Cerita bersambung
Fira tergagap bangun dari tidurnya.
Ia melirik ponselnya, penanda jam menunjukkan pukul 04.30.
Fira termenung sejenak, mengingat-ingat sesuatu.
Rupanya tadi ia ketiduran setelah shalat tahajud.
Usai menunaikan shalat subuh Fira kembali melamun.
Ia memikirkan mimpinya barusan yang nerupakan flashback saat-saat akhir kehidupan sahabatnya.
Menurut kepercayaan Jawa mimpi di saat seperti itu namanya Puspa Tajam.
Semacam firasat untuk mengatasi masalah kehidupan.
Bahkan dipercaya ada petunjuk dari Tuhan di balik mimpi itu.
Fira semakin yakin bahwa keputusannya adalah yang terbaik, meski jelas hatinya terasa sangat berat.
'Assalamu'alaykum, Mas Fajar, apakah hari ini Mas ada waktu untuk bertemu....? Ada yang ingin Fira tanyakan, setidaknya sebelum Fira memberi jawaban atas permintaan wasiat itu' Pesan itu ia tujukan pada Fajar.
Kemudian gadis itu mengetik pesan lagi yang ditujukan pada Raffi.
'Assalamu'alaykum, Mas Raffi, please temui Fira di Jogja besok. Ada yang sangat mendesak perlu kita bicarakan. Penting banget, Mas. Please, ya ....'
Usai menulis kedua pesan itu Fira segera mandi dan bersiap.
Gadis itu tampak modis dengan gamis modern motif geometri dan jibab perpaduan pink dan silver.
Tak lupa ia memulaskan make up tipis di wajah, membuatnya makin tampak menawan.
Sebelum keluar dari kamarnya Fira sempat melirik ponselnya sejenak.
Kedua lelaki itu rupanya sudah membalas pesannya.
'Wa'alaykumussalam, insya Alloh bisa, Fir. Mas hari ini nggak jaga kok. Nanti kalau Fira sudah sampai Jogja bilang ya, biar Mas jemput di kost'
Fira sedikit terheran dengan bahasa Fajar yang membahasakan dirinya dengan panggilan 'mas' padahal sebelumnya lelaki itu selalu menggunakan kata 'aku' sebagai kata ganti dirinya.
Lagipula tidak biasanya Fajar menawarkan diri menjemput dan mengajak pergi berduaan.
Sementara pesan dari Raffi, seperti sudah ia duga sebelumnya.
Lelaki itu menolak bertemu dengannya.
Perasaan sedih tentu saja ada, tapi segera ditepisnya.
Mungkin tidak bertemu adalah solusi terbaik, mengingat ia sendiri tak yakin akan mampu mengucapkan kalimatnya dengan lancar jika berhadapan langsung dengan kekasih yang telah mengisi hatinya sepuluh tahun ini.
"Ndhuk....! Kamu nggak sarapan po..? Katanya mau ke Jogja pagi-pagi." Suara ibunya mengagetkan Fira.
Gadis itu segera bergegas keluar kamar, menuju meja makan.
Seperti biasa, pagi itu hanya Fira dan Bu Rindi yang sarapan bersama.
Ayah Fira tentu sudah berangkat sejak usai subuh tadi.
Visite pasien di rumah sakit swasta kemudian praktik pagi sejenak di apotik milik sahabatnya.
Sengaja tidak praktik di rumah karena tidak mau mengganggu waktunya bersama keluarga.
Jika waktu sudah menginjak pukul 07.30 ayahnya segera berangkat ke RSUD, menunaikan kewajibannya sebagai ASN di sana.
Begitulah kehidupan dokter, hanya punya sangat sedikit waktu untuk keluarga.
Fira jelas paham itu.
Tapi entah kenapa alam bawah sadarnya masih menginginkan suami seorang dokter.
"Ndhuk.........! Gimana........? Kamu sudah mantep sama pilihammu....?" Tanya bu Rindi tiba-tiba di antara suapan nasi gorengnya.
"Nggih, Bu....! Insya Alloh", Jawab Fira pendek.
Ia sedikit enggan membicarakan perihal pilihan jodoh dengan ibunya.
Sudah bisa ditebak kalau sebenarnya ibunya itu tidak menyetujui pilihannya.
Beruntung juga Bu Rindi tidak membicarakan lebih lanjut.
●●●
Mobil swift silver metalik itu melaju dengan kecepatan 70 km/jam di jalan tol.
Fira yang berada di balik kemudi memang tidak pernah berkendara melebihi kecepatan yang ditentukan.
Jika tujuan utama ke Jogja seharusnya Fira lurus saja saat melewati gerbang tol Solo untuk nantinya keluar di gerbang tol Kartasura.
Tapi Fira mendadak mengubah tujuannya.
Ia berbelok keluar di gerbang tol Solo.
●●●
Gadis bergamis abu-abu silver itu berjalan dengan anggun menyusuri jalan yang membelah makam Pracimaloyo tanpa rasa takut sedikitpun.
Pikirnya untuk apa takut pada kematian, toh semua orang pada akhirnya akan mati.
Bahkan saat melewati makam yang dipercaya tempat persemayaman terakhir Ratu Beruk yang memiliki mitos angker pun, Fira tak merasa keanehan apapun.
Menurut pendapatnya manusia adalah makhluk Alloh paling sempurna, tidak perlu takut pada makhluk ghaib, asalkan selalu berserah diri pada Alloh.
Langkah kaki Fira pelan dan teratur menyusuri ratusan nisan sembari mengucap salam pada ahli kubur.
Tujuannya jelas ke makam sahabatnya.
Fira tentu paham betul di mana makam Ifah meskipun tanpa nisan karena memang mayoritas keluarga Ifah meyakini larangan untuk menembok kubur.
Sosok tubuh yang berjongkok di samping gundukan tanah merah yang bertabur bunga itu jelas mengejutkan Fira.
Tak perlu mendekat hanya untuk memastikan siapa sosok lelaki itu, jelas Fira hafal betul bentuk perawakannya meskipun hanya tampak belakang.
Ia sengaja berhenti agak jauh, takut untuk mengganggu kekhusyukan orang itu.
Tatapan Fira lekat pada lelaki itu.
Secebik rasa haru menjalar di hatinya. Nasib memang seringkali tampak tak adil.
Bagaimana tidak, di luar sana banyak suami istri yang tetap bersama karena keterpaksaan, tanpa cinta dan kasih sayang, bahkan saling menyakiti.
Sementara lelaki itu, jelas Fira menyaksikan sendiri, cintanya pada sang istri sangatlah besar.
Sayangnya maut memaksa dua sejoli itu bercerai.
Bahkan saat sang istri sudah tiada, pria itu masih setia dengan cintanya.
Fira jelas tidak akan lupa pada peristiwa malam itu.
Saat pria yang sedang bermonolog dengan makam di hadapannya itu meminta bantuannya memandikan dan mengkafani jenazah istri tercintanya.
Di tengah batinnya yang tentu saja sangat berduka, lelaki tabah itu tetap dengan ekspresinya yang teduh.
Dengan lembut ia memperlakukan jenazah istrinya, seolah takut kalau wanita yang baru saja syahid itu akan merasa kesakitan jika ia terlalu kuat menggosok.
Pun saat ia dengan hati-hati menggendong tubuh dingin yang mulai kaku dan membaringkannya pelan pada helaian kain kafan yang telah disiapkan.
Fira terharu dengan bukti cinta luar biasa yang tersaji di depan matanya.
Lelaki shalih yang menyiapkan penampilan terbaik bagi istrinya saat wanita itu menghadap sang Khalik.
Berharap keikhlasan dan keridhoannya sebagai suami bisa melapangkan jalan sang istri di alam Barzakh.
"Fira, terima kasih atas semua yang sudah kamu lakukan. Aku jelas nggak akan sanggup membalas kebaikanmu. Dan maafkan aku Fira...! Aku punya janji mewujudkan wasiat istriku. Pasti aku akan berusaha semampuku agar keinginan almarhumah terwujud. Tapi tidak denganmu. Kamu tidak punya janji. Dan kamu bisa menolak jika memang tidak bersedia. Akupun akan menerima penolakanmu dengan lapang dada. Toh kamu berhak bahagia dengan siapapun yang menjadi pilihanmu", Ucap pria tabah itu usai menyelesaikan pengurusan jenazah istrinya.
Fira tentu saja hanya mampu terdiam.
Mau menolak ataupun bersedia, kedua hal itu memiliki konsekuensi yang tidak ringan baginya.
●●●
"Assalamu'alaykum, Sayang. Semoga Allah melapangkan kuburmu dan melindungimu dari siksa di alam Barzakh ...." Fajar berkata sambil sesekali mengusap tanah makam istrinya.
Tak lupa ia lantunkan doa ziarah kubur dengan penuh penghayatan.
"Sayang......................! Maafkan Mas ya.........! Mas nggak bermaksud untuk mengganggu ketenanganmu. Mas hanya ingin berbagi cerita. Sayang.............! Alhamdulillah anak kita lahir selamat dan sehat. Meskipun kemungkinan nanti dia tuna netra, tapi Mas yakin Alloh pasti memberi kelebihan lain di balik kekurangannya itu. Dan kamu tahu, Sayang..? Fira sudah mengasuh anak kita dengan penuh kasih sayang seperti layaknya ibu kandung. Mas berharap dia mau menerima wasiatmu. Mas sendiri nggak yakin ada orang lain yang bisa menyayangi Naysilla seperti tulusnya kasih sayang Fira.
Mas berharap dia mau menerima wasiat itu. Entah bagaimana hidup Mas dan Naysilla seandainya ia menolaknya. Mas tahu sampai kapanpun Mas nggak akan bisa membalas budi baik Fira. Tapi Mas janji, jika ia mau menerima wasiat itu dan menikah dengan Mas...,
Mas akan memperlakukannya dengan baik. Mas akan berusaha menjadi imam yang sholeh untuk nya, membimbingnya untuk menjadi istri yang shalihah. Semoga ridho suami menjadi penolongnya di akhirat nanti. Mas akan berusaha mencintai Fira sepenuh hati seperti Mas mencintaimu. Bukankah dia sahabat yang sangat kamu sayangi....? Mungkin untuk itulah Sayang menitipkan wasiat ini, agar selamanya tidak terpisah dengan sahabat tersayangmu. Semoga Mas bisa mewujudkan keinginanmu, membersamaimu dan Fira hingga ke Jannah."
Bercucuran air mata Fajar saat mengucapkan rangkaian kalimatnya.
Perasaannya yang tak menentu membuatnya tidak menyadari ada sosok yang sudah berdiri di belakangnya.
"Mas Fajar........", Panggil sosok itu.
Refleks Fajar menoleh ke arah sumber suara.
Betapa terkejutnya ia saat melihat siapa yang sudah berdiri di belakangnya.
"Fira ...."
Fajar tertegun, tidak mampu menyembunyikan rasa terpesonanya pada gadis yang baru saja memanggil namanya.
Baru kali ini ia melihat Fira dengan pakaian yang sangat modis dan berpulas make up, membuat kecantikannya semakin menawan.
Lelaki normal manapun jelas tidak akan mampu menolak pesona kecantikan Fira.
Begitupun Fajar, debar yang tiba-tiba muncul di dadanya jelas tak perlu penafsiran yang rumit.
Agak lama Fajar terpaku sebelum kemudian ia tersadar kemungkinan Fira mendengar semua omongannya tadi.
Hal itu jelas membuatnya salah tingkah.
"Fir........! Maaf ...", Ucap Fajar berusaha menyembunyikan kecanggungannya.
==========
Niat hati Fira di awal tadi keluar gerbang tol Solo adalah ingin ke rumah orang tua Raffi.
Selain berniat silaturahim juga meminta bantuan untuk bertemu Raffi.
Mengingat akhir-akhir ini kekasihnya itu seolah-olah menghindar untuk bertemu dengannya.
Hanya saja entah dorongan dari mana yang menbuatnya membelokkan arah tujuan hingga sekarang ia justru berziarah ke makam almarhumah Ifah.
Dan seperti sudah diatur oleh guratan takdir, ia bertemu dengan Fajar di tempat ini.
Lebih dari itu, bahkan mendengar ungkapan terdalam hati Fajar tanpa sengaja.
Apakah ini petunjuk jawaban atas istikhorohnya selama ini....?
Sejujurnya Fira masih gamang.
"Kenapa minta maaf, Mas...? Harusnya Fira yang minta maaf. Udah ganggu Mas yang mungkin ingin sendiri mengenang almarhumah. Yaudah Fira pamit dulu, Mas. Mungkin lain kali Fira bisa berziarah lagi", Ucap Fira.
Gadis itu sudah hendak beranjak dari tempatnya.
"Tunggu, Fir.....!" Cegah Fajar.
"Bukannya katamu ada yang mau dibicarakan sama, Mas. Maksud Mas, kita bisa sekalian ngobrol mumpung ketemu."
Entah kenapa Fajar tidak ingin melepas Fira pergi begitu saja.
Susah payah ia meredam rasa canggung yang tiba-tiba muncul.
"Lagipula kamu sudah sampai sini. Sekalian ziarah saja. Mas sudah selesai kok doanya", Sambung Fajar cepat, mengunci alasan bagi Fira untuk segera pergi.
Mau tak mau Fira akur dengan arahan Fajar.
Ia berjongkok di hadapan pusara sahabatnya.
Merapalkan doa-doa ziarah kubur yang dihafalkannya.
Berharap doa yang ia lantunkan bisa menerangi dan melapangkan jalan sahabatnya di alam Barzakh.
Usai berdoa Fira menengok ke belakang.
Tampak Fajar masih berdiri di tempatnya dan menatap wajahnya dengan ekspresi yang sulit ia tafsirkan.
Bukan raut muka seperti biasa saat mereka sering berbincang dulu.
Sadar akan kecanggungan itu, Fajar angkat bicara,
"Kalau kamu butuh privasi, Mas bisa nunggu agak jauh, kok."
Hanya gelengan lemah dan senyum tipis yang menjadi jawaban Fira.
Senyum yang biasa tapi efeknya luar biasa bagi Fajar.
Entah apa yang terjadi padanya, seolah jantungnya berdetak sangat cepat hanya karena menatap wajah dengan senyuman manis itu.
Refleks ia memegang pergelangan tangannya karena merasakan palpitasi.
Sedikit lega karena denyut nadinya masih dalam batas normal.
Tak perlulah melakukan manuver Vagal, pikirnya. Lagipula apa gunanya manuver Vagal jika penyebab debaran jantungnya adalah karena suatu perasaan aneh yang entah sejak kapan mulai bersemayam di hatinya.
"Kamu beruntung sekali Ifah. Bahkan setelah kematianmu, Mas Fajar masih sangat mencintaimu. Kalian benar-benar jodoh sehidup sesurga. Semoga aku bisa seberuntung dirimu ...",
Batin Fira sambil mengelus pusara sahabatnya.
Jelas ia tidak bisa bermonolog karena posisi berdiri Fajar yang masih dalam jangkauan pendengaran.
"Sudah......, Mas. Mau ngobrol di mana..? Ngomong-ngomong Mas parkir mobil di mana...? Biar Fira ambil mobil di tempat Bulik Ndari dulu terus kita ketemuan. Terserah sih di mana, yang penting enak buat ngobrol."
Fira menguatkan hati untuk bersiap membicarakan keputusan pilihannya.
"Mas nggak bawa mobil kok. Tadi naik taksi online. Habis jaga semalam. Dan tahu sendirilah julukanku itu pemanggil pasien. Ada 4 operasi emergency semalam. Ngantuk berat jadinya, nggak sanggup kalau harus bolak-balik Jogja - Solo. Kalau Fira nggak keberatan, Mas boleh nebeng bareng ke Jogja..? Mas aja nanti yang nyetir, biar Fira duduk nyaman di samping Mas. Tenang aja, Mas emang suka ngebut kalau nyetir, tapi masih taat aturan lalu lintas kok."
Entah keberanian dari mana yang membuat Fajar melontarkan candaan seperti itu.
Fira menuruti perkataan Fajar.
Berdua mereka berjalan bersisian di sela-sela nisan.
Tujuan mereka jelas ke rumah Bulik Ndari, adik kandung dokter Kusuma, ayah Fira.
"Mas Fajar ...."
Fira tampak ragu melanjutkan kalimatnya.
"Ya....?! Ada apa, Fir....?" Jawab Fajar.
"Ennggg ... maaf kalau mungkin nanti sambutan bulik Ndari agak aneh. Soalnya biasanya Mas Raffi yang suka ke situ. Lagipula Bulik dan Bu Nur, ibunya Mas Raffi, sama-sama pengurus Aisyiyah, jadi ya kenal baik pastinya."
Sebersit gelenyar aneh membuat hati Fajar terasa perih saat mendengar Fira menyebut nama Raffi.
Tapi segera ditepisnya, karena pada kenyataannya pastilah Fira masih sangat mencintai Raffi.
Lagipula Fira berani mengajaknya ke tempat keluarganya, bukankah itu artinya kemungkinan besar dirinya yang akan dipilih Fira.
Tanpa sadar Fajar mengulum senyum saat memikirkan hal itu.
"Mas! Sudah sampai", Kata Fira.
Tangannya bergerak untuk membuka pintu.
"Assalamu'alaykum",
Fira mengucap salam kemudian memasuki rumah itu.
Ia menyuruh Fajar untuk duduk di teras, sementara dirinya masuk memanggil buliknya.
Seperti diduga sebelumnya, sambutan bulik Ndari terasa aneh dan kaku.
Meski beliau berusaha ramah seperti halnya adab memperlakukan tamu, tapi rasa canggung jelas tak dapat disembunyikan.
Fajar sendiri maklum dengan hal itu.
Jadi ia pun bersikap sewajar mungkin.
"Mas duduk dulu....! Fira buatkan minum, ya...!"
"Makasih, Fir. Tapi sudah menjelang dzuhur. Mas mau ke masjid dulu. Selesai sholat dan urusan Fira beres kita bisa segera pulang", Ucap Fajar sedikit kikuk.
Sedari tadi mata bulik Ndari tidak beralih dari memandang dirinya.
●●●
"Ndhuk.......! Siapa lelaki itu.....?"
Bulik Ndari mendadak sudah di belakang Fira.
"Namanya Fajar Hanafi, Bulik. Dia kakak kelas Fira di kedokteran. Sekarang ambil spesialis Orthopedi dan sudah diangkat dosen", Jawab Fira.
Tangannya tidak beralih dari sendok yang sedang mengaduk segelas kopi hitam.
Usai shalat Dzuhur berjamaah Fira memang segera ke dapur.
Niatnya untuk menghindari pertanyaan buliknya.
Tapi rupanya ia memang tidak bisa menghindar.
Dan sekarang mau tak mau ia harus menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang meluncur dari mulut Bulik Ndari, mirip seperti interogasi.
"Jadi itu lelaki pilihanmu..? Kalau Bulik nggak salah, bukannya dia duda...? Istrinya kan sahabat dekatmu, baru saja meninggal kan...? Lalu gimana sama si Raffi, anaknya bu Nur itu..? Bukannya kamu dah lama banget pacaran sama dia...? Kok sekarang malah milih orang lain...?"
Rentetan kalimat tanya yang tidak disangka oleh Fira.
Pikirnya, dari mana buliknya itu tahu.
Seolah bisa membaca pikiran Fira, Bulik Ndari segera menyambung kalimatnya,
"Bapakmu tadi pagi nelpon. Beliau cerita kalau kamu mungkin sebentar lagi menikah. Dan salah satu lelaki yang kamu pertimbangkan jadi suami berstatus duda cerai mati beranak satu. Beliau memintaku untuk menasihatimu. Yah, kamu tahu sendiri kan, Ndhuk. Bulik juga menikah sama duda beranak satu yang ditinggal mati istrinya ...."
Fira tidak menjawab apapun.
Ia hanya mendengarkan dengan takzim setiap kata yang meluncur dari mulut buliknya.
"Ndhuk........! Pikirkan dulu masak-masak sebelum nanti kamu menyesal....! Nikah itu kalau bisa sekali seumur hidup. Kalau kamu salah langkah dan nggak bahagia sama pernikahanmu, hidupmu pasti akan sangat menderita. Dan status perawanmu juga nggak bisa balik kalau kamu cerai. Sementara menyandang status janda cerai hidup itu jelas menimbulkan stigma buruk di masyarakat. Tak peduli meskipun alasan cerainya adalah karena suami yang suka KDRT sekalipun."
Fira hanya mampu menunduk.
Dalam hatinya ia membenarkan perkataan bulik Ndari.
"Ndhuk.......! Nikah sama duda itu pasti lebih berat. Jika ia cerai hidup jelas kamu akan berurusan dengan mantan istrinya. Sementara jika cerai mati, kamu juga akan berurusan dengan kenangannya. Sudah sewajarnya jika orang akan selalu mengingat hal-hal baik dari orang yang sudah meninggal. Meskipun tanpa sadar dan mungkin tidak diucapkan langsung, tapi suamimu pasti akan selalu membandingkanmu dengan mantan istrinya yang telah tiada. Belum lagi soal pengasuhan anak. Kamu jelas paham kan jadi ibu sambung itu serba disalahkan. Kamu dituntut untuk menyayangi anak tirimu seperti anak kandungmu, tapi di sisi lain kamu tidak bisa memarahi dan mendidknya dengan disiplin karena pasti kamu akan dianggap kejam. Jika anak itu jadi anak yang berakhlak baik dan sukses, yang mendapat pujian tentu orang tua kandungnya. Sementara jika anak itu jadi berandalan, kamulah yang akan disalahkan. Dianggap nggak becus ngurus anak dan membeda-bedakan pendidikan antara anak tiri dan anak kandungmu sendiri", Bulik Ndari memberi nasihat panjang lebar.
"Nggih......., Bulik. Fira paham. Maturnuwun atas nasihatnya, Bulik. Fira mohon doa restu semoga keputusan Fira adalah yang terbaik", Ucap Fira pelan.
"Soal anaknya Bu Nur, Bulik nggak akan tanya, kecuali kamu cerita sendiri. Dan Bulik percaya, kamu sudah dewasa, Ndhuk. Jadi sudah bisa memutuskan sendiri. Doa Bulik, semoga kamu selalu dilindungi Alloh."
Bulik Ndari menutup nasihatnya.
Beliau sempat membelai puncak kerudung keponakannya sebelum beranjak ke kamar.
●●●
Fajar dan Fira duduk berhadapan di kursi teras.
Siang itu Fira menyuguhkan kopi hitam tanpa gula, minuman favorit Fajar.
Sementara dirinya sendiri memilih teh tawar dengan irisan lemon untuk menemani obrolan serius siang itu.
"Makasih kopinya, Fir. Kamu tahu aja kalau Mas suka banget kopi hitam."
Fajar membuka pembicaraan.
"Iya, Mas. Kapan itu Mas Raffi pernah bilang soal minuman dan makanan favorit Mas Fajar", Ucap Fira spontan.
Jawaban yang sedikit disesalinya.
Tapi ia juga tidak mampu menyangkal bahwa hati dan pikirannya masih penuh dengan kenangan manis tentang Raffi.
"Mas Fajar.........! Mas nggak keberatan kan, kalau kita ngobrolnya di sini aja...?"
"Sama sekali nggak lah. Yang penting kamu nyaman, Mas sih nggak masalah mau di mana", Jawab Fajar sambil menyesap cangkir kopinya.
Terasa jauh lebih nikmat di lidahnya, rasa kopi buatan tangan gadis yang jadi objek kekagumannya saat ini.
"Eengg .... Mas, Fira cuma mau memastikan. Jika Fira memilih Mas jadi calon suami, apakah Mas masih mengizinkan Fira untuk bekerja...? Tentu tanpa mengabaikan kewajiban Fira sebagai istri untuk mengurus rumah tangga. Kemudian apakah Fira boleh tinggal di dekat Bapak dan Ibu...? Maksud Fira, paling tidak area Jogja, Solo, dan sekitarnya yang masih sangat terjangkau kalau mau pulang ke Sragen. Mas tahu sendiri kan, Fira anak tunggal. Otomatis tugas mengurus orang tua jadi kewajiban Fira seorang."
Rangkaian kalimat itu diucapkan Fira dengan penuh pertimbangan.
Jawaban Fajar jelas akan menentukan pilihan yang akan diambilnya.
Fajar sedikit tersedak mendengar pertanyaan Fira.
Untunglah tidak ada semburan kopi yang meluncur keluar dari mulutnya saat ia tersedak tadi.
Meski begitu perasaan hangat yang nyaman mulai menyelubungi hatinya.
Tidak ada ragu sedikitpun, lelaki itu menjawab pertanyaan Fira.
Catatan :
Manuver Vagal: penekanan area leher untuk memperlambat laju jantung (tidak boleh dilakukan sembarangan, karena ada kontraindikasi tertentu yang membuat tidak semua denyut jantung yang terlalu cepat dapat dilakukan manuver ini)
Bersambung #10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel