Cerita bersambung
Malam sudah beranjak mendekati fajar.
Raffi terpekur dalam doa nya.
Ingin rasanya protes pada penciptanya.
Mengapa takdir untuknya sungguh menyesakkan.
Tapi sebagai seorang yang taat beragama, Raffi paham setelah ikhtiar maksimal, kini saatnya ia tawakal.
Tak bosan-bosannya ia melantunkan doa istikhoroh.
Walaupun hati kecilnya mulai meyakini bahwa sepertinya Fira bukan jodohnya.
Usai bermunajat pada penciptanya sekaligus murojaah sendiri hafalan Al Qur'an nya, hati Raffi kembali sebak.
Ya, hafalan QS Ar Rohman dan QS An Nisa yang akan dipersembahkannya sebagai mahar untuk Fira, seperti permintaan gadis itu dua tahun silam.
Tapi sepertinya hal itu sedikit mustahil.
Sakit sekali hati pemuda itu jika membayangkan sahabat baiknya sendiri yang akan menjabat tangan ayah dari gadis pujaannya.
Tapi ia mencoba menghibur hatinya.
Bukankah pencapaian tertinggi dari mencintai seorang wanita adalah menghalalkannya, atau jika tidak mampu, maka mengikhlaskannya menikah dengan lelaki lain yang lebih pantas dan lebih siap adalah jauh lebih terpuji.
●●●
Fira sedang sibuk menghitung balance cairan pasien-pasien di ICU. Hari ini jadwal jaganya di ICU, seperti lazimnya koass stase anestesi.
Tim jaga malam ini adalah Fira bersama Ifah, sebagai gemeli jaganya, sementara residen madya yang bertanggung jawab adalah dokter Ayu.
Fira serius mengamati jumlah urine pasien yang keluar di urine bag dan menghitung insensible water loss sebagai jumlah cairan keluar.
Sementara jumlah infus yang masuk serta minuman digolongkan dalam jumlah cairan masuk.
Normalnya kedua hal itu harus seimbang.
Bahkan pada beberapa penyakit seperti pembengkakan paru-paru akibat gagal jantung, dianjurkan untuk balance negatif.
Atau jumlah cairan yang dikeluarkan lebih banyak daripada cairan masuk.
Selain menghitung keseimbangan cairan, Fira juga mengecek kesadaran pasien dengan skor Glasgow Coma Scale dan mengukur tanda vital seperti tekanan darah, jumlah nadi, suhu badan, dan jumlah tarikan nafas.
Usai mengerjakan semuanya Fira memasukkan hasilnya dalam lembaran monitor pasien.
"Lho, Dik.......! Kamu kok jaga sendiri...? Biasanya kan dua orang koassnya...?"
Dokter Ayu menyapa Fira yang masih sibuk menyalin hasil hitungannya di lembar monitor lebar di samping pasien.
"Iya, Dok. Berdua kok sama Ifah, teman saya. Tapi dia lagi hamil 7 bulan, kakinya juga edema dan ada hipertensi juga. Sudah masuk PER sih, kemarin proteinuria nya +1. Jadi biar dia istirahat saja di ruang jaga. Ini stase terakhir kami, Dokter. Jadi sayang kalau dia harus izin jaga dan ngulang stase",
Jelas Fira panjang lebar.
"Oh, yasudah kalau begitu. Saya nggak masalah, kok. Asal semua kewajiban kalian beres, mau gimana metodenya, monggo aja", Jawab dokter Ayu lembut.
Sebagai sesama wanita jelas ia paham apa yang dirasakan Ifah.
"Terimakasih atas pengertiannya, Dokter. Saya sudah selesai ini nulisnya. Saya mohon izin mau nemenin Ifah sebentar, mungkin ada yang dia butuhkan. Nanti kalau waktunya follow up saya ke sini lagi. Atau misalnya dokter Ayu butuh saya, whatsapp aja...! Saya udah ninggal nomer di nurse station. Permisi, Dok."
Fira berpamitan dengan sopan sebelum kemudian segera beranjak menemui sahabatnya.
Betapa terkejutnya Fira saat melihat Ifah dalam posisi setengah duduk.
Tangan kirinya memegangi ulu hati, sementara nafasnya tampak putus-putus.
"Ya Alloh..........!! Fah ..! Kamu kenapa....?"
Fira langsung memposisikan sahabatnya itu agar merasa lebih nyaman.
Stetoskop yang sedari tadi melingkar di leher segera ia pasang di telinga dan menyusurkan membran nya ke dada Ifah setelah sebelumnya menyingkirkan pakaian yang menghalangi sentuhan langsung kulit dengan membran stetoskop.
"Ya Alloh......! Ronchi....! Jangan-jangan edema pulmo...!" Batin Fira.
Ia tidak mengatakan langsung karena takut mebuat sahabatnya itu makin cemas.
"Fah............! Ayo kupapah ke ICU ya...! Kamu butuh oksigen, sesek banget gini...!"
Fira segera membantu Ifah berdiri dan pelan-pelan menggandengnya ke ruang ICU.
"Dok....! Dokter Ayu.....! Tolong ..!"
Fira berteriak saat memperkirakan suaranya dalam jangkauan pendengaran tim jaga yang standby di nurse station.
Dengan cekatan Fira membaringkan Ifah di salah satu bed yang kosong.
Ia memencet tombol untuk sedikit menegakkan sandaran bed agar Ifah merasa sedikit nyaman.
Tanpa buang waktu ia mengambil alat saturasi oksigen dan memasangnya di jari Ifah.
Tertera angka 80 %.
"Kenapa ini..........?!"
Dokter Ayu yang tergopoh-gopoh mendekati ranjang pesakitan tampak kaget.
"Ini, Dok. Gemeli jaga saya, Ifah, mendadak sesek dan nyeri ulu hati. Edema ekstremitas juga. Tadi auskultasi thorax ada bunyi ronchi. Saya curiga edema pulmo. Saturasinya juga cuma 85%. Monitor tanda vital on process pasang, Dok...!"
Fira melaporkan kondisi sahabatnya itu sambil memasang semua alat medis yang diperlukan.
"Saya pasang NRM ya, Dok...!"
Fira meminta persetujuan dokter Ayu selaku penanggung jawab jaga ICU.
Fira segera berlari mengambil alat-alat yang sekiranya dibutuhkan.
Ifah dikerubuti beberapa orang yang berusaha memasang infus.
Sedikit kesusahan tampaknya karena baik tangan dan kakinya sudah bengkak, pembuluh vena nya tidak kelihatan.
Tatapan Fira tertuju pada monitor, tekananan darah menunjukkan 190/110, nadi dan nafas Ifah juga tampak cepat dan tak beraturan, meskipun saturasinya agak membaik setelah dipasang NRM.
"Dok.......! Saya boleh konsul obsgin...?"
Fira meminta persetujuan dokter Ayu.
Setelah dokter Ayu mengiyakan, Fira berlari ke nurse station.
Ia menekan tombol ruang IMP untuk menghubungi residen jaga obsgin.
"Halo........! Mbak Sella, ini Fira mbak...! Mau konsul, Ifah, istrinya mas Fajar ortho ...."
Fira mendaraskan kalimatnya dengan lancar sesuai prsedur tetap konsul.
Sebagai koass jelas ia paham sekali format ucapan konsul via telepon.
"Oh, OK....! Aku segera ke sana....!" Jawab dokter Sella cepat, setelah ia menyampaikan instruksi standar seperti pemasangan intraveneous line, kateter urine, terapi oksigenasi, serta pemeriksaan darah dan protein urine.
"Pasien kejang....!"
"Eklampsia........!"
Fira baru saja menutup teleponnya, saat perawat berteriak dari arah bed yang dihuni Ifah.
Fira segera bergegas ke arah troli emergency.
Merusak segelnya dan menggambil Magnesium Sulfat, meraciknya ke dalam spuit.
Tak lupa ia menyiapkan Kalsium Glukonas sebagai antidotum Magnesium Sulfat.
Setelah beres dengan persiapan obatnya, Fira segera berlari ke arah bed Ifah.
"Dokter Ayu...........! MgSO4 siap..........!" Teriak Fira lantang.
"Mbak Ayu, IV line belum terpasang aksesnya susah banget...! Edema anasarka gini...!"
Salah satu residen anestesi berteriak.
Fira hanya sempat membaca name tag bertuliskan 'DIV' di baju jaga lelaki itu.
"Dik koass.....! Masukkan MgSO4 IM aja di gluteus untuk initial dose nya...! WAB, GIR bantu posisiskan pasien biar dapat akses injeksinya...!"
Arah dokter Ayu.
Fira pun dengan cekatan menyuntikkan obat yamg tadi sudah disiapkannya.
"KAR, siapkan minor set..! Kita coba vena seksi...! WAB, GIR fiksasi yang bener...! "
Dokter Ayu kembali memberi komando pada salah satu yunior jaganya.
Untunglah setelah susah payah mencoba, infus berhasil terpasang, begitu juga kateter urine.
Kejang pun sudah berhenti.
Beberapa saat kemudian residen obsgin datang.
"Mbak Sella.........!" Panggil Fira.
Ia kenal dekat dengan residen yunior itu karena pernah bareng saat stase obsgin luar kota.
"Dik Fira, itu bener istrinya pak Fajar...?" Tanya Sella setengah tak percaya.
"Iya, Mbak. Ny. Ifah, 24 tahun, G1P0A0 hamil 30 minggu dengan eklampsia. Tadi mengeluh sesak nafas dan nyeri ulu hati, Mbak", Fira sedikit mereview laporannya.
"Waduh ada kegawatan ya...! Takute kalau ada HELLP syndrome juga. Sik bentar, kulapor mbak Hepta ya, dia chief jaga hari ini. Pastikan cek DR, OT/PT dan proteinuria nya...! Cito ......!" Ucap Sella sambil menekan layar ponselnya mencari nomor panggilan yang akan ditujunya.
Sella tampak berdiskusi serius dengan seniornya di ujung telepon.
Setelah dirasa cukup ia menutup teleponnya.
"Kita pasang NGT yuk, Dik....! Biar Nifedipin nya bisa masuk, buat nurunin tensi. Sambil bantuin pasang CTG ya...! Semoga bayinya ga terlalu distress. Kalau hasil lab nya udah jadi semua biar mbak Hepta konsul sama konsulen jaga. Kemungkinan sih SC emergency kalau kondisi gini", Terang Sella.
"Mbak, titip pasien di sini sebentar ya, sampai ada acc konsulen soal tindakan definitifnya."
Kalimat ini ditujukan Sella pada dokter Ayu selaku residen penanggung jawab jaga ICU malam ini.
Setelah mendapat persetujuan, tak perlu menunggu lama Sella dibantu Fira sudah memasang monitor yang dibutuhkan.
"Alhamdulillah, bayinya masih cukup stabil", Gumam Sella saat melihat hasil CTG.
Beberapa saat kemudian hasil lab sudah datang.
Parameter lab nya buruk semua.
Penurunan trombosit, peningkatan enzim hati, dan peningkatan konsentrasi hematokrit sudah menunjukkan komplikasi ke arah HELLP syndrome.
"Dokter Widad acc SC emergency. Mbak Hepta operatornya. Tolong siapkan semua ya, anestesinya juga. Jangan lupa informed consent. Oh iya sedia darah juga, minimal 2 kolf PRC...!" Kata Sella setelah menerima arahan seniornya yang baru saja selesai konsul.
Fira mencoba menghubungi nomor Fajar, tapi berkali-kali tidak tersambung.
Sementara mengabari ibunda Ifah yang sudah sepuh malam-malam begini jelas bukan pilihan bijak.
Lagipula secara hukum, yang lebih berhak atas Ifah adalah Fajar selaku suaminya.
"Kenapa............? Nyari pak Fajar..........? Dia operasi multipel fraktur kok di OK IGD, bakalan lama banget selesainya", Kata salah satu residen anestesi pada Fira.
Fira semakin kebingungan.
Di satu sisi jelas Ifah membutuhkan penanganan segera.
Di sisi lain Fira tidak berani ambil keputusan.
Suami Ifah maupun orang tuanya tidak bisa dihubungi.
Nb:
Balance cairan : penghitungan cairan masuk dan keluar tubuh yang harus seimbang.
Insensible water loss : penguapan cairan tubuh yang normal lewat kulit, misal keringat
Glasgow Coma Scale : sistem skoring untuk menilai kesadaran
Edema anasarka : bengkak seluruh badan
Edema pulmo : paru-paru bengkak karena terisi cairan akibat kerja jantung yang buruk
PER : pre eklampsia ringan
Proteinuria : jumlah protein dalam urine (normalnya nggak ada)
Eklampsia : kondisi kejang karena komplikasi kehamilan
NGT : pipa untuk menyalurkan makanan lewat hidung.
IV line : infus
IM : metode penyuntikan lewat otot (pantat atau lengan biasanya)
Gluteus : pantat
Vena seksi : Mengiris vena untuk mendapatkan akses infus.
Mg SO4, Nifedipin, Ca Glukonas : Obat-obat yang dibutuhkan dalam kondisi kegawatan terutama eklampsia.
PRC : Komponen darah untuk transfusi.
DIV, WAB, KAR : Kebiasaan bagian anestesi suatu RS untuk melabeli semua residennya dengan tiga huruf, untuk memudahkan.
HELLP syndrome : Salah satu komplikasi kehamilan. Hemolysis, Elevated Liver enzyme, Low Platelet
CTG : alat untuk menilai detak jantung janin (seperti EKG pada oramg dewasa)
==========
"Pasien ASA IV, Mbak. Mungkin harus mempertimbangkan back up ICU post op nya", Terang salah satu residen anestesi yunior.
"Gimana, Dik.......? Sudah beres informed consent nya....? Kalau sudah, mau kulaporin konsulen. Hampir pasti GA sih. OK IGD juga sudah ready. Kalau semua beres, biar aku anestesi nya."
Chief jaga anestesi menoleh pada Fira.
Karena kondisi pasien yang buruk dan merupakan keluarga civitas rumah sakit, maka chief jaga yang biasanya hanya memberikan instruksi lisan merasa perlu untuk turun langsung.
Fira jelas sangat bimbang.
Menghubungi orang tua Ifah sedari tadi tidak tersambung.
Sementara Fajar sedang operasi, tidak mungkin untuk mengangkat panggilan.
"Pak KAN, apa mending kita minta si YAR buat tanyain ke pak Fajar..? Yang bius di OK IGD kan dia."
Salah satu residen madya memberi usulan.
"Nggih, dokter KAN. Saya setuju dengan pendapat tadi. Sambil nunggu terhubung, lebih baik kita dorong dulu ke OK. Mas Fajar pasti setuju dan paham kalau ini kondisi yang emergency dan butuh keputusan segera", Ucap Fira.
Singkat kata, semua persiapan operasi segera dilakukan.
Ifah yang masih dalam kondisi tidak sadar sudah dibawa ke depan OK IGD yang khusus melayani operasi-operasi gawat darurat.
Fira segera berganti baju khusus dan cuci tangan.
Ia bersikeras akan mendampingi Ifah pada operasi nanti.
Fira berjalan menyelusuri lorong OK.
Ia berhenti pada salah satu OK yang menyala.
Mukanya ditempelkan pada jendela kotak kecil di pintu.
Saat sudah pasti siapa operator yang sedang main, tanpa pikir panjang Fira masuk ke dalam.
"Lho dik koass.....? Kayaknya kamu nggak jadwal jaga sini deh. Dua temanmu yang cowok itu kan yang jaga...? Sekarang malah kabur nggak jelas", Cerocos salah satu residen anestesi yang sedang memegang jackson rees.
Sontak semua yang mendengar celetukan tadi menoleh ke arah Fira, termasuk sang operator.
"Lho, Fir......?! Kenapa ke sini....?" Tanya Fajar sedikit heran.
Sementara tangannya masih sibuk berkutat di medan operasi.
"Anu, Mas ...." Fira menceritakan semua kronologi yang memang harus diketahui Fajar.
Sementara lelaki itu mendengarkan dengan takzim.
Meski tatapannya tetap fokus ke medan operasi di depannya.
Salah satu tuntutan residen bedah memang harus mampu multitasking.
"Innalillahi .... Aku setuju SC emergency juga semua prosedur emergency yang mungkin akan dilakukan durante operasi untuk mengatasi komplikasinya."
Masih dengan ekspresi tenang Fajar mengucapkan kalimatnya.
"Pak Fajar......! Kalau misalnya mau menemani operasi istri nggak apa-apa. Biar digantikan residen madya lain." Suara dokter Luthfi selaku operator utama dan chief penanggung jawab jaga terdengar bijaksana.
"Nggak, Pak.....! Biar saya selesaikan tanggung jawab saya", Tolak Fajar halus.
Lelaki itu kemudian menoleh pada Fira dan berucap, "Fir, titip temani Ifah ya..! Kalau sudah selesai operasi ini pasti kususul. Nggak usah ragu........! Semua prosedur emergency aku setuju. Aku percaya sama teman-teman residen obsgin dan anestesi. Pasti mereka akan berbuat semaksimal mungkin untuk keselamatan istriku."
Fira menatap Fajar setengah tak percaya.
Seolah Fajar begitu tega membiarkan istrinya meregang nyawa di meja operasi sendirian demi melahirkan buah cinta mereka.
Fira ingin memprotes tapi segera diurungkan saat tatapan matanya bersirobok dengan Fajar.
Seolah ada sesuatu yang sulit diungkapkan dalam benak lelaki itu.
Fira pun akur saja dan mulai berjalan ke ruang operasi di mana Ifah berada.
Setelah Fira menyampaikan persetujuan dari Fajar, operasi pun segera dimulai.
Posedur anestesi secara GA berjalan lancar, ET terpasang sempurna dan pasien siap iris.
Dokter Hepta selaku operator mulai mengiris lapisan demi lapisan perut.
Hingga tampak blast dan uterus di belakangnya.
Irisan uterus dilakukan dengan arah horizontal sampai akhirnya terlihat bagian tubuh bayi.
Dengan bantuan dorongan dari atas dan operator menarik dari bawah lubang hasil irisan, bayi perempuan itu lahir dengan selamat.
Diikuti lahirnya plasenta.
Dokter Marti, residen anak yang tugas jaga di perina menerima bayi yang APGAR Score nya sedikit mengkhawatirkan.
Tentu saja butuh resusitasi maksimal karena tidak menangis spontan, bayi lahir prematur dan berat badan lahir sangat rendah.
IMD jelas tidak mungkin dilakukan dalam kondisi ibu dan bayi yang tidak stabil.
"Fir......! Bantu aku sini, yok..!" Panggil dokter Marti.
"Siap, Mbak.........!"
Fira segera menyalakan table warmer dan menyiapkan bantalan pundak dari selimut yang digulung.
Tidak lupa juga menyiapkan suction untuk membersihkan saluran nafas.
Sementara Marti masih sibuk mengeringkan bayi dan merangsang agar menangis.
Saat bayi sudah diletakkan di table warmer, Fira mulai menyalakan mesin suction.
Dimasukkannya canul suction pada hidung dan mulut untuk membersihkan lendir dari saluran nafas.
Untung saja beberapa saat kemudian bayi bisa menangis spontan dan warna kulit mulai kemerahan, pertanda asupan oksigen tercukupi.
Tak terkira leganya perasaan Fira dan Marti.
Ia pun meminta izin Marti untuk kembali menemani Ifah di ruang operasi, sementara Marti membawa bayi perempuan itu ke ruang perinatologi.
Saat kembali ke ruang operasi Fira melihat semua orang tampak tegang, terutama operator.
Beberapa kali Fira mendengar teriakan panik mengucapkan 'perdarahan', 'atonia', 'histerektomi'.
Otomatis Fira mendekat untuk mencari tahu.
Betapa terkejutnya gadis itu saat melihat lapangan operasi yang penuh darah dan para residen obsgin yang bahu membahu mengatasi perdarahan.
Ada yang memegang selang suction untuk menyedot darah agar lapangan operasi terlihat jelas, ada yang sibuk meng klamp pembuluh darah yang mungkin menyebabkan perdarahan, yang lain lagi melakukan manuver bimanual untuk memicu kontraksi uterus.
Berampul-ampul obat uterotonik yang dimasukkan juga tak membuat rahim berkontraksi.
"Atonia uteri, Fir.........! Sudah konsul dokter Widad, beliau segera kemari jika selesai operasi di RS lain. Beliau memberi advis untuk histerekromi emergency demi menyelamatkan nyawa pasien."
Dokter Dhana, residen madya obsgin mendadak sudah di dekat Fira.
"Pak Fajar sudah kamu pastikan acc kan kalau isterinya histerektomi...? Ya maksudku kamu paham lah, artinya istrinya tidak mungkin melahirkan lagi dan kondisi anaknya yang lahir prematur .... Ah sudahlah............", Kata dokter Dhana getir, mungkin bersimpati atas kondisi pasangan suami istri yang malang itu.
Fira tidak terlalu memperhatikan omongan dokter Dhana, dia sendiri shock melihat kondisi sahabatnya.
"Mbak....! Gimana......?! Perdarahannya udah teratasi belum...?! Tensi nadinya ajrut-ajrutan gini..! Bisa arrest di meja operasi pasiennya...!" Teriak residen anestesi tiba-tiba.
"Loss coagulopathy....! Sedia FFP secepatnya...!"
Dokter Hepta sebagai operator tak kalah tegang, meskipun beliau berupaya tetap tenang.
Tampak potongan uterus yang berhasil diambil.
Ukurannya masih cukup besar karena memang tidak mau berkontraksi, sehingga pembuluh darahnya masih mengalirkan darah.
Meski sedikit lega mengetahui histerektomi berhasil, Fira kembali tegang karena melihat darah yang merembes di lapang operasi berwarna pink.
Tandanya perdarahan akan sangat sukar berhenti karena komponen pembekuan sudah mengalir keluar dan residen anestesi hanya mampu memberikan koloid sebagai cairan pengganti.
Sudah lazim kalau komponen darah yang dibutuhkan lambat datang karena birokrasi yang agak berbelit.
Beberapa saat kemudian tampak pintu ruang operasi kembali terbuka.
Fajar yang sudah menyelesaikan operasinya tampak menghambur ke arah istri tercintanya yang tergolek tak berdaya di meja operasi.
"Allhu robbi ....", Hanya itu yang mampu diucapkan Fajar.
Lidahnya kelu.
Fira seolah tak punya kekuatan untuk sekedar menjelaskan kondisi Ifah.
Ia hanya mampu berdiri mematung menatap para residen obsgyn yang bahu membahu meligasi pembuluh darah.
Berlomba dengan cepatnya perdarahan.
Semua tim baru bisa bernafas lega setelah semua pembuluh darah dapat terligasi sempurna dan FFP yang untungnya cepat didapat sehingga bisa segera ditransfusikan.
Sebelum menutup lapisan demi lapisan perut, dilakukan pemasangan drain untuk mengetahui apakah masih terdapat perdarahan aktif di dalam perut.
Ruang recovery tampak lengang karena hanya Ifah lah yang menempati ruangan itu.
Pasien yang tadi dioperasi Fajar sudah stabil sehingga bisa dipindahkan di ruang rawat biasa.
Fira berniat menemani Ifah hingga sahabatnya itu lebih membaik kondisinya.
Usai operasi tadi ia minta izin ke dokter Ayu untuk meninggalkan jaga, dan tentu saja diperbolehkan mengingat kondisi Ifah yang masih mengkhawatirkan.
Sebenarnya Fira berniat langsung masuk, tapi langkahnya tertahan di depan pintu saat melihat adegan yang sangat romantis.
Fajar yang setia mendampingi istri tercintanya dan menghujani istrinya dengan kata-kata romantis dan penuh optimis meskipun jelas Ifah tidak mampu mendengar karena kondisinya yang belum sadar.
Tangan Fajar juga tidak absen untuk menggenggam dan membelai wajah serta rambut istrinya.
"Mas Fajar ...."
Fira akhirnya bersuara setelah beberapa saat sebelumnya ragu untuk mengganggu momen romantis sepasang suami istri itu.
"Ya.......?" Jawab Fajar pendek.
Nampak sorot mukanya kusut dan kelelahan
"Makasih ya......! Mas sudah sangat mencintai Ifah. Sebagai sahabat baiknya saya turut bahagia. Perjuangan dan pengorbanan Ifah dibayar tunai dengan kesetiaan dan cinta Mas yang begitu besar", Tutur Fira.
"Doakan ya, Mas.......! Semoga Fira nanti bisa punya suami seperti, Mas...", Ucap Fira tulus tanpa bermaksud lain.
Tapi siapa sangka kalimat yang baru diucapkan itu justru memantik emosi Fajar.
Wajah pria itu berubah tegang dan sorot matanya penuh kebencian.
"Hati-hati dengan bicaramu, Fir...! Ingat............! Kata-kata adalah sebuah doa...!" Tukas Fajar sengit.
"Eh .... Maaf, Mas.......! Saya tidak bermaksud lain. Maaf...! Anggap saja saya nggak bilang apapun....! Ya sudah, Mas. Saya permisi dulu. Kalau Mas butuh bantuan saya WA atau telpon aja...! Assalamu'alaykum", pamit Fira.
Pikirnya lebih baik ia menyingkir agar Fajar lebih leluasa berduaan dengan istrinya.
Catatan
1. ASA: kategori kebugaran pasien, sering digunakan untuk patokan anestesi
2. Uterus: rahim
3. Blast: kandung kemih
4. Atonia uteri: uterus tak mampu kontraksi
5. Histerektomi: pengangkatan rahim
6. Koloid: jenis cairan infus
7. Obat uterotonik: untuk meningkatkan kontraksi rahim
8. FFP: komponen darah yang kaya faktor pembekuan.
Bersambung #8
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel