Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 17 Mei 2022

Ayna #21

Cerita Bersambung

Ayna menatap Bintang yang berdiri disampingnya. Bintangpun menatap Ayna, masing-masing dengan perasaan heran dan bingung. Keduanya masih tegak didepan pintu, Didengarnya Arsi yang masih berdiri disamping ranjang terus mengajaknya bicara.

“Ibu, mengapa ibu berkata begitu? Bukankah Ayna gadis yang baik..? Dia cantik, lembut, pintar, rajin.. hampir tak ada cacat celanya. Mengapa tiba-tiba ibu bersikap demikian? Bukankah semalam kita sama-sama belanja, dan sikap ibu sangat manis pada Ayna? Aku nyaris iri melihat sikap ibu sama dia. Tapi tak ada alasan untuk membenci gadis sebaik Ayna.”
“Diam kamu, atau pergilah dari sini,” tiba-tiba bu Tarni berkata agak keras. Tak lagi memunggungi Arsi tapi kembali menelentangkan tubuhnya.
“Ibu..”
“Kamu tidak mendengar kata-kataku? Jangan lagi menyebut nama Ayna.”
“Apakah salah Ayna pada ibu ?”

Bu Tarni diam, lalu memejamkan matanya.
“Ibu...”
“Kalau kamu tak bisa diam, lebih baik segera pergi,” kembali bu Tarni berkata, sangat kasar.

Arsi duduk dikursi yang ada disebelah ranjang. Ia sungguh bingung, tak tahu harus berkata dan berbuat apa.
Ayna tak tahan dengan semuanya, ia melangkah maju, tapi Bintang memegang tangannya.

“Mas, biarkan aku bicara,” kata Ayna lirih.
“Ayna...”
“Tolong mas..”
“Jangan sampai terjadi apa-apa atas diri kamu,” bisik Bintang.
“Aku tak akan apa-apa, aku akan baik-baik saja.” Kata Ayna sambil menatap Bintang dengan tatapan meyakinkan.
Bintang melepaskan tangannya, tapi dia mengikuti Ayna melangkah mendekati bu Tarni.
Rupanya suara lirih yang diperdengarkan Bintang dan Ayna membuat Arsi menoleh.

“Ayna ?” kata Arsi.

Bu Tarni menoleh, dan menatap kearah Ayna yang datang. Dan tiba-tiba dia kembali tidur miring, memunggungi arah dimana Arsi, Bintang dan Ayna berdiri didekat ranjang.

“Arsi, suruh mereka pergi !!” katanya dingin.

Ayna menatap Arsi, mohon penjelasan. Tapi Arsi menggelengkan kepalanya sambil mengangkat bahunya, pertanda bahwa diapun bingung.

“Ibu..” bisik Ayna setelah mendekat.
“Pergi kamu.. pergiii..” teriaknya.
“Ibu, pandangilah Ayna bu, lihat.. apa dosa Ayna sehingga tiba-tiba ibu membenci Ayna? Ayolah bu, apa dosa Ayna bu..” kata Ayna lembut sambil mengelus lengan bu Tarni.

Bintang saling pandang dengan Arsi. Sepertinya Bintang juga ingin bertanya, apa yang terjadi, tapi Arsi kembali hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya smbil mengangkat bahu.

“Ibu...” tiba-tiba sebuah suara membuat ketiganya menoleh. Rio datang dan mendekati ibunya. Agak heran melihat ibunya memunggungi mereka.
“Ibu..”

Bu Tarni bergeming.
Arsi menyentuh lengan Rio.

“Dari tadi begitu, aku tidak mengerti.”
“Ada apa?”
“Tiba-tiba kesal sama Ayna, ketika Ayna datang ibu malah mengusirnya.”
“Ibu, ini Rio bu, bagaimana keadaan ibu ?”
“Kamu juga pergi saja.. sana pergi semuanyaaa..” kata bu Tarni, kembali dengan suara keras dan sengit.

Semuanya saling pandang. Tak ada yang mengerti apa yang terjadi. Sepertinya semua kena marah, semua dibenci. Kecuali Arsi.

“Ibu, mas Rio datang dari Jakarta, meninggalkan pekerjaannya, karena sangat mengkhawatirkan ibu. Katakan apa yang ibu inginkan, kami akan melayani ibu,” kata Arsi lembut.
“Ayna juga datang untuk ibu..” lanjut Arsi.
“Arsi... tolong suruh mereka pergi semuanya. Aku tidak mau ada merekaaaa.. semuanyaaaa... suruh pergi..”
“Apa ibu juga menyuruh Rio pergi ?”
“Kamu juga pergi.. pergiii.. kamu tidak peduli pada ibu, kamu juga benci sama ibu..”
“Tidak.. mana mungkin Rio benci sama ibu? Rio sangat sayang sama ibu, sangat mencintai ibu.”
“Kami juga menyayangi ibu..” sambung Ayna..
“Arsi.. kamu tidak mendengar kata-kata aku? Suruh mereka semua pergi..!”
“Mas Rio, sebaiknya kita menjauh dulu, dan bicara diluar, sampai bu Tarni menjadi tenang,” kata Bintang kepada Rio.

Semuanya mengangguk. Lalu Bintang menggamit tangan Ayna, mengajaknya keluar. Demikian juga Rio. Ia juga menggandeng lengan Arsi, karena berharap Arsi akan menceritakan kejadian yang sebenarnya terjadi.
Mereka duduk di sebuah ruang tunggu rumah sakit, membiarkan bu Tarni sendirian, berharap ia akan menjadi lebih tenang.
Semua pertanyaan ditujukan pada Arsi, tapi Arsi tak bisa menjawab apapun. Ia mengira semuanya baik-baik saja.

“Aku benar-benar tidak tahu. Ketika aku datang, ibu masih mendapatkan tranfusi darah. Aku membantu suster membersihkan tubuh ibu dan menggantikan baju bersih. Aku mengira ibu tertidur karena tetap memejamkan mata. Lalu tiba-tiba aku merasa badan ibu demam, dan menggigil.. Aku menyelimutinya rangkap dua, dan suster menyuntikkan obat. Menjelang sore ibu tidak lagi menggigil, sudah lebih tenang. Tapi sebelum membuka mata ibu bilang, kalau kamu Ayna, aku tak ingin melihatmu. Aku terkejut mendengarnya. Lalu aku bilang bahwa aku Arsi, baru ibu mau membuka mata.”
“Kamu tidak bertanya, mengapa ibu berkata begitu?”
“Sudah mas, aku sudah berkata, apa dosanya Ayna sehingga ibu seperti membencinya? Tapi ibu tak mau menjawab, malah marah-marah. Diam dan jangan bertanya, katanya. Oh iya mas, ibu juga kesal sama mas Rio, katanya begitu.”
“Ada apa ini? Ayna, waktu tadi malam kamu menginap dirumah ibu, ibu mengatakan apa?” tanya Rio kepada Ayna.
“Tidak ada apa-apa mas, malah paginya ketika aku mau berangkat kerja, ibu memberi aku bekal nasi untuk makan siang.”
“Aneh.. ibu juga kesal sama aku..” gumam Rio.
“Kok bisa terjadi seperti ini? Apa dosaku ?” keluh Ayna.
“Apakah semua ini berawal dengan kejadian dirumah ya?” kata Bintang.
“Dirumah ada apa ya? Tapi mungkin mas Rio bisa bertanya kepada anak-anak warung. Mungkin sa’at ini belum pada pulang.”
“Iya, warung ditutup jam delapan malam. Kalau begitu aku mau pulang, eh.. ma’af Arsi, kamu sudah menunggui ibu disini sejak siang bukan? Mau aku antar pulang dulu?”
“Lalu ibu sama siapa?”
“Biar aku disini dulu,” kata Ayna.
“Terimakasih banyak Ayna, aku akan menyuruh anak warung agar menemani ibu, setelah itu kamu bisa pulang,” kata Rio.
“Baiklah, biar aku sama Ayna disini dulu,” kata Bintang.
“Tapi ingat Ayna, jangan mendekati ibu dulu, karena tampaknya ibu masih marah.”
“Iya, aku tahu.”
“Terimakasih banyak mas Bintang,” kata Rio yang kemudian berlalu bersama Arsi.
***

Rio memasuki rumah, dan mencium bau sangit memenuhi seluruh ruangan. Salah seorang karyawan mengikutinya.

“Kami tidak tahu bagaimana asal mulanya, tiba-tiba kami melihat asap membubung yang terlihat dari warung. Khawatir terjadi sesuatu, saya berlari kemari, ternyata ibu seperti sedang membakar sesuatu.”
“Membakar apa ?” kata Rio yang kemudian beranjak kebelakang.

Rio tertegun melihat serpihan-serpihan baju bekas terbakar. Tak lagi tampak api atau bara menyala, tinggal gundukan sisa pembakaran yang sebagian berterbangan kemana-mana. Rio memungut sebuah serpihan baju yang masih kelihatan kembang-kembangnya.

“Ini seperti baju Ayna. Jadi ibu membakar baju-baju Ayna?”

Rio memasuki dapur, masih melihat pecahan gelas yang terserak, dan bau anyir bekas darah yang hanya dibersihkan ala kadarnya.

“Ma’af kami belum sempat membersihkan sampai bersih, karena kebetulan warung sejak siang tadi sangat ramai, dan kami hanya berdua. Maksud saya setelah warung tutup, baru membersihkan semua ini,” kata sang karyawan warung.

Rio juga melihat bekas serpihan baju bertebaran disana sini, tampaknya angin juga menerbangkannya kerumah.

“Ada apa ini?”

Rio memasuki kamar dimana ada almari tempat menyimpan baju-baju Ayna. Ia membuka almari dan melihatnya kosong. Tak selembarpun baju tersisa.

“Apa yang terjadi?”

Rio keluar, karyawan itu masih berdiri didepan pintu kamar.

“Apa sebelumnya ada kejadian yang membuat ibu marah? Atau ibu marah-marah di warung?” tanya Rio.
“Tidak sama sekali pak, bahkan setelah kami datang ibu sama sekali tidak pergi ke warung. Kalau memerlukan sesuatu, salah satu diantara kami yang datang ke rumah.”
“Ibu tidak kelihatan marah?”
“Tidak, ibu baik-baik saja. Tapi ketika saya melihat ibu membakar baju-baju, lalu saya bertanya, ibu tampak tidak suka, dan menyuruh saya segera pergi dengan tanpa banyak bertanya.”
“Tolong lihat, kalau tak ada pembeli sa’at ini, tutup saja warungnya. Aku mau minta tolong agar kamu atau bersama teman kamu untuk menemani ibu dirumah sakit.”
“Baik pak, tapi kami akan membersihkan rumah ini dulu,” kata karyawan itu yang kemudian berlalu ke warung.

Rio termenung di kursi dapur. Banyak pertanyaan memenuhi benaknya. Matanya menatap pecahan gelas yang beberapa masih terserak. Tampaknya memang karyawannya membersihkan dengan tergesa-gesa karena kesibukannya di warung. Rio hanya menatapnya, tidak tergerak untuk membersihkan karena hatinya sedang bingung.

Tak lama dua orang karyawannya datang, lalu membersihkan sisa pecahan gelas yang masih terserak, lalu mengepel lantai dengan pewangi, karena bau darah masih tercium.
Rio pergi keruang tengah setelah berpesan agar keduanya segera pergi kerumah sakit. Ada perasaan tak enak karena Bintang dan Ayna ikut repot menunggui ibunya

“Mas Rio... “ Arsi menelpon Rio, membuyarkan lamunannya.
“Ya Arsi..”
“Bagaimana mas, bisa menemukan sesuatu ?”
“Tidak, semuanya membingungkan.”
“Aku akan kembali ke rumah sakit setelah mandi.”
“Jangan Arsi, kamu sudah seharian di rumah sakit, pasti kamu sangat capek.”
“Tidak apa-apa mas, kan tidak setiap hari. Ibu hanya mau bicara sama aku, mas tahu kan?”
“Baiklah, aku juga mau kesana, nanti aku samperin. Ini anak-anak warung sedang membersihkan rumah. Ternyata sejak pagi berantakan.”
“Memangnya ada apa?”
“Nanti kalau ketemu aku cerita. Setelah anak-anak bersih-bersih, aku juga akan kerumah sakit, kasihan mas Bintang dan Ayna.”
“Baiklah, aku mau mandi dulu ya mas.”
***

Ayna dan Bintang duduk di sofa tunggu yang ada didalam kamar rawat bu Tarni, tapi tak ada yang bisa mereka lakukan. Baru saja Ayna mendekati bu Tarni, memanggil namanya lembut sambil mengelus tangannya, tapi bu Tarni tetap bergeming. Membuka matanya pun tidak.

“Ibu..” Ayna mencobanya lagi, tapi bu Tarni kemudian memiringkan tubuhnya memunggungi Ayna. Lalu dengan putus asa Ayna kembali duduk didekat Bintang.

Dering ponsel Ayna membuat Ayna bergegas mengambilnya.

“Ayna...” ternyata Tanti menelponnya.
“Ya ibu..”
“Kamu masih dirumah sakit?”
“Masih bu, bersama mas Bintang.”
“Bagaimana keadaan bu Riri ?”

Ayna keluar dari kamar, takut suaranya akan mengganggu bu Tarni, lalu menambah kemarahannya.

“Kesehatannya sepertinya membaik, tadi mas Bintang sudah bicara sama dokter yang merawatnya, tapi kok tiba-tiba benci sekali sama Ayna? Bahkan sama mas Rio juga begitu. Seperti marah.. atau apa, tapi tak ada yang mengerti sebabnya.”
“Mengapa begitu ?”
“Kami semua bingung, dia marah-marah setiap saya dan mas Rio mendekat atau memanggil namanya.”
“Apa kesal karena pagi tadi ya?”
“Memangnya pagi tadi kenapa?”
“Tadi pagi meminta agar kamu mau menikah sama Rio..”
“Apa? Lalu ibu bilang apa?”
“Tentu saja ibu bilang bahwa kamu sudah dipinang Bintang. Lalu tiba-tiba dia menutup ponselnya, tampaknya marah.”
“O.. apa itu penyebabnya ya?”
“Mungkin saja. Coba nanti kamu bicara pelan kalau dia sudah tenang.”
“Ayna sudah mencobanya sih bu. Tapi nanti akan mencobanya terus. Ini juga mas Bintang harus segera pulang. Kan dia harus praktek dirumah.”
“Lalu kamu juga pulang?”
“Ayna menunggu mas Rio atau pegawai warung yang katanya akan menggantikan.”
“Ya sudah, kamu hati-hati ya. Ibu tidak bisa kesitu, bapak melarangnya karena ibu harus menjaga kandungan ibu.”
“Iya, ibu dirumah saja. Kalau ada apa-apa Ayna akan mengabari ibu,”
“Baiklah, aku mengira karena penolakanku itulah lalu dia terluka dan marah.”
“Nanti Ayna mau bicara sama mas Bintang dan mas Rio. Tampaknya mas Rio sama mbak Arsi baik-baik saja, mengapa bu Tarni punya maksud begitu?”
“Itulah, mengapa dia juga marah sama Rio.”
“Aduh, mengapa hanya karena hal itu bu Tarni bisa seperti tidak terkendali marahnya?”
“Kamu belum tahu ya, dulu dia pernah hilang ingatan..”
“Oh ya bu?”
“Ceritanya panjang. Suatu hari nanti kamu akan tahu. Jadi dia itu gampang sekali terluka, karena sesungguhnya jiwanya sangat rapuh.”
“Kasihan..”
“Tidak bagusnya bagi orang lain adalah.. apa yang diinginkannya harus terlaksana..”
“Saya tidak mengira.”
“Ya sudah, coba nanti bicara sama Rio bagaimana baiknya. Atau Bintang pasti bisa menemukan jalan. Dia itu sakit jiwa.”
***

Ayna masuk kekamar bu Tarni lagi, dan melihat Bintang sedang termenung. Ayna mengatakan apa yang dikatakan Tanti, setelah menarik Bintang keluar dari ruangan.

“Itu aku tahu, tante mengatakan tadi, bahwa bu Tarni bermaksud mengambil kamu sebagai menantu, tapi tentu saja tante menolaknya. Itu yang membuat dia terluka. Dan kemungkinan juga karena Rio juga menolaknya, maka bu Tarni juga marah sama Rio.”

Ayna mengangguk-angguk.

“Jiwa bu Tarni sangat rapuh. Ada baiknya dia ditangani seorang psikiater.”
“Sampai begitu ?”
“Aku pernah mendengar bahwa dia pernah sakit jiwa..”
“Aduuh, apakah itu menurun? Kalau benar.. kasihan mbak Arsi dong mas.”
“Tidak, aku nanti akan bicara sama Rio. Tapi aku akan menelpon dulu perawat pembantu aku, apakah ada pasien sore ini atau tidak. Kalau perlu biar dia bilang bahwa sore ini aku tidak praktek, so’alnya aku harus menunggu Rio untuk penanganan ibunya kalau memang bu Tarni agak terganggu jiwanya.”
“Baiklah mas.”
***

Tampaknya asal muasal bu Tarni tampak marah sama Ayna dan Rio sudah tertangkap oleh mereka. Bintang mengatakan kepada Rio bahwa lebih baik bu Tarni ditangani oleh seorang psikiater.
Rio jadi teringat ketika pagi tadi membicarakan masalah Ayna yang ingin dijadikan menantunya. Rio juga menolaknya. Ia tak menyangka hal itu bisa membuat jiwa ibunya terluka.

“Ma’af mas Rio, ternyata jiwa bu Tarni sangat rapuh. Besok saya akan mendatangkan teman saya yang seorang psikiater mas, semoga bisa membantu,” janji Bintang kepada Rio.

Malam itu bu Tarni hanya mau dilayani Arsi. Ia tak pernah mau menatap Ayna, apalagi menjawabnya ketika Ayna menyapanya.

“Suruh dia pergi, dia hanya membuat aku terluka,” kata bu Tarni kepada Arsi ketika Arsi melayaninya makan.
“Ibu, ibu harus sabar ya.”
“Dokter sudah mengatakan bahwa aku boleh pulang besok. Aku akan lebih tenang tanpa harus melihat wajahnya. Coba tanyakan, mengapa dia tak mau pergi juga?” kata bu Tarni dengan wajah gelap.
“Dia sangat sayang pada ibu..”
“Hentikan omong kosong itu.” Teriak bu Tarni yang membuat Arsi dan Ayna terkejut.

Tiba-tiba Ayna mendekat.

“Ibu, benarkah ibu boleh pulang besok?”
“Arsi, suruh dia pergiiii..”

Arsi menatap Ayna, dengan isyarat mata dia meminta Ayna menjauh. Tapi Ayna tetap berdiri disamping ranjang.

“Ibu.. kalau ibu pulang besok, bolehkah Ayna ikut kerumah ibu?” kata Ayna lembut.

Tiba-tiba bu Tarni menatap Ayna.

“Bolehkah Ayna tidur dikamar ibu, dan mendengarkan banyak cerita ibu ketika ibu masih muda?” lanjut Ayna dengan bersungguh-sungguh.
“Ayna sangat suka mendengarnya, dan ingin mendengarnya lagi. Bolehkah bu? Mendengarkan cerita ibu setiap malam, selalu sangat menyenangkan.”

Tatapan mata bu Tarni melembut.
Bintang dan Rio yang duduk disofa dan mendengar kata-kata Ayna sangat terkejut.

==========

Arsi menatap Ayna yang kemudian menggenggam tangan bu Tarni erat-erat. Dilihatnya Ayna mengangguk-angguk, seperti meyakinkan bu Tarni bahwa apa yang dikatakannya itu benar. Tapi Bintang ingin memprotesnya. Ia sudah selangkah maju kedepan untuk mengingatkan Ayna, tapi didengarnya bu Tarni berkata lembut.

“Ayna..”
“Ya bu...”
“Apa itu benar? Besok kamu akan ikut bersama aku pulang?”
“Saya sudah mengatakannya bu, itu benar.”
“Ayna...” kata bu Tarni sambil meremas jari tangan Ayna.
“Benarkan besok ibu boleh pulang?”
“Ibu tidak apa-apa..kata dokter sudah boleh pulang.”
“Syukurlah, saya senang mendengarnya.”
“Arsi... kamu benar, Ayna gadis yang baik, cantik.. lembut, penuh kasih sayang..” kata bu Tarni kepada Arsi.
“Terimakasih bu..” kata Ayna.

Dan dengan mencairnya kemarahan bu Tarni, maka bu Tarnipun menerima Rio dengan senang hati. Ia menyambut tangan Rio ketika Rio mendekat.

“Rio, ibu senang Ayna masih mau tidur bersama ibu. Tidak apa-apa seandainya Ayna tidak menjadi menantu ibu, tapi dia akan tetap menjadi anak ibu,” kata bu Tarni, yang membuat Arsi sedikit heran. 
Dia tidak tahu sebelumnya bahwa bu Tarni bermaksud mengambil Ayna sebagai menantu. Tapi Arsi senang ketika Rio merangkul pundaknya.

“Arsi akan menjadi menantu ibu yang baik,” kata Rio.
“Iya ibu tahu. Dia merawat ibu seharian, tak kenal lelah.”
“Ibu, karena Arsi dan Ayna sudah lama berada disini, biarkan sekarang mereka pulang dulu, nanti Rio yang akan menemani ibu setelah mengantar Arsi pulang. Anak-anak warung akan segera datang kemari.”
“Tapi Ayna tidak bohong kan? Besok akan pulang bersama ibu?”
“Iya bu..saya tidak akan bohong.”
***

Mengantar Ayna pulang, wajah Bintang gelap seperti mendung. Ia tak sependapat dengan Ayna, yang bermaksud pulang lagi ke rumah bu Tarni.

“Mengapa kamu nekat Ayna? Kamu kan tahu bahwa bu Tarni itu sakit jiwa? Karena keinginannya memiliki kamu maka dia berbuat semaunya.”
“Mas, dia sakit. Memang benar, sakit jiwanya. Semoga kita tidak harus mendatangkan seorang psikiater. Dia harus senang, dan merasa bahwa keinginannya tercapai. Aku yakin dia akan pulih, lalu membiarkan Ayna pergi.”
“Bagaimana kamu begitu yakin? Nanti kamu pergi dari rumahnya, lalu dia marah dan terguncang jiwanya, apa pula yang akan kamu lakukan?”
“Mas harus percaya sama aku.”

Bintang tak menjawab. Ia tak bisa menerima keputusan Ayna yang akan mengorbankan dirinya untuk bu Tarni.

“Mas harus percaya, kalau kita menanam kebaikan maka kita juga akan mengunduh buah kebaikan. Mas percaya kan, siapa menanam dia akan menuai?”
“Aynaku.. kamu berkorban tanpa memperhitungkan buruk dan baiknya. Kamu belum tahu sepenuhnya bahwa bu Tarni pernah mengidap sakit jiwa. Barangkali penyakit itu belum benar-benar lenyap. Dia bahkan membuat pergelangan tangannya luka, siapa percaya bahwa itu kecelakaan? Jangan-jangan dia memang bermaksud bunuh diri.”
“Ah, mas Bintang kok begitu.”
“Semua hal harus diperhitungkan. Aku khawatir dia akan mencelakai kamu.”
“Tidak mas, aku akan menjaga diri.”

Bintang tak ingin menjawabnya lagi. Itu keputusan Ayna, dan dia tak berhak menghalangi. Bintang hanya khawatir, mengingat kejiwaan bu Tarni, karena dia sudah pernah mendengar cerita tentang masa lalu bu Tarni yang ketika itu masih disebut Riri.

“Mas Bintang harus percaya sama Ayna ya?”
“Bagaimana dengan rencana lamaran minggu depan?”
“Nggak apa-apa mas, tak akan ada yang menghalanginya,” kata Ayna dengan sangat yakin, sementara Bintang menerimanya dengan sangat ragu.”
***

Ternyata Tanti pun mengkhawatirkan keputusan yang diambil Ayna. Ia masih ingat bagaimana dulu Riri sampai lupa segala-galanya, dan membuat onar dimana-mana.

“Ayna, mengapa kamu memutuskan hal yang menurut ibu sangat berbahaya? Ingat, dia bisa melakukan apa saja.”
“Ibu jangan khawatir ya, Ayna akan baik-baik saja.”
“Kamu belum tahu sepenuhnya siapa dia.”
“Dia juga bisa berbuat baik. Sekarang ini dia agak terguncang karena merasa keinginannya banyak ditentang. Tak seorangpun mendukungnya,” kata Ayna.
“Itu karena keinginannya yang tidak masuk akal..”
“Ayna akan mencoba membuatnya mengerti. Perlahan, nanti dia akan bisa menerimanya.”
“Ibu sangat khawatir.”
“Ibu jangan khawatir ya, barangkali hanya beberapa hari saja Ayna menuruti kemauannya. Ayna berharap tidak akan selamanya. Nanti Ayna akan mencari cara agar dia bisa mengerti.”
“Ya Tuhan.. Ayna sayang. Kamu betul-betul memiliki hati yang sangat mulia. Tanpa peduli pada keselamatan kamu, kamu melakukannya.”
“Ibu harus percaya, semua akan baik-baik saja.”
“Minggu depan keluarganya Bintang akan datang.”
“Iya bu, Ayna sudah tahu. Semua akan berjalan seperti yang kita inginkan.”
“Kamu yakin?”
“Lebih dari yakin. Ayna juga akan memohon kepada Allah agar apa yang akan Ayna lakukan akan berbuah kebaikan.”
“Anakku, kamu luar biasa..” Tanti memeluk Ayna dengan rasa terharu.”

Apa yang bisa dilakukannya? Seperti juga Bintang, Tanti tak mampu mencegahnya.
***

“Jadi sebenarnya mas Rio itu dijodohkan dengan Ayna?” kata Arsi ketika Rio mengantarnya pulang.
“Kamu tidak usah memikirkannya. Ibu marah tadi, karena aku menolaknya. Ya kan?”
“Lalu kalau Ayna kembali kerumah ibu, pasti timbul lagi kemauan ibu yang seperti itu.”
“Tidak, aku kira sebenarnya ibu hanya ingin selalu dekat dengan Ayna, karena merasa bahwa ibulah yang menyelamatkannya ketika Ayna menghilang.”
“Tapi kan Ayna itu sudah diambil anak oleh keluarga om Danang?”
“Benar, keduanya ingin memiliki.”
“Kasihan Ayna, jadi orang baik tapi justru kebaikan itu kemudian membebani.”
”Aku terkejut tadi ketika Ayna memutuskan akan tinggal lagi bersama ibu. Kalau ibu tak mau melepaskan, pasti akan terjadi pertentangan diantara ibu dan keluarga om Danang. Apalagi Ayna kan calon isterinya mas Bintang.”
“Ayna pasti bermaksud menyadarkan ibu, tapi dengan caranya, yaitu menyenangkan dulu hati ibu.”
“Berarti mas Bintang tidak usah menghubungi psikiater,” kata Arsi.
“Mungkin untuk sementara ini tidak. Keadaan ibu sudah baik secara lahir dan batin. Bisa berkomunikasi lancar, tak ada kemarahan, dan bersikap sangat manis kepada semua orang.”
“Itu berkat Ayna. Tidak salah kalau ibu ingin agar Ayna menjadi menantunya.”

Rio tersenyum, menatap Arsi dengan pandangan mesra.

“Calon isteri aku juga cantik dan baik.. Jadi ingin cepat-cepat melamar nih.”

Rio sadar, pernah juga ada keinginan untuk itu, tapi akal warasnya berkata lain. Ia sudah punya cinta.

“Melamar boleh .. nikahnya nanti kalau aku sudah selesai.. ya kan?”
“Buruan selesaiin dong..”
“Iya, do’ain ya..”
***

Pagi hari itu Ayna memasak didapur. Sesungguhnya berat meninggalkan keluarga Danang yang sangat menyayanginya. Ia sudah menganggap bahwa disitulah rumahnya. Tapi ada seseorang yang harus ditolongnya, dan itu membutuhkan pengorbanan darinya. Ayna akan menjalaninya dengan ikhlas. Kemarin dia hanya mencoba bicara sepatah dua patah kata, bahwa dia ingin ikut pulang bersama bu Tarni, dan beberapa patah kata itu tanpa disadari merubah rona wajah bu Tarni, merubah sikap bu Tarni, dan itu membuatnya lega. Berarti bu Tarni butuh dukungan. Butuh terlaksana apa yang diinginkannya.Bu Tarni juga ingin agar tak ada yang menentangnya. Ayna berjanji akan dengan sabar membuat bu Tarni sadar akan dirinya, dan dengan ikhlas melepasnya.

“Semoga aku berhasil...” gumamnya sambil menata masakan yang sudah selesai dimasaknya.
“Aduuh.. anak perempuanku .. pagi-pagi sudah selesai memasak.. hmm.. baunya sedap. Tempe goreng tepung masih hangat..” kata Tanti sambil duduk di kursi dapur, lalu mencomot sepotong tempe goreng.
“Enak... sayang besok tak ada lagi tempe goreng selezat ini.”
“Ibu.. ini tak akan lama.. percaya sama Ayna ya..”
“Semoga kamu berhasil ya nak..”
“Mohon do’a ibu ya..”
“Wah, misi kamu ini berbahaya Ayna.. dia itu punya penyakit gila,” kata Danang yang ikut masuk kedapur mendengar Tanti dan Ayna ada disana.
“Eeh... mas... kok gitu amat sih,” kata Tanti sambil mencubit lengan suaminya.
“Emang benar kan? Dulu sampai heboh.”
“Iya, nggak usah dijelas-jelasin gitu. Bilang saja agak terganggu, gitu kan lebih enak didengar mas?”
“Baiklah, apapun yang kamu katakan, tetap saja itu berbahaya bagi Ayna. Aku khawatir..” kata Danang sambil ikut mencomot tempe goreng dipiring.
“Bapak sama ibu jangan khawatir, Ayna akan menjaga diri dengan baik.”
“Khawatir itu tetap ada nak.. aduuh.. bapak sama ibu ini kan sudah tahu siapa dia, jadi wajar saja kalau khawatir.”
“Tidak selamanya dia akan begitu, bapak.. Ayna akan mencoba memberi dia pengertian.”
“Semoga berhasil Ayna, jangan lupa segera kabari kami kalau ada hal yang tampaknya kurang baik. Terlebih untuk keselamatan kamu.”
“Baiklah bapak, mohon do’a ya bapak, juga ibu..”
“Jangan lupa membawa beberapa lembar baju nak, kata Arsi baju-baju kamu dibakar semua oleh dia.”
“Iya bu, sudah Ayna siapkan.”
“Aynaaaa...” itu teriakan Bintang.
“Kok mas Bintang pagi-pagi sudah sampai disini ?” kata Ayna sambil melangkah ke depan.
“Ayna, aku akan mengantar kamu ke tempat kerja kamu.”
“Wahh.. senangnya, berangkat kerja diantar pacar,” sela Tanti yang ikut berjalan kedepan.
“Sekalian tante. Nanti, sepulang kerja, Bintang juga akan menjemput Ayna.”
“Lho mas, kan aku sudah bilang bahwa aku nanti langsung ke rumah bu Tarni.”
“Iya aku tahu, aku yang akan mengantar kamu kesana.”
“Oh, baiklah kalau begitu. Terimakasih ya mas. Tunggu sebentar, aku menata meja untuk sarapan. Mas Bintang mau ikut sarapan?”
“Iya Bin, Ayna masak enak pagi ini.”
“Bagus Ayna, aku juga belum sarapan nih,” kata Bintang yang terus mengikuti Ayna dan Tanti ke belakang.
***

“Ibu, semuanya sudah Rio selesaikan. Arsi sudah membantu membawa barang atau baju yang harus kita bawa pulang. Bagaimana kalau pulang sekarang? Dokter sudah memberi ijin,” kata Rio pagi itu.
“Aku menunggu Ayna..”
“Ibu, Ayna harus bekerja dulu, nanti setelah tutup toko baru akan kerumah ibu, “ kata Arsi.
“Apakah dia tidak bohong?”
“Ayna gadis yang baik, dia tidak akan bohong.”
“Benar? Kalau begitu nanti sa’at dia pulang kamu harus menjemputnya.”
“Iya, ibu jangan khawatir,” kata Rio.
“Ayo bu, tapi nanti tiga hari lagi ibu harus kontrol.”
“Apa Rio masih disini?”
“Rio harus kembali ke Jakarta nanti sore bu.”
“Biar nanti Arsi yang mengantar ibu,” kata Arsi.
“Apa Ayna tidak bisa?”
“Ibu kan tahu, Ayna harus bekerja. Jadi nanti ibu sama saya saja. Nggak apa-apa kan bu?”
“Iya bu, Rio juga titip sama Arsi agar sering-sering menjenguk ibu.”
“Baiklah, Arsi juga anak baik...”

Bu Tarni pulang ke rumah pagi itu. Rio menyuruh warung tutup untuk tiga hari, sampai bu Tarni benar-benar sehat.
***

Bu Tarni memasuki rumahnya yang sudah kembali bersih. Ketika berjalan ke kebun, gundukan abu bekas pembakaran baju Ayna sudah tak ada. Rupanya karyawannya sudah membersihkan semuanya.
Bu Tarni berjalan ke kamar, membuka almari tempat baju Ayna disimpan. Ia menghela nafas, barangkali menyesal, lalu keluar dari kamar. Arsi sedang memasukkan baju bu Tarni yang kotor kedalam mesin cuci.

“Rio, maukah sebelum kembali ke Jakarta kamu membelikan baju-baju untuk Ayna? Ibu sudah membakarnya habis.”
“Baiklah bu, nanti Rio akan beli, biar Arsi memilihkannya. Rio mana bisa memilih baju perempuan?”
“Terserah kamu saja, yang penting ada baju ganti untuk Ayna.”
“Sekarang ibu mandi dulu ya, saya jerangkan air untuk mandi, biar hangat,” kata Arsi.
“Baiklah, terimakasih Arsi.”

Sepertinya semua tampak biasa. Bu Tarni tidak menunjukkan sikap yang aneh, atau marah, atau yang tidak seperti biasanya, sehingga Rio merasa lega. Rupanya kesanggupan Ayna untuk mau menginap lagi dirumah ibunya, membuat bu Tarni kembali menemukan dirinya. Dalam hati Rio juga mengakui, bahwa Ayna memang luar biasa.
***

Ayna mengerjakan semua pekerjaannya, sambil membayangkan apa yang kira-kira akan terjadi, setelah nanti dia sampai di rumah bu Tarni. Ayna bertekat melanjutkan usahanya, ketika bu Tarni tampak bahagia setelah dia mengatakan akan ikut bersamanya. Ia yakin akan bisa menyadarkan bu Tarni, dengan kelembutan, dengan ungkapan sayang yang nanti akan ditumpahkannya kepada wanita setengah tua yang menjadi penolongnya itu.

“Benarkah aku akan bisa melakukannya? Walau aku yakin, tapi keraguan itu masih ada biarpun hanya sedikit. Aku berharap Tuhan akan menuntunku,” bisiknya perlahan sambil menyelesaikan laporan hari itu.

Setengah jam lagi toko akan tutup.

“Ayna,” tiba-tiba pak Yoga memanggilnya.

Ayna bergegas melangkah keruang pak Yoga. Seperti biasa ia mengetuk pintu sebelum masuk.

“Ya bapak..”
“Laporan sudah selesai?”
“Sudah bapak, sebentar saya ambil.”
“Tunggu dulu, aku dengar kamu akan segera menikah ?”
“Ah, bapak.. siapa yang bilang?”
“Deva yang bilang.”
“Mohon restunya ya pak.”
“Dulu Deva sangat cemburu sama kamu, takut Bimo berpaling..”

Ayna tersipu.

“Enggak bapak, saya dan mas Bimo kan tidak ada apa-apa.”
“Benar, tapi aku senang kamu mendapatkan jodoh yang baik, dan dari keluarga terpandang.”
“Terimakasih banyak..”
“Tapi aku jadi khawatir, setelah nanti kamu menikah, pasti suami kamu melarang kamu untuk bekerja, mengingat suami kamu adalah orang yang sudah mapan.”
“Tidak pak, saya sudah bilang, bahwa saya akan tetap bekerja disini.”
“Benarkah ?”
“Benar bapak.”
“Aduh, terimakasih banyak Ayna. Kamu adalah orang kepercayaan aku. Kalau kamu tidak ada, aku akan sangat sibuk mengurus semuanya sendiri.”
“Saya akan tetap membantu bapak.”
“Baiklah, sekarang letakkan laporan kamu disini, lalu suruh tutup tokonya, sudah hampir jam tiga.”
“Baik bapak.”

Ayna menyelesaikan laporannya kemudian menyerahkannya kepada pak Yoga, sementara teman-temannya mulai menutup toko. Dari pintu yang masih terbuka sedikit, Ayna melihat mobil Bintang sudah menunggu. Ayna tersenyum senang, akhirnya kekasihnya merelakan dirinya membantu bu Tarni.
Begitu toko tertutup, Ayna melangkah dengan lincah kearah mobil Bintang.

“Sudah selesai?” tanya Bintang.
“Sudah mas..”
“Baiklah, tapi maukah menemani aku makan dulu?” tanya Bintang.
“Kebiasaan deh jam segini baru mau makan.”
“Penginnya ditemani kamu.. nanti setelah makan baru aku antar kamu kerumah bu Tarni.” kata Bintang sambil menjalankan mobilnya.

Tapi begitu mobil Bintang meluncur, sebuah mobil lain membuntutinya. Bu Tarni ada didalamnya, dan melihat Ayna masuk kedalam mobil Bintang. Tiba-tiba saja bu Tarni panik, dan merasa bahwa Ayna telah menipunya. Iapun berteriak-teriak didalam mobil taksi yang ditumpanginya.

“Aynaaa.. Aynaaa.. kamu bohong Ayna.. kamu bohooong.. hentikaaan.. aku mau mengejar mobil itu..” dan tukang taksi itupun kebingungan dibuatnya.

Bersambung #22

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER