Cerita bersambung
“Hentikaan.. aku mau turun,... kejar itu.. mobil itu..” bu Tarni berteriak-teriak.
“Bu, kalau mau mengejar mobil itu, ibu tidak harus turun, biar saya kejar saja.. ibu tenang ya, jangan membuat saya bingung,” kata sang pengemudi taksi.
“Gimana kamu itu.. aku yang bingung.. dia menipu aku...”
“Baiklah bu, ibu tenang ya.. pecayalah saya akan mengejar mobil itu.. tenang bu, kalau ibu berteriak-teriak, saya jadi bingung.”
“Cepat.. cepat.. kok jalannya pelan begini...”
“Bu, banyak kendaraan didepan. Tenanglah bu, masih bisa saya melihat mobilnya, percaya bu, tenang saja.. tenang... tenang bu..” kata pengemudi taksi yang tak henti-hentinya meminta agar bu Tarni tenang.
“Nah.. itu.. terus kejar.. terus kejar..”
Pengemudi taksi tak lagi mengatakan apapun. Ia yakin penumpangnya orang yang lagi stres berat. Ia terus mengawasi mobil didepannya, yang beruntung tak pernah lepas dari pandangannya.
Pada deretan toko-toko, mobil itu berhenti, tapi pengemudi taksi tak bisa berhenti didekat mobil Bintang karena deretan mobil yang diparkir lumayan penuh.
“Mengapa disini.. aduuh.. nanti dia kabur, bagaimana?”
“Tidak bu, tampaknya dia berhenti, tuh.. sepertinya mau masuk kedalam rumah makan itu.”
Bu Tarni berusaha turun dengan tergesa.
“Bu, ma’af.. ibu harus membayar ongkos taksinya dulu.”
“Owalahh.. kamu itu tidak tahu ada orang lagi panik! Ini.. ambil saja semuanya,” kata bu Tarni sambil melemparkan selembar uang ratusan ribu.
“Bu, kembaliannya dulu..”
“Nggak usah, ambil saja. Kelamaan kamu, keburu dia kabur lagi,” katanya sambil turun.
“Aynaaa.. jangan kabur kamu.”
Ayna dan Bintang yang sudah turun dari mobil, terkejut mendengar teriakan bu Tarni.
“Ayna ! Aynaa! Kamu mau membohongi aku ?” tariaknya sambil mendekat.
Ayna sangat terkejut, tidak mengira bu Tarni menyusulnya.
“Ibu.. saya sedang mengantarkan mas Bintang untuk makan..”
“Mengapa tidak segera kerumah? Kamu mau lari ya? Iya kan?”
“Tidak bu, setelah makan, kami akan kerumah ibu.”
“Bohong kamu ! Itu kamu bilang begitu karena ketemu aku disini. Kamu ingin lari, kamu bohong..!”
Bintang ingin menarik Ayna agar jangan mendekati bu Tarni, tapi Ayna justru mendekat dan merangkul bu Tarni.
“Ibu, mengapa ibu tidak percaya pada Ayna? Apakah Ayna pernah membohongi ibu? Coba ibu ingat-ingat, apakah Ayna pernah membohongi ibu? Tidak kan? Ini tadi setelah tutup toko, mas Bintang menjemput Ayna dan mau mengantarkannya kerumah ibu, tapi mas Bintang lapar, ingin ditemani makan sebentar,” kata Ayna lembut.
Bu Tarni diam, menatap mata Ayna.
“Ayo.. ibu ikut makan sebentar yuk, setelahnya, mas Bintang akan mengantar kita pulang.”
Bu Tarni masih menatap Ayna lekat-lekat, tapi matanya mulai meredup.
“Nanti Ayna tunjukkan .. dimobil ada baju Ayna yang Ayna bawa dari rumah ibu Danang, untuk ganti kalau Ayna sudah sampai dirumah ibu nanti. Masih tidak percaya, mari saya tunjukkan bungkusan baju itu..”
Bu Tarni menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Mas, kita ajak ibu makan sekalian ya..” kata Ayna sambil memandang kearah Bintang, tanpa melepaskan pelukannya pada bu Tarni.
Bintang mengangguk, lalu melangkah masuk kedalam rumah makan, dengan wajah kesal. Kekhawatirannya untuk melepaskan Ayna kembali muncul, tapi dia tidak tahu bagaimana cara mencegahnya.
Ayna masih merangkul bu Tarni, lalu diajaknya duduk, dimana Bintang telah mendahului duduk disana.
“Ibu mau makan apa?”
“Tidak mau, ibu tidak lapar. Minum saja, es jeruk.
“Baiklah. Mas.. mas Bintang mau makan apa?” tanya Ayna sambil tersenyum manis kearah Bintang. Ia tahu kekasihnya sangat kesal, tapi Ayna berusaha mencairkan kekesalan itu.
“Terserah kamu saja,” kata Bintang singkat.
“Baiklah, nasi rawon.. seperti biasa?”
Bintang mengangguk.
“Teh panas?”
Bintang mengangguk lagi. Ayna melemparkan lagi senyuman manis kearahnya, lalu menuliskan apa yang dipesan bu Tarni dan juga Bintang, serta untuk dirinya sendiri.
“Ibu tadi mengapa berangkat sendiri? Mas Rio sudah kembali?”
“Dia.. pergi sama Arsi.. membeli baju untuk kamu.”
“Ya ampuun, membeli baju untuk saya?”
“Iya, kan aku sudah membakar semua baju kamu yang ada dirumah.”
“Oh... Harusnya ibu menunggu saja dirumah.”
“Ibu ingin menjemput kamu. Ibu bingung karena kamu sudah pergi.”
“Bu, mulai sekarang ibu tidak usah menjemput Ayna ke toko. Ayna pasti pulang kerumah ibu kok.”
Bu Tarni mengangguk pelan. Sinar matanya tak lagi tampak aneh.
Tiba-tiba didengarnya sebuah pesan suara di ponselnya, ternyata Bintang yang mengiriminya.
Ayna tersenyum sambil membaca pesan itu. Tampak lucu, padahal berhadapan, tapi Bintang tak hendak bicara.
“Ayna.. kamu benar-benar mau kerumah dia?”
Ayna menjawabnya.
“Iya mas, jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja.”
Ayna melihat Bintang menghela nafas berat. Menatapnya khawatir.
Ayna mengerjap-ngerjapkan matanya.
Bintang menggeleng-gelengkan kepalanya, walau mata yang berkerjap-kerjap itu selalu menggemaskannya.
“Nak Bintang mau menikahi Ayna?” tiba-tiba kata bu Tarni, mengejutkan Bintang dan Ayna.
“Iya bu.. tidak lama lagi. Besok Minggu depan ada acara melamar dirumah tante Danang,” kata Bintang.
Bu Tarni mengangguk-angguk. Ayna sudah khawatir, kalau mendengar hal itu kemudian bu Tarni berteriak-teriak.. bagaimana. Tapi tidak, bu Tarni tersenyum.
“Nanti aku sama Ayna akan datang kesana. Bukankah ketika dilamar Ayna sudah harus ada dirumah?” kata-kata itu kembali mengejutkan Bintang dan Ayna.
“Terimakasih bu..” kata Ayna sambil tersenyum.
***
Ketika sampai dirumah, Rio dan Arsi sedang bingung menelpon kesana kemari karena mencari bu Tarni yang tidak diketahui pergi kemana, sementara ponsel ibunya tidak bisa dihubungi. Maka begitu datang, Rio dan Arsi segera memburunya. Heran karena kedatangan bu Tarni bisa bersama Ayna dan Bintang.
“Ibu menjemput Ayna?” tanya Rio.
“Iya, tapi nak Bintang juga menjemputnya.”
“Aduuh, mengapa ibu tidak bilang? Bukankah ibu menyuruh kami juga menjemput Ayna? Sampai disana Ayna sudah tidak ada,” kata Rio.
“Iya mas, mas Bintang sudah menjemput, lalu tiba-tiba ibu juga menjemput..” kata Ayna.
“Saya sudah membelikan baju-baju seperti pesan ibu, saya letakkan dikamar. Arsi yang memilihkan.”
“Mengapa harus beli baju lagi mas, kan saya masih punya banyak, ini saya juga membawa beberapa lembar baju.”
“Tidak apa-apa Ayna, ibu bersalah sudah membakar baju-baju kamu..” kata bu Tarni penuh penyesalan. Ibu juga heran, mengapa ibu melakukannya. Ibu sedih sekali merasa kehilangan kamu.”
“Ibu tidak akan kehilangan Ayna.”
“Bu, Rio sudah harus berangkat sekarang, nanti ketinggalan pesawat.”
“Oh iya , sudah memanggil taksi?”
“Arsi membawa mobil, biar Arsi yang mengantarnya.”
“Ya sudah, syukurlah.. hati-hati ya nak..”
***
Ketika Bintang juga pamitan, dan Ayna mengantarkannya sampai ke depan, Ayna melihat wajah Bintang yang cemberut.
Ayna menyentuh lengannya.
“Hei, senyum dong..” bisik Ayna..
“Bagaimana aku bisa tersenyum, menyadari kekasih hatiku ada ditempat yang mungkin akan membahayakannya,” kata Bintang sendu.
“Baru mungkin kan? Tidak benar-benar kan?”
“Kemungkinannya sangat besar, melihat kejiwaan bu Tarni yang masih sangat labil. Sebentar teriak-teriak, sebentar kemudian tersenyum-senyum.. dan bicara seakan tak terjadi apa-apa..”
“Ayna akan melihat seperti apa nanti. Jangan membayangkan yang tidak-tidak dulu.”
“Karena aku sangat mencintai kamu Ayna, aku tidak ingin sedikitpun orang lain melukai kamu.”
“Iya aku tahu. Jangan khawatir, aku akan setiap sa’at mengabari mas.”
“Setiap jam harus mengirimi aku pesan, atau menelpon aku,” kata Bintang sebelum memasuki mobilnya.
“Siap mas, aku janji...”
Kendati berat, tapi Bintang tetap merelakan Ayna tinggal. Ia mengendarai mobilnya dengan wajah kusut. Tapi tak lama kemudian sebuah senyuman terulas dibibirnya, ketika Ayna mengirimi sebuah pesan singkat.
“Hati-hati dijalan dan jangan cemberut, nanti gantengnya hilang.” Lalu dibelakang kata-kata itu disisipkannya beberapa emotikon bergambar jantung. Berderet-deret dan berbaris-baris.
***
“Wah.. calon isteri kamu itu memang luar biasa..” kata Nanda yang berada dirumah Bintang sore itu.
“Kamu bisa berkata sambil senyum-senyum begitu, aku nih yang tadi melihat bagaimana bu Riri tadi hampir mengamuk melihat Ayna sudah aku jemput duluan,” omel Bintang.
“Mengamuk bagaimana ?”
“Ya mengamuk, masa aku disuruh niruin orang mengamuk? Begitu aku turun dari mobil sama Ayna, tiba-tiba dia datang sambil berteriak-teriak. Waktu itu setelah menjemput Ayna, aku langsung mengajak Ayna supaya menemani aku makan dulu, baru aku mengantarkannya kerumah bu Riri.”
“Ternyata bu Riri ada disana?”
“Ternyata dia juga ingin menjemput Ayna, dan begitu melihat Ayna sudah bersama aku, langsung dia marah-marah, mengira Ayna bohong. Rupanya ia menyuruh pengemudi taksinya mengejar mobilku yang membawa Ayna.”
“Lalu dia mengamuk?”
“Sudah berteriak-teriak tak terkendali begitu, menuduh Ayna membohongi dia.”
“Lalu..”
“Aku sudah ketakutan, dan berusaha mengajak Ayna pergi saja, tapi Ayna malah mendekati bu Riri dan merangkulnya.”
“Wauuw..”
“Dan seketika itu juga kemarahan bu Riri lenyap.. lalu bicara dengan wajar, seakan tak terjadi apa-apa.”
“Benar-benar jiwanya labil dia.”
“Ketika Ayna mengajaknya makan, dia bilang ketika aku melamar Ayna, dia akan datang kerumah om Danang bersama Ayna.”
“Tampaknya kamu sangat mengkhawatirkan Ayna..”
“Ya iyalah Nda.. melihat keadaan seperti itu. Bagaimana kalau Ayna melakukan suatu kesalahan yang membuat dia marah, lalu... aduuh.. nggak berani aku ngebayangin apa yang akan terjadi.”
“Bin, kamu harus percaya. Ayna akan bisa mengatasi semuanya.”
“Ayna juga mengatakan itu, tapi siapa yang nggak khawatir coba?”
“Tenang Bin, buktinya bu Riri nggak jadi mengamuk setelah Ayna memeluk kan? Dia juga akan melakukan hal yang sama seandainya terjadi apa-apa, jadi pak dokter ganteng tidak boleh khawatir. Ya.”
“Ya sudah, aku mau praktek dulu, tuh .. Bulan lagi mandi.. dan jangan kesal menunggu, karena Bulan itu kalau mandi lama sekali, dan dandannya juga sangat lama. Jadi tidurlah dulu diteras sambil menunggu,” kata Bintang sambil tertawa.
***
Waktu terus berjalan. Sudah seminggu Ayna berada dirumah bu Tarni. Hampir setiap pagi Bintang menjemputnya dan mengantarkannya ke toko, lalu pulangnya menjemput lagi dan mengantarkannya ke rumah bu Tarni. Biarpun Ayna setiap sa’at mengirim pesan singkat, tapi Bintang harus tahu dan melihat bahwa Ayna baik-baik saja.
Ayna yang lembut hati, selalu berusaha menyenangkan hati bu Tarni. Apapun yang dikatakannya diturutinya. Sepulang kerja dia membantu di warung sebentar, lalu setelah mandi menemani bu Tarni duduk didepan televisi, sambil menceritakan banyak hal. Tentang masakan, tentang kehidupan bu Tarni dimasa lalu. Ayna pernah mendengar sedikit tentang bu Tarni yang oleh Tanti disebutnya Riri, tapi dia pura-pura tak mengerti apa-apa. Ia memuji bu Tarni yang bisa melewati masa kelamnya dan hidup bahagia bersama anak semata wayangnya. Tentu itu membuat bu Tarni senang.
Tapi benarkah Ayna benar-benar menikmati hidup tenang dan nyaman di dalam keluarga bu Tarni? Senyum yang selalu tersungging dibibirnya adalah senyum yang dipergunakan hanya untuk menyenangkan bu Tarni. Dia mulai lelah berpura-pura. Bahwa kekuatan itu ada batasnya, itu benar. Maka setiap kali sedang sendirian, terkadang titiklah air matanya. Setiap kali menjelang tidur, terburai juga butir-butir bening dari mata indahnya.
Ayna terus menahannya, dan selalu berusaha membuat bu Tarni senang. Hiburan yang didapatnya ketika bercanda dengan Bintang melalui pesan-pesan singkat, tak lagi bisa membuatnya terhibur. Ia mulai jenuh dengan samuanya.
“Ayna..” kata bu Tarni tiba-tiba ketika dia sedang menyiram tanaman di kebun belakang sambil berurai air mata. Dengan sigap dia mengusap air mata, menoleh kearah bu Tarni yang memanggilnya.
“Mata saya kemasukan debu ketika membersihkan daun-daun kering bu,” kata Ayna sebelum bu Tarni menangkap kesedihan yang tersirat dimatanya.
“Oh.. pelan-pelan saja Ayna. Kalau sudah ayo cuci tanganmu dan duduk disini,” kata bu Tarni yang kemudian masuk ke dapur, lalu duduk di kursi makan.
Ayna mencuci tangannya, dan dengan senyum merekah mendekati bu Tarni, ikut duduk didepannya.
“Yaaa.. ibu sudah menggoreng pisang. sendiri, mengapa tadi tidak menyuruh Ayna ?”
“Tidak, tadi anak-anak warung menyisakan pisang sedikit, lalu ibu goreng. Cuma sepiring ini, mengapa harus kamu? Kamu kan capek sepulang dari bekerja, lalu membersihkan rumah, merawat tanaman.”
“Tidak bu, itu kan pekerjaan yang menyenangkan.”
“Baiklah, ayo nikmati pisang goreng dan teh manis buatan ibu.”
“Terimakasih bu, hm.. pisang kalau sudah tua, digorengpun enak ya bu.”
“Iya benar.”
Beberapa sa’at lamanya keduanya menikmati teh hangat dan pisang goreng dengan wajah berseri-seri.
“Ayna..”
Ayna mengangkat kepalanya.
“Kamu lupa, dua hari lagi mas dokter Bintang akan melamar kamu.”
Ayna terkejut, ternyata bu Tarni mengingatnya.
“Iya benar bu.”
Nanti, bersama Rio dan Arsi, kita akan kesana mengantarkan kamu. Nanti calon pengantin prianya kecewa kalau kamu tidak ada.
Ayna tersenyum tipis. Lalu apa setelah nanti datang kesana.
“Ibu ikut bahagia untuk kamu, Ayna.”
“Terimakasih bu. Ibu adalah ibu yang terbaik bagi Ayna. Ayna sangat menyayangi ibu.”
Entah sudah berapa puluh kali Ayna mengatakan itu hanya untuk membuat bu Tarni senang.
***
Hari itu memang keluarga Handoko pergi kerumah Danang untuk melamar Ayna, seperti pernah dijanjikannya. Bintang senang karena bu Tarni benar-benar datang bersama Ayna. Keduanya bertatapan mesra ketika kedua fihak berembug tentang pernikahan mereka. Bintang minta agar semua dilaksanakan secepatnya, dan disetujui oleh kedua pihak keluarga.
Ayna memeluk pinggang bu Tarni yang duduk disampingnya.
Bu Tarni tersenyum menatap Ayna.
“Ayna tidak akan melupakan ibu. Ibu adalah ibuku, disamping ibu Danang.”
Bu Tarni membalas pelukan Ayna, merengkuh pinggangnya.
Seperti tak terjadi apa-apa, pertemuan itu berjalan meriah. Banyak yang menggoda Nanda dan Rio, yang diharapkan segera menyusul.
“Segera selesaikan kuliah kalian, lalu menyusul Bintang dan Ayna,” kata Danang yang disambut tawa bahagia oleh kedua orang tua mereka.
Bu Tarni menatap Arsi sambil tersenyum.
“Arsi akan menjadi menantuku yang baik, dia juga menyayangi aku,” kata bu Tarni.
Pertemuan itu selesai setelah mereka bersantap siang bersama. Karena Rio harus kembali ke Jakarta sore harinya, maka bu Tarni segera berpamit.
Ia menyalami seluruh yang hadir, karena akan pulang lebih dulu. Ayna kemudian juga berdiri, lalu memeluk Tanti dengan erat.
“Ibu, Ayna pamit dulu ya.”
Tapi tanpa diduga bu Tarni menegurnya.
“Ayna, mengapa kamu ikutan berpamit? Kamu tetaplah tinggal disini, biar ibu pulang bersama Rio dan Arsi.”
Kata-kata itu membuat semuanya terkejut. Ayna berdiri terpaku tak percaya.
==========
“Ayna... ayo antarkan ibu sampai ke depan...” kata bu Tarni sambil melambaikan tangannya kearah Ayna. Ayna melangkah ragu, benarkah telinganya, atau hanya halusinasi dia..
“Tanti, aku pulang dulu, titip anakku Ayna, jaga dia baik-baik,” katanya kepada Tanti yang diterima Tanti sambil mengangguk-angguk karena tak percaya apa yang dikatakannya.
“Ayna...”
Bu Tarni dan Rio serta Arsi sudah melangkah mendekati mobil, bu Tarni kembali melambai kearah Ayna, yang tampak melangkah ragu-ragu.
“Kenapa kamu ini?” katanya setelah Ayna mendekat.
“Ibu, apa saya bersalah sama ibu?”
“Lho.. apa maksudnya ini?”
“Mengapa ibu menyuruh Ayna tinggal disini? Ibu tidak suka lagi sama Ayna? Apa Ayna melakukan kesalahan?”
“Mengapa kamu berfikir demikian?”
“Ibu tidak suka lagi Ayna tinggal disana?”
Sesungguhnya Ayna bersyukur, seandainya benar bu Tarni melepaskannya, tapi keputusan yang tiba-tiba ini menimbulkan berjuta pertanyaan yang membuatnya bingung. Ia harus menemukan jawabannya.
“Ayna, sayangku.. ibu tahu kamu banyak berkorban untuk ibu. Ibu tahu bahwa ibu ini sangat keterlaluan. Kasih sayang kamu selama ini, membuat ibu sangat bahagia. Ibu sadar bahwa ibu telah melakukan hal yang sangat membuat kamu menderita.”
“Ibu... tidak... sungguh Ayna melakukannya dengan ikhlas.”
“Ibu tahu.. ibu tahu.. dan ibu bahagia sudah mendapatkan semuanya. Ibu tak ingin memperpanjang derita kamu..”
“Ayna tidak menderita..”
“Baiklah.. anak baik, tidak salah ibu menyayangi kamu. Tetaplah menjadi anakku, walau kita berada ditempat yang berbeda,” kata bu Tarni sambil memeluk Ayna dengan linangan air mata.
“Ibu tak ingin melihat air mata kamu lagi,” bisik bu Tarni kemudian melepaskan pelukannya, lalu naik kedalam mobil Arsi yang sudah menunggunya.
“Besok ibu akan mengantarkan kemari baju-baju kamu,” sambungnya sebelum menutupkan pintu mobilnya.
Ayna masih tegak terpaku, ketika mulutnya terbuka untuk menjawab, mobil itu sudah hilang dibalik gerbang.
“IBU TAK INGIN MELIHAT AIR MATA KAMU LAGI” .. apa maksudnya? Apakah sebenarnya bu Tarni selalu melihat ketika diam-diam dia menitikkan air mata? Apakah bu Tarni merasa bahwa aku sudah jenuh melayaninya sehingga sering menitikkan air mata? Lalu timbul kesadarannya akan perbuatannya yang keterlaluan? Sungguh aku melakukannya dengan ikhlas, sungguh aku tak ingin melukainya. Tapi tadi dia mengatakannya dengan tulus,” gumamnya sambil terus menatap kearah jalan.
“Ayna..”
Ayna menoleh, dilihatnya Bintang berdiri dibelakangnya. Ayna membalikkan tubuhnya, mengusap setitik air matanya yang meleleh.
“Ada apa?”
“Semoga ini sebuah pertanda baik,” bisik Ayna.
“Tiba-tiba bu Tarni menyadari kesalahannya?”
“Semoga ini benar.. aku hampir tak percaya mas..”
“Syukurlah... ayo masuk.. masih rame didalam.. tapi aku bahagia seandainya ini benar.”
***
Dalam perjalanan pulang, Arsi duduk dijok belakang, menemani bu Tarni. Arsi juga heran mendengar bu Tarni membiarkan Ayna pulang.
“Ibu..mengapa tiba-tiba ibu memutuskan itu ?”
“Memutuskan apa? Menyuruh Ayna kembali ke rumah Tanti?”
“Iya, saya pikir ibu marah sama Ayna..”
“Ya Tuhan, hanya orang yang tidak waras yang bisa memarahi gadis sebaik Ayna..” kata bu Tarni seperti bergumam.
“Dia banyak berkorban untuk ibu. Hanya untuk menenangkan dan menyenangkan hati ibu, dia rela mengorbankan perasaannya. Ibu merasa berdosa...” lanjut bu Tarni yang kemudian diiringi isak.
“Ibu...” Arsi mengelus tangan bu Tarni lembut.
“Dia selalu tersenyum dihadapan ibu, selalu mengucapkan kata-kata lembut, selalu menuruti kemauan ibu, agar ibu senang, agar ibu bahagia, tapi.. ibu melihat dia sering menitikkan air mata, tapi selalu disembunyikannya.”
“Benarkah ?”
“Air mata itu membuat ibu merasa berdosa. Anak baik dan berhati mulia itu tak harus menderita karena kemauan ibu. Ibu bersalah. Dia gadis luar biasa, Arsi, dia berhak bahagia, berhak mentukan jalan hidupnya sendiri, bukan hanya untuk menyenangkan hati ibu.”
Bu Tarni terus terisak, Arsi memeluknya erat.
“Sudahlah ibu, bagus sekali ibu bisa memutuskan sesuatu yang bisa membahagiakan orang lain . Arsi percaya bahwa Ayna masih akan selalu menyayangi ibu.”
***
“Ini luar biasa,” kata Danang pagi hari itu ketika sedang sarapan.
“Dari kemarin bilang itu terus..” kata Tanti menimpali.
“Aku sudah khawatir, Ayna akan tetap diminta agar tinggal bersamanya, karena dia juga merasa berbuat baik dengan menolong Ayna kala itu. Tapi kemarin dia justru minta agar Ayna tetap tingal disini.
“Lama-lama dia merasa bersalah. Kebaikan Ayna lah yang menyadarkannya,” sambung bu Suprih.
“Ibu benar bu.”
“Aku senang bisa menikmati masakan Ayna lagi.”
“Itulah..”
“Mungkin bu Tarni sering memergoki ketika saya menangis sendirian,” kata Ayna.
“Kamu sering menangis sendirian?”
“Iya bu, sedih dong, harus meninggalkan rumah ini, dan berpura-pura setiap hari hanya untuk menyenangkan bu Tarni.”
“Benar, mungkin lama kelamaan dia sadar bahwa telah membuat orang lain menderita,” kata Danang lagi.
“Semoga dia benar-benar sadar.. Kapan-kapan aku mau dolan kesana, barangkali dia akan cerita lebih banyak.”
“Kamu jangan terlalu capek, kalau mau kesana, ajak ibu atau Ayna, dan jangan lama-lama.”
“Iya mas, nanti aku ajak ibu sama Ayna. Sekarang kita juga harus memikirkan rencana pernikahan Ayna lho mas, Bintang maunya cepet-cepet tuh.”
“Ibu, Menurut Ayna, pernikahan itu dilakukan sederhana saja ya, saya punya sedikit tabungan, barangkali kalau nikah sederhana akan cukup.”
“Kamu itu ngomong apa. Yang mau mantu itu kan aku, mengapa kamu harus membuka tabungan kamu? Tidak Ayna, aku sama ibu sudah memikirkannya. Sederhana atau tidak itu kamu tidak usah memikirkannya,” kata Danang.
“Bapak.. Ayna tidak mau menyusahkan bapak sama ibu.”
“Ayna, kamu itu anak kami, mana ada orang tua susah hanya karena mengentaskan seorang anak.”
“Ibu...”
“Ssst... diam sayang, habiskan makananmu, supaya kamu tidak terlambat masuk kerja,” kata Tanti sambil tersenyum.
***
“Resepsi pernikahan itu diadakan oleh kami berdua, ya kan mas? Maksudnya, keluarga Danang dan kita.”
“Iya benar.. tidak usah repot diselenggarakan dua kali.”
“Tadi Tanti bilang bahwa Ayna minta diadakan sederhana, dengan tabungannya sendiri.”
“Aduh, anak itu.. begitu santun dan rendah hati. Dia tak mau menyusahkan orang lain, tapi dia rela berkorban untuk orang lain.”
“Nanti Bulan sama mas Nanda akan jadi pendamping pengantin, ya kan mas?”
“Iya.. siapa lagi?” kata Bintang.
“Tapi awas ya, jangan mengacak rambut aku sa’at kamu menikah nanti.”
Bintang tertawa keras.
“Ya pasti lah, sekarang saja aku puas-puasin mengacak rambut kamu, kan kalau sudah menikah aku akan jarang ketemu kamu.”
“Lho, Bintang mau tinggal dimana ?”
“Bintang kan sudah punya rumah sendiri bu, tapi masih akan kemari setiap hari, bukankah Bintang masih boleh praktek disini?”
“Ya pasti boleh nak, justru maksud ibu kamu tidak usah pindah, tetaplah tinggal disini. Kan pavilyun tempat kamu praktek cukup luas kalian tinggali. Iya kan mas?” kata Palupi.
“Iya.. dan jangan takut aku akan mengintip-intip kesitu. Tabu, tahu!” kata Bulan yang disambut tertawa semuanya.
“Memangnya kamu mau mengintip apaan Bulan?” tanya Handoko.
“Nggak tahu, biasanya kalau pengantin baru kan tidak suka diintip-intip.”
“Bulan itu kan juga sudah kepengin nikah pak.. ya sudah lah.. segera nikahkan saja,” ledek Bintang,
“Eh, enak saja.. siapa yang kepengin..”
“Bukannya kamu sudah ngebet ?”
“Nggaaak.. mas Nanda tuh yang ngebet.. aku santai kok.”
“Ya sudah, Bulan segera selesaikan kuliah kamu.. duuh.. nggak lama lagi kita hanya berdua saja ya mas.. “
“Begitulah yang namanya orang tua. Kalau anak-anak kita sudah menemukan jodohnya, orang tua tinggal berdua saja.”
“Bapak sama ibu kok jadi sedih begitu.. Ya sudah. Bintang nggak jadi pindah rumah deh.. tetap disini.. biar bisa ngacak rambut Bulan setiap hari..”
“Weee... enak aja.. Aku nggak mau, besok aku kalau menikah harus pindah dari sini, bisa habis rambutku diacak-acak oleh dia.”
Kalau sudah begitu, Palupi dan Handoko hanya tertawa, dan geleng-geleng kepala.
“Ya sudah pak, bu, Bintang mau berangkat sekarang saja.”
“O, mau nyamperin calon isteri dulu nih..”
“Iya lah.. weee..” kata Bintang yang siap mengacak rambut Bulan, tapi Bulan sudah siap berdiri dan bersembunyi disamping ayahnya.
***
“Ibuuu...” teriak Ayna begitu memasuki rumah bu Tarni.
“Ayna ? Kamu sendirian ?”
“Tidak bu, sama mas Bintang dan ibu Tanti. Tuh..” kata Ayna sambil menunjuk kearah Tanti dan Bintang yang datang belakangan.
“Riri.. apa kabar kamu?”
“Aku baik, Tanti.. ini barusan memasukkan baju-baju Ayna kedalam kopor kecil, maksudku besok mau kerumah kamu mengantar ini.”
“Ibu, biarkan saja baju Ayna disini, bukankah Ayna masih boleh datang kemari?”
“Tentu saja boleh Ayna, tapi kalau kamu sudah menikah, mana bisa menginap disini. Nanti suami kamu kesepian kamu tinggal sendiri.”
“Ah ibu, ada-ada saja..”
“Ya sudah, ayo duduklah dulu..wahh.. rumahku masih berantakan.”
“Tidak apa-apa.. rumah begini bersih dibilang berantakan. Ini tadi Bintang mau menjemput Ayna yang katanya.. Ayna mau kemari, lalu aku ikut, karena kangen sama kamu juga,”
“Sama, aku juga kangen. Jadinya kapan Ayna menikah ?”
“Sudah tinggal tiga minggu lagi Riri, jangan lupa kamu harus menunggui dia menikah. Kamu kan juga ibunya.”
“Iya, tentu saja.”
“Aku sudah membeli kain untuk kebaya, nanti kamu sama aku pakai baju kembaran ya. mBak Palupi juga. Ini dia...” kata Tanti sambil memberikan sebuah bungkusan. Bu Tarni membukanya, dan wajahnya berseri.
“Aduuh, ini bagus sekali.. warna hijau aku suka..”
“Ma’af agak terlambat mengantar kemari.. bisa kan penjahit kamu menjahit cepat? Kalau tidak biar aku bawa saja ke penjahit langganan aku.”
“Nggak usah, aku punya.. masih tiga minggu.. biasanya seminggu juga bisa.”
“Syukurlah. Nanti untuk Arsi dan Bulan sama adiknya Nanda.. ada sendiri, mereka juga kembaran.”
“Duuh, itu kan calon-calon pengantin juga..”
Bintang dan Ayna lebih banyak diam mendengarkan celoteh dua sahabat itu. Ayna bersyukur, bu Tarni baik-baik saja, dan ternyata tulus ketika memintanya kembali kepada keluarga Danang.
***
Sa’at yang membahagiakan itu akhirnya tiba. Rupanya keluarga Handoko dan Danang mengadakan pesta yang sangat meriah, disebuah gedung yang mewah. Ayna sangat terharu. Ia yang seorang yatim piatu, mendapatkan kasih sayang yang sangat besar dari orang-orang disekitarnya. Pernikahan sederhana yang diinginkannya, tak bisa terlaksana, berganti dengan sebuah resepsi yang sangat meriah yang tak pernah dibayangkannya sebelumnya.
Sang perias mendandaninya dengan sangat apik dan menambah kecantikannya. Bersanding dengan rona bahagia, sepasang pengantin tampak bagaikan Arjuna dan Dewi Sembadra. Oh bukan, Sembadra itu konon kulitnya hitam manis, sedangkan kulit Ayna bersih bagai pualam ditatah. Aduhai, seperti Kamajaya dan Kamaratih.. atau Arjuna dan Dewi Supraba. Apalah namanya, yang jelas keduanya memang mempesona. Bahtera cinta itu telah berlabuh disebuah muara.
Tiba-tiba saja Ayna teringat akan ibunya yang sudah tiada. Alangkah bahagianya seandainya bisa menyaksikan pernikahan anak semata wayangnya yang gemerlap bagai langit penuh bintang. Ayna mengusap setitik air matanya. Bintang yang melihatnya segera mengusap dengan jemarinya.
“Jangan menitikkan air mata, kecuali air mata bahagia,” bisik Bintang ditelinga isterinya. Ayna tersenyum dan Bintang ingin pesta segera berakhir, agar dia bisa merengkuh isterinya, mendekapnya didadanya, mendendangkan kidung-kidung dari relung hati yang penuh gemuruh cinta ditelinga isterinya.
“Aku sangat bahagia..” balas Ayna melalui bibir tipis yang selalu membuat Bintang terpesona
Ayna melihat, dideretan kursi terdepan, bu Tarni yang memakai baju kembar dengan bu Danang, melambaikan tangannya kearahnya.
“Ayna... ayo antarkan ibu sampai ke depan...” kata bu Tarni sambil melambaikan tangannya kearah Ayna. Ayna melangkah ragu, benarkah telinganya, atau hanya halusinasi dia..
“Tanti, aku pulang dulu, titip anakku Ayna, jaga dia baik-baik,” katanya kepada Tanti yang diterima Tanti sambil mengangguk-angguk karena tak percaya apa yang dikatakannya.
“Ayna...”
Bu Tarni dan Rio serta Arsi sudah melangkah mendekati mobil, bu Tarni kembali melambai kearah Ayna, yang tampak melangkah ragu-ragu.
“Kenapa kamu ini?” katanya setelah Ayna mendekat.
“Ibu, apa saya bersalah sama ibu?”
“Lho.. apa maksudnya ini?”
“Mengapa ibu menyuruh Ayna tinggal disini? Ibu tidak suka lagi sama Ayna? Apa Ayna melakukan kesalahan?”
“Mengapa kamu berfikir demikian?”
“Ibu tidak suka lagi Ayna tinggal disana?”
Sesungguhnya Ayna bersyukur, seandainya benar bu Tarni melepaskannya, tapi keputusan yang tiba-tiba ini menimbulkan berjuta pertanyaan yang membuatnya bingung. Ia harus menemukan jawabannya.
“Ayna, sayangku.. ibu tahu kamu banyak berkorban untuk ibu. Ibu tahu bahwa ibu ini sangat keterlaluan. Kasih sayang kamu selama ini, membuat ibu sangat bahagia. Ibu sadar bahwa ibu telah melakukan hal yang sangat membuat kamu menderita.”
“Ibu... tidak... sungguh Ayna melakukannya dengan ikhlas.”
“Ibu tahu.. ibu tahu.. dan ibu bahagia sudah mendapatkan semuanya. Ibu tak ingin memperpanjang derita kamu..”
“Ayna tidak menderita..”
“Baiklah.. anak baik, tidak salah ibu menyayangi kamu. Tetaplah menjadi anakku, walau kita berada ditempat yang berbeda,” kata bu Tarni sambil memeluk Ayna dengan linangan air mata.
“Ibu tak ingin melihat air mata kamu lagi,” bisik bu Tarni kemudian melepaskan pelukannya, lalu naik kedalam mobil Arsi yang sudah menunggunya.
“Besok ibu akan mengantarkan kemari baju-baju kamu,” sambungnya sebelum menutupkan pintu mobilnya.
Ayna masih tegak terpaku, ketika mulutnya terbuka untuk menjawab, mobil itu sudah hilang dibalik gerbang.
“IBU TAK INGIN MELIHAT AIR MATA KAMU LAGI” .. apa maksudnya? Apakah sebenarnya bu Tarni selalu melihat ketika diam-diam dia menitikkan air mata? Apakah bu Tarni merasa bahwa aku sudah jenuh melayaninya sehingga sering menitikkan air mata? Lalu timbul kesadarannya akan perbuatannya yang keterlaluan? Sungguh aku melakukannya dengan ikhlas, sungguh aku tak ingin melukainya. Tapi tadi dia mengatakannya dengan tulus,” gumamnya sambil terus menatap kearah jalan.
“Ayna..”
Ayna menoleh, dilihatnya Bintang berdiri dibelakangnya. Ayna membalikkan tubuhnya, mengusap setitik air matanya yang meleleh.
“Ada apa?”
“Semoga ini sebuah pertanda baik,” bisik Ayna.
“Tiba-tiba bu Tarni menyadari kesalahannya?”
“Semoga ini benar.. aku hampir tak percaya mas..”
“Syukurlah... ayo masuk.. masih rame didalam.. tapi aku bahagia seandainya ini benar.”
***
Dalam perjalanan pulang, Arsi duduk dijok belakang, menemani bu Tarni. Arsi juga heran mendengar bu Tarni membiarkan Ayna pulang.
“Ibu..mengapa tiba-tiba ibu memutuskan itu ?”
“Memutuskan apa? Menyuruh Ayna kembali ke rumah Tanti?”
“Iya, saya pikir ibu marah sama Ayna..”
“Ya Tuhan, hanya orang yang tidak waras yang bisa memarahi gadis sebaik Ayna..” kata bu Tarni seperti bergumam.
“Dia banyak berkorban untuk ibu. Hanya untuk menenangkan dan menyenangkan hati ibu, dia rela mengorbankan perasaannya. Ibu merasa berdosa...” lanjut bu Tarni yang kemudian diiringi isak.
“Ibu...” Arsi mengelus tangan bu Tarni lembut.
“Dia selalu tersenyum dihadapan ibu, selalu mengucapkan kata-kata lembut, selalu menuruti kemauan ibu, agar ibu senang, agar ibu bahagia, tapi.. ibu melihat dia sering menitikkan air mata, tapi selalu disembunyikannya.”
“Benarkah ?”
“Air mata itu membuat ibu merasa berdosa. Anak baik dan berhati mulia itu tak harus menderita karena kemauan ibu. Ibu bersalah. Dia gadis luar biasa, Arsi, dia berhak bahagia, berhak mentukan jalan hidupnya sendiri, bukan hanya untuk menyenangkan hati ibu.”
Bu Tarni terus terisak, Arsi memeluknya erat.
“Sudahlah ibu, bagus sekali ibu bisa memutuskan sesuatu yang bisa membahagiakan orang lain . Arsi percaya bahwa Ayna masih akan selalu menyayangi ibu.”
***
“Ini luar biasa,” kata Danang pagi hari itu ketika sedang sarapan.
“Dari kemarin bilang itu terus..” kata Tanti menimpali.
“Aku sudah khawatir, Ayna akan tetap diminta agar tinggal bersamanya, karena dia juga merasa berbuat baik dengan menolong Ayna kala itu. Tapi kemarin dia justru minta agar Ayna tetap tingal disini.
“Lama-lama dia merasa bersalah. Kebaikan Ayna lah yang menyadarkannya,” sambung bu Suprih.
“Ibu benar bu.”
“Aku senang bisa menikmati masakan Ayna lagi.”
“Itulah..”
“Mungkin bu Tarni sering memergoki ketika saya menangis sendirian,” kata Ayna.
“Kamu sering menangis sendirian?”
“Iya bu, sedih dong, harus meninggalkan rumah ini, dan berpura-pura setiap hari hanya untuk menyenangkan bu Tarni.”
“Benar, mungkin lama kelamaan dia sadar bahwa telah membuat orang lain menderita,” kata Danang lagi.
“Semoga dia benar-benar sadar.. Kapan-kapan aku mau dolan kesana, barangkali dia akan cerita lebih banyak.”
“Kamu jangan terlalu capek, kalau mau kesana, ajak ibu atau Ayna, dan jangan lama-lama.”
“Iya mas, nanti aku ajak ibu sama Ayna. Sekarang kita juga harus memikirkan rencana pernikahan Ayna lho mas, Bintang maunya cepet-cepet tuh.”
“Ibu, Menurut Ayna, pernikahan itu dilakukan sederhana saja ya, saya punya sedikit tabungan, barangkali kalau nikah sederhana akan cukup.”
“Kamu itu ngomong apa. Yang mau mantu itu kan aku, mengapa kamu harus membuka tabungan kamu? Tidak Ayna, aku sama ibu sudah memikirkannya. Sederhana atau tidak itu kamu tidak usah memikirkannya,” kata Danang.
“Bapak.. Ayna tidak mau menyusahkan bapak sama ibu.”
“Ayna, kamu itu anak kami, mana ada orang tua susah hanya karena mengentaskan seorang anak.”
“Ibu...”
“Ssst... diam sayang, habiskan makananmu, supaya kamu tidak terlambat masuk kerja,” kata Tanti sambil tersenyum.
***
“Resepsi pernikahan itu diadakan oleh kami berdua, ya kan mas? Maksudnya, keluarga Danang dan kita.”
“Iya benar.. tidak usah repot diselenggarakan dua kali.”
“Tadi Tanti bilang bahwa Ayna minta diadakan sederhana, dengan tabungannya sendiri.”
“Aduh, anak itu.. begitu santun dan rendah hati. Dia tak mau menyusahkan orang lain, tapi dia rela berkorban untuk orang lain.”
“Nanti Bulan sama mas Nanda akan jadi pendamping pengantin, ya kan mas?”
“Iya.. siapa lagi?” kata Bintang.
“Tapi awas ya, jangan mengacak rambut aku sa’at kamu menikah nanti.”
Bintang tertawa keras.
“Ya pasti lah, sekarang saja aku puas-puasin mengacak rambut kamu, kan kalau sudah menikah aku akan jarang ketemu kamu.”
“Lho, Bintang mau tinggal dimana ?”
“Bintang kan sudah punya rumah sendiri bu, tapi masih akan kemari setiap hari, bukankah Bintang masih boleh praktek disini?”
“Ya pasti boleh nak, justru maksud ibu kamu tidak usah pindah, tetaplah tinggal disini. Kan pavilyun tempat kamu praktek cukup luas kalian tinggali. Iya kan mas?” kata Palupi.
“Iya.. dan jangan takut aku akan mengintip-intip kesitu. Tabu, tahu!” kata Bulan yang disambut tertawa semuanya.
“Memangnya kamu mau mengintip apaan Bulan?” tanya Handoko.
“Nggak tahu, biasanya kalau pengantin baru kan tidak suka diintip-intip.”
“Bulan itu kan juga sudah kepengin nikah pak.. ya sudah lah.. segera nikahkan saja,” ledek Bintang,
“Eh, enak saja.. siapa yang kepengin..”
“Bukannya kamu sudah ngebet ?”
“Nggaaak.. mas Nanda tuh yang ngebet.. aku santai kok.”
“Ya sudah, Bulan segera selesaikan kuliah kamu.. duuh.. nggak lama lagi kita hanya berdua saja ya mas.. “
“Begitulah yang namanya orang tua. Kalau anak-anak kita sudah menemukan jodohnya, orang tua tinggal berdua saja.”
“Bapak sama ibu kok jadi sedih begitu.. Ya sudah. Bintang nggak jadi pindah rumah deh.. tetap disini.. biar bisa ngacak rambut Bulan setiap hari..”
“Weee... enak aja.. Aku nggak mau, besok aku kalau menikah harus pindah dari sini, bisa habis rambutku diacak-acak oleh dia.”
Kalau sudah begitu, Palupi dan Handoko hanya tertawa, dan geleng-geleng kepala.
“Ya sudah pak, bu, Bintang mau berangkat sekarang saja.”
“O, mau nyamperin calon isteri dulu nih..”
“Iya lah.. weee..” kata Bintang yang siap mengacak rambut Bulan, tapi Bulan sudah siap berdiri dan bersembunyi disamping ayahnya.
***
“Ibuuu...” teriak Ayna begitu memasuki rumah bu Tarni.
“Ayna ? Kamu sendirian ?”
“Tidak bu, sama mas Bintang dan ibu Tanti. Tuh..” kata Ayna sambil menunjuk kearah Tanti dan Bintang yang datang belakangan.
“Riri.. apa kabar kamu?”
“Aku baik, Tanti.. ini barusan memasukkan baju-baju Ayna kedalam kopor kecil, maksudku besok mau kerumah kamu mengantar ini.”
“Ibu, biarkan saja baju Ayna disini, bukankah Ayna masih boleh datang kemari?”
“Tentu saja boleh Ayna, tapi kalau kamu sudah menikah, mana bisa menginap disini. Nanti suami kamu kesepian kamu tinggal sendiri.”
“Ah ibu, ada-ada saja..”
“Ya sudah, ayo duduklah dulu..wahh.. rumahku masih berantakan.”
“Tidak apa-apa.. rumah begini bersih dibilang berantakan. Ini tadi Bintang mau menjemput Ayna yang katanya.. Ayna mau kemari, lalu aku ikut, karena kangen sama kamu juga,”
“Sama, aku juga kangen. Jadinya kapan Ayna menikah ?”
“Sudah tinggal tiga minggu lagi Riri, jangan lupa kamu harus menunggui dia menikah. Kamu kan juga ibunya.”
“Iya, tentu saja.”
“Aku sudah membeli kain untuk kebaya, nanti kamu sama aku pakai baju kembaran ya. mBak Palupi juga. Ini dia...” kata Tanti sambil memberikan sebuah bungkusan. Bu Tarni membukanya, dan wajahnya berseri.
“Aduuh, ini bagus sekali.. warna hijau aku suka..”
“Ma’af agak terlambat mengantar kemari.. bisa kan penjahit kamu menjahit cepat? Kalau tidak biar aku bawa saja ke penjahit langganan aku.”
“Nggak usah, aku punya.. masih tiga minggu.. biasanya seminggu juga bisa.”
“Syukurlah. Nanti untuk Arsi dan Bulan sama adiknya Nanda.. ada sendiri, mereka juga kembaran.”
“Duuh, itu kan calon-calon pengantin juga..”
Bintang dan Ayna lebih banyak diam mendengarkan celoteh dua sahabat itu. Ayna bersyukur, bu Tarni baik-baik saja, dan ternyata tulus ketika memintanya kembali kepada keluarga Danang.
***
Sa’at yang membahagiakan itu akhirnya tiba. Rupanya keluarga Handoko dan Danang mengadakan pesta yang sangat meriah, disebuah gedung yang mewah. Ayna sangat terharu. Ia yang seorang yatim piatu, mendapatkan kasih sayang yang sangat besar dari orang-orang disekitarnya. Pernikahan sederhana yang diinginkannya, tak bisa terlaksana, berganti dengan sebuah resepsi yang sangat meriah yang tak pernah dibayangkannya sebelumnya.
Sang perias mendandaninya dengan sangat apik dan menambah kecantikannya. Bersanding dengan rona bahagia, sepasang pengantin tampak bagaikan Arjuna dan Dewi Sembadra. Oh bukan, Sembadra itu konon kulitnya hitam manis, sedangkan kulit Ayna bersih bagai pualam ditatah. Aduhai, seperti Kamajaya dan Kamaratih.. atau Arjuna dan Dewi Supraba. Apalah namanya, yang jelas keduanya memang mempesona. Bahtera cinta itu telah berlabuh disebuah muara.
Tiba-tiba saja Ayna teringat akan ibunya yang sudah tiada. Alangkah bahagianya seandainya bisa menyaksikan pernikahan anak semata wayangnya yang gemerlap bagai langit penuh bintang. Ayna mengusap setitik air matanya. Bintang yang melihatnya segera mengusap dengan jemarinya.
“Jangan menitikkan air mata, kecuali air mata bahagia,” bisik Bintang ditelinga isterinya. Ayna tersenyum dan Bintang ingin pesta segera berakhir, agar dia bisa merengkuh isterinya, mendekapnya didadanya, mendendangkan kidung-kidung dari relung hati yang penuh gemuruh cinta ditelinga isterinya.
“Aku sangat bahagia..” balas Ayna melalui bibir tipis yang selalu membuat Bintang terpesona
Ayna melihat, dideretan kursi terdepan, bu Tarni yang memakai baju kembar dengan bu Danang, melambaikan tangannya kearahnya.
Ayna merangkapkan kedua belah tangannya sambil mengangguk.
Ada rona bahagia dimata bu Tarni, yang membuatnya terharu. Sesungguhnyalah bahwa bu Tarni yang telah menghidupkannya kembali dari papa yang disandangnya ketika itu.
Ada rona bahagia dimata bu Tarni, yang membuatnya terharu. Sesungguhnyalah bahwa bu Tarni yang telah menghidupkannya kembali dari papa yang disandangnya ketika itu.
Terbayang kembali ketika dia terjatuh didepan warung bu Tarni, dalam jiwa yang kosong dan raga yang gersang dari kehidupan. Itu sebabnya Ayna rela berkorban untuknya, dan bukan sekedar membuatnya senang ketika setiap kali dia mengatakan bahwa dia menyayanginya.
Ia juga menatap ke arah Tanti yang mengentaskannya dari derita hidup ketika ayah tirinya hampir menerkamnya, sa’at dia tak tahu harus berlindung kepada siapa.
Ia juga menatap ke arah Tanti yang mengentaskannya dari derita hidup ketika ayah tirinya hampir menerkamnya, sa’at dia tak tahu harus berlindung kepada siapa.
Begitu sayangnya Tanti kepada dirinya, sehingga mengangkatnya menjadi anak yang dikasihinya bak anak yang dilahirkannya.
Aduhai.. Ayna sibuh mengurai perjalanan hidupnya yang penuh liku dan warna.
Aduhai.. Ayna sibuh mengurai perjalanan hidupnya yang penuh liku dan warna.
Ada duka, ada derita, dan ada bahagia ketika menemukan seorang laki-laki ganteng yang selalu menjaga dan mencintainya, yang sekarang duduk disampingnya, dan seringkali menatapnya dengan pandang bahagia.
Ia hampir tertawa keras ketika Bintang membisikkan sebuah kalimat ditelinganya.
“Ayna, maukah kamu mengusir semua tamu agar segera pulang?”
Ayna menahan tawanya. Ia tahu suaminya hanya bercanda. Ia mengangkat sebelah tangannya untuk menutupi tawa kerasnya.
Akhirnya acara itu usai, dan satu persatu tamu menyalami kedua mempelai, Ketika tiba giliran Nanda dan Bulan, Bintang tak bisa menahan ketawanya.
“Hei, jangan bilang kalian berdo’a dalam hati agar tamu-tamu lekas pulang,” bisik Nanda ditelinga Bintang. Tentu saja Bintang tertawa. Kata-kata itu belum lama dibisikkannya ketelinga Ayna.
Ayna mencubit lengan Bintang karena tertawa terlampau keras.
Namun ketika tamu yang menyalami hampir habis, tiba-tiba Ayna melihat seorang laki-laki separuh baya mendekat. Wajahnya kurus dan pucat. Seorang laki-laki yang masih muda menuntunnya, karena laki-laki setengah tua itu berjalan tertatih.
Ayna hampir tak mengenalinya.
“Ayna..” suara laki-laki itu gemetar, sambil mengulurkan tangannya.
“Bapak ?” Ayna mengenali ayah tirinya, yang tampak jauh lebih tua dari sebelumnya. Ketika tangan Sarjono terulur, Ayna merasakan bawa tangan itu sangat panas.
“Aku datang untuk mengucapkan selamat..”
“Terimakasih..”
“Dan aku juga ingin kamu mema’afkan aku..”
“Saya sudah melupakannya. Bapak sakit?”
“Ya mbak, dia sakit. Tadi dia memaksa untuk datang kemari, hanya untuk mengucapkan selamat dan minta ma’af,” kata laki-laki yang mengantarnya, yang berambut cepak, dan melihat potongannya sepertinya dia polisi berpakaian preman.
“Oh.. semoga bapak segera sembuh,” bisik Ayna yang merasa kasihan melihat keadaan Sarjono.
Bintang yang juga menerima salam dari Sarjono, mengerti bahwa Sarjono sakit keras.
“Bapak, segera bapak kerumah sakit ya..” kata Bintang.
Laki-laki yang mengantar Sarjono mengangguk, lalu menuntun Sarjono perlahan keluar dari ruang gedung yang sudah agak berkurang pengunjungnya.
***
Hari itu Ayna dan Bintang sedang duduk diruang tunggu rumah sakit. Danang baru saja menemui dokter kandungan, menandatangani surat persetujuan operasi untuk Tanti yang mau melahirkan.
Karena usia, dokter memutuskan agar kelahiran bayi Tanti dilakukan dengan operasi caesar. Ayna berdebar menunggu. Tak sepatah katapun diucapkan karena dia sibuk berdo’a untuk keselamatan ibu angkat dan bayinya.
“Tenang ya.. adik kamu akan lahir dengan selamat. Tak ada masalah dengan kesehatan mereka,” kata Bintang.
Danang duduk disamping Bintang. Iapun tampak tegang.
Lalu tiba-tiba sebuah lengkingan keras terdengar. Danang bangkit dari duduknya, mendekat kearah pintu ruang operasi, Bintang dan Ayna mengikuti.
Bintang menggenggam tangan Ayna yang terasa dingin.
“Tenanglah..”
Tak lama kemudian pintu itu terbuka, dokter yang mengoperasi Tanti keluar.
“Pak Danang? Selamat ya, anak bapak laki-laki.”
Danang hampir melonjak kegirangan.
“Bagaimana isteri saya?”
“Bayi dan ibunya sehat. Tunggu sebentar, sedang dibersihkan,” kata dokter sambil berlalu.
Ayna merabahkan kepalanya didada Bintang yang memeluknya.
“Aku punya adik laki-laki,” bisiknya sambil berlinang air mata.
“Aku akan memberikan kamu adik yang lain,” bisik Bintang sambil mengelus perut isterinya.
Bahagia itu bagai gemerlapnya kejora dipagi hari. Tak lelah berkedip, dan hanya beristirahat ketika matahari meminjam singgasananya.
Nanti dia akan datang lagi, dan datang lagi.
Ia hampir tertawa keras ketika Bintang membisikkan sebuah kalimat ditelinganya.
“Ayna, maukah kamu mengusir semua tamu agar segera pulang?”
Ayna menahan tawanya. Ia tahu suaminya hanya bercanda. Ia mengangkat sebelah tangannya untuk menutupi tawa kerasnya.
Akhirnya acara itu usai, dan satu persatu tamu menyalami kedua mempelai, Ketika tiba giliran Nanda dan Bulan, Bintang tak bisa menahan ketawanya.
“Hei, jangan bilang kalian berdo’a dalam hati agar tamu-tamu lekas pulang,” bisik Nanda ditelinga Bintang. Tentu saja Bintang tertawa. Kata-kata itu belum lama dibisikkannya ketelinga Ayna.
Ayna mencubit lengan Bintang karena tertawa terlampau keras.
Namun ketika tamu yang menyalami hampir habis, tiba-tiba Ayna melihat seorang laki-laki separuh baya mendekat. Wajahnya kurus dan pucat. Seorang laki-laki yang masih muda menuntunnya, karena laki-laki setengah tua itu berjalan tertatih.
Ayna hampir tak mengenalinya.
“Ayna..” suara laki-laki itu gemetar, sambil mengulurkan tangannya.
“Bapak ?” Ayna mengenali ayah tirinya, yang tampak jauh lebih tua dari sebelumnya. Ketika tangan Sarjono terulur, Ayna merasakan bawa tangan itu sangat panas.
“Aku datang untuk mengucapkan selamat..”
“Terimakasih..”
“Dan aku juga ingin kamu mema’afkan aku..”
“Saya sudah melupakannya. Bapak sakit?”
“Ya mbak, dia sakit. Tadi dia memaksa untuk datang kemari, hanya untuk mengucapkan selamat dan minta ma’af,” kata laki-laki yang mengantarnya, yang berambut cepak, dan melihat potongannya sepertinya dia polisi berpakaian preman.
“Oh.. semoga bapak segera sembuh,” bisik Ayna yang merasa kasihan melihat keadaan Sarjono.
Bintang yang juga menerima salam dari Sarjono, mengerti bahwa Sarjono sakit keras.
“Bapak, segera bapak kerumah sakit ya..” kata Bintang.
Laki-laki yang mengantar Sarjono mengangguk, lalu menuntun Sarjono perlahan keluar dari ruang gedung yang sudah agak berkurang pengunjungnya.
***
Hari itu Ayna dan Bintang sedang duduk diruang tunggu rumah sakit. Danang baru saja menemui dokter kandungan, menandatangani surat persetujuan operasi untuk Tanti yang mau melahirkan.
Karena usia, dokter memutuskan agar kelahiran bayi Tanti dilakukan dengan operasi caesar. Ayna berdebar menunggu. Tak sepatah katapun diucapkan karena dia sibuk berdo’a untuk keselamatan ibu angkat dan bayinya.
“Tenang ya.. adik kamu akan lahir dengan selamat. Tak ada masalah dengan kesehatan mereka,” kata Bintang.
Danang duduk disamping Bintang. Iapun tampak tegang.
Lalu tiba-tiba sebuah lengkingan keras terdengar. Danang bangkit dari duduknya, mendekat kearah pintu ruang operasi, Bintang dan Ayna mengikuti.
Bintang menggenggam tangan Ayna yang terasa dingin.
“Tenanglah..”
Tak lama kemudian pintu itu terbuka, dokter yang mengoperasi Tanti keluar.
“Pak Danang? Selamat ya, anak bapak laki-laki.”
Danang hampir melonjak kegirangan.
“Bagaimana isteri saya?”
“Bayi dan ibunya sehat. Tunggu sebentar, sedang dibersihkan,” kata dokter sambil berlalu.
Ayna merabahkan kepalanya didada Bintang yang memeluknya.
“Aku punya adik laki-laki,” bisiknya sambil berlinang air mata.
“Aku akan memberikan kamu adik yang lain,” bisik Bintang sambil mengelus perut isterinya.
Bahagia itu bagai gemerlapnya kejora dipagi hari. Tak lelah berkedip, dan hanya beristirahat ketika matahari meminjam singgasananya.
Nanti dia akan datang lagi, dan datang lagi.
--- T A M A T ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel