tadi bilang kalau mau ke rumah sakit, bu Tarni opname disana.”
“Sakit apa?”
“Belum tahu. Arsi berangkat buru-buru. Tadi aku menelpon berkali-kali tidak diangkat.”
“Masih nungguin yang sakit barangkali, apa Rio ada disini?”
“Sudah balik Jakarta kemarin. Nggak tahu, mungkin karena tidak bisa meninggalkan pekerjaannya lalu minta agar Arsi melihat ibunya atau apa.”
“Sakit apa sebenarnya?”
“Aku juga ingin tanya, tapi Arsi belum menjawab telpon aku. Padahal semalam katanya Arsi menemaninya belanja juga, dan tidak bilang kalau bu Tarni agak-agak sakit.. gitu.”
“Ya mungkin sakitnya mendadak atau apa. Nanti ibu telpon lagi saja, bagaimana keadaannya.”
“Iya mas, padahal tadi dia juga belum sempat makan.”
“Bagaimana sebenarnya hubungan Arsi dengan Rio? Apakah mereka serius?”
“Tampaknya begitu mas, kemarin itu agak ada perang sedikit, gara-gara salah terima, tapi sepertinya sudah baikan kembali.”
“Biasa kalau anak muda bertengkar sama pacar. Maksud aku, hubungan mereka serius apa tidak, kita harus tahu.”
“Nanti kalau Rio datang kemari ibu atau bapak tanya deh. Orang sudah dewasa masa mau main-main? Lagian Arsi juga harus menyelesaikan kuliahnya dulu kan?”
“Iya benar. Ya sudah bu, aku mau mandi dulu. Jangan lupa coba telpon Arsi lagi.”
“Iya mas.”
***
“Syukurlah.. aku tidak terlambat menjemput..” kata Bintang ketika keduanya sedang makan siang disebuah restoran.
“Tidak, bu Tarni kan sudah mengijinkan aku pulang kerumah ibu Danang hari ini, jadi pasti tidak akan menjemput lagi dong.”
“Biasanya kan minta diperpanjang..” olok Bintang.
Ayna tertawa.
“Sudah ada surat keputusan yang pasti, jadi tidak akan diperpanjang.”
“Mana suratnya?
“Sudah aku baca didalam hati.”
“Bagaimana kemarin, mengantar Rio ke bandara, pasti mengharukan dong perpisahannya.”
“Ya enggaklah, cuma gitu aja kok terharu. Kemarin itu mbak Arsi malah menyusul ke bandara.”
“Oh ya? Lalu kamu kecewa dong.”
“Ih, sukanya gitu deh, nanti kalau beneran nggak nyesel..?”
“Bukan cuma nyesel.. ya pasti aku nggak akan mengijinkan dong.”
“Nah.. kan? Lalu.. kami pulang sama-sama, karena kebetulan mbak Arsi bawa mobil sendiri.”
“O.. lalu..?”
“Kami belanja-belanja, karena bu Tarni memang ingin mampir belanja.”
“Sampai malam ?”
“Enggak.. kami pulang, makan, terus aku tidur deh. Tapi pagi itu bu Tarni tampak berat melepaskan aku pergi.”
“Tuh kan, barangkali kalau nggak sungkan, bener-bener diperpanjang tuh, minta kamunya nginep lagi.”
“Nggak tahu mas, tapi sebenarnya kasihan juga, bu Tarni kan sendirian dirumahnya.”
“Dari dulu kan juga sendirian. Memangnya sebelum ada kamu temannya siapa?”
“Iya sih..”
“Aku mau bilang, bahwa ibu sama bapak benar-benar akan melamar kamu. Mungkin Minggu ini.”
“Secepat itu?”
“Iya, keburu jadi perjaka tua dong aku, kalau kelamaan.”
“Mas harus pikirkan lagi ya, jangan sampai menyesal dikemudian hari.”
“Yaaah, kenapa itu saja yang diomongin.”
“Itu benar kan, mas harus ingat, aku ini siapa, dan mas itu siapa?”
“Kamu itu Ayna, dan aku Bintang Perkasa. Kamu lupa ya?”
“Bercanda deh, maksud aku, asal usul aku, kan mas harus tahu, aku hanya anak yatim piatu, tidak punya derajat apalagi pangkat, sedangkan mas Bintang itu seorang dokter terkenal, anak seorang terpandang..”
“Teruuus.. terussss...”
Ayna teringat kata-kata bu Tarni, yang selalu mengingatkan siapa dirinya. Hal itu membuatnya terkadang ragu akan keputusan yang pernah diambilnya. Keputusan didalam hatinya bahwa ia akan mantap mencintai dan mengabdi kepada cintanya terhadap Bintang. Bersedia dengan penuh kebahagiaan ketika Bintang ingin melamarnya.
“Kok diam ?”
“Aku serius mas..”
“Aku juga serius. Memangnya kamu mengira bahwa aku main-main? Kalau aku main-main .. tak mungkin aku bilang kepada kedua orang tuaku bahwa aku minta agar mereka melamar untuk aku.”
“Ya, terkadang aku ragu, setiap kali mengingat siapa diriku.”
“Ayna, apa aku harus bersujud dihadapan kamu, dan meminta agar kamu mau menerima aku?”
“Bukan itu..”
“Kalau begitu jangan pernah meragukannya. Apapun syaratnya, akan aku penuhi.”
Ayna tersenyum.. sebenarnya dia sungguh bahagia. Hanya saja peringatan bu Tarni agak mengganggunya.
“Apa yang kamu minta, akan aku berikan.”
“Aku hanya ingin memetik bintang, dan akan aku sematkan didadaku.”
“Kalau begitu aku akan menyematkan hati dan jiwaku didadamu, agar menyatu dengan pemilik nurani yang bersih seperti dirimu. Aku ini Bintang bukan?”
Ayna mengangguk bahagia.
Tatapan mereka bertaut, seakan tak ingin melepaskan.
“Kamu adalah Aynaku,” bisik Bintang. Aduhai..
***
Ketika keadaan bu Tarni lebih tenang, dan bahkan bisa benar-benar tertidur, Arsi duduk di sofa, bermaksud menelpon Rio.
Tapi ketika ia membuka ponsel, dilihatnya beberapa panggilan tak terjawab dari ibunya. Ya, tentu saja karena Arsi lama tak memberi kabar tentang kepergiannya ke rumah sakit dan bagaimana sebenarnya keadaan bu Tarni.
“Ibu, ma’af, Arsi baru bisa menelpon ibu.”
“Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Tadi bu Tarni mengalami kecelakaan kecil, pergelangan tangannya tergores pecahan gelas dan lukanya agak dalam. Barangkali terlambat diketahui karena dia sendirian, dan ketika karyawannya mengetahui baru dilarikan kerumah sakit.”
“Ya Tuhan, lalu bagaimana keadaannya?”
“Lukanya sudah dijahit, tapi bu Tarni harus di tranfusi karena banyaknya darah yang keluar.”
“Tapi sadar kan?”
“Tadi sempat menggigil tapi sekarang sudah tenang. Itu sebabnya Arsi tidak menjawab telpon ibu tadi.”
“Rio belum datang?”
“Dia kebetulan lagi banyak pekerjaan, jadi minta tolong Arsi yang menungguinya.”
“Kamu belum makan juga kan?”
“Iya bu, gampang, sebentar lagi Arsi mau menelpon mas Rio dulu, baru mencari makan.”
“Ya sudah, jangan sampai tidak makan ya, ingat, nanti maag kamu kambuh lho.”
“Iya bu.”
“Bapak sudah pulang, biar nanti bapak sama ibu ke rumah sakit, kalau bapak sudah istirahat sebentar.”
“Terimakasih bu, Arsi mau menelpon mas Rio dulu.”
Arsi merasa lega, ketika Rio mengatakan akan pulang sore itu juga, setelah dia menceritakan bagaimana keadaan ibunya.
Melihat bu Tarni tertidur, Arsi keluar sebentar untuk mencari makanan.
***
“Ibuu... aku pulaaang", teriak Ayna sambil berjalan lincah masuk kedalam rumah.
Bintang menatap dari belakang.. langkah Ayna yang lincah seperti kijang. Ayna benar-benar sudah kembali. Ayna yang dulu, yang sejak awal sudah membuatnya jatuh bangun.
Dari belakang terdengar teriakan riang.
“Ayna... sayangku, kamu sudah pulang, ibu sangat rindu sama kamu,” kata Tanti sambil memeluk Ayna.
“Ayna juga kangen sama ibu, sama adik kecil didalam perut ibu ini..” kata Ayna sambil mencium perut Tanti berkali-kali.
“Kalau sama simbah kangen nggak?” teriak bu Suprih juga dari belakang.
“Kangen dong mbah..” Ayna juga memeluk bu Suprih erat.
“Bawa apa itu Ayna,” kata Tanti ketika melihat Ayna membawa bungkusan besar.
“Ibu, nanti Ayna mau memasak. Tadi Ayna mengajak mas Bintang belanja sayur..”
“Ayna...?”
“Ayna kangen memasak dirumah bu.. nanti Ayna masak sup ayam untuk makan malam, boleh kan?”
“Waah, simbah suka itu.. nanti simbah bantuin memetik dan mengupas sayurnya ya,” kata bu Suprih.
“Tanti juga mau bantu bu.. nanti kita masak rame-rame..” kata Tanti dengan bersemangat.
Bintang mendengar suara riuh dibelakang, tersenyum senang. Rumah ini akan kembali semarak dengan hadirnya Ayna.
Tak tahan duduk sendirian di teras, Bintang ikut nimbrung kebelakang.
“Aku juga mau ikut memasak bersama,” serunya sambil duduk begitu saja di kursi dapur, dimana bu Suprih sudah memilah-milah belanjaan Ayna, sementara Ayna sudah masuk kekamarnya untuk berganti baju.
“Bintang, kamu laki-laki yang sangat beruntung. Ayna gadis yang luar biasa. Dia cantik, pintar, penuh semangat dan rajin,” kata Tanti sambil menepuk bahu Bintang.
“Terimakasih tante. Bintang juga ingin segera memperisteri dia, kata ibu, Bintang sudah jadi perjaka tua.”
“Nanti bakal ada banyak pengantin, ya kan Tan? Mas Bintang, Nanda.. sama itu, anaknya nak Widi..” sela bu Suprih.
“Masih ada bu.. adiknya Nanda.. sama Bimo.. tapi tidak mungkin bisa bersama bu, karena gadis-gadisnya masih pada kuliah. Yang paling dulu nanti Bintang dan Ayna. Aku bahagia untuk mereka.”
“Terimakasih tante. Ini kok om Danang belum kelihatan? Apa belum pulang dari kantor?”
“Sudah, tadi disamperin temannya main tenis.. mungkin sebelum maghrib baru pulang.”
“Pasti om Danang senang , Ayna sudah pulang.”
“Iya.. Kamu tahu Bin? Tadi pagi bu Riri menelpon.”
“Minta Ayna tidur disana lagi?”
“Tidak, minta agar Ayna bisa berjodoh sama Rio...”
“Haaa... ? Tante ijinkan?”
“Ya tidak dong Bin, nanti kamu patah hati..”
“Terimakasih tante. Tapi pasti bu Riri kecewa.”
“Tampaknya begitu, tadi telponnya langsung dimatikan. Kelihatan kalau dia marah. Tapi om Danang minta agar aku membiarkannya saja.”
“Kalau begitu jangan ijinkan Ayna tidur disana lagi tante, bisa keterusan dia mendekatkan Ayna dengan Rio.”
“Yang aku heran, kan Rio itu pacarnya Arsi. Kok ibunya punya keinginan aneh begitu.”
“Itu kemauan ibunya atau Rio ya tante. Aku juga curiga sama Rio.”
“Aku ingin tahu, seperti apa hubungan Rio dengan Arsi, apa lagi retak ya. Biar aku menelpon Widi dulu.”
Dan ketika Tanti menelpon Widi, Tanti mendapat jawaban yang membuatnya terkejut.
“Arsi ada dirumah sakit, menunggui Riri yang sedang opname disana.” kata Tanti setelah menelpon Widi.
“Sakit apa? Kemarin ketika aku kesana kelihatan baik-baik saja.”
“Katanya pergelangan tangannya terkena pecahan gelas. Lalu perdarahan, sampai harus tranfusi segala. Arsi menunggui disana sejak siang, menunggu Rio pulang.”
“Berarti hubungan mereka baik-baik saja.”
“Iya, pasti Riri yang punya keinginan begitu.”
“Siapa yang harus tranfusi ?” kata Ayna yang sudah berganti pakaian.
“Bu Riri.. eh.. bu Tarni..” kata Bintang.
“Memangnya kenapa?”
Ayna sangat terkejut mendengar cerita Tanti tentang kecelakaan yang menimpa bu Tarni.
“Ya ampun, saya ingin melihatnya..” kata Ayna.
“Ayna, kamu kan baru saja pulang, nanti saja setelah kamu istirahat boleh membezoek kerumah sakit,” kata Tanti.
“Baiklah, Ayna mau memasak dulu, nanti setelahnya baru Ayna kerumah sakit. Kasihan dia.. kenapa sampai bisa terkena pecahan gelas?”
“Cerita jelasnya nanti bisa tanya sama Arsi. Sekarang dia nungguin dirumah sakit, sendiri.”
***
Arsi mendekat ketika bu Tarni terbangun.Tak ada lagi kantung darah yang semula tergantung disisi pembaringannya. Berganti kantung infus yang entah apa namanya Arsi tidak tahu.
“Ibu..”
“Kamu bukan Ayna kan?”
“Ibu, saya Arsi. Dari tadi saya nungguin ibu disini.”
“Oh.. ternyata kamu anak baik. Ini jam berapa?”
“Sudah sore bu, jam lima sore..sebentar lagi mas Rio datang.”
“Rio.. membuat aku kecewa.. Ayna.. membuat aku membenci dia..”
“Ibu, mengapa ibu berkata begitu ?”
“Entahlah, jangan tanya lagi, yang jelas aku sangat membenci Ayna,” katanya agar keras sambil membalikkan tubuhnya memunggungi Arsi yang kebingungan, sementara didepan pintu Ayna tegak terpaku karena mendengar ucapan bu Tarni.
Bersambung #21
Dari belakang terdengar teriakan riang.
“Ayna... sayangku, kamu sudah pulang, ibu sangat rindu sama kamu,” kata Tanti sambil memeluk Ayna.
“Ayna juga kangen sama ibu, sama adik kecil didalam perut ibu ini..” kata Ayna sambil mencium perut Tanti berkali-kali.
“Kalau sama simbah kangen nggak?” teriak bu Suprih juga dari belakang.
“Kangen dong mbah..” Ayna juga memeluk bu Suprih erat.
“Bawa apa itu Ayna,” kata Tanti ketika melihat Ayna membawa bungkusan besar.
“Ibu, nanti Ayna mau memasak. Tadi Ayna mengajak mas Bintang belanja sayur..”
“Ayna...?”
“Ayna kangen memasak dirumah bu.. nanti Ayna masak sup ayam untuk makan malam, boleh kan?”
“Waah, simbah suka itu.. nanti simbah bantuin memetik dan mengupas sayurnya ya,” kata bu Suprih.
“Tanti juga mau bantu bu.. nanti kita masak rame-rame..” kata Tanti dengan bersemangat.
Bintang mendengar suara riuh dibelakang, tersenyum senang. Rumah ini akan kembali semarak dengan hadirnya Ayna.
Tak tahan duduk sendirian di teras, Bintang ikut nimbrung kebelakang.
“Aku juga mau ikut memasak bersama,” serunya sambil duduk begitu saja di kursi dapur, dimana bu Suprih sudah memilah-milah belanjaan Ayna, sementara Ayna sudah masuk kekamarnya untuk berganti baju.
“Bintang, kamu laki-laki yang sangat beruntung. Ayna gadis yang luar biasa. Dia cantik, pintar, penuh semangat dan rajin,” kata Tanti sambil menepuk bahu Bintang.
“Terimakasih tante. Bintang juga ingin segera memperisteri dia, kata ibu, Bintang sudah jadi perjaka tua.”
“Nanti bakal ada banyak pengantin, ya kan Tan? Mas Bintang, Nanda.. sama itu, anaknya nak Widi..” sela bu Suprih.
“Masih ada bu.. adiknya Nanda.. sama Bimo.. tapi tidak mungkin bisa bersama bu, karena gadis-gadisnya masih pada kuliah. Yang paling dulu nanti Bintang dan Ayna. Aku bahagia untuk mereka.”
“Terimakasih tante. Ini kok om Danang belum kelihatan? Apa belum pulang dari kantor?”
“Sudah, tadi disamperin temannya main tenis.. mungkin sebelum maghrib baru pulang.”
“Pasti om Danang senang , Ayna sudah pulang.”
“Iya.. Kamu tahu Bin? Tadi pagi bu Riri menelpon.”
“Minta Ayna tidur disana lagi?”
“Tidak, minta agar Ayna bisa berjodoh sama Rio...”
“Haaa... ? Tante ijinkan?”
“Ya tidak dong Bin, nanti kamu patah hati..”
“Terimakasih tante. Tapi pasti bu Riri kecewa.”
“Tampaknya begitu, tadi telponnya langsung dimatikan. Kelihatan kalau dia marah. Tapi om Danang minta agar aku membiarkannya saja.”
“Kalau begitu jangan ijinkan Ayna tidur disana lagi tante, bisa keterusan dia mendekatkan Ayna dengan Rio.”
“Yang aku heran, kan Rio itu pacarnya Arsi. Kok ibunya punya keinginan aneh begitu.”
“Itu kemauan ibunya atau Rio ya tante. Aku juga curiga sama Rio.”
“Aku ingin tahu, seperti apa hubungan Rio dengan Arsi, apa lagi retak ya. Biar aku menelpon Widi dulu.”
Dan ketika Tanti menelpon Widi, Tanti mendapat jawaban yang membuatnya terkejut.
“Arsi ada dirumah sakit, menunggui Riri yang sedang opname disana.” kata Tanti setelah menelpon Widi.
“Sakit apa? Kemarin ketika aku kesana kelihatan baik-baik saja.”
“Katanya pergelangan tangannya terkena pecahan gelas. Lalu perdarahan, sampai harus tranfusi segala. Arsi menunggui disana sejak siang, menunggu Rio pulang.”
“Berarti hubungan mereka baik-baik saja.”
“Iya, pasti Riri yang punya keinginan begitu.”
“Siapa yang harus tranfusi ?” kata Ayna yang sudah berganti pakaian.
“Bu Riri.. eh.. bu Tarni..” kata Bintang.
“Memangnya kenapa?”
Ayna sangat terkejut mendengar cerita Tanti tentang kecelakaan yang menimpa bu Tarni.
“Ya ampun, saya ingin melihatnya..” kata Ayna.
“Ayna, kamu kan baru saja pulang, nanti saja setelah kamu istirahat boleh membezoek kerumah sakit,” kata Tanti.
“Baiklah, Ayna mau memasak dulu, nanti setelahnya baru Ayna kerumah sakit. Kasihan dia.. kenapa sampai bisa terkena pecahan gelas?”
“Cerita jelasnya nanti bisa tanya sama Arsi. Sekarang dia nungguin dirumah sakit, sendiri.”
***
Arsi mendekat ketika bu Tarni terbangun.Tak ada lagi kantung darah yang semula tergantung disisi pembaringannya. Berganti kantung infus yang entah apa namanya Arsi tidak tahu.
“Ibu..”
“Kamu bukan Ayna kan?”
“Ibu, saya Arsi. Dari tadi saya nungguin ibu disini.”
“Oh.. ternyata kamu anak baik. Ini jam berapa?”
“Sudah sore bu, jam lima sore..sebentar lagi mas Rio datang.”
“Rio.. membuat aku kecewa.. Ayna.. membuat aku membenci dia..”
“Ibu, mengapa ibu berkata begitu ?”
“Entahlah, jangan tanya lagi, yang jelas aku sangat membenci Ayna,” katanya agar keras sambil membalikkan tubuhnya memunggungi Arsi yang kebingungan, sementara didepan pintu Ayna tegak terpaku karena mendengar ucapan bu Tarni.
Bersambung #21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel