Cerita bersambung
"Fir..........! Bisa tolong ke sini bentar...? Ifah mau lihat Naysilla."
Suara Fajar di ujung telepon membuat Fira segera bangkit dari peraduannya dan bergegas mengikuti instruksi Fajar.
Sesampai di Perinatologi, Fira segera menghampiri box Naysilla.
Segera ia nyalakan panggilan video whatsapp.
Tampak di seberang sana Ifah dengan wajah pucat dan lemas bersama Fajar di sampingnya.
Tapi ekspresi bahagia tak dapat disembunyikan saat ibu yang baru saja bertaruh nyawa itu untuk pertama kali melihat putrinya.
Samar-samar Fira melihat butiran air mata yang luruh dari kedua netra Ifah.
"Assalamu'alaykum, sayang. Semoga kamu bisa dengar suara Mamah ya. Maafkan Mamah yang mungkin nggak akan pernah bisa menyentuhmu. Maafkan Mamah juga kalau Naysilla nggak akan pernah bisa merasakan ASI. Naysilla baik-baik ya sama Bunda Fira...! Bunda Fira pasti akan sangat menyayangimu seperti halnya dia menyayangi Mamah. Bunda Fira pasti bisa mendidikmu jadi anak shalihah. Naysilla sayang, jadi amal jariyah untuk Mamah ya ...."
Fira tercekat mendengar perkataan Ifah.
Logikanya jelas bisa menangkap makna di balik kalimat itu.
Di seberang sana Ifah masih berceloteh dengan riang.
Tapi nyata bagi Fira kalau semua yang diucapkan Ifah bagaikan kalimat perpisahan untuk putri mungilnya yang bahkan mungkin belum dapat mendengar ucapan ibunya.
"Naysilla jadi anak yang nurut ya sama Bunda Fira. Semoga nanti kita bisa berkumpul di Jannah. Wassalamu'alaykum, Sayang .."
Kalimat penutup yang dilontarkan Ifah membuat Fira tersadar.
Ia buru-buru mematikan panggilan video nya.
Segera setelah meletakkan Naysilla kembali di boks nya, Fira langsung bergegas menemui sahabatnya.
Berharap semua yang didengarnya tadi hanya racauan pasien yang delirium.
Siapa sangka saat sampai di depan pintu HCU, ruangan tempat Ifah dirawat, Fajar sudah menunggu Fira.
Tatapan lelaki itu sulit ditafsirkan oleh Fira.
Ada gurat kesedihan yang jelas tampak, selain itu seperti ada sesuatu yang hendak diungkapkan.
Fira menunggu beberapa saat, berharap Fajar mengatakan sesuatu.
Tapi nihil, lelaki tabah itu hanya menggelengkan kepala dan mempersilakan Fira masuk.
Sempat dilihat oleh Fira setetes air mata meleleh dari sudut netra Fajar.
"Assalamu'alaykum, Fah..!" Ucap Fira sepelan mungkin, takut mengejutkan sahabatnya.
"Wa'alaykumussalam", jawab Ifah.
Terlihat sekali kalau wajah Ifah tampak pucat dan lemah.
Tapi Fira tahu sahabatnya itu berusaha agar semua tampak baik-baik saja.
Refleks Fira melihat ke arah urine bag, tampak bahwa produksi urine cukup dan perdarahan di drain sudah tidak produktif, tanda perdarahan teratasi dan kekhawatiran shock bisa disingkirkan.
Tapi saat melirik tekanan darah sistolik di monitor menunjukkan angka 75 dengan Dobutamin dosis maksimal pada syringe pump, Fira paham bahwa kondisi Ifah belum sepenuhnya membaik.
"Fira", kata Ifah.
Senyum termanis ditunjukkaanya untuk sahabat terbaiknya itu.
"Aku mau minta satu permintaan, anggap saja ini wasiat ...."
"Nggak...! Nggak, Fah...! Jangan putus asa........! Kamu pasti akan sembuh. Ingat bayimu.........! Dia kecil dan terlahir prematur, jauh sebelum waktu lahirnya, tapi tetap berjuang untuk hidup..! Apa kamu nggak ingin ngasuh dia ..? Bahkan kamu belum sempat ketemu bayimu. Ifah ...."
Kalimat Fira terhenti saat ia merasa jemari sahabatnya itu mencengkeram kuat lengannya.
"Fira.......! Kamu sahabat terbaikku..! Cuma sama kamu aku ikhlas menitipkan hal yang paling berharga dalam hidupku. Anggap saja ini wasiat ku, Fira...! Tolong......! Rawat Naysilla dan nikahlah sama Mas Fajar ...."
"Nggak, Fah...........! Kamu pasti delirium....! Wajar pada orang dengan shock. Aku panggil residen jaganya."
Fira hendak beranjak pergi tapi cengkeraman di tangannya semakin kuat.
"Fira..........! Aku compos mentis...! Otakku juga sehat dan sadar atas semua konsekuensi ucapanku. Please, Fira.....! Cuma kamu yang aku yakini bisa merawat Naysilla dengan baik. Dan mas Fajar pasti bisa jadi suami yang shalih untukmu. Bukannya aku egois, Fir..! Tapi hubunganmu sama mas Raffi kan hampir mustahil dapat restu dari orang tuamu. Kalau dengan mas Fajar pasti orang tuamu merestui. Kumohon, Fir......! Demi kebaikanmu juga ...."
Air mata Ifah kontan luruh usai menyelesaikan kalimatnya.
"Ifah .... "
"Fira.......! Aku nggak berputus asa. Aku paham, hanya orang-orang kafir yang berputus asa dari rahmat Alloh. Aku tetap berusaha merawat kehidupanku. Hanya saja kita nggak akan pernah tahu apa yang terjadi. Kamu sendiri paham, kan..? Dengan semua alat yang terpasang dan obat-obat yang disuntikkan padaku, jelas kondisiku jauh dari baik-baik saja. Please ya, Fira.....!"
Ifah kembali memohon.
Fira hanya membisu.
Ia tidak sanggup menjawab permohonan sahabatnya itu.
Lama keduanya larut dalam kebisuan masing-masing.
Kondisi yang serba tidak enak bagi Fira.
Tak bijak rasanya jika ia langsung menolak permohonan sahabat terbaiknya itu.
Sementara untuk menerima juga jelas butuh pertimbangan matang.
Untung saja beberapa saat kemudian Fajar memanggilnya keluar karena harus bergantian masuk dengan orang tua Fajar yang datang menjenguk.
"Ifah sudah ngomong, Fir...?" Tanya Fajar langsung saat mereka sudah berada di luar HCU.
"Maksud, Mas........?"
Fira pura-pura tidak tahu.
"Soal wasiat itu ...."
Fira terperanjat mendengar kalimat Fajar.
Tampaknya Ifah benar-benar serius dengan permohonannya.
Nyatanya sahabatnya sudah menyampaikan pada suaminya.
Fira hanya mengangguk pelan sebagai jawaban atas pertanyaan Fajar.
Fajar mendesah keras menandakan pikirannya yang sedang kalut.
"Maaf...., Fir. Nggak usah dipikirkan ya....! Wallahi aku nggak mungkin menikungmu dari Raffi ...." Ucap Fajar pelan.
"Iya....., Mas. Nggak apa-apa. Fira nggak mikir kok, Mas. Lagipula mungkin Ifah kebawa perasaan aja. Kondisinya makin membaik setelah sempat shock parah kemarin. Fira yakin dia nanti bisa sehat lagi", Hibur Fira.
"Aku juga ingin optimis sepertimu, Fir. Sayangnya .... Ah, ya Alloh aku tidak ingin mendahului takdir. Aku paham kata-kata adalah doa dan takdir Alloh adalah sesuai prasangka hamba Nya. Tapi untuk optimis .... Ah, rasanya aku nggak mampu ...."
Fajar kembali larut dalam kesedihannya.
"Tapi, Mas ....! Kondisi Ifah dua hari ini cukup stabil ...." Sangkal Fira.
"Candle light phenomenon .... Kamu pasti paham itu kan, Fir...?" Potong Fajar.
Fira hanya termangu mendengar perkataan Fajar.
Ia baru saja hendak membantah, tapi Fajar kembali melanjutkan kalimatnya.
"Aku khawatir itu yang terjadi sekarang. Kemarin Ifah memintaku medatangkan mamah dan papah, sekarang ia juga memintaku memanggilkan umi dan abi. Mungkin dia ingin berpamitan untuk terakhir kalinya. Yah, setiap orang punya firasat kematian masing-masing, begitu juga Ifah. Dan aku suaminya. Jelas aku lebih paham tentang perasaan Ifah dari siapapun. Aku sebenarnya juga sulit untuk menerima semua ini, Fir. Aku berharap Ifah akan sembuh. Tapi aku juga takut jika aku terlalu berharap justru akan memberatkan langkahya ...."
Air mata Fajar sudah tak terbendung lagi saat mengucapkan kalimatnya.
Fira tak sanggup mengucapkan kalimat penghiburan untuk Fajar.
Ia hanya mendiamkan saja lelaki itu tenggelam dalam tangis kesedihannya.
Jika saja sesama perempuan pasti Fira sudah menghambur dan memeluk sekedar menenangkan hati yang pedih.
Hal yang jelas tak mungkin dilakukannya pada Fajar.
Perbedaan gender membuatnya harus memperhatikan batas-batas pergaulan yang diperbolehkan oleh syariat.
"Berkali-kali Ifah berucap tentang kematiannya ...." Fajar terdiam sejenak.
Ia menoleh ke arah Fira kemudian katanya lagi, "termasuk soal wasiat itu ...."
Kedua insan itu kembali saling mendiamkan.
"Jar..........! Fira.........!" Sebuah suara mengagetkan mereka berdua.
Rupanya kedua orang tua Fajar sudah keluar.
"Ifah minta kalian berdua masuk. Katanya ada yang mau diomongin", Kata ibunda Fajar.
"Sekalian abi dan umi pamit, ya. Mau nengokin cucu cantik dulu."
Ibunda Fajar mengulurkan tangan menyalami putranya juga Fira.
Bahkan ia memeluk dan mencium keninng Fira, membuat perasaan Fira makin tak menentu.
Sementara ayah Fajar hanya menangkupkan tangan saat bersalaman dengan Fira.
"Yuk...... Masuk, Fir.....!"
Fajar menatap Fira sejenak.
Fira balik menatap Fajar dengan sorot mata yang sulit diartikan.
Tapi tak lama kemudian ia mengikuti langkah lelaki itu masuk ke ruang HCU.
Catatan
HCU : High Care Unit, tempat perawatan pasien gawat darurat di bawah ICU
Dobutamin: obat, salah satu fungsinya menaikkan tekanan darah
Syringe pump: alat medis seperti suntikan untuk memasukkan obat
Candle light phenomenon: suatu fenomena di mana orang yang akan meninggal tampak mendadak seperti sehat
Compos mentis: sadar penuh
Delirium : setengah sadar dan meracau di luar kesadaran.
(Terimakasih untuk mbak bidan RNH, yang sudah jadi teman diskusi saya tentang proses persalinan dan resusitasi bayi baru lahir.
Maklum saya udah lama lulusnya jadi ilmunya ya udah menguap.)
==========
Fajar dan Fira tiba di dekat tempat tidur Ifah saat mereka melihat salah satu perawat mengganti obat yang ada di dalam syringe pump.
Tertulis Norepinefrin pada label obatnya.
Refleks Fira melirik ke arah monitor.
Benar saja, angka penunjuk tekanan darah tertera 60/40.
Ifah pun tampak semakin lemah.
Fira tak sanggup lagi menahan air matanya.
"Mas Fajar .... Fira .... Ke sini .... Tolong ...." Tampak susah payah Ifah mengucapkan kalimatnya.
"Sayang ...."
Fajar mengecup lembut kening istrinya.
Tangannya pun membelai rambut Ifah.
Ifah merentangkan kedua tangannya, seolah meminta kedua orang yang disayanginya untuk menggenggam erat jemarinya.
Fira dan Fajar yang paham akan maksudya segera meletakkan tangan mereka masing-masing pada kedua telapak tangan Ifah.
"Fira, maafkan semua salahku selama ini .... Bolehkah kumohon....? Tolong rawat Naysilla seperti anakmu sendiri..! Dan tolong jaga Mas Fajar ...", Ucap Ifah terbata.
"Fah.......! Aku nggak pernah ingat kamu ada salah denganku. Seandainya memang ada kesalahan yang nggak kamu sengaja, aku sudah memaafkannya."
Fira berhenti sejenak.
Ingin rasanya Fira memberi semangat pada Ifah, tapi sepertinya sia-sia.
Dari lubuk hati kecilnya Fira yakin waktu sahabatnya di dunia fana ini tak lama lagi.
"Iya, Fah..........! Aku janji..........! Aku pasti akan menyayangi Naysilla sepenuh hatiku. Akan kudidik semampuku agar anak itu jadi tabungan amal jariyah untukmu."
Air mata Fira sudah mengalir deras saat ia menyelesaikan kalimatnya.
"Berjanjilah.......! Kamu mau nikah sama Mas Fajar...!"
Cengkeraman Ifah pada tangan Fira semakin mengerat karena sahabatnya itu belum menyanggupi permintaannya.
Fira tidak mampu menjawab.
Lidahnya kelu.
Sementara Fajar juga hanya terdiam, tampak seperti orang linglung.
"Mas Fajar...........! Maafkan Ifah, ya....! Mungkin Ifah belum bisa jadi istri yang shalihah. Terimakasih sudah jadi imam yang baik buat Ifah. Sebelum Ifah pamit, Ifah titip Naysilla ya, Mas...! Titip Fira juga.......! Berjanjilah sama Ifah, Mas....! Nikahi Fira.......!"
Dengan sisa kekuatan terakhirnya Ifah mengucapkan wasiat terakhir pada suaminya.
Baik Fira maupun Fajar tak ada yang menjawab.
Jelas keduanya serba salah dengan pernintaan Ifah.
"Mas Fajar.......!!"
Dengan sisa kekuatannya Ifah setengah berteriak pada suaminya.
Cengkeraman tangannya pun semakin kuat.
"Mas Fajar.........! Nikahi Fira.........! Jaga Fira dan Naysilla...! Tolong, Mas......!! Biar .... Aku bisa .... Pergi .... Dengan tenang ...." Suara Ifah tampak putus-putus, nafasnya pun makin tersengal.
"Janji ya, Mas......!" Suara Ifah makin pelan.
Fajar melihat monitor.
Tekanan darah istrinya makin turun hingga terlihat angka 40/20 sementara irama jantungnya makin tak beraturan.
Agak mengejutkan dengan kondisi seperti ini istri tercintanya itu masih sadar penuh dan sanggup berbicara.
Sadarlah Fajar bahwa saat ini mungkin Ifah sudah mendekati sakaratul maut.
Dan memenuhi wasiat orang meninggal sepanjang tidak melanggar syariah adalah wajib hukumnya.
"Iya......! Aku janji, Sayang.....! Aku pasti akan memenuhi wasiat terakhirmu", Fajar menjawab tanpa pikir panjang.
Tak peduli juga dengan reaksi Fira.
Yang ada di pikirannya hanya untuk membahagiakan istrinya di saat terakhir hidup wanita yang sangat dicintainya itu.
"Mas Fajar .... Fira .... Aku pamit .... Sampai jumpa ... di akhirat nanti ...."
Dengan satu tarikan nafas terakhir dan gumaman kalimat tahlil dari mulutnya, Ifah menyelesaikan takdirnya di alam fana.
"Pergilah menghadap Rabb mu dengan tenang, Sayang....! Sampai jumpa lagi di akhirat nanti. Aku akan bersaksi untukmu dengan nama Alloh dan Rasulullah bahwa Nur Fitriana Syarifah adalah istri yang shalihah. Aku meridhoimu, Sayang ... ", Ucap Fajar sambil mencium lembut kening dan pipi istrinya.
Fajar refleks meraba leher istrinya untuk mencari denyut arteri carotis.
Saat tak merasakannya ia langsung melakukan pijat jantung sambil berteriak meminta bantuan.
Sementara Fira hanya mampu berdiri mematung.
Rangkaian peristiwa yang begitu cepat dan tiba-tiba jelas mengguncang jiwanya.
Tim code blue datang beberapa saat kemudian dan mulai melakukan resusitasi.
Salah satu anggota tim menggantikan Fajar melakukan pijat jantung, anggota lainnya ada yang memberikan bantuan nafas dengan ambubag, menyiapkan endotracheal tube, memasang patch untuk defibrilasi, dan menyiapkan obat yang diperlukan dalam kondisi emergency seperti ini.
"Stop kompresi........ Analisa irama.........! VF.....!"
"Clear......!"
"Shock.....!"
"Lanjut kompresi.....! Masuk Epinefrin......! Pasang ET....!"
"Masih VF...!"
"Clear....! Shock.....!"
"Masuk Amiodaron....!" Teriakan leader tim code blue bersahutan.
Fira melirik ke arah Fajar, memastikan kondisi lelaki itu.
Sedikit melegakan hati Fira karena Fajar tampak tenang dan seperti sudah mengikhlaskan takdir yang menimpa istrinya.
"PEA............!" Teriakan lantang terdengar lagi.
Tanpa sengaja Fira dan Fajar saling menatap satu sama lain.
Berusaha saling menguatkan.
Bagaimanapun kematian seseorang sudah ditetapkan.
"Lanjutkan RJP........! Masuk Epinefrin......!"
"Masih PEA..........! Lanjut RJP............! Obat kosong........!"
"Masih PEA...........! Lanjut RJP.............! Masuk Epinefrin....!"
Teriakan masih terus bersahutan.
Hampir 15 menit tim code blue memberikan pertolongan.
Fira menatap monitor, tensi masih terukur 30/10 dan irama jantung masih ada meski tidak beraturan.
Tanpa disadari gadis itu, Fajar berjalan ke arah istrinya.
Ia menyalakan senter ponselnya dan memeriksa pupil mata Ifah.
"Sudah midriasis maksimal, Dokter...! Saya minta hentikan saja resusitasinya...! Biar istri saya berpulang dengan tenang. Nanti saya tandatangani form DNAR nya", Ucap Fajar pada residen Anestesi yang menjadi leader tim code blue.
"Yaa ayyatuhannafsul muthmainnah. Irji'ii ilaa robbiki roodhiyatammardhiyyah. Fad khulii fii 'ibaadii. Wad khulii jannatii."
Suara Fajar mengalun merdu mendasarkan empat ayat terakhir surat di juz 30 Al Qur'an yang sesuai dengan namanya.
Tepat saat Fajar menyelesaikan bacaannya, monitor berbunyi nyaring dan tak ada lagi parameter yang tampak di layarnya.
Pertanda tak ada lagi aktivitas kehidupan pada pasien yang tesambung dengan monitor.
Fira menghambur memeluk sahabatnya.
Tangisnya terdengar histeris.
"Innalillahi wa inna ilaihi rooji'uun", Bisik Fajar pelan.
Lelaki itu tampak tabah.
Bahkan wajahnya tenang seperti biasanya.
Fajar menoleh pada tim code blue yang sedang membereskan alat mereka.
Melirik name tag yang tertera pada pakaian mereka.
"Terimakasih mas DIV, mbak RAH, mbak RUM, mas YAR, atas semua bantuannya. Mohon doanya semoga almarhumah istri saya Husnul khotimah", Ucap Fajar dengan ekspresi datar, menunjukkan jika ia telah mengikhlaskan istrinya sepenuhnya.
"Fir..... Sudah......! Ayo kita keluar sebentar..! Biar jenazahnya diurus dulu...! Jangan meratap begitu...! Kasihan Ifah."
Kalimat itu ditujukan Fajar pada Fira yang masih menangis histeris meratapi kepergian sahabat terbaiknya.
"Astaghfirullahal'adziim. Maaf, Mas", jawab Fira pendek.
Ia menyadari kesalahannya.
Meratapi jenazah jelas dilarang keras oleh syariah.
Ia pun beringsut mundur menjauhi jenazah.
Tapi badannya seolah terhuyung.
Hampir saja ia jatuh kalau saja Fajar tidak menangkap tubuhnya dan pelan-pelan memapahnya keluar.
Kedua manusia itu duduk agak berjarak.
Saling mendiamkan diri dengan aktivitas dan pikiran masing-masing.
Fajar sibuk menelepon keluarganya untuk mengabarkan berita duka.
Sementara Fira hanya bisa termangu, masih sulit untuk mempercayai takdir buruk yang baru saja menimpanya.
"Mas Fajar......!" Fira mendadak buka suara.
Tatapannya sengit terarah pada suami sahabatnya.
"Ya, Fir..... Ada apa.....?" Fajar menghentikan sejenak aktivitasnya.
Lelaki itu sedikit heran dengan sorot mata Fira yang seakan mengandung amarah.
Mendadak ia ingat sesuatu.
"Soal wasiat itu......? Sudahlah nggak usah dipikirkan...! Yang janji kan cuma aku. Kalau Fira menolak kan juga nggak bakal ada yang dosa", Ucap Fajar, tatap dengan pandangan mata teduhnya.
Fira terhenyak mendengar kalimat Fajar karena ia sendiri sama sekali tidak ingat, bahkan tidak berniat sedikitpun untuk mengingat wasiat itu.
Apalagi menjadi istri Fajar.
Sungguh di luar pemikirannya.
"Bukan................! Bukan itu, Mas...!" Tukas Fira cepat.
"Lalu....?" Fajar menjawab dengan tetap fokus pada kegiatannya mengetik di hp, mengabarkan kematian Ifah pada sanak keluarganya.
"Kenapa Mas Fajar menghentikan resusitasi Ifah...? Bukankah aktivitas listrik jantungnya dan bahkan tensinya pun masih terukur...? Mas secara nggak langsung melakukan euthanasia..!" Kalimat itu diucapkan Fira dengan penuh emosi.
Fajar menghentikan aktivitasnya mengetik pesan di ponsel.
Ia termenung sejenak.
Kemudian menoleh ke arah Fira, sebelum akhirnya berucap pelan,
"Terserah kalau kamu berpikir seperti itu, Fira...! Tapi saat aku memutuskan DNAR, aku sudah mengecek pupil mata Ifah. Sudah midriasis maksimal, tak ada refleks cahaya. Artinya tidak ada aktivitas otak, pasien bisa dinyatakan sudah meninggal. Tentang semua parameter yang terukur, kamu jelas tahu kalau itu akibat dari obat-obat yang disuntikkan saat resusitasi."
"Tapi kenapa Mas nggak memilih melanjutkan resusitasi atau bahkan pasang ventilator, toh jantungnya masih beraktivitas...?" Fira masih memprotes.
Suara seraknya menunjukkan ia sedang menangis.
"Fira..............! Tolong pahamilah...! Seringkali melakukan tindakan invasif yang secara medis bisa memperpanjang kehidupan justru bisa makin memperlama penderitaan si pasien. Itulah kenapa prinsip penanganan pasien terminal yang sudah tidak ada harapan hidup lagi adalah agar bisa menikmati saat-saat akhir hidupnya. Terbebas dari rasa nyeri dan segala efek samping obat. Menikmati kebersamaan dengan keluarga sebelum meninggalkan untuk selamanya. Dan itu yang kulakukan pada Ifah. Ventilator dan semua jenis obat tidak akan mampu membuat perubahan pada orang yang sudah mati batang otak. Lalu mengapa aku harus memperlama Ifah dalam penderitaan dengan segala alat yang terpasang, sementara nyawanya sudah jelas dicabut oleh Izroil...? Ifah jelas syahid, insya Alloh. Bukankah lebih baik segera kuurus jenazahnya agar ia segera mendapat tempat yang lebih baik di alam barzakh sana...?" Jelas Fajar panjang lebar.
Fajar dan Fira tiba di dekat tempat tidur Ifah saat mereka melihat salah satu perawat mengganti obat yang ada di dalam syringe pump.
Tertulis Norepinefrin pada label obatnya.
Refleks Fira melirik ke arah monitor.
Benar saja, angka penunjuk tekanan darah tertera 60/40.
Ifah pun tampak semakin lemah.
Fira tak sanggup lagi menahan air matanya.
"Mas Fajar .... Fira .... Ke sini .... Tolong ...." Tampak susah payah Ifah mengucapkan kalimatnya.
"Sayang ...."
Fajar mengecup lembut kening istrinya.
Tangannya pun membelai rambut Ifah.
Ifah merentangkan kedua tangannya, seolah meminta kedua orang yang disayanginya untuk menggenggam erat jemarinya.
Fira dan Fajar yang paham akan maksudya segera meletakkan tangan mereka masing-masing pada kedua telapak tangan Ifah.
"Fira, maafkan semua salahku selama ini .... Bolehkah kumohon....? Tolong rawat Naysilla seperti anakmu sendiri..! Dan tolong jaga Mas Fajar ...", Ucap Ifah terbata.
"Fah.......! Aku nggak pernah ingat kamu ada salah denganku. Seandainya memang ada kesalahan yang nggak kamu sengaja, aku sudah memaafkannya."
Fira berhenti sejenak.
Ingin rasanya Fira memberi semangat pada Ifah, tapi sepertinya sia-sia.
Dari lubuk hati kecilnya Fira yakin waktu sahabatnya di dunia fana ini tak lama lagi.
"Iya, Fah..........! Aku janji..........! Aku pasti akan menyayangi Naysilla sepenuh hatiku. Akan kudidik semampuku agar anak itu jadi tabungan amal jariyah untukmu."
Air mata Fira sudah mengalir deras saat ia menyelesaikan kalimatnya.
"Berjanjilah.......! Kamu mau nikah sama Mas Fajar...!"
Cengkeraman Ifah pada tangan Fira semakin mengerat karena sahabatnya itu belum menyanggupi permintaannya.
Fira tidak mampu menjawab.
Lidahnya kelu.
Sementara Fajar juga hanya terdiam, tampak seperti orang linglung.
"Mas Fajar...........! Maafkan Ifah, ya....! Mungkin Ifah belum bisa jadi istri yang shalihah. Terimakasih sudah jadi imam yang baik buat Ifah. Sebelum Ifah pamit, Ifah titip Naysilla ya, Mas...! Titip Fira juga.......! Berjanjilah sama Ifah, Mas....! Nikahi Fira.......!"
Dengan sisa kekuatan terakhirnya Ifah mengucapkan wasiat terakhir pada suaminya.
Baik Fira maupun Fajar tak ada yang menjawab.
Jelas keduanya serba salah dengan pernintaan Ifah.
"Mas Fajar.......!!"
Dengan sisa kekuatannya Ifah setengah berteriak pada suaminya.
Cengkeraman tangannya pun semakin kuat.
"Mas Fajar.........! Nikahi Fira.........! Jaga Fira dan Naysilla...! Tolong, Mas......!! Biar .... Aku bisa .... Pergi .... Dengan tenang ...." Suara Ifah tampak putus-putus, nafasnya pun makin tersengal.
"Janji ya, Mas......!" Suara Ifah makin pelan.
Fajar melihat monitor.
Tekanan darah istrinya makin turun hingga terlihat angka 40/20 sementara irama jantungnya makin tak beraturan.
Agak mengejutkan dengan kondisi seperti ini istri tercintanya itu masih sadar penuh dan sanggup berbicara.
Sadarlah Fajar bahwa saat ini mungkin Ifah sudah mendekati sakaratul maut.
Dan memenuhi wasiat orang meninggal sepanjang tidak melanggar syariah adalah wajib hukumnya.
"Iya......! Aku janji, Sayang.....! Aku pasti akan memenuhi wasiat terakhirmu", Fajar menjawab tanpa pikir panjang.
Tak peduli juga dengan reaksi Fira.
Yang ada di pikirannya hanya untuk membahagiakan istrinya di saat terakhir hidup wanita yang sangat dicintainya itu.
"Mas Fajar .... Fira .... Aku pamit .... Sampai jumpa ... di akhirat nanti ...."
Dengan satu tarikan nafas terakhir dan gumaman kalimat tahlil dari mulutnya, Ifah menyelesaikan takdirnya di alam fana.
"Pergilah menghadap Rabb mu dengan tenang, Sayang....! Sampai jumpa lagi di akhirat nanti. Aku akan bersaksi untukmu dengan nama Alloh dan Rasulullah bahwa Nur Fitriana Syarifah adalah istri yang shalihah. Aku meridhoimu, Sayang ... ", Ucap Fajar sambil mencium lembut kening dan pipi istrinya.
Fajar refleks meraba leher istrinya untuk mencari denyut arteri carotis.
Saat tak merasakannya ia langsung melakukan pijat jantung sambil berteriak meminta bantuan.
Sementara Fira hanya mampu berdiri mematung.
Rangkaian peristiwa yang begitu cepat dan tiba-tiba jelas mengguncang jiwanya.
Tim code blue datang beberapa saat kemudian dan mulai melakukan resusitasi.
Salah satu anggota tim menggantikan Fajar melakukan pijat jantung, anggota lainnya ada yang memberikan bantuan nafas dengan ambubag, menyiapkan endotracheal tube, memasang patch untuk defibrilasi, dan menyiapkan obat yang diperlukan dalam kondisi emergency seperti ini.
"Stop kompresi........ Analisa irama.........! VF.....!"
"Clear......!"
"Shock.....!"
"Lanjut kompresi.....! Masuk Epinefrin......! Pasang ET....!"
"Masih VF...!"
"Clear....! Shock.....!"
"Masuk Amiodaron....!" Teriakan leader tim code blue bersahutan.
Fira melirik ke arah Fajar, memastikan kondisi lelaki itu.
Sedikit melegakan hati Fira karena Fajar tampak tenang dan seperti sudah mengikhlaskan takdir yang menimpa istrinya.
"PEA............!" Teriakan lantang terdengar lagi.
Tanpa sengaja Fira dan Fajar saling menatap satu sama lain.
Berusaha saling menguatkan.
Bagaimanapun kematian seseorang sudah ditetapkan.
"Lanjutkan RJP........! Masuk Epinefrin......!"
"Masih PEA..........! Lanjut RJP............! Obat kosong........!"
"Masih PEA...........! Lanjut RJP.............! Masuk Epinefrin....!"
Teriakan masih terus bersahutan.
Hampir 15 menit tim code blue memberikan pertolongan.
Fira menatap monitor, tensi masih terukur 30/10 dan irama jantung masih ada meski tidak beraturan.
Tanpa disadari gadis itu, Fajar berjalan ke arah istrinya.
Ia menyalakan senter ponselnya dan memeriksa pupil mata Ifah.
"Sudah midriasis maksimal, Dokter...! Saya minta hentikan saja resusitasinya...! Biar istri saya berpulang dengan tenang. Nanti saya tandatangani form DNAR nya", Ucap Fajar pada residen Anestesi yang menjadi leader tim code blue.
"Yaa ayyatuhannafsul muthmainnah. Irji'ii ilaa robbiki roodhiyatammardhiyyah. Fad khulii fii 'ibaadii. Wad khulii jannatii."
Suara Fajar mengalun merdu mendasarkan empat ayat terakhir surat di juz 30 Al Qur'an yang sesuai dengan namanya.
Tepat saat Fajar menyelesaikan bacaannya, monitor berbunyi nyaring dan tak ada lagi parameter yang tampak di layarnya.
Pertanda tak ada lagi aktivitas kehidupan pada pasien yang tesambung dengan monitor.
Fira menghambur memeluk sahabatnya.
Tangisnya terdengar histeris.
"Innalillahi wa inna ilaihi rooji'uun", Bisik Fajar pelan.
Lelaki itu tampak tabah.
Bahkan wajahnya tenang seperti biasanya.
Fajar menoleh pada tim code blue yang sedang membereskan alat mereka.
Melirik name tag yang tertera pada pakaian mereka.
"Terimakasih mas DIV, mbak RAH, mbak RUM, mas YAR, atas semua bantuannya. Mohon doanya semoga almarhumah istri saya Husnul khotimah", Ucap Fajar dengan ekspresi datar, menunjukkan jika ia telah mengikhlaskan istrinya sepenuhnya.
"Fir..... Sudah......! Ayo kita keluar sebentar..! Biar jenazahnya diurus dulu...! Jangan meratap begitu...! Kasihan Ifah."
Kalimat itu ditujukan Fajar pada Fira yang masih menangis histeris meratapi kepergian sahabat terbaiknya.
"Astaghfirullahal'adziim. Maaf, Mas", jawab Fira pendek.
Ia menyadari kesalahannya.
Meratapi jenazah jelas dilarang keras oleh syariah.
Ia pun beringsut mundur menjauhi jenazah.
Tapi badannya seolah terhuyung.
Hampir saja ia jatuh kalau saja Fajar tidak menangkap tubuhnya dan pelan-pelan memapahnya keluar.
Kedua manusia itu duduk agak berjarak.
Saling mendiamkan diri dengan aktivitas dan pikiran masing-masing.
Fajar sibuk menelepon keluarganya untuk mengabarkan berita duka.
Sementara Fira hanya bisa termangu, masih sulit untuk mempercayai takdir buruk yang baru saja menimpanya.
"Mas Fajar......!" Fira mendadak buka suara.
Tatapannya sengit terarah pada suami sahabatnya.
"Ya, Fir..... Ada apa.....?" Fajar menghentikan sejenak aktivitasnya.
Lelaki itu sedikit heran dengan sorot mata Fira yang seakan mengandung amarah.
Mendadak ia ingat sesuatu.
"Soal wasiat itu......? Sudahlah nggak usah dipikirkan...! Yang janji kan cuma aku. Kalau Fira menolak kan juga nggak bakal ada yang dosa", Ucap Fajar, tatap dengan pandangan mata teduhnya.
Fira terhenyak mendengar kalimat Fajar karena ia sendiri sama sekali tidak ingat, bahkan tidak berniat sedikitpun untuk mengingat wasiat itu.
Apalagi menjadi istri Fajar.
Sungguh di luar pemikirannya.
"Bukan................! Bukan itu, Mas...!" Tukas Fira cepat.
"Lalu....?" Fajar menjawab dengan tetap fokus pada kegiatannya mengetik di hp, mengabarkan kematian Ifah pada sanak keluarganya.
"Kenapa Mas Fajar menghentikan resusitasi Ifah...? Bukankah aktivitas listrik jantungnya dan bahkan tensinya pun masih terukur...? Mas secara nggak langsung melakukan euthanasia..!" Kalimat itu diucapkan Fira dengan penuh emosi.
Fajar menghentikan aktivitasnya mengetik pesan di ponsel.
Ia termenung sejenak.
Kemudian menoleh ke arah Fira, sebelum akhirnya berucap pelan,
"Terserah kalau kamu berpikir seperti itu, Fira...! Tapi saat aku memutuskan DNAR, aku sudah mengecek pupil mata Ifah. Sudah midriasis maksimal, tak ada refleks cahaya. Artinya tidak ada aktivitas otak, pasien bisa dinyatakan sudah meninggal. Tentang semua parameter yang terukur, kamu jelas tahu kalau itu akibat dari obat-obat yang disuntikkan saat resusitasi."
"Tapi kenapa Mas nggak memilih melanjutkan resusitasi atau bahkan pasang ventilator, toh jantungnya masih beraktivitas...?" Fira masih memprotes.
Suara seraknya menunjukkan ia sedang menangis.
"Fira..............! Tolong pahamilah...! Seringkali melakukan tindakan invasif yang secara medis bisa memperpanjang kehidupan justru bisa makin memperlama penderitaan si pasien. Itulah kenapa prinsip penanganan pasien terminal yang sudah tidak ada harapan hidup lagi adalah agar bisa menikmati saat-saat akhir hidupnya. Terbebas dari rasa nyeri dan segala efek samping obat. Menikmati kebersamaan dengan keluarga sebelum meninggalkan untuk selamanya. Dan itu yang kulakukan pada Ifah. Ventilator dan semua jenis obat tidak akan mampu membuat perubahan pada orang yang sudah mati batang otak. Lalu mengapa aku harus memperlama Ifah dalam penderitaan dengan segala alat yang terpasang, sementara nyawanya sudah jelas dicabut oleh Izroil...? Ifah jelas syahid, insya Alloh. Bukankah lebih baik segera kuurus jenazahnya agar ia segera mendapat tempat yang lebih baik di alam barzakh sana...?" Jelas Fajar panjang lebar.
Fira hanya termangu mendengarkan penjelasan Fajar.
Tapi tak ada bantahan lagi yang keluar dari mulutnya.
Kedua insan itu kembali saling mendiamkan.
Catatan
Norepinefrin, Epinefrin, Amiodaron: obat2 pemacu kerja jantung
Defib: alat kejut jantung
DNAR: Do Not Attemp Resuscitate, permintaan untuk tidak melanjutkan resusitasi pada pasien dengan kemungkinan hidup yang kecil.
Ambubag: alat bantu untuk memberikan bantuan nafas
ET: pipa saluran nafas terbantu yang dimasukkan lewat mulut.
Midriasis: pupil melebar
Bersambung #9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel