Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 31 Mei 2022

Jalan Jodoh Sang Dokter #13

Cerita Bersambung

"Mas Fajar", panggil Fira sambil membawa nampan.

Dilihatnya Fajar tampak tertidur, tapi tangannya masih menggenggam ponsel.
Khas residen yang memang tidak pernah bisa lepas dari ponselnya.
Karena jika sampai ada kabar penting dan sampai tidak tahu, siap-siap saja menerima hukuman.
Libur pun harus siap jika ada panggilan sewaktu-waktu.
Kecuali jika memang ada alasan yang sangat kuat misal diri sendiri sakit atau keluarga inti meninggal.
Sakit pun jika hanya sakit ringan tetap tidak boleh izin.
Minimal sakit yang sampai rawat inap.

Seringkali mereka saling memasang infus diantara kolega masing-masing jika kondisi badan sudah tidak dapat diajak kompromi.Jamak dilihat residen tetap bertugas dengan selang infus terpasang di lengan.
"Mas Fajar.............!" Fira mengulangi panggilannya.

Ditepuknya pundak Fajar sedikit keras.
Lelaki itu sedikit menggeliat karena terkejut.
Perlahan ia mengucek matanya.
Saat kesadarannya pulih sempurna, ia setengah terperanjat melihat Fira berdiri di hadapannya.

"Eh, Fir........! Maaf..........! Mas ngantuk banget."
"Nggak apa-apa, Mas. Cuma mau ngasih ini kok. Kopi hitam pahit kesukaan Mas, sama ada ubi kuning Tawangmangu. Tadi saya oven sebentar pakai microwave, mirip-mirip ubi madu jadinya. Manis. Cocok jadi teman kopi." Ucap Fira berusaha mengurangi kecanggungan.
"Makasih, Fir. Kamu pinter masak ya. Beruntung banget kalau Mas jadi suamimu", Fajar iseng menggoda Fira.
Puas rasanya jika melihat gadis manis itu tersipu malu.

"Udah ah, Mas....! Jangan gombal terus...! Ngomong-ngomong Mas kayaknya capek banget. Kalau nggak kuat nyetir sampai Sragen, biar Fira aja yang nyetir. Bisa kok Fira bawa Fortuner."

Fajar tertawa renyah mendengar kalimat Fira.
Rupanya gadis itu mengkhawatikannya.

"Nggak kok, Fir. Masih kuat kalau cuma nyetir aja. Mas sebenernya kemarin pulang cepet. Tapi lelah psikis jauh lebih menyiksa daripada lelah fisik ...."
"Ada yang Mas pikirin po...?"

Fajar kembali tersenyum.
Ia menatap lekat-lekat wajah cantik gadis yang mungkin sebentar lagi akan jadi kekasih halalnya.
Sementara Fira jadi salah tingkah dibuatnya.

"Ghadhul bashor, Mas..!" Kata Fira sedikit jengah.
"Iya.......... Iya..... ..! Mas cuma pengen merhatiin wajah wanita yang udah berhasil bikin hati Mas nggak karuan kemarin. Takut kalau dia kembali takluk sama pesona kekasihnya."

Fira tersenyum kecut mendengar sindiran halus Fajar.
Sama sekali tidak menyangkal, karena memang omongan Fajar tidak salah.

"Oh iya, Fir. Kalau udah beres dan Nay nggak rewel ditinggal, kita lanjut ke Sragen ya...!"
"Iya, Mas. Fira mau mandiin Nay sebentar sekalian ngasih tahu Mamah cara bikin dan takaran susunya.
Fira ninggal beberapa baju juga di sini. Takutnya Nay rewel. Dia udah deket banget sama Fira. Semoga kalau ada bau Fira dia agak tenang ..."
Fira menghentikan ucapannya.
Sebenarnya kalimatnya masih berlanjut.
Tapi ia sendiri tidak yakin dengan apa yang akan diucapkannya.
Fajar yang bisa membaca keraguan di mata Fira menatap gadis itu dengan tatapan sedikit mengintimidasi.
Setengah memaksa gadis itu agar mengeluarkan isi hatinya.

"Untuk sementara aja, Mas. Setidaknya ... setidaknya sampai ...",
Fira masih belum mampu melanjutkan kalimatnya.
Ada rasa getir yang sulit diungkapkan.
Juga perasaan bersalah pada Raffi, kekasihnya.
Tapi keputusannya sudah bulat.
Fira memejamkan matanya, menguatkan hati untuk melanjutkan kalimatnya.

"Seenggaknya sampai kita menikah nanti dan Fira bisa ngasuh Nay lagi ..."

Kalau tidak ingat bahwa Fira belum halal untuknya, ingin rasanya Fajar memeluk gadis itu.
Bersama berbagi kebahagiaan.
Tapi segera ditahannya keinginan itu.
Bersabar sedikit lagi.
Toh tidak akan lama lagi sampai Fira jadi istrinya.
Saat itu mau diapakan juga, Fira sudah jadi haknya.

"Dan kalau Mas Fajar bersedia ... Fira minta setelah Bapak menerima khitbah Mas nanti, pernikahan kita segera dilangsungkan .... Fira kasihan sama Nay kalau harus dibohongi terus pakai baju. Juga kasihan Mamah, udah sepuh tapi masih harus ngurusin bayi."
Fira berkata sambil menundukkan pandangan.
Tak berani menatap Fajar yang memandangnya dengan tatapan setajam serigala.

"Alhamdulillah, makasih Fir. Mas tahu, sangat berat bagimu untuk mengambil keputusan ini. Mas janji akan mencintaimu sepenuh hati dan berusaha jadi imam yang sholeh untukmu ...." Fajar berucap dengan penuh haru.

Jika tidak memandang situasi yang ada, rasanya ingin ia bersujud syukur atas anugerah bertubi-tubi yang diterimanya.
Fira tidak berkata apa-apa lagi.
Ia sudah hendak masuk ke dalam rumah.
Mendadak terlintas rasa penasaran yang sudah sejak tadi dipendamnya.

"Ehh, Mas ... Kenapa Mas nggak mau masuk ke rumah...? Apa Mas takut sedih lagi kalau inget almarhumah...?"

Fajar tersenyum mendengar pertanyaan Fira.
Sangkanya gadis itu cemburu dengan kenangannya terhadap Ifah.

"Hahaha, Fira cemburu...?"
Fajar menaik turunkan alisnya menggoda.

"Sini......! Duduk di deket Mas. Biar Mas jelaskan."
Fajar menunjuk kursi di sebelahnya yang terpisah meja.
Menyuruh Fira duduk di situ.

"Nggak............! Mas Fajar jangan kegeeran...! Saya nggak pernah mencintai Mas Fajar. Nggak mungkin lah saya cemburu...!"
"Ok......................! Mas paham. Tapi duduk dulu to....!"

Fira menurut.
Ia duduk di kursi yang ditunjuk Fajar.
Tapi mukanya masih saja cemberut.
Lelaki di depannya itu sungguh menyebalkan.

"Fira...........!" Fajar berkata dengan nada yang sangat lembut, berusaha melunakkan hati calon istrinya.
"Dengerin Mas ya, Sayang. Sampai kapanpun Mas nggak akan pernah melupakan Ifah. Dia jelas wanita istimewa di hati Mas. Begitu juga jika Fira nanti menikah sama Mas. Fira juga pasti menempati tempat istimewa di hati Mas. Mas berharap bisa meneladani Rasulullah yang tetap menjaga cinta dan semua kenangannya bersama Khadijah meskipun jenazah ummul mukminin telah terbaring di bumi Makkah dan Rasulullah telah hijrah ke Madinah. Tapi Rasulullah juga tetap memberikan cinta yang luar biasa pada Aisyah. Kedua ummul mukminin yang dicintai Rasulullah dengan cara yang berbeda ..."
"Nggak sekalian nyari Hafshah, Zainab, atau Maimunah sekalian, Mas...? Biar pas jadi empat." Fira sebenarnya asal bicara.
Tak disangka respons Fajar sangat serius.

"Fir.....................! Demi Alloh.........! Nggak terlintas sedikitpun di pikiran Mas untuk menikahi lebih dari satu wanita dalam waku bersamaan. Mas nggak menentang syariat poligami. Tapi Mas tahu kalau Mas nggak akan mampu menjalankannya. Dan jika tidak memadu Fira adalah salah satu syarat pernikahan, Insyaa Alloh Mas terima dengan senang hati."
Fajar berupaya menahan emosi yang tersulut karena merasa Fira mencemoohnya.

"Dan satu hal yang perlu Mas Fajar tahu...! Saya sama sekali nggak mencintai Mas. Saya hanya mencintai Mas Raffi. Dan alasan kenapa saya menerima Mas adalah ..."

Fira urung melanjutkan perkataannya.
Suara panggilan ibunda Ifah membuatnya segera bergegas masuk ke dalam.

"Fir.....! Kamu berhutang cerita sama Mas..! Mas harap tidak ada yang Fira tutupi termasuk alasan Fira menerima pernikahan ini. Meskipun mungkin akan menyakitkan, tapi Mas harus tahu...!"
"Nanti Fira pasti cerita. Dan jika Mas nggak bersedia menerimanya, belum terlambat kok untuk membatalkan khitbah...!" Usai menyelesaikan ucapannya, Fira segera masuk memenuhi panggilan Bu Halimah.
●●●

Suasana sore hari di kota Sragen lumayan ramai.
Jalan Sukowati dipenuhi hilir mudik kendaraan bermotor yang berlomba untuk cepat sampai ke rumah.
Begitu juga Raffi.
Ia memacu Mobilio miliknya menembus kepadatan Jalan Sukowati demi memoerjuangkan cintanya.

Tepat pukul empat sore Raffi sudah menunggu di apotik Intifarma, tempat praktik sore dokter Kusuma.
Bukan kali pertama ia menghadap ayahanda Fira, jadi ia hafal betul jadwal dokter spesialis senior itu.
Biasanya dokter Kusuma akan datang setengah jam sebelum jam praktik untuk menemui medrep atau tamu lain yang berkepentingan.

Benar saja, sekitar pukul setengah lima sebuah mobil sedan terlihat parkir di halaman apotik.
Sosok yang keluar dari mobil itu jelas tidak asing bagi Raffi.
Meski ia sudah berkali-kali bertemu dengan dokter Kusuma, tapi tetap saja ada rasa segan tiap kali menghadap beliau yang penuh Wiabawa.

"Kamu, Le........? Ada apa kok bertamu nggak bilang-bilang dulu...? Ada urusan yang mendesak banget ya...?"
Sapa dokter Kusuma saat beliau melihat sosok Raffi yang duduk di ruang tunggu membaur dengan para medical representative dan tamu lain.

==========

"Sepertinya kamu ke sini mau ngomongin urusan pribadi ya, Le...? Bukan urusan kerjaan. Setahu Bapak kamu sudah nggak kerja di Enseval atau Interbat lagi. Bapak juga tahu kalau kamu lagi merintis usaha distributor perbekalan farmasi dan sering bawa punya Graha atau Ifars. Dan apotik ini tidak memasok obat dari dua pabrik itu. Jadi langsung saja katakan apa maksud kedatanganmu. Bapak buru-buru hari ini, ada urusan keluarga. Jadi cuma praktik sampai Isya."
Suara dokter Kusuma yang sangat berwibawa jelas membuat Raffi sedikit gentar.

"Iya, Pak. Urusan pribadi. Ini tentang Fira."
Raffi berusaha setenang mungkin saat berbicara dengan ayah Fira.

"Kenapa dengan Fira..? Bukankah semuanya sudah jelas...? Bukankah sudah berkali-kali juga kita membicarakan hal ini..? Dan jawaban bapak tetep sama. Jika kamu kekeuh dengan syaratmu itu, bapak jelas sangat berat untuk melepaskan Fira padamu ...."
"Tapi, Pak.........! Saya nggak akan nuntut semua syarat itu lagi...!" Potong Raffi cepat.
"Maksudmu piye, Le...?"
Dokter Kusuma mengernyitkan dahi, keheranan.
Beliau jelas kenal betul bahwa Raffi adalah lelaki yang sangat teguh memegang prinsip.
Apa gerangan yang terjadi sampai-sampai kekasih putrinya itu datang menghadap dan mengubah semua pendiriannya.

"Nggak ada hal terlarang kan yang terjadi diantara kalian...?"
Dokter Kusuma jelas curiga dengan perubahan Raffi yang sangat mendadak.

"Naudzubillahi min dzalik ... ndak lah Pak. Insyaa Alloh saya tahu akhlak dan paham ilmu agama, begitupun Fira. Kami nggak mungkin melakukan hal nista seperti itu....!"
Raffi sedikit meradang dengan prasangka dokter Kusuma.
Tapi sebisa mungkin ia mengendalikan emosi.

"Maksud saya ke sini adalah ingin meminta Fira menjadi istri saya. Saya paham, ini bukan kali pertama saya meminta pada Bapak. Tapi sekarang saya sadar bahwa saya nggak seharusnya mengekang kebebasan Fira. Biarlah dia berkembang sesuai keinginannya. Jika Bapak merestui saya meminang Fira, saya janji, Pak....! Saya akan mengizinkan dia meraih cita-cita setinggi-tingginya, asalkan tidak mengganggu kewajibannya sebagai istri. Saya juga ikhlas jika Fira memilih tetap tinggal di rumah Bapak dan Ibu, mengingat Fira anak tunggal. Biar saya nanti yang wira-wiri aja, nggak apa-apa."
Ada kelegaan di hati Raffi saat ia lancar mengucapkan maksudnya.

"Kok kamu mendadak berubah sikap, Le...? Ada kejadian apa yang bikin kamu jadi beda...?"
Dokter Kusuma tidak tahan untuk tak bertanya.

"Nggak apa-apa, Pak. Hanya saja saya merasa nggak sanggup untuk hidup tanpa Fira. Usaha keras saya hingga sampai titik ini juga demi memantaskan diri untuk bersanding dengan Fira, Pak. Sayang rasanya jika saya harus melepas Fira hanya karena keegoisan saya. Untuk itulah saya ke sini, Pak. Hanya Fira perempuan yang ingin saya nikahi. Saya janji akan berusaha jadi imam terbaik untuk Fira ...."

Dokter Kusuma menghela nafas panjang beberapa kali.
Ia tidak langsung menjawab.
Ditatapnya Raffi beberapa lama.
Meneliti gurat kebohongan di wajah yang sudah ia kenal betul sepuluh tahun terakhir.
Dan saat ia tidak menemukan maksud jahat di mimik muka Raffi, justru membuatnya makin bimbang.
Ia paham betul bahwa laki-laki di hadapannya saat ini sangat dicintai oleh putrinya.
Bahkan putrinya memilih bertahan dan mengalah dengan sifat keras Raffi, padahal ia jelas paham bahwa Fira sebenarnya juga sama kerasnya.
Rela meredam ego dalam jangka waktu yang lama, apa itu namanya jika bukan cinta.

Hukum itu bersifat memaksa.
Syariat adalah perintah Alloh yang wajib dilaksanakan kecuali dalam keadaan darurat.
Dan saat ini tentu bukan kondisi darurat, jelas pak Kusuma harus tetap menegakkan syariat Alloh.
Hening beberapa saat, lelaki berusia lebih dari setengah abad itu sibuk merangkai kata dalam benaknya.
Berusaha agar lisan yang terucap dari bibirnya tidak membekaskan dendam.

Karena sebuah kejujuran, sepahit apapun itu wajib diungkapkan.
●●●

Mesin mobil Fortuner milik Fajar sudah menyala.
Setelah berpamitan dengan Bu Halimah dan memastikan Naysilla tidak rewel, Fira mengikuti Fajar masuk ke dalam mobil.
Kedua insan itu menyusuri jalan Slamet Riyadi yang membelah kota Solo.
Riuh rendah suara klakson kendaraan bermotor seolah memekakkan telinga.
Hiruk pikuk yang biasa terjadi saat sore hari jam pulang kerja.

"Kalau udah sampai sini mending kita masuk tolnya di pintu Kebakkramat aja ya, Fir. Sekalian Mas mau mampir Orion", Fajar membuka obrolan.
"Manut sih mau lewat mana. Eh, lha ngapain ke Orion...?"

Fajar tersenyum penuh arti.
Ucapnya, "lha masak ke rumah calon mertua nggak bawa apa-apa.
Malu lah."

Fira akur dengan kemauan Fajar.
Mereka berhenti di toko roti Orion, salah satu toko roti tertua dan legendaris di kota Solo.
Fira hanya memperhatikan Fajar yang cekatan mengambil kue-kue yang dipajang di rak.
Meskipun lelaki, ia pandai memilih makanan yang dirasa elegan dan pantas sebagai hantaran.

"Fir, Bapak dan Ibu sukanya apa...?"
Fajar bertanya sambil sibuk memilih kue kering di depannya.
Sementara di keranjang belanjaannya sudah bertengger sekotak Mandarijn, kue lapis legendaris milik Orion yang tersohor dan banyak diburu pelancong untuk oleh-oleh.

"Nggak spesifik sih, Mas. Apa-apa kerso kok. Lagian kalau kue-kue gini paling ya Fira yang ngabisin.
Bapak dan Ibu kan membatasi makanan manis."
"Yaudah calon istri Mas mau dibeliin apa...?"

Fajar mulai merayu lagi.
Rona merah tampak di pipi Fira.
Meskipun tak ada rasa apapun di hatinya untuk Fajar selain hanya menganggap sebagai kakak kelas dan teman baik, tapi sedikit kalimat manis tadi sudah mampu membuatnya tersipu.
Untuk menutupi kecanggungannya Fira segera mengambil tiga toples kue kering dan meletakkannya di keranjang belanjaan Fajar.

"Ibu suka banket jahe, Bapak suka sagu keju yang nggak terlalu manis, Fira suka lidah kucing.
Pas ya, Mas......", Ucap Fira sambil tersenyum.

Dalam hati ia kagum dengan kecakapan Fajar yang memperhatikan detail dan mampu melakukan banyak hal.
Padahal membeli kue dan oleh-oleh lazimnya adalah urusan perempuan.
Mungkin karena bagian Orthopedi isinya mayoritas laki-laki, jadi jika ada event atau disuruh senior tidak pandang bulu apakah itu tugas 'laki-laki' atau tugas 'perempuan'.
Sudah jadi rahasia umum bahwa seorang residen harus bisa multitasking alias siap dan mampu mengerjakan apapun tugas yang ada.
Entah tugas ilmiah, tugas non ilmiah macam mencari donor darah, mengambil hasil rontgen dan hasil laboratorium, bahkan tugas-tugas absurd macam mengantar tamu penting, angkat galon dan kursi, serta beli makan.

Bersambung #14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER