Cerita bersambung
Fajar dan Fira sudah bersiap untuk kembali ke Jogja.
Pada saat yang sama, sebuah mobil berhenti di depan gerbang.
Keluar dua orang remaja seusia SMP dan seorang gadis yang tampak seperti anak kuliahan beranjak masuk dan menyapa Fira.
"Mbak Fira....!" Dua remaja itu berteriak menghambur ke arah Fira.
"Udah lama sampai, Dik.....?" Sapa gadis yang tampak seperti anak kuliahan itu.
Fajar cuma mengamati mereka semua yang bercanda akrab.
Hanya saja timbul rasa penasaran di benaknya.
Panggilan antar mereka sangat aneh.
Lebih aneh lagi saat Fajar melihat lelaki yang menurut taksirannya berusia setengah abad lebih turun dari mobil dan dipanggil 'papah' oleh ketiga gadis itu, sementara gadis kuliahan itu memanggil bulik Ndari dengan sebutan 'bulik'.
Tapi Fajar mencoba menekan rasa penasarannya, pikirnya nanti saja ditanyakan pada Fira saat mereka hanya tinggal berdua saja.
"Ini calon suami mbak Fira", Kata bulik Ndari tiba-tiba, membuat Fajar tersentak.
Refleks ia melirik Fira dan melihat gadis itu hanya tersenyum tanpa menyangkal.
Rona bahagia jelas terpanacar di wajah Fajar karena Fira sudah mulai mengakui dirinya sebagai calon suami di hadapan keluarga besarnya.
●●●
Fira duduk tenang di sebelah Fajar yang mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang.
Tak ada pembicaraan diantara mereka.
Mungkin saja masih canggung.
Beberapa kali Fajar mencuri pandang ke arah Fira.
Ia sebenarnya ingin mengobrol, tapi ragu untuk memulai.
"Fir, Mas mau tanya boleh...? Tapi maaf kalau ini menyinggung. Mas cuma penasaran sih. Tapi kalau nggak mau jawab ya nggak apa-apa",
Fajar akhirnya angkat bicara.
Memecah kesunyian dianta mereka berdua.
"Ya....? Tanya aja, Mas. Nggak apa-apa kok", Jawab Fira datar.
"Ehm, soal bulik Ndari ...",
Fajar terdiam sejenak.
Ia ragu-ragu.
Takut kalau Fira akan tersinggung.
"Sudah kuduga. Orang sepintar Mas Fajar pasti akan menemukan keanehan dari sapaan panggilan mereka", Fira berkata sambil tersenyum kecut.
"Pakdhe Tono itu turun ranjang, Mas. Beliau sebenernya suami budhe Nani, kakaknya bapak. Tapi budhe Nani meninggal saat mbak Wendy masih kecil. Trus akhire pakdhe Tono nikah sama bulik Ndari, dan punya anak si Winda dan Westy itu", Jelas Fira.
"Karena wasiat juga...?"
Spontan Fajar bertanya lagi.
Fira setengah tertawa mendengar pertanyaan Fajar.
Jawabnya, "Nggak, Mas...........! Inisiatif mereka sendiri. Nggak semua istri yang meninggal berwasiat kan...? Fira juga nggak tahu sih, kok bisa ketemu Mas di makam dan malah ngajak Mas ke rumah bulik Ndari. Yaa mungkin takdir Alloh. Fira tadi dinasehatin bulik Ndari panjang lebar soal kenangan mantan istri yang sudah wafat, juga tentang suka duka ngasuh anak tiri ...."
Pandangan Fira menerawang jauh saat mengucapkan kalimatnya.
Jelas ia merasa beban berat itu akan menantinya setelah menjadi istri Fajar.
"Fira ...."
Fajar segera menepikan mobil.
Ia merasa harus berbicara serius dengan Fira.
"Fira, Mas paham perasaanmu. Menikahi duda beranak satu seperti Mas ini jelas sangat berat buatmu.
Semua hal tentangmu pasti akan dibandingkan dengan almarhumah. Tapi pegang janji Mas...! Mas nggak akan pernah membandingkan kalian berdua. Almarhumah jelas memiliki tempat istimewa di hati Mas. Begitu juga Fira, kalau nanti sudah resmi jadi istri Mas, Fira pasti punya tempat istimewa dalam setiap sendi kehidupan Mas. Soal pendidikan anak, Mas percaya tak ada yang lebih pantas jadi ibu Naysilla selain Fira. Bahkan Mas yang ayah kandungnya saja tak ada apa-apanya dibanding Fira dalam hal mengasuh Naysilla", Ucap Fajar panjang lebar.
Ia menatap lekat ke arah calon istrinya, mencoba meyakinkan gadis itu.
"Mas Fajar lebay ah", Fira tertawa mendengar perkataan Fajar.
Sebuah tawa yang sebenarnya dipaksakan.
Jauh di lubuk hatinya sangat tersiksa memikirkam sengkarut masalahnya.
"Nggak gitu, Fir......! Mas cuma pengen meyakinkan Fira kalau Mas bukan orang seperti yang Fira bilang. Mas nggak pernah main-main dengan pernikahan. Maaf kalau wasiat almarhumah memberatkanmu, Fir. Kalau Fira mau membatalkan niat untuk jadi istri Mas, belum terlambat kok.
Mas nggak ingin Fira menyesal. Mas tahu siapa yang dicintai Fira ...",
Sedikit sesak dada Fajar saat mengucapkan kalimat terakhir itu.
"Nggak, Mas......! Keputusan Fira sudah bulat. Seandainya tidak ada wasiat dari Ifah, mungkin Fira juga akan tetap menikah dengan Mas jika Mas minta. Demi Naysilla. Seperti bulik Ndari yang menikahi pakdhe Tono karena tidak tega jika mbak Wendy memiliki ibu tiri yang belum tentu tulus menyayanginya", tak terasa air mata Fira meleleh saat mengucapkan kalimatnya.
"Mas.......! Sebelum Mas salah paham, Fira mau bilang kalau Fira mau jadi istri Mas karena Naysilla.
Soal rasa, Mas tahu sendiri siapa laki-laki yang sangat Fira cintai. Maaf, Mas, mungkin sulit sekali bagi Fira untuk mencintai Mas seperti halnya Fira mencintai Mas Raffi."
Lirih perkaataan Fira, sesaat kemudian diikuti isakan tangis.
Teriris hati Fajar mendengar pengakuan Fira.
Tapi segera ditepisnya perasaan itu.
Bukankah ia sudah tahu isi hati Fira yang sebenarnya.
"Fir, Mas paham kalau semua yang kamu lakukan adalah demi Naysilla. Mas nggak akan maksa Fira untuk segera mencintai Mas. Tapi Mas janji, Fir. Mas akan berusaha mencintaimu seperti Mas mencintai Ifah", Ucap Fajar tulus.
Fira tidak menjawab lagi.
Ia justru meminta Fajar untuk menjalankan mobilnya kembali.
Sejujurnya ia tidak mau membicarakan lagi urusan cinta dan perasaan.
Hal itu dirasakannya seperti menabur garam pada luka yang menganga.
Perih tak terkira.
Fajar pun akur dengan kemauan Fira.
Keduanya kembali larut dalam keheningan.
"Fir, Mas tanya lagi boleh...?"
Fajar kembali angkat bicara.
Canggung juga rasanya semobil berdua tapi saling mendiamkan.
"Boleh...., Mas. Tapi please jangan ungkit soal perasaan Fira. Mas jelas paham, jadi jangan pura-pura nggak tahu...!"
Kilatan sengit tampak di mata Fira.
"Nggak kok. Ini soal cita-cita masa depanmu. Maksud Mas, kalau memang Fira nantinya sudah jadi istri Mas, kan Mas bisa bantu kalau ada hal yang ingin Fira capai", Fajar berkata dengan nada selembut mungkin.
"Ifah dulu pernah cerita kalau Fira sebenernya pengen jadi dokter obsgyn konsultan fertilitas. Tapi bapakmu tidak mengizinkan karena dokter obsgyn jelas waktunya banyak terkuras untuk pasiennya.
Terus Fira diharapkan untuk jadi internist seperti bapakmu. Bener kan...?"
"Ifah cerita banyak ya sama Mas soal Fira. Bener sih, Mas. Emang Fira pengen banget jadi konsultan fertilitas. Suka aja sama ilmunya. Dan pasti seneng banget rasanya bisa bantu orang yang susah punya anak. Tapi yaaa, kayaknya nggak mungkin, Mas. Nggak sanggup saya jadi Obsgin yang kegawatannya beneran nggak bisa ditunda. Masak iya orang mau lahiran disuruh tunda nanti. Jadi mau nggak mau kan dokter Obsgyn harus standby siap on call kapanpun.
Nyerah deh, Mas. Kalau banyak wanita yang sanggup multitasking antara ngurus pasien dan keluarga ya monggo aja. Tapi Fira nggak sanggup ...."
"Kalau internis gimana...? Maksud Mas kalau emang Fira pengen internis ya nggak apa-apa sih. Kan kegawatannya jauh lebih sedikit timbang spesialis yang bau OK. Ga ada tindakan emergency juga.
Misal pungsi ascites kan juga bisa ditunda. Kalau misalnya Fira pengen jadi internis, Mas nggak keberatan kok. Fira nggak usah maksa untuk jadi PK, PA, atau rehab medis kalau emang nggak suka."
"Nggak, Mas......! Naysilla berkebutuhan khusus. Fira harus mengutamakan dia. Fira pikir malah Fira akan nunda ambil spesialis. Setidaknya sampai Nay usia sekolah dan bisa sedikit mandiri. Internis sekolahnya juga berat kan, Mas. Bisa beberapa hari nggak pulang. Dan kalau pasiennya udah banyak kayak bapak itu ya waktunya habis buat pasien. Kasihan Nay kalau kurang perhatian. Mas Fajar sendiri jelas sibuk. Kalau Fira ikut sibuk, apa gunanya Fira nikah sama Mas. Niat Fira kan emang mau ngasuh Naysilla. Mas Fajar nggak usah khawatir, saya pasti akan mendidik Naysilla dengan baik. Biar dia jadi tabungan amal jariyah untuk almarhumah mamahnya ...."
Fajar tercekat mendengar ungkapan Fira.
Pengorbanan gadis itu begitu besar untuk Naysilla.
"Fira, Sayang, Mas janji akan membahagiakanmu ...."
Pendek saja kalimat Fajar, tapi sudah mampu membuat Fira meremang.
Memang ia berjanji akan menjadi ibu bagi Naysilla.
Tapi untuk melaksanakan tanggung jawab sepenuhnya sebagai istri, rasanya Fira belum sanggup.
Dan entah sampai kapan Fira bisa menghapus cintanya untuk Raffi.
Drrt ... drrt ...
Getar ponsel mengagetkan Fira.
Ia segera merogoh ponsel di sakunya.
Nama yang tertera di layar ponsel sungguh membuat hatinya sedikit bergolak.
"Mas Raffi", Gumam Fira pelan.
Telinga Fajar masih cukup awas untuk mendengar gumaman Fira.
Ia sontak menoleh ke arah calon istrinya itu, beruntung mereka sedang berhenti di lampu merah.
Sementara Fira juga tak kalah bingung, ia pun menatap Fajar seolah minta persetujuan.
"Kenapa nggak cepet diangkat...? Bukankah Fira memang harus bicara sama Raffi...? Selesaikan yang harus diselesaikan, Fir...!"
Fira menuruti arahan Fajar.
Ia menekan tanda hijau pada layar ponselnya.
==========
"Hallo.....! Assalamu'alaykum, Mas Raffi." Fira akhirnya mengangkat telepon Raffi.
"Iya, Fir, apa kabar....? Maaf, Mas beneran sibuk banget, jadi baru besok bisa ke Jogja. Kamu jadi mau ketemu sama Mas..? Di mana dan jam berapa Mas ngikut aja. Besok Mas free kok, nggak ada urusan lain."
Pertemuan dengan Raffi sejujurnya sungguh membahagiakan Fira, andai saja kondisi mereka tidak seperti ini. Sekarang hanya sesak di dada dan rasa perih yang harus ditanggung Fira.
Ia mencoba menabahkan hati.
Bukankah ini pertemuan yang diharapkannya dan keputusannya untuk memilih Fajar juga atas kemauan sendiri, tanpa paksaan.
Baru saja Fira hendak menjawab pertanyaan Raffi, mendadak ponsel Fajar berbunyi nyaring dengan nada khasnya.
Pemiliknya langsung kebingungan.
Jelas paham kalau Raffi pasti mendengar dan mampu mengidentifikasi pemilik nada dering antimainstream itu.
Sementara untuk menolak panggilan jelas tidak mungkin, karena nada dering khusus itu hanya ditujukan untuk kontak konsulen.
Mau tak mau Fajar hanya membiarkan ponselnya berteriak nyaring sembari berusaha menepikan mobil secepat mungkin di tengah padatnya lalu lintas kota Klaten.
"Fir.........? Kamu sama siapa......?" Raffi bertanya, sekedar memastikan kejujuran Fira.
Padahal ia jelas tahu siapa pemilik ringtone terbsebut.
"Eh enggak, Mas. Nggak sama siapa-siapa kok. Fira lagi di Amplaz jadi kedengeran rame ya", Fira mencoba berbohong.
"Hallo.....! Assalamu'alaykum, Mas Raffi." Fira akhirnya mengangkat telepon Raffi.
"Iya, Fir, apa kabar....? Maaf, Mas beneran sibuk banget, jadi baru besok bisa ke Jogja. Kamu jadi mau ketemu sama Mas..? Di mana dan jam berapa Mas ngikut aja. Besok Mas free kok, nggak ada urusan lain."
Pertemuan dengan Raffi sejujurnya sungguh membahagiakan Fira, andai saja kondisi mereka tidak seperti ini. Sekarang hanya sesak di dada dan rasa perih yang harus ditanggung Fira.
Ia mencoba menabahkan hati.
Bukankah ini pertemuan yang diharapkannya dan keputusannya untuk memilih Fajar juga atas kemauan sendiri, tanpa paksaan.
Baru saja Fira hendak menjawab pertanyaan Raffi, mendadak ponsel Fajar berbunyi nyaring dengan nada khasnya.
Pemiliknya langsung kebingungan.
Jelas paham kalau Raffi pasti mendengar dan mampu mengidentifikasi pemilik nada dering antimainstream itu.
Sementara untuk menolak panggilan jelas tidak mungkin, karena nada dering khusus itu hanya ditujukan untuk kontak konsulen.
Mau tak mau Fajar hanya membiarkan ponselnya berteriak nyaring sembari berusaha menepikan mobil secepat mungkin di tengah padatnya lalu lintas kota Klaten.
"Fir.........? Kamu sama siapa......?" Raffi bertanya, sekedar memastikan kejujuran Fira.
Padahal ia jelas tahu siapa pemilik ringtone terbsebut.
"Eh enggak, Mas. Nggak sama siapa-siapa kok. Fira lagi di Amplaz jadi kedengeran rame ya", Fira mencoba berbohong.
Tidak sanggup rasanya jika harus berkata jujur bahwa dirinya semobil berdua dengan Fajar.
Fajar sendiri sudah melesat keluar setelah berhasil menepikan mobil.
Lelaki itu cukup tahu diri untuk tidak mengganggu momen Fira.
Lagipula menjawab telepon dari konsulen butuh 'ketenangan khusus', mengingat juga hari ini ia membolos.
Salah-salah bisa ketahuan malah dihukum tambah jaga.
Raffi yang mengetahui kalau Fira berbohong justru berusaha mengalihkan pembicaraan.
Sebenarnya ia ingin bertanya kenapa tadi panggilan teleponnya ditolak.
Tapi diurungkannya.
Terjawab sudah alasannya.
Mungkin ada pembicaraan serius antara kekasih dan sahabatnya itu yang tidak ingin diganggu.
Dan dengan semua fakta yang tersaji, Raffi jelas paham apa yang akan dibicarakan Fira dalam pertemuan mereka besok.
Ia hanya berharap untuk bisa 'kuat' setidaknya di hadapan Fira
●●●
"Fir, maaf ya.....! Mas mendadak disuruh bantuin konsulen operasi di tiga rumah sakit swasta malam ini. Mas nyopir agak ngebut ya, udah ditunggu soale. Nanti Mas turun di pinggir ring road aja, depan rumah sakitnya", Fajar berucap sambil terlihat sibuk mencari sesuatu.
"Iya nggak apa-apa, Mas. Betewe, Mas nyari apa to...? Kok heboh gitu....?"
Fira keheranan dengan tingkah Fajar yang mengubek-ubek tas selempangnya.
"Anu, itu headset sama dudukan hape. Kok nggak ada ya. Mungkin ketinggalan di mobil Mas. Haduh, padahal perlu buat balesin WA sama jaga-jaga kalau mendadak ditelepon konsulen lagi. Yaudahlah, Mas jalan ya. Nanti nepi lagi kalau ada yang whatsapp apa telepon", Fajar berkata sambil menekan pedal gas dengan sedikit kuat.
Berkejaran dengan waktu untuk keadaan emergency jelas bukan hal baru untuknya.
Baru berjalan beberapa lama, ponsel Fajar kembali berisik.
Fajar hendak menepikan mobilnya lagi.
Tapi lalu lintas sore yang padat membuatnya kesulitan.
"Udah, Mas, Fira bacain aja WA nya, nanti Mas tinggal bilang balasannya, biar Fira juga yang ketik.
Kalau dikit-dikit nepi malah tambah lama", Ucap Fira sambil meraih ponsel Fajar.
Fajar terus memacu mobil Fira dengan kecepatan tinggi, hingga tak terasa ia sudah sampai di depan rumah sakit di daerah ringroad utara.
Ia segera membelokkan mobil kemudian bersiap turun saat sampai di lobi rumah sakit.
Siapa sangka Fira justru menahannya.
"Mas pakai aja mobil Fira dulu. Biar Fira pulang naik taksi online aja. Sendowo ya nggak jauh-jauh amat dari sini", Ucap Fira sambil membereskan semua bawannya.
"Tapi, Fir ...."
"Udah nggak apa-apa, Mas....! Kan Mas harus pindah tiga rumah sakit malam ini. Butuh cepet juga.
Kasihan kalau masih harus repot-repot pesen Grab. Lagian Fira juga nggak butuh mobil, paling cuma di kost aja", Ucap Fira sambil membuka pintu mobil dan beranjak turun.
"Makasih banget ya, Fir. Besok pagi Mas balikin ke kost sebelum laporan pagi. Hati-hati di jalan ya.
Maaf Mas harus buru-buru, udah ditunggu di OK. Assalamu'alaykum."
"Wa'alaykumussalam warohmatullah", Fira menjawab salam Fajar tanpa berjabat tangan.
Ia memang menjaga pergaulannya, sebisa mungkin tidak bersentuhan kulit dengan non mahram.
Fira membuka aplikasi taksi online di ponselnya.
Sembari menunggu mobil pesanannya tiba, gadis itu kembali larut dalam lamunannya.
Yah, meminjamkan mobil pada Fajar sebenarnya hanya salah satu bentuk alibinya.
Sejujurnya ia tidak yakin untuk menyetir sendiri mengingat pikirannya yang sedang kalut.
Rencana pertemuan dengan Raffi besok jelas mengacaukan hatinya.
Rasa cintanya yang masih sangat mendalam untuk pria itu jelas membuatnya sulit berkata jujur.
Tak sanggup menyakiti pujaan hatinya yang mungkin tak akan pernah menjadi kekasih halalnya.
●●●
Raffi termenung di teras rumahnya.
Rasa perih akibat luka hatinya sungguh menyakitkan.
Mustahil untuk meredakannya dalam waktu singkat.
Kebohongan Fira membuat luka itu semakin menganga.
Jelas sudah bukan dirinya pilihan Fira.
Raffi tentu paham itu.
Bukankah dirinya sendiri yang mengajukan syarat yang hampir mustahil dipenuhi Fira.
Lalu mengapa setelah Fira memutuskan untuk tidak memilih dirinya, rasa sakit itu begtu menyiksa. Ikhlas, sebuah kata yang mudah diucapkan, tapi jelas sangat sulit untuk dijalankan.
Raffi sendiri tidak yakin apakah dirinya benar-benar ikhlas melepas Fira.
"Le.......! Kamu ngapain melamun kayak orang linglung...?" Suara Bu Nur, ibunya, mengagetkan Raffi.
Tapi ia masih bergeming dari kedudukannya.
"Tadi ibu lihat Fira sama Fajar sowan ke rumah bu Ndari. Apa Fira sudah memutuskan untuk memilih Fajar jadi calon suaminya...?"
Perkataan ibunya jelas membuat Raffi makin merana.
Ia hanya diam saja.
"Kamu sudah ikhlas sepenuhnya, Le...?" Tanya Bu Nur lagi.
Melihat anaknya sedari tadi hanya membisu, beliau justru melanjutkan dengan nasihat.
"Le, Fira itu gadis yang baik, hampir sempurna malah. Jika seorang wanita yang akan dinikahi itu dilihat dari empat hal yaitu, agama, paras, kekayaan, dan nasabnya, Fira memiliki itu semua.
Jujur Ibu juga sangat ingin Fira jadi menantu Ibu. Dan Ibu yakin dia akan jadi pendamping yang baik untukmu."
"Iya....., Bu. Tapi sepertinya Fira sudah menetapkan pilihan", Ucap Raffi lemah.
"Yakin kamu ikhlas, Le...? Ibu juga nggak habis pikir, kenapa kamu masih keras dengan syaratmu jika kamu memang mencintai Fira. Dan kamu sendiri juga tahu Fira jelas sangat berat menerima syaratmu yang baginya tidak masuk akal. Kamu punya waktu lama untuk mikir lho, Le. Dan Fira masih mau menunggumu, berharap kamu melunak. Apa namanya kalau bukan karena ia mencintaimu dan masih mengharapkanmu jadi imamnya...?"
Raffi tak sanggup menjawab kalimat ibunya.
Kekerasan hatinya terbukti menyakiti dirinya sendiri.
"Le, bukankah ibu juga berkali-kali bilang. Boleh aja kamu berharap punya istri yang total berkhidmat jadi ibu rumah tangga. Itu tidak melanggar syariah, asalkan dibicarakan di awal dan tidak ada keterpaksaan. Tapi kamu juga harus paham kalau tipe seperti yang kamu harapkan itu jelas bukan Fira.
Dia gadis yang sangat cemerlang, pendidikan tinggi, dari keluarga terpandang. Kamu mendzalimi dia jika memaksa dia hanya tinggal di rumah. Sia-sia semua jerih payahnya untuk bisa lulus dokter. Kamu jelas paham pendidikan dokter itu prosesnya lama dan butuh usaha yang sangat keras. Kalau Ibu boleh berpendapat, orang tua Fira pun sudah sangat baik masih mau menerimamu bertamu. Sementara mereka tahu, kemungkinan kamu hanya mempermainkan putrinya karena prinsip kepala batumu itu...!"
Raffi tak sanggup lagi menjawab perkataan ibunya.
Hanya tangis tertahan yang mencerminkan kesedihan mendalam atau mungkin juga penyesalan akibat keegoisan dan keras kepalanya.
"Kamu egois, Le.....! Dengan kerasnya hatimu itu, kamu pikir Fira nggak menderita...? Ibu yakin ia menangis dalam setiap doa istikhorohnya."
"Bu..........! Raffi cuma pengen istri yang kayak ibu. Bisa melayani suami kapanpun dan juga mendidik anak-anak kami kelak. Bukankah ibu itu adalah madrasah pertama untuk anak-anaknya....? Apa itu salah.....?"
"Nggak salah, Le......! Tapi jadi dzalim kalau kamu menginginkan Fira seperti maumu. Kalau kamu tetep teguh dengan prinsipmu, lepaskan Fira dari dulu...! Kamu sudah menyiksa batinnya dengan harapan palsu."
"Ibu ...."
Raffi tak sanggup lagi melanjutkan kalimatnya.
Tangis yang tadi hanya berupa isakan sekarang berubah seperti ratapan.
"Le...............! Ibu juga sudah berkali-kali bilang, to...! Kamu nya yang nggak pernah mau denger.
Sudah sadar belum kalau kamu itu lelaki berpikiran sempit...?"
Tanpa tedeng aling-aling ia mengatakan isi hatinya pada putranya.
Raffi mendongak menatap wajah ibunya yang terlihat tenang dan bijaksana.
"Maksud Ibu......?"
"Ya...! Demi nafsumu sendiri, kamu tega membelenggu cita-cita Fira....! Kamu jelas paham Le, salah satu amal jariyah itu adalah ilmu yang bermanfaat. Dokter muslimah juga salah satu profesi yang dibutuhkan umat. Fira punya kesempatan untuk mendapatkan itu semua dan kamu malah menghalanginya. Kamu ingin Fira melayanimu 24 jam, ikut kemanapun kamu pergi. Itu menghilangkan kesempatannya untuk lebih bermanfaat pada khalayak. Jangan dibandingkan dengan ibu yang cuma lulusan SMA. Bahkan bapakmu juga masih mengizinkan ibu untuk aktif di Aisyiyah, menambah ilmu agama dan sedikit menebar pengetahuan bagi orang awam."
"Tapi, Bu ...."
"Tapi apa........? Alasan kepatuhan istri dan ketimpangan status sosial itu juga mencerminkan kelemahanmu. Kamu jelas tahu Khadijah binti Khuwailid janda kaya raya dan berpengaruh. Sementara Rasulullah hanya seorang pemuda miskin yatim piatu. Lalu apa pernah Khadijah merendahkan suaminya..? Justru beliau orang yang pertama mempercayai kenabian Rasulullah dan menyerahkan seluruh hartanya untuk fii sabilillah. Kekhawatiranmu tak bisa jadi alasan. Mendidik istri menjadi shalihah itu tugas suami. Bukannya malah mengungkung kebebasan istri untuk mengembangkan potensi dirinya...!"
Raffi tak sanggup menjawab lagi.
Ia terpekur meratapi nasibnya.
Bukan kali pertama ibunya berkata seperti tadi.
Tapi selalu diabaikannya.
Ia begitu bangga menjadi seorang yang dianggap teguh memegang prinsip.
Apa mau dikata jika sikapnya itu justru jadi bumerang saat ini.
"Bu ..., kalau sekarang Raffi melunakkan hati untuk Fira, apa sudah terlambat...?" Ucap Raffi.
Akhirnya ia menyerah pada kenyataan bahwa rasa cintanya pada Fira teramat dalam.
Dan mengikhlaskan gadis pujaannya untuk sahabatnya sendiri jelas bukan perkara yang sederhana.
Bu Nur menghela nafas beberapa kali.
Dipandanginya wajah putra sulungnya yang tampak tidak karuan.
"Belum terlambat, Le....! Sepanjang Fajar belum mengkhitbah Fira secara resmi pada orang tuanya, tak ada hukum syar'i yang melarang Fira menerima pinangan lelaki lain. Tapi satu hal yang harus kamu ingat..! Pernikahan itu ibadah seumur hidup. Harus diawali dengan hal baik. Jika kamu menikung Fajar saat ini, apa kamu sanggup menerima akibatnya. Doa orang terdzalimi itu diijabah Alloh. Pikirkan baik-baik, Le....! Kali ini tolong dengarkan nasihat ibu..! Jangan salah langkah lagi....!"
Bu Nur berkata sambil mengusap pundak putranya, sebelum akhirnya kembali ke dalam rumah.
Tinggallah Raffi yang termenung sendirian.
Ia benar-benar dalam dilema.
Bersambung #11
Fajar sendiri sudah melesat keluar setelah berhasil menepikan mobil.
Lelaki itu cukup tahu diri untuk tidak mengganggu momen Fira.
Lagipula menjawab telepon dari konsulen butuh 'ketenangan khusus', mengingat juga hari ini ia membolos.
Salah-salah bisa ketahuan malah dihukum tambah jaga.
Raffi yang mengetahui kalau Fira berbohong justru berusaha mengalihkan pembicaraan.
Sebenarnya ia ingin bertanya kenapa tadi panggilan teleponnya ditolak.
Tapi diurungkannya.
Terjawab sudah alasannya.
Mungkin ada pembicaraan serius antara kekasih dan sahabatnya itu yang tidak ingin diganggu.
Dan dengan semua fakta yang tersaji, Raffi jelas paham apa yang akan dibicarakan Fira dalam pertemuan mereka besok.
Ia hanya berharap untuk bisa 'kuat' setidaknya di hadapan Fira
●●●
"Fir, maaf ya.....! Mas mendadak disuruh bantuin konsulen operasi di tiga rumah sakit swasta malam ini. Mas nyopir agak ngebut ya, udah ditunggu soale. Nanti Mas turun di pinggir ring road aja, depan rumah sakitnya", Fajar berucap sambil terlihat sibuk mencari sesuatu.
"Iya nggak apa-apa, Mas. Betewe, Mas nyari apa to...? Kok heboh gitu....?"
Fira keheranan dengan tingkah Fajar yang mengubek-ubek tas selempangnya.
"Anu, itu headset sama dudukan hape. Kok nggak ada ya. Mungkin ketinggalan di mobil Mas. Haduh, padahal perlu buat balesin WA sama jaga-jaga kalau mendadak ditelepon konsulen lagi. Yaudahlah, Mas jalan ya. Nanti nepi lagi kalau ada yang whatsapp apa telepon", Fajar berkata sambil menekan pedal gas dengan sedikit kuat.
Berkejaran dengan waktu untuk keadaan emergency jelas bukan hal baru untuknya.
Baru berjalan beberapa lama, ponsel Fajar kembali berisik.
Fajar hendak menepikan mobilnya lagi.
Tapi lalu lintas sore yang padat membuatnya kesulitan.
"Udah, Mas, Fira bacain aja WA nya, nanti Mas tinggal bilang balasannya, biar Fira juga yang ketik.
Kalau dikit-dikit nepi malah tambah lama", Ucap Fira sambil meraih ponsel Fajar.
Fajar terus memacu mobil Fira dengan kecepatan tinggi, hingga tak terasa ia sudah sampai di depan rumah sakit di daerah ringroad utara.
Ia segera membelokkan mobil kemudian bersiap turun saat sampai di lobi rumah sakit.
Siapa sangka Fira justru menahannya.
"Mas pakai aja mobil Fira dulu. Biar Fira pulang naik taksi online aja. Sendowo ya nggak jauh-jauh amat dari sini", Ucap Fira sambil membereskan semua bawannya.
"Tapi, Fir ...."
"Udah nggak apa-apa, Mas....! Kan Mas harus pindah tiga rumah sakit malam ini. Butuh cepet juga.
Kasihan kalau masih harus repot-repot pesen Grab. Lagian Fira juga nggak butuh mobil, paling cuma di kost aja", Ucap Fira sambil membuka pintu mobil dan beranjak turun.
"Makasih banget ya, Fir. Besok pagi Mas balikin ke kost sebelum laporan pagi. Hati-hati di jalan ya.
Maaf Mas harus buru-buru, udah ditunggu di OK. Assalamu'alaykum."
"Wa'alaykumussalam warohmatullah", Fira menjawab salam Fajar tanpa berjabat tangan.
Ia memang menjaga pergaulannya, sebisa mungkin tidak bersentuhan kulit dengan non mahram.
Fira membuka aplikasi taksi online di ponselnya.
Sembari menunggu mobil pesanannya tiba, gadis itu kembali larut dalam lamunannya.
Yah, meminjamkan mobil pada Fajar sebenarnya hanya salah satu bentuk alibinya.
Sejujurnya ia tidak yakin untuk menyetir sendiri mengingat pikirannya yang sedang kalut.
Rencana pertemuan dengan Raffi besok jelas mengacaukan hatinya.
Rasa cintanya yang masih sangat mendalam untuk pria itu jelas membuatnya sulit berkata jujur.
Tak sanggup menyakiti pujaan hatinya yang mungkin tak akan pernah menjadi kekasih halalnya.
●●●
Raffi termenung di teras rumahnya.
Rasa perih akibat luka hatinya sungguh menyakitkan.
Mustahil untuk meredakannya dalam waktu singkat.
Kebohongan Fira membuat luka itu semakin menganga.
Jelas sudah bukan dirinya pilihan Fira.
Raffi tentu paham itu.
Bukankah dirinya sendiri yang mengajukan syarat yang hampir mustahil dipenuhi Fira.
Lalu mengapa setelah Fira memutuskan untuk tidak memilih dirinya, rasa sakit itu begtu menyiksa. Ikhlas, sebuah kata yang mudah diucapkan, tapi jelas sangat sulit untuk dijalankan.
Raffi sendiri tidak yakin apakah dirinya benar-benar ikhlas melepas Fira.
"Le.......! Kamu ngapain melamun kayak orang linglung...?" Suara Bu Nur, ibunya, mengagetkan Raffi.
Tapi ia masih bergeming dari kedudukannya.
"Tadi ibu lihat Fira sama Fajar sowan ke rumah bu Ndari. Apa Fira sudah memutuskan untuk memilih Fajar jadi calon suaminya...?"
Perkataan ibunya jelas membuat Raffi makin merana.
Ia hanya diam saja.
"Kamu sudah ikhlas sepenuhnya, Le...?" Tanya Bu Nur lagi.
Melihat anaknya sedari tadi hanya membisu, beliau justru melanjutkan dengan nasihat.
"Le, Fira itu gadis yang baik, hampir sempurna malah. Jika seorang wanita yang akan dinikahi itu dilihat dari empat hal yaitu, agama, paras, kekayaan, dan nasabnya, Fira memiliki itu semua.
Jujur Ibu juga sangat ingin Fira jadi menantu Ibu. Dan Ibu yakin dia akan jadi pendamping yang baik untukmu."
"Iya....., Bu. Tapi sepertinya Fira sudah menetapkan pilihan", Ucap Raffi lemah.
"Yakin kamu ikhlas, Le...? Ibu juga nggak habis pikir, kenapa kamu masih keras dengan syaratmu jika kamu memang mencintai Fira. Dan kamu sendiri juga tahu Fira jelas sangat berat menerima syaratmu yang baginya tidak masuk akal. Kamu punya waktu lama untuk mikir lho, Le. Dan Fira masih mau menunggumu, berharap kamu melunak. Apa namanya kalau bukan karena ia mencintaimu dan masih mengharapkanmu jadi imamnya...?"
Raffi tak sanggup menjawab kalimat ibunya.
Kekerasan hatinya terbukti menyakiti dirinya sendiri.
"Le, bukankah ibu juga berkali-kali bilang. Boleh aja kamu berharap punya istri yang total berkhidmat jadi ibu rumah tangga. Itu tidak melanggar syariah, asalkan dibicarakan di awal dan tidak ada keterpaksaan. Tapi kamu juga harus paham kalau tipe seperti yang kamu harapkan itu jelas bukan Fira.
Dia gadis yang sangat cemerlang, pendidikan tinggi, dari keluarga terpandang. Kamu mendzalimi dia jika memaksa dia hanya tinggal di rumah. Sia-sia semua jerih payahnya untuk bisa lulus dokter. Kamu jelas paham pendidikan dokter itu prosesnya lama dan butuh usaha yang sangat keras. Kalau Ibu boleh berpendapat, orang tua Fira pun sudah sangat baik masih mau menerimamu bertamu. Sementara mereka tahu, kemungkinan kamu hanya mempermainkan putrinya karena prinsip kepala batumu itu...!"
Raffi tak sanggup lagi menjawab perkataan ibunya.
Hanya tangis tertahan yang mencerminkan kesedihan mendalam atau mungkin juga penyesalan akibat keegoisan dan keras kepalanya.
"Kamu egois, Le.....! Dengan kerasnya hatimu itu, kamu pikir Fira nggak menderita...? Ibu yakin ia menangis dalam setiap doa istikhorohnya."
"Bu..........! Raffi cuma pengen istri yang kayak ibu. Bisa melayani suami kapanpun dan juga mendidik anak-anak kami kelak. Bukankah ibu itu adalah madrasah pertama untuk anak-anaknya....? Apa itu salah.....?"
"Nggak salah, Le......! Tapi jadi dzalim kalau kamu menginginkan Fira seperti maumu. Kalau kamu tetep teguh dengan prinsipmu, lepaskan Fira dari dulu...! Kamu sudah menyiksa batinnya dengan harapan palsu."
"Ibu ...."
Raffi tak sanggup lagi melanjutkan kalimatnya.
Tangis yang tadi hanya berupa isakan sekarang berubah seperti ratapan.
"Le...............! Ibu juga sudah berkali-kali bilang, to...! Kamu nya yang nggak pernah mau denger.
Sudah sadar belum kalau kamu itu lelaki berpikiran sempit...?"
Tanpa tedeng aling-aling ia mengatakan isi hatinya pada putranya.
Raffi mendongak menatap wajah ibunya yang terlihat tenang dan bijaksana.
"Maksud Ibu......?"
"Ya...! Demi nafsumu sendiri, kamu tega membelenggu cita-cita Fira....! Kamu jelas paham Le, salah satu amal jariyah itu adalah ilmu yang bermanfaat. Dokter muslimah juga salah satu profesi yang dibutuhkan umat. Fira punya kesempatan untuk mendapatkan itu semua dan kamu malah menghalanginya. Kamu ingin Fira melayanimu 24 jam, ikut kemanapun kamu pergi. Itu menghilangkan kesempatannya untuk lebih bermanfaat pada khalayak. Jangan dibandingkan dengan ibu yang cuma lulusan SMA. Bahkan bapakmu juga masih mengizinkan ibu untuk aktif di Aisyiyah, menambah ilmu agama dan sedikit menebar pengetahuan bagi orang awam."
"Tapi, Bu ...."
"Tapi apa........? Alasan kepatuhan istri dan ketimpangan status sosial itu juga mencerminkan kelemahanmu. Kamu jelas tahu Khadijah binti Khuwailid janda kaya raya dan berpengaruh. Sementara Rasulullah hanya seorang pemuda miskin yatim piatu. Lalu apa pernah Khadijah merendahkan suaminya..? Justru beliau orang yang pertama mempercayai kenabian Rasulullah dan menyerahkan seluruh hartanya untuk fii sabilillah. Kekhawatiranmu tak bisa jadi alasan. Mendidik istri menjadi shalihah itu tugas suami. Bukannya malah mengungkung kebebasan istri untuk mengembangkan potensi dirinya...!"
Raffi tak sanggup menjawab lagi.
Ia terpekur meratapi nasibnya.
Bukan kali pertama ibunya berkata seperti tadi.
Tapi selalu diabaikannya.
Ia begitu bangga menjadi seorang yang dianggap teguh memegang prinsip.
Apa mau dikata jika sikapnya itu justru jadi bumerang saat ini.
"Bu ..., kalau sekarang Raffi melunakkan hati untuk Fira, apa sudah terlambat...?" Ucap Raffi.
Akhirnya ia menyerah pada kenyataan bahwa rasa cintanya pada Fira teramat dalam.
Dan mengikhlaskan gadis pujaannya untuk sahabatnya sendiri jelas bukan perkara yang sederhana.
Bu Nur menghela nafas beberapa kali.
Dipandanginya wajah putra sulungnya yang tampak tidak karuan.
"Belum terlambat, Le....! Sepanjang Fajar belum mengkhitbah Fira secara resmi pada orang tuanya, tak ada hukum syar'i yang melarang Fira menerima pinangan lelaki lain. Tapi satu hal yang harus kamu ingat..! Pernikahan itu ibadah seumur hidup. Harus diawali dengan hal baik. Jika kamu menikung Fajar saat ini, apa kamu sanggup menerima akibatnya. Doa orang terdzalimi itu diijabah Alloh. Pikirkan baik-baik, Le....! Kali ini tolong dengarkan nasihat ibu..! Jangan salah langkah lagi....!"
Bu Nur berkata sambil mengusap pundak putranya, sebelum akhirnya kembali ke dalam rumah.
Tinggallah Raffi yang termenung sendirian.
Ia benar-benar dalam dilema.
Bersambung #11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel