Fajar sedikit putus asa, puluhan kali ia mencoba menghubungi Fira, tak ada yang berhasil.
Whatsapp tidak dibalas, telepon pun juga tidak diangkat.
Kegalauan mulai menyeruak.
Akankah Fira berubah pikiran...?
Tapi Fajar tak mau lama-lama larut dalam kemelut perasaannya.
Pikirnya kesempatan libur bagi residen orthopedi yang sangat jarang ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Ia pun segera mengurus administrasi Naysilla agar besok tinggal membawa pulang saja bayinya.
Tanpa dibebani tethek bengek dokumen syarat BPJS yang bertele-tele.
Yah, sudah jadi rahasia umum kan kalau menggunakan jaminan BPJS itu prosedurnya super ruwet.
Hari ini pun Fajar harus bolak-balik fotokopi dokumen dan wira-wiri ke kantor BPJS karena ada masalah dalam kepesertaan Naysilla.
Untunglah hal ini bisa diselesaikan dalam waktu sehari.
Malas juga jika soal administrasi begini jadi berlarut-larut.
Buang-buang energi saja.
Sudah hampir Asar saat Fajar sampai di rumahnya.
Sebelum pulang, ia sempatkan menemui Naysilla sebentar.
Melihat bayinya sehat dengan kondisi yang sangat stabil jelas sangat membahagiakan.
Tapi ia juga mendapat kabar kalau hari ini Fira belum mengunjungi Naysilla, padahal biasanya gadis itu tiap hari tak pernah absen mengunjungi putrinya.
Hatinya makin tak karuan.
"Ya Alloh, Fira, please jangan buat aku begini...! Kasih kabar dong.......! Setidaknya jika kamu berubah pilihan, aku nggak tersiksa dalam ketidakpastian gini", Gumam Fajar dalam hati.
Sedari tadi mengecek ponselnya, berharap kabar dari Fira, tapi nihil.
Fajar merebahkan diri di kasur empuknya yang nyaman.
Berusaha terlelap sekedar mengistirahatkan pikirannya.
Tapi berapa kali dicoba, matanya itu tetap saja melek lebar.
Bayangan Fira terus berseliweran di benaknya.
Ia merasa nasib sedang mempermainkan dirinya.
Baru kemarin merasa sangat bahagia karena Fira bersedia jadi istrinya, sekarang dihadapkan dengan kenyataan bahwa mungkin saja Fira lebih memilih bersama Raffi.
Dalam kemelut pikiran yang tidak menentu, mendadak terlintas ide cemerlang yang menurut Fajar bisa dicoba untuk mengatasi masalahnya saat ini.
Lelaki itu segera menekan nomor telepon.
Tak lupa ia menceritakan kondisi Naysilla yang sudah diperbolehkan pulang besok pagi.
Pak Irsyad paham betul perangai putra bungsunya.
Menelepon pada waktu mendekati Asar jelas bukan kebiasaan Fajar, kecuali ada hal mendesak yang ingin disampaikan.
Mengingat jam ini adalah waktu istirahat abinya.
"Ada lagi yang mau kamu sampaikan, Le..?"
"Itu, Bi. Maksud Fajar, Abi kenal baik nggak sama dokter Kusuma, bapaknya Fira..?"
"Kenal deket sih enggak. Ya sebatas tahu aja. Beliau kan pengurus PDM Sragen, cuma kadang ngobrol aja kalau ada Rakor Muhammadiyah. Lha memang ada apa, Le....?"
Pak Irsyad sebenarnya bisa menebak maksud putranya.
Hanya ia mengetes Fajar, apakah putranya itu berani menyampaikan maksud yang sesungguhnya.
"Eerr ..., maksud Fajar, mau minta tolong sama Abi."
"Minta tolong apa, Le...?"
"Anu, Bi ...," Fajar mendadak ragu untuk mengatakan maksudnya, takut abinya tidak berkenan.
"Opo to.......? Kok anu-anu. Mbok ngomong yang jelas....!"
"Itu, Bi. Bisa minta tolong, dong...! Abi tolong tanyain Fira ke bapaknya. Maksud Fajar kalau belum ada laki-laki yang datang meminang, Fajar minta tolong Abi lamarin Fira untuk jadi mantu Abi."
Pak Irsyad tertawa renyah mendengar permintaan putranya.
Terselip rasa bahagia jika Fajar berniat menikah lagi setelah kematian almarhumah istrinya.
Bagaimanapun menikah adalah sunnah dalam agama.
Tak baik rasanya jika putranya terlalu lama menduda.
"Lha kenapa nggak kamu tanyakan sendiri sama Fira...?"
"Sudah...., Bi. Dan Fira sudah bersedia. Tapi kan seorang gadis tidak berhak memberi keputusan sendiri. Secara hukum syar'i ayahnya yang lebih afdhol untuk menjawab pinangan. Makanya Fajar minta tolong Abi. Kalau sudah sah dikhitbah kan laki-laki lain nggak bisa deketin Fira lagi",
Fajar langsung terdiam menyadari dirinya kelepasan bicara.
"Memangnya Fira belum menyelesaikan urusannya dengan Raffi..?"
Pak Irsyad paham betul kalau putranya dan Raffi bersahabat dekat.
Tapi takdir yang menggariskan dua sahabat itu memperebutkan gadis yang sama sepertinya sulit dihindari.
Mau tak mau Fajar menceritakan masalahnya.
Percuma juga disembunyikan.
Abi nya itu pengacara terkenal dan politikus senior.
Soal bersilat lidah jelas Fajar tak dapat menandingi beliau.
Daripada harus diinterogasi lebih baik jujur dari awal.
"Oohh jadi gitu. Tapi ingat, Le, kamu bukan perjaka lagi. Yakin Fira ikhlas menerima Naysilla dan mau mengasuhnya dengan kasih sayang...?"
"Insyaa Alloh, Bi. Abi juga tahu kan kalau selama Naysilla dirawat di rumah sakit, Fira yang paling banyak ngurusin."
"Iya, Umi mu juga cerita sering ketemu Fira kalau pas nengok Naysilla. Satu lagi pertanyaan Abi.
Kenapa kamu menginginkan Fira...? Apa karena wasiat itu...? Atau karena kamu memang jatuh cinta sama dia...?"
Fajar sedikit gelagapan mendengar pertanyaan ayahnya.
Tapi ia segera menguasai diri.
Berusaha setenang mungkin saat memberikan jawaban.
Untung saja ia tidak mengaktifkan video call, jadi ekspresinya tidak terlihat oleh ayahnya.
"Emm, ehm, soal itu ..., Karena Fira sayang sama Naysilla, Bi. Fira sendiri juga tidak tega jika Naysilla yang tuna netra diasuh orang lain. Dia pun sudah memberikan persetujuannya untuk menerima pinangan Fajar."
"Hahahaha, kenapa kamu grogi gitu, Le...? Seandainya kamu memang mencintai Fira justru jauh lebih baik. Dia akan jadi istrimu, bukan cuma pengasuh Naysilla. Inget pesan Abi, ya...! Jangan pernah kamu bandingkan Fira sama almarhumah. Nggak ada orang yang suka dibandingkan!"
"Iya................, Bi", Ucap Fajar takzim.
"Kalau kamu emang sudah mantep, nanti bakda Asar biar Abi telepon pak Kusuma, supaya nggak ganggu praktik sorenya. Semoga beliau berkenan menerimamu jadi mantunya."
Fajar sedikit lega mendengar kalimat ayahnya.
Setelah mengucapkan terimakasih dan salam penutup, ia pun mematikan sambungan telepon.
Dilihatnya lagi ponselnya, masih belum ada balasan dari Fira.
Fajar menghela nafas panjang, bertekad tidak menghubungi Fira lagi kecuali gadis itu membalas pesannya.
Pikirnya, untuk apa ngotot membuka komunikasi lebih dulu jika jawaban yang diterima akan mengecewakannya.
Jika Fira masih berniat jadi istrinya tentu akan lebih mengutamakan dirinya daripada Raffi.
●●●
Fira dan Raffi berjalan berdua menyusuri pantai Depok.
Mengenang kebersamaan mereka dulu yang sering menghabiskan waktu berdua di tempat ini.
Sekedar melihat matahari terbenam dan mengagumi ciptaan Alloh.
"Fir, kamu sudah memutuskan memilih Fajar...?" Raffi mengulang lagi pertanyaannya.
Fira tak sanggup menutupi lagi.
Akhirnya ia memberikan sebuah anggukan pelan sebagai jawaban.
Bersama dengan tetesan air mata yang kembali membanjiri pipinya.
Hati Raffi bagai disayat sembilu saat mengetahui jawaban kekasihnya.
"Jadi, sudah nggak ada lagi kesempatan Mas untuk memperjuangkanmu sebagai istri Mas....?"
Fira hanya tergugu pelan, tak mampu menjawab pertanyaan Raffi.
Jelas dirinya dalam dilema.
Hanya Raffi lah lelaki yang ia cintai dengan sepenuh jiwa raganya.
Tapi mencabut persetujuannya untuk menerima pinangan Fajar juga bukan hal yang terpuji.
Mengingkari janji itu salah satu sifat orang munafik.
Dan Fira tidak mau mempermalukan orang tuanya dengan berbuat tercela seperti itu.
"Kamu tahu, Fir.......? Mas dan Fajar itu bersahabat baik sejak SMP. Kami punya janji untuk memberikan semacam hadiah persembahan saat salah satu dari kami menikah. Bahkan Mas sendiri dulu menemani Fajar mengkhitbah almarhumah Ifah. Nggak nyangka kalau nanti Mas yang akan melantunkan kalam Alloh pada pernikahan sahabat terbaik Mas dengan wanita yang sangat Mas cintai."
Pandangan Raffi menerawang menatap lautan.
Andai ia tidak ingat dosa, ingin rasanya ia melompat ke tengah Samudera Hindia yang terkenal dengan ombaknya yang ganas.
"Mas Raffi...........! Maafkan Fira......! Kalau Mas mau mencoba, mungkin Mas bisa menemui Bapak dan membicarakan hal ini, seperti yang sudah-sudah. Bapak lah yang lebih berhak untuk memutuskan masa depan Fira. Lagipula Fira belum bilang sama Bapak soal pinangan dari Mas Fajar ...."
Akhirnya Fira memutuskan melakukan perbuayan yang menurut hatinya sendiri adalah hal yang tidak terpuji.
Mengingkari janji yang telah diucapkannya pada Fajar.
Tapi bisikan lain di benaknya mengatakan, apa salahnya dicoba...?
Toh Fajar juga sempat bilang, seandainya keputusan Fira berubah, lelaki itu akan ikhlas.
Raffi sedikit terkejut dengan saran yang diucapkan Fira.
Masih terngiang perkataan ibunya semalam.
Tapi demi cintanya pada Fira, ia akan melakukan apapun, bahkan seandainya ia harus menyerempet dosa.
Ah, apakah ini yang namanya buta cinta...?
Atau bisikan syaithon yang berkedok pengorbanan atas nama cinta...?
==========
"Assalamu'alaikum. Mas Fajar, maaf semalam Fira nggak bisa jawab telepon Mas Fajar ...", Ucap Fira saat pangilan teleponnya sudah diangkat.
"Wa'alaikumussalam. Nggak apa-apa, Fir. Mas cuma galau aja sih, kepikiran kalau Fira mengubah keputusan." Fajar berkata jujur.
Fira yang mendengar perkataan Fajar hanya menghela nafas kasar.
Lelaki yang sedang berbicara dengannya memang benar-benar serius ingin menjadikannya istri.
Sampai harus melibatkan kedua belah pihak orang tua mereka.
Meski begitu ada secebik rasa bersyukur bersemayam di dada Fira.
Setidaknya ia terhindar dari perbuatan hina, mengkhianati janji.
"Insyaa Alloh nggak, Mas. Naysilla pulang hari ini ya.....? Fira boleh ikut jemput...?" Fira bertanya lagi.
Ia mencoba mengalihkan obrolan.
Takut kalau Fajar membahas pertemuannya dengan Raffi semalam, juga tentang semua panggilan telepon dan whatsapp dari Fajar yang diacuhkannya.
"Boleh lah, Fir. Toh Fira nantinya juga bakal jadi ibunya Naysilla. Mas masih ada operasi sampai siang sih, paling cepet bakda Dzuhur bisa jemput Nay nya."
"Oh yaudah kalau gitu, Mas. Fira mau ke KPTU ngurusin surat yudisium biar bisa daftar UKDI. Sama nglengkapin syarat-syarat buat daftar asisten penelitian. Ehm, Mas, sepertinya Fira mempertimbangkan tawaran Mas buat jadi asisten di Ortho. Nanti Fira titip berkasnya ya, Mas. Biar Mas Fajar yang masukin. Kalau Fira ada yang bingung kan bisa minta tolong Mas Fajar ngajarin."
Binar bahagia menyeruak hangat menyelubungi hati Fajar yang sekian lama sepi karena kehilangan istrinya.
Tak salah lagi, ia mulai jatuh cinta pada Fira.
Harapannya jelas, semoga Fira bisa jadi istri shalihah untuknya.
"Satu lagi, Mas. Ehhmm ...",
Fira sedikit ragu menyampaikan maksudnya.
"Ya.....................? Kenapa, Fir.........?"
"Itu, kata Bapak, Mas Fajar ditunggu hari ini bakda Isya' di rumah, kalau memang Mas serius mau meminang Fira."
Sekali lagi perasaan Fajar berbunga-bunga.
Tampaknya keinginan untuk mempersunting Fira akan semakin mendekati kenyataan.
Pikirnya jika ayah Fira menerima khitbahnya malam ini, jelas tertutup pintu bagi lelaki lain untuk mendekati Fira, termasuk Raffi.
"Mas kenapa diem aja...? Kata Bapak kalau Mas emang beneran serius sama Fira pasti nggak ada alesan banyak operasi...!"
"Hahaha jelas serius lah, Fir. Mas cuma syok aja saking senengnya. Alhamdulillah, Bapak mau menerima Mas bertamu ke sana."
"Jangan pura-pura ah, Mas. Kan Mas Fajar minta tolong abinya Mas buat ngomong sama Bapak. Bapak nggak mungkin lah nolak anaknya Pak Irsyad. Salah satu orang yang dihormati Bapak karena beliau pengacara yang tetap idealis memegang prinsipnya dan juga ketua PDM Solo. Mas Fajar cerdas ya, minta tolong abinya biar Bapak luluh", Cecar Fira.
"Hahaha ...", Fajar kembali tertawa.
Kemudian sambungnya,
"Lha kan memang tandanya Mas serius sama Fira. Pernikahan kan nggak cuma tentang kita berdua, tapi juga orang tua dan keluarga lainnya. Mas nggak mau juga nikah tanpa restu orang tua. Ditambah lagi Mas duda beranak satu. Mas juga harus pertimbangkan calon istri Mas sayang dan bisa merawat Naysilla sepenuh hati. Dan sejauh ini Fira sudah membuktikannya. Tapi ya balik lagi ke Fira, sih. Mau nggak jadi istri Mas dan ibu Naysilla...?"
Fira hanya diam, terlalu ragu untuk menjawab pertanyaan Fajar.
Logika dan perasaannya bertolak belakang.
"Fira manut Bapak aja, Mas. Nanti gimana. Oh iya, nanti kalau Mas sudah siap jemput Naysilla, kabarin Fira aja...! Biar Fira ke Perina. Kan nanti pulangnya disuruh gendong KMC. Mas Fajar pasti nggak bisa. Fira udah beli baby wrap buat gendong Naysilla nanti."
Sekali lagi Fajar berucap syukur pada penciptanya.
Nada riang dalam suara Fira jelas membuktikan gadis itupun tak sabar ingin segera mencurahkan kasih sayang pada Naysilla.
Ia yakin jika Naysilla adalah prioritas Fira, maka tak mungkin gadis itu lebih memilih Raffi.
●●●
Fajar dan Fira sudah berada di mobil Fortuner milik Fajar, memulai perjalanan ke Solo.
Selama Fajar belum menemukan orang yang amanah untuk mengasuh Naysilla, maka diputuskan untuk sementara bayi itu akan dititipkan pada orang tua Ifah.
Sesekali Fajar melirik ke arah Fira yang duduk tenang di kursi sebelah tempat duduknya.
Gadis cantik itu cekatan sekali mengurus bayi.
Naysilla tidur nyaman dalam gendongan Fira.
Metode KMC memang membuat bayi lebih nyenyak tidur.
Perjalanan Jogja - Solo normalnya hanya butuh waktu 2 jam.
Hanya saja, beberapa kali Fira meminta berhenti untuk mengganti pospak Naysilla atau memberi bayi itu susu.
Alhasil, perjalanan sedikit memakan waktu lebih lama.
"Mas yakin Nay mau dirawat sama Mamah...? Kasihan lho, Mamah sudah sepuh. Tiap 2 jam harus ngasih susu. Mana bangunin Nay itu juga nggak gampang. Bayi prematur kan biasa gitu. Mau digelitikin kayak apa juga dia susah banget bangun. Pernah Fira sampai putus asa, Mas. Sampai tak KMC dan peluk agak kenceng. Kepanasan kan dia, barulah bangun, nangis, terus nyusu. Belum juga ganti pospaknya. Maksimal per 4 jam harus diganti. Apalagi anak sufor, pipisnya jauh lebih banyak dibanding yang minum ASI. Kalau kelamaan nggak diganti nanti lembab, bisa iritasi. Kulit bayi kan sensitif banget. Nah, Mas dan Ifah kan punya bakat atophy to. Jelas Nay punya gen alergi."
Fira membuka obrolan, memecah kesunyian diantara mereka berdua.
"Mamah yang minta sendiri, Fir. Mas sendiri jelas nggak bisa ngasuh Nay. Walaupun ada Mbok Nah yang bantu di rumah, tapi jelas nggak mungkin juga beliau dibebani ngasuh bayi. Lagipula Mamah juga ingin menghabiskan waktu sama Nay, sebelum kita berdua menikah dan mengambil Nay dari Mamah ..."
"Eh, dasar Mas Fajar kepedean",
Fira memotong kalimat Fajar.
Sementara Fajar hanya tergelak bahagia karena mampu membuat Fira salah tingkah.
Kedua sejoli itu melanjutkan perjalanan dengan mengobrol ringan.
Bukan hal yang luar biasa, mengingat sebelumnya mereka adalah sahabat baik.
Hingga tak terasa mereka sudah sampai di depan rumah orang tua Ifah.
Bangunan bercat putih dengan nuansa klasik dan halaman luas membuat Fira kembali bernostalgia.
Dulu ia banyak menghabiskan masa remaja bermain di rumah ini bersama Ifah.
Bayangan memori masa lalu itu berkelebat liar dalam benaknya.
Sekuat tenaga ia tahan air matanya agar tidak menetes.
Refleks dipeluknya bayi di gendongannya.
Tanda mata yang tak ternilai dari sahabatnya.
"Yuk...............! Masuk, Fir.....!"
Fajar mendahului Fira berjalan ke arah pintu rumah.
Lelaki itu pun diliputi kesedihan mendalam jika mengenang kebersamaan dengan almarhumah istrinya.
"Assalamu'alaikum ...", Fajar mengucap salam sambil mengetuk pintu.
"Wa'alaikumussalam. Oalah kamu to, Le. Mana cucu Mamah....?"
Wanita lanjut usia yang jelas tidak asing bagi Fira, berjalan sedikit membungkuk karena kifosis yang dideritanya sejak muda.
"Mamah ...",
Fajar langsung menghambur dan mencium tangan mertuanya.
Tangisnya tak mampu terbendung lagi saat ia sungkem pada wanita yang telah melahirkan istrinya.
Bu Halimah menepuk-nepuk pundak menantunya.
Sejak kematian putrinya, Fajar belum berkunjung ke rumahnya.
Wanita itu maklum.
Selain kesibukan Fajar yang luar biasa sebagai residen Orthopedi, pasti berat buat menantunya itu untuk datang ke tempat yang akan selalu mengingatkan pada almarhumah istrinya.
Saat melihat sosok di belakang Fajar, Bu Halimah tak bisa lagi menyembunyikan rona bahagia di wajahnya.
"Fira.........! Kamu juga datang, Ndhuk...? Alhhamdulillah, Mamah seneng banget bisa ketemu kalian berdua ..."
Perkataan Bu Halimah terhenti saat matanya terpaku pada sosok bayi dalam gendongan Fira.
Tak salah lagi, itu pasti cucunya.
Kenang-kenangan terindah dari putri bungsunya.
"Itu cucu Mamah, Nak...? Fira ke sini....! Mamah pengen meluk cucu Mamah...!"
Fira akur dengan kehendak Bu Halimah.
Ia menurunkan Naysilla dari gendongan dan menyerahkan bayi itu pada Bu Halimah.
Tetesan air mata haru mulai meluncur dari sudut mata wanita berusia lebih dari setengah abad itu.
Tak henti-hentinya ia menghujani cucunya dengan ciuman sayang.
Beruntung bayi Naysilla bukan jenis yang gampang rewel.
"Fir, kalau mau ngobrol sama Mamah, silahkan aja...! Mas tunggu di teras ya. Kalau udah selesai kangen-kangenannya kita lanjut jalan ke Sragen." Ucapan Fajar seperti bernada perintah.
Fira jelas paham, berlama-lama di ruang keluarga yang penuh kenangan tentang Ifah tentunya sangat menyiksa batin Fajar.
Agak lama Fira mengobrol dengan Bu Halimah.
Selain melepas rindu Fira juga mengajarkan secara singkat tentang perawatan bayi prematur.
Utamanya tentang KMC dan cara menggunakan serta interpretasi kurva Fenton, growth chart khusus bayi prematur.
"Mah, beneran Mamah nggak apa-apa ngurus Nay...? Maksud Fira, Mamah kan udah sepuh. Ngurus bayi prematur seperti Nay jelas membutuhkan energi ekstra. Yakin Mamah mau ngasuh sendiri tanpa bantuan pengasuh...?" Ucap Fira saat mereka berdua usai mengganti pospak dan baju Naysilla.
"Nggak ada kata capek untuk merawat cucu, Fir. Tenang aja Mamah masih kuat kok. Lagipula Mamah juga cuma ngasuh sebentar kan..? Kalau Fira sudah resmi nikah sama Fajar ya pasti Nay ikut kalian lagi."
Fira terkejut dengan jawaban Bu Halimah.
Banyak orang yang mengharapkan dirinya menerima Fajar.
Fira sadar jika ia menolak menikah dengan Fajar.
Ada banyak orang yang kecewa dan tersakiti.
"Kenapa diem, Nak.....? Fira belum yakin untuk menerima Fajar..? Percaya sama Mamah, Fir...! Fajar itu lelaki sholeh, selalu perhatian dan sayang sama istrinya. Nggak pernah sekalipun almarhumah cerita kalau Fajar membentak apa lagi berbuat kasar. Tiap kali mereka berdua berkunjung kemari, hanya rona bahagia yang menghiasi wajah almarhumah. Fira pasti bahagia kalau jadi istrinya. Fajar pasti akan mencintaimu seperti halnya mencintai Ifah, anak Mamah ...."
Bu Halimah tak sanggup lagi menguasai diri.
Kesedihannya meledak bersamaan dengan banjir air mata di pipinya.
"Mamah mohon ya, Fir...! Jadilah ibu Naysilla dan penuhi wasiat almarhumah untuk menikah dengan Fajar. Biar Mamah tenang. Mamah percaya Fira sayang sama Nay. Seandainya Fajar menikah dengan wanita lain, Mamah jelas khawatir seandainya istri baru Fajar nggak sayang sama Nay."
Permohonan yang sangat tulus meluncur dari bibir Bu Halimah.
Fira hanya terdiam menatap wanita yang sudah ia anggap seperti ibu kandungnya.
Ingin rasanya ia menjawab, tapi lidahnya kelu.
Dan tentu saja hatinya yang masih sibuk dengan pertentangan antara logika dengan perasaan, tidak mengizinkan mulutnya untuk langsung mengiyakan permintaan Bu Halimah.
Bersambung #13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel