Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 29 Mei 2022

Jalan Jodoh Sang Dokter #11

Cerita bersambung

Suara hiruk pikuk mesin-mesin di ruang operasi tidak mengganggu kenikmatan Fajar menyantap mie panas di sela-sela menunggu pasien berikutnya.
Mie rebus instan dan kopi hitam selalu menjadi andalan pengisi perut di kala malam harus ada operasi emergency.
Sedikit ironis memang, seorang dokter yang mengusahakan kesehatan pasiennya tidak sempat mengurus kesehatannya sendiri.
Hanya junkfood yang jadi pengganjal perutnya.
Tapi hatinya sedikit terhibur mengingat sebentar lagi ia akan kembali beristri.
Fira, gadis shalihah yang baru saja menerima pinangannya pastilah akan membawakan bekal makanan sehat untuknya.
Tanpa sadar Fajar tersenyum sendiri membayangkan impian indah itu.

Suara ponselnya yang nyaring membuyarkan lamunan Fajar.
Masih dengan tangan kanan yang menyuap mie rebus ke mulutnya, Fajar meraih ponsel dengan tangan kirinya.
Tertera nama sahabat baiknya di layar ponsel.
Sedikit ragu ia mengangkat telepon.

"Hallo......!Assalamu'alaylum, Fi. Ada apa.........?"
"Wa'alaykumussalam. Nggak apa-apa sih, Jar. Kamu ada waktu malam ini nggak....? Aku pengen ketemu, ngobrol bentar. Penting nggak penting sih. Soal plat sama wire pesananmu itu. Aku udah dapat link distributor yang oke. Buatan India sih, jadi ya packagingnya nggak terlalu bagus. Tapi ya lebih bagus kualitasnya dari yang kemarin, you know lah buatan negara yamg kemarin itu banyak abal-abalnya."
Sengaja Raffi membicarakan bisnis.
Ia jelas mafhum kalau Fajar mungkin cari alasan untuk menolak bertemu dengannya jika ia terang-terangan mau menanyakan soal Fira.

Fajar sejujurnya paham apa sebenarnya maksud Raffi ingin bertemu dengannya.
Kalau hanya soal bisnis bisa dibicarakan lewat telepon, biasanya juga begitu.
Tapi ia tak bisa juga menolak Raffi terang-terangan.
Meskipun saat ini posisi mereka sebagai rival, tapi hubungan persahabatan mereka tak boleh rusak.

"Lha kamu di Jogja, Fi...? Di mana biar kujemput..? Aku masih ada satu operasi lagi di rumah sakit sekitar Ahmad Dahlan kok ...."
"Oh deket kok dari tempatku nginap. Biasa aku di Inna Garuda. Tak samperin ke situ aja sekalian cari angin malam. Nanti ngangkring aja ya kita. Aku dah kangen rasanya kopi joss e", Potong Raffi cepat.

Fajar mengiyakan kemauan Raffi.
Ia pun segera mematikan ponsel saat melihat pasien yang akan ia operasi sudah didorong masuk OK dan tim anestesi bersiap melaksanan tugasnya.
Buru-buru Fajar menghabiskan mie rebus dan kopinya.
Kemudian segera cuci tangan dengan prosedur aseptik dan memakai gown operasi, bersiap duduk di tempat operator menunggu kode dari tim anestesi jika pasien sudah siap iris.
●●●

Usai menjalankan kewajibannya malam ini, Fajar segera beranjak keluar ruang operasi.
Ia sempat mandi dan berganti baju sebentar tadi, sekedar menyegarkan badan.
Mengingat ia belum pulang ke rumah sejak pagi tadi.
Lelah di badannya jelas terasa.
Rutinitasnya tiap hari sungguh membosankan.
Pergi pagi buta, follow up pasien yang rencana operasi hari itu, menyiapkan bahan laporan pagi, operasi, ilmiah, gantiin konsulen di swasta, dan seabrek kegiatan yang sudah jadi kewajiban rutinnya dua tahun terakhir ini, dan tentu masih akan dilakoninya dua tahun lagi.
Jika menurut kata hatinya tentu saja terasa jenuh.
Tapi ia segera menepis rasa itu.
Pikirnya sebentar lagi ia akan kembali memiliki hidup normal dengan keluarga yang utuh.
Ada istri yang akan selalu menunggunya jika pulang malam, tentu dengan suguhan secangkir teh yang mampu menurunkan adrenalinnya yang sudah terpacu seharian.
Dan juga bayi Naysilla yang sebentar lagi diizinkan pulang dari rumah sakit.
Hari-harinya pasti akan sangat menyenangkan.
Tak terasa Fajar senyum-senyum sendiri membayangkan semua itu.

Sampai di parkiran Fajar memencet remote mobil.
Tapi baru saja ia hendak membuka pintu mobil dan menaruh bawaannya, ia dikejutkan oleh suara lelaki yang jelas tak asing lagi baginya.

"Wah, kalian sudah sedekat ini, ya...? Aku nggak nyangka Fira bisa langsung menerimamu. Aku aja yang udah sepuluh tahun deket sama dia, nggak pernah tuh dipinjemin mobil."
Entah sejak kapan berada di situ, Raffi tiba-tiba muncul di dekat mobil Fira yang terparkir manis di halaman rumah sakit.
Tatapan sinisnya membuat Fajar sedikit terintimidasi.

"Fi! Ini nggak seperti yang kamu pikirkan. Fira kasihan sama aku yang harus pindah operasi di tiga rumah sakit, jadi aku dipinjemin mobil", Fajar berusaha menjelaskan.
Tapi dipikirnya tak ada gunanya menyangkal, toh Fira sudah menetapkan pilihan untuk memilih dirinya.
Lagipula ada lubang logika yang menganga jika ia melanjutkan cerita.
Sementata Raffi adalah orang yang cerdas, berusaha membohongi sahabatnya itu jelas akan membuatnya makin penasaran.

"Gimana jadi kita ngangkring...? Ayolah masuk mobil....! Capek aku kalau suruh jalan, habis operasi maraton e", Ucap Fajar berusaha mengalihkan pembicaraan.

Raffi akur saja dengan arahan Fajar.
Ia pun berpikiran sama.
Buat apa membahas hal yang memang sudah pasti.
Kedua sahabat itu memacu mobilnya ke arah angkringan Lek Man, tempat favorit banyak orang untuk menikmati suasan malam di jalan Malioboro.
Cukup ramai memang, tapi mereka tetap bisa menemukan tempat duduk favorit yang sedikit terpisah dari kerumunan.
Mereka mengobrol seperti biasa, seolah tak pernah ada benih persaingan.
Baik Raffi maupun Fajar sama-sama saling menahan diri untuk membahas hal yang sangat sensitif itu.
Bagaimanapun persahabatan yang telah terjalin sejak SMP jelas terlalu berharga jika sampai hancur hanya karena memperebutkan seorang gadis.

"Jadi gimana kabarmu sama Fira...? Aku masih penasaran kok bisa mobil Fira kamu bawa..?"
Raffi akhirnya tak bisa menahan rasa ingin tahunya.

Fajar menatap Raffi dengan seksama.
Ada kilatan luka mendalam di balik pandangan mata sayu sahabatnya itu.
Membuat Fajar bagai menelan simalakama.
Kejujuran terlalu menyakitkan untuk Raffi, sementara kebohongan suatu saat pasti akan terbongkar dan rasanya akan jauh lebih menyesakkan.
Fajar menyesap kopinya sampai habis, hanya menyisakan bongkahan arang di dalam gelasnya.
Kopi pahit favoritnya seharusnya menjadi semakin pahit jika ditambahkan arang, ciri khas kopi joss.
Tapi justru perpaduan rasa pahit itu menciptakan sensasi rasa yang eksotis, membuat banyak penikmatnya merindu untuk merasakan lagi.
Mungkin seperti itulah kehidupan, bertubi-tubi kepahitan hidup yamg menimpa pasti akan membuat pelakonnya menjadi pribadi yang lebih berkualitas.

Diawali dengan hembusan nafas panjang, Fajar menceritakan kronologis pertemuannya dengan Fira tadi siang.
Ia memilih berkata jujur daripada harus menanggung dosa berbohong.
Hanya saja ia memilih tidak menceritakan keputusan Fira, pikirnya biarlah Fira sendiri yang akan menceritakannya pada Raffi.

"Jar! Aku besok mau nemuin Fira. Mungkin hubungan kami akan segera berakhir. Aku sadar diri, aku bukan pilihannya. Please, jaga Fira ya....! Aku yakin kamu mampu jadi imamnya. Dia wanita shalihah yang menjaga kehormatannya. Sepuluh tahun aku berhubungan dekat dengannya, tak pernah kami bersentuhan kulit dengan sengaja."
Raffi berusaha tabah saat mengucapkan kalimatnya.
Tapi suaranya yang parau membuat kesedihannya tampak nyata.
●●●

Pagi-pagi buta Fajar sudah sampai di depan kost Fira.
Lelaki itu menepati janjinya untuk mengembalikan mobil Fira.

"Makasih, Fir.....! Ini kuncinya", Ucap Fajar sambil mengulurkan kunci mobil ke arah Fira.

Fira menerima uluran tangan Fajar.
Ia hanya berbicara seperlunya, sekedar menjaga sopan santun.
Hingga akhirnya Fajar mengucapkan salam untuk berpamitan, gadis itu akhirnya memutuskan utuk berkata jujur.
Bagaimanapun lelaki yang berdiri di hadapannya itu kelak akan jadi imamnya.
Tidak baik rasanya jika ia menyembunyikan sesuatu.

"Mas Fajar..........! Errr sebenernya nanti siang saya mau ketemu Mas Raffi", Ucap Fira akhirnya.
"Oh, ya nggak apa-apa to. Kalian kan memang harus ngobrol dari hati ke hati kan", Jawab Fajar enteng.
Jelas ia tidak kaget karena sudah tahu sebelumnya.

"Fira kemarin juga dihubungi mbak Gina, katanya besok Naysilla sudah boleh pulang ...."
"Iya........! Marti juga udah ngabarin kemarin", Potong Fajar cepat.
"Ehm, maksud Fira. Habis ngantar Naysilla ke tempat Mamah, kalau Mas Fajar nggak ada urusan yang lebih penting, sekalian Mas ke rumah biar ketemu Bapak dan ngomong langsung",
Fira sedikit ragu menyampaikan maksudnya.

Fajar jelas berbunga-bunga mendengar perkataan Fira.
Tapi ia segera mampu menguasai diri.
Apalagi mengingat Fira masih bertemu Raffi nanti siang.
Semuanya jelas masih bisa berubah.

"Selesaikan dulu urusanmu dengan Raffi, Fir....! Baru kita melangkah lebih jauh. Mas nggak mau hubungan kita bertiga menjadi buruk karena soal ini. Lagipula seandainya Fira masih mau mengubah keputusan, belum terlambat kok...!"
"Nggak, Mas.....! Insyaa Allah keputusan Fira sudah mantap dan nggak akan berubah lagi."

Fajar tersenyum mendengar kalimat Fira.
Rasa bahagia bersemi di hatinya.
Dengan bijaksana ia berusaha memberikan nasihat.

"Fira, jangan pernah berjanji kalau sekiranya sulit menepati...! Mas paham perasannmu dengan Raffi, begitu pula sebaliknya. Mas jelas bahagia sekali jika Fira bersedia jadi istri Mas dan ibu bagi Naysilla.
Hanya saja Fira harus yakin dengan keputusan Fira. Nanti setelah Fira bertemu Raffi, Mas akan tanyakan lagi kemantapan hati Fira. Apapun jawaban Fira nanti, insyaa Allah, Mas akan menerima dengan ikhlas."

Fajar segera berpamitan setelah menyelesaikan bicaranya.
Meninggalkan Fira yang masih termenung berselimut kegalauan.
 
==========

Siang hari yang cerah.
Sinar mentari menerobos kaca di dinding kamar Fira.
Mencoba mengalirkan kehangatan, mungkin saja mampu mencairkan hati Fira yang beku dipenuhi kegalauan.
Pertemuan dengan Raffi yang direncanakan siang ini membuat hati Fira tidak tenang.
Ia sendiri tidak yakin akan sekuat apa jika sudah berhadapan langsung dengan Raffi.
Rasa cinta itu masih tetap sama seperti sebelumnya.
Hanya situasi mereka berdua saat ini tak lagi sama.
Sekuat tenaga Fira berusaha meneguhkan hati, keputusan yang sudah diambil tak pantas rasanya jika harus dianulir.

Dengan memakai gamis pink dan jilbab maroon Fira menatap diri di depan cermin.
Tak lupa memulas bedak tipis di wajahnya.
Lipstik warna pink cerah dan eyeliner tipis yang menegaskan garis matanya membuat penampilan gadis itu makin menawan.
Merasa puas dengan penampilannya, Fira segera berangkat ke tempat yang sudah dijanjikan untuk bertemu Raffi.
Sebenarnya pemuda itu menawarkan diri untuk menjemput, tapi dengan sopan ditolak oleh Fira.
Pikirnya kedekatan dengan Raffi harus diminimalisir.
Toh ia sudah memilih Fajar sebagai calon imamnya.

Raffi sudah duduk menunggu di meja yang telah dipesan sebelumnya.
Ia mengamati gadis yang berjalan ke arahnya.
Berdesir hatinya melihat penampilan Fira yang sungguh mempesona.
Berjalan penuh keanggunan dengan inner beauty yang terpancar membuat mata Raffi tak mau beranjak dari menatap gadis pujaannya.

"Assalamu'alaykum, Mas Raffi, maaf sudah menunggu", Sapa Fira saat ia sudah sampai di dekat Raffi.
"Wa'alaykumussalam, Sayang kamu cantik sekali", Kalimat pujian terlontar spontan dari mulut Raffi.
Mata pemuda itu tak sedikitpun beralih dari Fira.

Fira jengah ditatap seperti itu oleh kekasihnya.
Tapi tak dapat dipungkiri pujian Raffi tadi membuatnya melambung.
Tapi segera ditepisnya rasa itu.
Ia harus fokus pada tujuan utamanya.

"Fira duduk ya, Mas", Ucap Fira beberapa saat kemudian, berusaha menetralkan suasana yang sempat agak kaku.

Kedua sejoli itu saling mendiamkan beberapa lama.
Menyelami perasaan masing-masing.
Mempertahankan keheningan tanpa ada yang berniat angkat biacara.
Saling menyadari bahwa apa yang mereka bicarakan akan sangat menyakitkan.

"Sayang....? Ada yang mau dibicarakan sama Mas...? Kok sampai Mas disuruh ke Jogja", Raffi akhirnya bersuara.
Nada bicaranya yang lembut membuat hati Fira makin tak karuan.

"Itu, Mas ..., soal masa depan Fira ...."
Fira tampak ragu melanjutkan kalimatnya.
Ia menatap lekat wajah kekasihnya.
Semua masih tampak sama, bahkan rasa cintanya.
Hanya keadaan yang membuat semuanya menjadi serba salah.

"Sayang sudah menentukan pilihan antara Mas atau Fajar..?"

Fira tidak menjawab pertanyaan Raffi.
Tapi air mata yang menganak sungai sudah cukup mewakili perasaannya.

"Kenapa nangis, Sayang..? Sebelum Fira menjawab siapa pilihan Fira, boleh Mas ngomong dulu..?"

Hanya anggukan kepala yang diberikan Fira.
Tanda ia setuju mendengarkan omongan Raffi.

"Maafkan, Mas, ya Fira...! Mas sudah menyia-nyiakan sepuluh tahun kebersamaan kita. Mas tahu Mas egois sudah maksa Fira jadi seperti yang Mas mau. Mungkin kalau sejak dulu Mas melepaskan Fira, masalahnya tak akan serumit ini. Tapi Mas nggak mau kehilangan Fira. Mas sangat mencintai Fira.
Berharap hanya Fira lah yang menemani hidup Mas sampai akhir hayat nanti ...."
"Mmas Raffi ...."
Air mata Fira sudah tak mampu dibendung lagi.
Isakan tangisnya sungguh memilukan.

"Sayang, maafkan Mas..! Seandainya Mas nggak keras hati. Seandainya Mas lebih membuka mata dan menatap kenyataan dengan logis. Seandainya Mas nggak berpikiran sempit ... Allahu Robbi ...."
Raffi pun tak sanggup menguasai emosinya.
Perih sekali rasanya membayangkan ia akan kehilangan kekasih hatinya.
Ditambah penyesalan terbesarnya karena terlambat menyadari kealpaannya.

"Mas paham, Fajar jelas akan membantu Fira meraih semua impian Fira. Mas bisa terima kalau Fira menerima Fajar karena itu ...."
"Nggak, Mas....! Fira sama sekali tidak mencintai mas Fajar. Juga semua ambisi Fira. Itu bukan alasan utama. Bahkan sejujurnya Fira lebih memilih bersama dengan mas Raffi dan menjadi istri seperti yang Mas mau. Maafkan Fira, Mas....! Fira terlambat menyadari kalau Fira nggak bisa pisah sama Mas ...."
Tangisan Fira terdengar semakin keras, meratapi takdir yang seolah tidak berpihak padanya.

"Jadi semua keputusan Fira karena wasiat itu..? Karena Fira kasihan pada bayi Naysilla...?"

Fira mengangguk dalam diam.
Tangannya sibuk mengelap wajah yang basah oleh air matanya yang menganak sungai.

"Sayang, seandainya boleh, Mas ingin membicarakan ulang rencana masa depan kita. Mas ikhlas Fira tetap bekerja sebagai dokter, melanjutkan spesialis, dan mimpi-mimpi Fira yang lain. Asalkan tidak mengabaikan keluarga dan mengganggu urusan rumah tanga."
Pelan sekali nada bicara Raffi.
Ia sadar penyesalannya sudah tidak ada gunanya.

Fira menatap Raffi dengan senyum kecut yang dipaksakan.
Ujarnya parau,
"Ironis ya, Mas....! Kenapa Mas baru menyadari semuanya saat ini. Seandainya pembicaraan ini terjadi dua tahun lalu, saat Fira baru saja wisuda sarjana. Saat Mas menemui Bapak untuk meminta Fira jadi istri Mas, mungkin kita sudah menikah ...."

Kedua sejoli itu hanya berpandangan.
Menyesali keegoisan masing-masing.
Sekaligus meratapi suratan takdir yang mungkin tidak menggariskan mereka berjodoh.
●●●

Seperti biasa ruang operasi rumah sakit pendidikan selalu sibuk.
Arus pasien tak pernah sepi.
Setiap hari selalu ada saja antrean pasien yang akan dioperasi.

"Jar.....! Pegang yang bener to...!" Suara operator utama mengagetkan Fajar.
Buru-buru ia memperbaiki pegangannya pada tulang yang akan diamputasi.

"Ya Alloh...................! Konsen to, Jar..........! Tanganmu itu hampir kena gergaji.....!" Teriakan marah dokter Yudha, seniornya, membuat Fajar tersentak.
Ia baru menyadari posisi tangannya sangat dekat dengan mata gergaji.
Kalau dokter Yudha tidak berhenti di saat yang tepat, mungkin saja tangannya ikut diamputasi.

"Aduuh...........!"
Kali ini Fajar yang berteriak kesakitan.
Jari tangannya baru saja tertusuk jarum saat menjahit kulit untuk menutup luka amputasi.

"Astaghfirullah, Mas...! Njenengan itu hari ini kenapa to...? Dari tadi nggak konsen. Untung pasien ini nggak kena Hepatitis B atau B20. Bisa tamat njenengan, nggak jadi kawin sama si cantik Fira", Spontan Andy mengejek Fajar.

Yang diejek hanya diam saja.
Mau membantah juga percuma.
Faktanya hari ini memang konsentrasinya kacau.
Memikirkan apa yang terjadi saat Fira bertemu Raffi siang ini.
Rasa cemburu yang menjalar di dadanya tak bisa dielakkan lagi.

"Jar.....? Kamu kenapa to.....? Kayaknya udah saatnya kamu harus cari istri, deh...! Biar ada yang ngrawat. Jadi residen ortho itu capek banget dan stressnya tinggi. Kalau ada istri kan setidaknya ada teman berbagi."
Dokter Yudha muncul tiba-tiba di belakang Fajar.
Berusaha menasihati juniornya.

"Mas Fajar kurang pelampiasan itu, Dok...!"
Andi masih sempat menggoda Fajar, meski akhirnya ia tutup mulut demi melihat sorot mata Fajar yang melotot tajam ke arahnya.

Fajar hanya menjawab sekedarnya demi sopan santun.
Tapi sepertinya dokter Yudha tidak puas dengan jawabannya.
Seniornya itu terus mencecar dengan pertanyaan yang semakin spesifik.
Fajar pun tak bisa berkelit lagi.
Akhirnya ia mencurahkan perasaannya.
Pikirnya dokter Yudha yang lebih senior dan jelas lebih berpengalaman soal percintaan bisa membantunya memberi saran menyelesaikan urusan percintaannya yang rumit.

"Yaudah, sebagai bonusnya, kamu free OK dan ilmiah hari ini. Sana urusi masalahmu...! Tapi dengan syarat besok harus sudah selesai. Awas lho ya kalau besok masih nggak konsen...! Hukum tambah jaga...!" Ucap dokter Yudha setelah mendengar curahan hati Fajar.

Tanpa pikir panjang, Fajar segera mengganti baju dan meninggalkan ruang OK.
Buru-buru ia meraih ponselnya dan menekan nomor Fira.
Mencoba mencari tahu apakah gadis itu mengubah keputusannya.
●●●

Fira menatap wajahnya di cermin toilet.
Tampak sekali kedua matanya yang bengkak karena kebanyakan menangis.
Rias wajahnya tak usah ditanyakan lagi.
Jelas berantakan.
Membuat penampilannya semakin kacau.
Gadis itu mencoba memoles ulang riasannya sekedar memperbaiki penampilan.
Tak lupa ia mengecek notifikasi pada ponselnya.
Tertera banyak sekali panggilan masuk dari Fajar.
Tapi ia berniat mengabaikannya.

Bersambung #12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER