Cerita Bersambung
"Berhenti di sini bentar ya, Fir. Mas mau mandi dan ganti baju dulu. Masak ketemu calon mertua penampilannya nggak maksimal", Ucap Fajar sambil mengarahkan mobilnya memasuki rest area Masaran.
Fira hanya mengiyakan.
Ia pun memilih menunggu di dalam mobil sambil belajar untuk persiapan UKDI lewat aplikasi ponsel pintarnya.
Beberapa saat kemudian ada tanda panggilan masuk.
Dan saat membaca siapa nama penelponnya, Fira mendadak galau.
Jelas ia paham apa yang akan dibicarakan si penelepon.
Ia tidak berani berbicara langsung pada Raffi.
Takut hatinya kembali goyah.
Tapi di sisi lain ia juga tidak tega menggantung kekasihnya itu terlalu lama dalam ketidakpastian.
Buliran air mata kembali bercucuran di pipi Fira.
Ia pun segera mematikan mesin mobil dan berlari keluar.
Langkah kakinya baru terhenti di sudut depan rest area.
Cuaca cerah hari ini membuatnya mampu menatap Gunung Lawu yang berdiri dengan gagahnya di kejauhan.
Kebiasaannya jika hatinya galau selalu menyendiri memandang gunung ataupun pemandangan alam lain.
"Fir.......! Ngapain di sini.....? Mas cari kemana-mana dari tadi ...."
Fira menoleh menatap orang yang memanggil namanya.
Tampak Fajar sudah berganti baju dengan kemeja batik lengan panjang, rambutnya pun tersisir rapi.
Jika boleh jujur Fira akui Fajar memang sungguh menawan dengan kulit putih dan badannya yang atletis.
Wajahnya pun bisa dibilang tampan dengan hidung mancung dan bibir penuh, ditambah rambut yang sedikit ikal makin menambah pesona ketampanannya.
Tapi entah kenapa begitu banyak kelebihan Fajar tetap tidak mampu menerbitkan secebik cinta di hati Fira.
"Mmass ...."
"Ya..........?! Kenapa nangis, Sayang...? Kalau mau cerita, bilang sama Mas. Mungkin Mas bisa bantu",
Fajar berkata selembut mungkin.
Sebenarnya ia bisa menebak.
Jika sampai Fira menangis, pasti tentang Raffi.
"Maaf, Mas........ ..! Fira tadi bilang kalau Fira hanya cinta sama Mas Raffi. Fira sama sekali nggak mencintai Mas Fajar", Ucap Fira di sela-sela isak tangisnya.
"Iya, Mas paham kok. Mas juga nggak mempermasalahkan. Jadi kenapa Fira malah nangis...?"
"Mas belum tahu kan, kenapa Fira mau nikah sama Mas...? Padahal jelas-jelas Mas tahu perasaan Fira ...."
Kalimat Fira terputus.
Ia ragu melanjutkan kalimatnya.
Tapi bagaimanapun sebuah pernikahan harus diawali dengan kejujuran.
"Fira mau nikah sama Mas Fajar bukan karena ikhlas jadi ibunya Naysilla. Tapi karena Fira pikir Mas Fajar bisa membantu Fira untuk mengejar semua mimpi dan ambisi Fira. Mas jelas paham Fira ingin jadi spesialis dan peneliti kelas dunia. Itu nggak akan mungkin Fira dapat kalau Fira menikah dengan Mas Raffi. Sementara jika Fira jadi istri Mas Fajar, jelas Mas Fajar bisa membantu Fira. Mas kan dosen, link beasiswa maupun koneksi sama senior-senior yang berpengaruh pasti banyak. Orang tua Mas juga terpandang dan dihormati banyak orang. Fira bisa manfaatin itu semua ...."
Tangis yang tadi hanya berupa isakan berubah seperti ratapan yang memilukan.
Fira memberanikan diri memandang ke arah Fajar.
Raut mukanya yang terkejut tak bisa disembunyikan dengan baik.
Tapi lelaki itu masih terpaku pada tempatnya, tidak mengatakan apapun juga.
"Mas Fajar ... Jika setelah tahu kebenarannya, Mas mau membatalkan pernikahan ini, Fira ikhlas, Mas. Maafkan Fira ...."
==========
"Le, Fira belum bilang po...?"
Pak Kusuma mengawali pembicaraan setelah sekian lama mereka sama-sama hening.
"Soal apa, Pak.........?" Tanya Raffi sedikit penasaran.
"Apa yang dikatakan Fira sampai kamu nekat ke sini...?"
"Fira cuma bilang kalau saya masih berniat memperjuangkan Fira menjadi istri saya, saya bisa menemui Bapak dan mengkhitbah Fira pada Bapak. Karena Bapak lah wali nasab Fira, yang paling berhak menentukan masa depan Fira. Dan saya sudah nggak menuntut Fira meninggalkan mimpinya. Jadi saya harap Bapak sudi menerima saya menjadi menantu,"
Raffi berkata penuh harap.
"Maaf, Le........! Mungkin ada satu hal yang lupa disampaikan Fira ...."
"Sudah, Pak", Raffi menjawab dengan suara pelan.
Pandangannya pun terus menunduk.
"Bahwa Fira dengan berbagai pertimbangan yang telah dipikir matang dan setelah melakukan istikhoroh sudah memutuskan memilih Fajar. Tapi Fira hanya mengatakan hal itu pada Fajar.
Dan Fajar juga belum resmi meminta Fira pada Bapak, bahkan Fira belum bilang pada Bapak kalau Fajar berniat mengkhitbahnya. Maka dari itu saya memberanikan diri mendahului menghadap Bapak. Saya paham, meskipun cara saya sedikit licik tapi sepaham saya ini tidak melanggar syariah. Karena hanya Fira yang mengiyakan, sementara yang lebih berhak menolak atau menerima pinangan adalah Bapak selaku wali nasab Fira",
Panjang lebar Raffi mengemukakan alasannya.
Dokter Kusuma kembali menatap Raffi.
Pikirnya, kekasih putrinya sungguh lihai untuk berusaha menikung sahabatnya sendiri.
Beliau tahu kegundahan hati Fira.
Juga paham bahwa Fira jelas tak sanggup mengatakan kebenaran yang pahit ini pada kekasihnya.
Untuk itulah jadi tugasnya selaku wali nasab untuk berbicara atas nama putri tunggalnya.
Memutuskan yang terbaik untuk masa depan putri yang sangat disayanginya.
Dan sekali lagi syariat harus tetap ditegakkan karena saat ini jelas bukan dalam kondisi darurat.
"Le! Pendapatmu itu memang masih diperselisihkan jumhur ulama, jadi menurut bapak itu masuk kategori syubhat. Dan kamu jelas paham to, Le...? Bahwa sebagai muslim kita wajib menghindari syubhat ...."
"Maaf, Pak.....! Tapi tinggal cara ini harapan saya satu-satunya untuk tetap bisa meminang Fira."
Raffi mulai menunjukkan watak aslinya yang keras.
"Dan sayangnya kamu terlambat, Le...! Bapak nggak akan mengungkit-ungkit masa lalu, di mana kamu menyia-nyiakan banyak kesempatan untuk meminang Fira ...."
Dokter Kusuma berkata dengan suaranya yang sedikit berat.
"Maksud Bapak...?"
"Kemarin sore pak Irsyad, bapaknya Fajar menelepon Bapak dan meminta Fira untuk menjadi istri Fajar. Bapak sendiri sudah bilang sama Fira, dan Fira nggak nolak saat Bapak minta Fajar untuk menemui Bapak hari ini ...."
Bagai sebuah palu godam menghantam dadanya saat Raffi mendengar penjelasan pak Kusuma.
Sesak sekali rasanya menerima kenyataan bahwa kekasih hati yang sangat dicintainya justru mempermainkan perasaannya dengan kejam.
Raffi memejamkan mata menahan air matanya agar tidak menetes.
Malu jika ia harus menunjukkan kelemahannya di hadapan dokter Kusuma.
"Karena itu Bapak hari ini praktik hanya sampai bakda Isya' karena Bapak berjanji untuk bertemu dengan Fajar. Mungkin sekarang Fajar dan Fira sedang dalam perjalanan ke sini. Mereka berdua sama-sama dari Jogja."
"Maaf, Pak....! Kalau saya mengganggu waktu Bapak. Saya mohon pamit. Insyaa Alloh saya akan datang mendampingi Fajar dan melantunkan qiroah saat akad nikah Fajar dengan Fira. Itu janji saya pada Fajar", Ucap Raffi sendu.
Ia segera bangkit dari duduknya dan menyalami dokter Kusuma sebelum beranjak keluar dari ruang praktik beliau.
Sesampai di dalam mobil Raffi tak kuasa lagi menahan air matanya.
Tangisan lelaki yang kalah itu terdengar memilukan.
Lebih tragis bagi Raffi adalah dirinya kini sendiri.
Dikhianati oleh kekasih dan sahabat terbaiknya sekaligus di waktu yang sama jelas bukan luka yang bisa dianggap sepele.
Bagaikan menikam punggungnya dari belakang, kedua orang yang disayanginya itu sukses menorehkan luka yang jelas tidak akan mudah sembuh dalam waktu singkat.
●●●
"Ini Fir.......",
Fajar mengangsurkan segelas teh hangat.
Fira menghidu aromanya, sungguh harum.
Jika ada yang bilang aroma teh yang diseduh mampu menghilangkan stres, agaknya Fira telah membuktikan.
Nyatanya perasaannya jadi lebih tenang setelah menghirup aroma teh panas yang diberikan Fajar.
"Itu campuran teh Tong Tji yang harum banget melatinya sama teh Poci yang lebih kental dan aroma tehnya kuat. Sebenernya masih kalah sih sama campuran andalan para R0 dan R1 Ortho, teh Gopek, teh Gardoe, dan teh Nyapu. Wah nggak ada duanya kalau itu. Sayangnya di Indomaret situ cuma ada teh celup ini, jadi ya kupakai seadanya",
Fajar menjelaskan panjang lebar tanpa diminta.
Fira tidak berkata apa-apa.
Ia menyesap tehnya sedikit demi sedikit.
Mengalirkan sedikit kehangatan ke dalam otaknya yang sedari tadi buntu.
"Residen itu emang multitalenta ya, Mas. Bahkan harus menguasai ilmu campuran teh segala",
Fira berusaha senormal mungkin membuka obrolan dengan Fajar.
Tak dipungkiri rasa bersalahnya masih dominan karena perkataannya tadi jelas melukai Fajar.
"Yah, begitulah hidup, Fir. Kita nggak bisa cuma terfokus sama satu hal. Seperti sekarang misalnya. Tahu nggak apa maksud Mas membawamu pindah ke sisi belakang rest area..?"
Fira hanya menggeleng pelan.
"Agar kamu bisa melihat sisi lain, Fir. Kalau di depan kan jelas kelihatan gunung Lawu besar banget soale kan deket. Nah, di belakang kalau cuaca cerah seperti sekarang kamu bisa lihat kan gunung Merapi dan gunung Merbabu...?"
Fajar berkata sambil meminum kopi hitam favoritnya.
Fira menoleh ke arah Fajar.
Ia tahu bahwa lelaki itu sedang berfilosofi.
Tapi Fira tidak terlalu paham maknanya, jadi hanya memilih untuk diam saja.
"Sebuah pernikahan, mayoritas orang bilang bahwa cinta adalah modal utamanya. Tapi sebenarnya komitmen jauh lebih penting dari cinta. Karena cinta bisa pudar tapi komitmen, apalagi sebuah miitsaqan ghaliza tetap harus dipegang teguh ...."
Fajar menatap Fira.
Dan saat pandangan mereka bertemu, ada debar aneh dalam diri Fajar yang ia sendiri sulit mengartikannya.
"Fira, seseorang dinikahi karena empat hal, kamu jelas paham itu. Yah, anggap saja Mas dan Raffi setara dalam hal agama. Lalu jika Fira memilih Mas karena Fira menganggap Mas mampu mewujudkan ambisi Fira, bukankah harusnya Mas bahagia..?"
Senyum merekah di bibir Fajar.
"Pernikahan dengan tujuan khusus juga dicontohkan oleh Rasulullah bukan...? Beliau menikahi Zainab binti Jahsy atas perintah Alloh agar semakin menegaskan soal perbedaan antara anak kandung dan anak angkat. Dan jika Fira pelajari lagi buku Sirah Nabawiyah utamanya tentang pernikahan Rasulullah, akan banyak ditemui tujuan-tujuan khusus beliau menikahi istri-istrinya setelah Khadijah. Jadi jika Rasulullah sudah mencontohkan, Mas juga nggak akan ragu sedikitpun untuk tetap memperistri Fira. Makasih ya Fir, sudah mau jujur."
"Tapi saya jelas-jelas manfaatin, Mas. Dan soal Naysilla, mungkin jika tidak ada wasiat itu, saya juga nggak akan sepeduli ini sama Nay ...."
Fira sedikit tercekat.
Tangan kirinya sibuk mengusap air mata yang mulai mengalir di pipinya.
"Yah, wajar kan kalau misalnya Fira jadi istri Mas dan dapat fasilitas khusus karenanya. Aisyah adalah salah satu perawi hadist terbanyak, dan nggak ada yang protes mentang-mentang beliau istri Rasulullah jadi paling banyak hafalan hadistnya. Semua sahabat menerima dengan senang hati dan justru menjadikan Aisyah salah satu rujukan untuk bertanya setelah Rasulullah wafat."
Fira kembali terdiam.
Dalam hati ia kagum dengan kelapangan hati lelaki di hadapannya.
Semua kalimat yang terlontar dari bibirnya benar-benar mencerminkan kedewasaan pemikirannya.
"Mas, kalau saja nggak ada wasiat itu. Apa Mas masih tetap berpikir untuk menikahi Fira...?"
"Nggak usah berandai-andai, Fir...! Itu nggak akan mengubah keadaan. Anggap saja wasiat itu jalan jodoh kita. Misalnya nggak ada wasiat itu, tapi takdir jodoh kita sudah ditetapkan ya pasti tetep ada lah jalannya. Dan soal ketulusanmu dengan Naysilla nggak usah dibahas lagi, bayi lebih peka daripada orang dewasa. Kalau Fira nggak bener-bener menyayangi Nay, nggak mungkin dia lengket banget sama kamu."
"Soal wasiat Ifah ...",
Fajar terdiam sejenak.
Pandangannya menerawang.
Ada rasa perih di hatinya tiap kali membicarakan almarhumah istrinya.
"Tidakkah kamu berpikir, Fir....? Dia berusaha mencarikan solusi untuk kita. Satu sisi memang terlihat menguntungkan buat Mas. Duda yang baru ditinggal mati istrinya dengan bayi prematur dan menderita RoP. Nggak perlu susah-susah nyari istri baru yang mau ngerawat bayinya ...."
"Mas.......! Jangan bilang gitu...!"
Refleks Fira mencengkeram lengan Fajar, berusaha mencegah lelaki itu melanjutkan kalimatnya.
Fajar menatap Fira dengan sorot mata tajam.
Ia juga mengibaskan lengannya, melepaskan diri dari cengkeraman Fira.
Menyentuh wanita bukan mahrom bukanlah kebiasaannya, kecuali dalam kondisi darurat.
"Tapi kamu juga jangan lupa....! Bahwa kamu sering curhat sama Ifah soal ambisimu dan hubunganmu dengan Raffi yang nggak ada kejelasannya. Kamu sendiri sudah ragu untuk memilih Raffi. Kalau kamu nggak ragu, mungkin kalian sudah menikah saat kamu lulus sarjana kedokteran dulu. Jangan kamu mengkambinghitamkan wasiat ini untuk alasanmu menolak Raffi..! Karena Ifah juga sedang mencarikan solusi untukmu. Ia paham betul aku akan berusaha membantumu mencapai impianmu karena ...",
Fajar tidak melanjutkan kalimatnya.
Ia sadar hampir keceplosan tadi.
"Karena apa, Mas.....?" Tanya Fira keheranan.
Fajar memejamkan matanya.
Batinnya berkecamuk.
Bimbang antara melanjutkan kalimatnya atau tidak.
Akhirnya ia lebih milih jujur.
Bukankah tadi Fira juga sudah jujur dengan perasaannya.
"Karena aku bisa sampai tahap ini juga tidak lepas dari bantuan dokter Kusuma ...."
"Maksud Mas......?"
Fira benar-benar terkejut.
"Kamu pasti inget mas Bimo kan, Fir..?"
"Dokter Bimo yang dulu kerja jadi dokter IGD di Insan Sehat...? Yang sekarang sudah jadi Sp. PD di Cirebon...? Itu Fira kenal, beliau masuk IPD di Unair karena rekomendasi bapak. Dan sebenernya bapak pengen jodohin dokter Bimo sama Fira. Cuma waktu itu Fira kan udah ada Mas Raffi. Lalu apa hubungannya sama dokter Bimo...?"
"Mas Bimo itu sepupuku. Dulu saat habis lulus aku bingung mau ngapain. Cuma kerja di klinik-klinik. Dia menasehatiku untuk lanjut spesialis. Tapi kamu tahu sendiri, PPDS butuh rekomendasi untuk syarat daftarnya. Dan Mas bingung saat itu harus minta ke siapa. Bener Mas pinter, asisten anatomi, tapi saat koass Mas pendiem sih, bukan tipikal yang deket sama konsulen. Jadi agak susah juga cari rekomnya. Dan mas Bimo nyuruh Mas untuk coba temuin dokter Kusuma. Disuruh bilang jujur kalau aku anaknya pak Irsyad. Pasti dikasih rekom."
"Jadi gosip yang saya denger selama ini bener, Mas...?"
"Eh gosip apa......?"
Fajar sedikit kaget.
Ia sendiri tidak pernah merasa jadi topik pembicaraan.
"Sebelum Mas menikah sama Ifah saya udah denger gosip kalau Mas mau dijodohin sama saya. Karena Mas bisa jadi dosen salah satunya karena rekomendasi eyang Narko, omnya Bapak yang profesor hematologi anak."
"Hahaha ... bener sih kalau soal rekomnya. Dokter Kusuma menyuruhku menemui Prof. Narko untuk minta rekom agar lebih menguatkan. Dan saat aku ditanya apa kenal deket sama Fira ya aku iyain aja. Lha kan kita emang kenal deket. Dan Prof. Armand, sesepuh Ortho itu kan temen main tenis Prof. Narko. Jadi yaa tahu kan jalan cerita selanjutnya."
Fajar terdiam sejenak sambil kembali menyesap kopinya.
Ia mengingat sesuatu.
Kemudian ucapnya lagi,
"Pantas saja pas aku ngasih undangan nikah dulu Prof. Armand dan Prof. Narko raut wajahnya agak beda. Rupanya ada kesalahpahaman yang nggak disengaja. Jadi gimana....... ? Kita lanjutin aja ya biar jadi beneran, nggak salah paham lagi...?"
Senyum Fajar yang sekilas tampak menggoda membuat Fira sedikit salah tingkah.
Tapi ada satu pertanyaan lagi yang perlu ia tanyakan guna memastikan perasaan Fajar.
Bersambung #15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel