Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 17 Januari 2022

Aku Disini Menunggumu #3

Cerita Bersambung

--- Tak kan pernah berhenti untuk selalu percaya, walau harus menunggu seribu tahun lamanya ---

Aerin yang sedang packing, melihat ke hpnya. Ada wajah Bagas disana. Aerin menekan sejumlah angka, terdengar bunyi klik dari pintu pagar dan pintu masuk rumahnya. Bagas datang untuk mengantarnya ke airport.

"Ada sarapan lebih, mbak?"
Pertanyaan pertama dari Bagas dengan wajah yang masih mengantuk berat.
Pukul 5 pagi, dalam 1 jam kedepan Aerin sudah harus berada di airport untuk terbang dengan pesawat paling pagi ke Surabaya.

"Ada dong. Udah aku siapin. Sarapan gih."
Bagas langsung menuju ke meja makan mungil di dekat dapur. Ada sandwich berlapis keju dan smoked beef disana.
***

"Mbak Ririn, makasih untuk kesempatan ikut short course di NUS Singapore," ucap Bagas sambil mendorong luggage bag Aerin.
"Wow...sudah di approved?" Aerin suprised banget. Baru kemarin siang ia meminta Mas  Andy untuk approve.
Bagas mengangguk.  "Tadi malam Mas Andy tanya ke aku, apa aku bisa ke Singapore selama 3 bulan." Bagas tidak bisa menyembunyikan wajah antusiasnya.
"Perfect! Kamu harus siap ya. Ntar waktu aku balik, kita punya waktu seminggu untuk briefing kamu tentang course itu. Aku pernah jadi salah satu asisten mentor sebelum bergabung di Global."
Bagas terbelalak. "You are my hero, mbak. I will do my best."
"Siip, I believe in you." Aerin bahagia melihat Bagas yang sangat bersemangat.

Bagas pantas mendapatkan yang terbaik. Bagas sering mengingatkan Aerin pada dirinya. Seandainya papa tidak mengambil ia dengan paksa, mungkin ia akan seperti Bagas. Punya IQ tinggi tapi hanya mampu mendapatkan pendidikan di sekolah atau universitas yang sangat standar sehingga sedikit banyak menghambat langkahnya dalam karier. Ia mendapati Bagas seperti itu. Bagas pintar tapi orang-orang selalu menganggap ia sangat biasa karena bukan lulusan universitas top.
Aerin merasa dirinya sangat beruntung. Papa, walapun hubungan mereka sangat jauh dari hubungan orangtua dan anak yang seharusnya, tapi papa tetap memberikan ia  pendidikan di tempat yang terbaik.
***

Pukul 7 pagi saat Aerin mendarat di Surabaya. Pak Sholeh, salah satu supir keluarga, sudah menunggunya di deretan penjemput.

"Apa kabar, Non Irin?"
"Baik, pak. Bapak sehat?"
"Sehat, non. Kita langsung ke rumah?
"Aku mau singgah di toko bunga dan makam mami. Kalau bapak ada kerjaan lain, drop aku di toko bunga saja, ntar aku naik taxi." Aerin segan banget mengganggu jadwal kerja Pak Sholeh.
"Saya antar non kemanapun non mau pergi, tadi nyonya sudah kosongkan jadwal saya sampai makan siang nanti."
Aerin ngerasa suprised banget. Bahkan lebaran tahun lalu saat ia mudik, tidak ada yang menjemputnya padahal papa punya beberapa supir yang stand by di rumah.

"Makasih, pak."
***

Mereka singgah di toko bunga, Aerin membeli buket Anggrek Bulan berwarna putih. Almarhumah mami adalah penggemar Anggrek Bulan.
Jarak ke makam mami berkisar 30 menit dari jalan menuju ke rumah. Keluarga mami memang berasal dari Surabaya, setelah bercerai dengan papa, mami memilih kembali ke kampung halaman dan meninggal di desa masa kecilnya.

Aerin meletakkan buket bunga diatas makam mami. Makam mami sangat bersih, mami punya beberapa adik yang memang rajin mengunjungi makamnya.
Walapun kisah hidupnya bisa dibilang menyedihkan, namun dimata adik-adiknya, mami adalah sang savior keluarga. Saat menikah dengan papa dan punya banyak uang, mami mempunyai banyak simpanan yang dipakai buat menolong adik-adiknya.
Bukan itu saja, masuk ke kalangan elite juga membuat mami tak melupakan adik-adiknya. Tante Rossa salah satu yang berhasil mendapatkan suami kaya. Tante Rossa sangat berhasil, hubungannya dengan Om Nando langgeng sampai sekarang, bahkan mereka sudah punya 2 cucu lucu.

"Mi, sekarang aku sudah berusia 29 tahun. Wish me luck for the next step of my life. Bantu aku ketemu dengan pria baik dan menyayangiku," ucap Aerin di dalam hati sambil mengusap pusara bertuliskan nama maminya.

Aerin bangkit dan melangkah keluar dari pemakaman.
***

Tiba di rumah, Aerin melihat kesibukan para pekerja rumah. Mbak Sarah, asisten mama menyambut kedatangannya.

"Apa kabar?"
"Baik, mbak. Waah...ada acara di rumah?" Sarah tersenyum.
"Acara ulang tahun kamu, besok." Aerin mendelik.
"Ulang tahunku? Mama bilang hanya makan malam keluarga."

Aerin susah sekali untuk percaya. Setelah sekian lama...ini mungkin saat yang ditunggu-tunggunya, menjadi anggota keluarga seutuhnya.

"Kamu sudah sampai..." Suara mama masih setegas sebelumnya.

Aerin berpaling, tersenyum dan melangkah ke sosok cantik nan bersahaja itu. Wajahnya tetap cantik diusianya yang sudah 65 tahun, hanya saja wajah itu tampak sedikit letih.

"Mama," ucapnya sambil memeluk tubuh langsing itu.

Biasanya mama langsung memberinya isyarat untuk melepaskan pelukan setelah ia memeluk, tapi kali ini tidak.

"Wajah mama tampak agak pucat. Mama baik-baik saja?"

Keduanya saling menatap, Aerin tahu ekspresi mama sedikit melembut.

"I am not okay. Senin mama harus ke Singapore buat check up."
"Mama sakit apa? Kenapa aku bisa tidak tau?" Diana menatap mata Aerin yang berkaca-kaca.
"Karena mama tidak memberi kesempatan kamu untuk tau."

Air mata Aerin menetes. Iya, mama memang tidak membiarkan ia tahu urusannya.

"Mama sakit apa?" Nada suara Aerin terdengar panik.

Melihat kepanikan itu, Diana tahu, ia sudah banyak menyia-nyiakan waktu berharga untuk menikmati hari-hari bahagia bersama gadis cantik putri suaminya itu.

"Kanker usus. Sekarang dalam proses penyembuhan."
"Aku ikut mama ke Singapore. Aku akan merawat mama. Could you please let me to take care of you?"

Aerin melihat air mata mengalir di pipi mama dan mama langsung memeluknya.

"Of course, darling. I want you to take care of me."

Gunung es telah mencair, Aerin merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Ia yakin hari-hari yang akan datang, tidak akan ada lagi sosok Aerin yang selalu tampak ceria secara fisik, tapi batinnya kesepian dan penuh kesedihan.

==========

Sepulang kerja, Pak Bramantio menemui Aerin yang sedang fitting gaun buat pesta besok. Akan ada sesi photo keluarga besok pagi, sebagai simbol penerimaan Aerin secara resmi dalam Keluarga Bramantio.

Sebelumnya di photo keluarga yang terpajang dalam figura besar di ruangan tamu rumah dan di ruang kerjanya, hanya ada ia, istrinya, Chandra putra tertuanya dan Ricky putra bungsunya.

"Kamu sudah selesai?"

Aerin mengangguk. Tidak perlu ada yg diperbaiki, gaun pesta warna silver off shoulder yang sudah mama pesan, sangat pas dengan tubuhnya.

"Can we talk?"
"Sure, pa."

Aerin mengikuti papa yang menuju ke ruang keluarga. Seperti ekspresi wajah mama, papa juga sedikit melembut.

"Kamu sehat?" Pertanyaan pertama, tak pernah sebelumnya papa bertanya keadaannya.
"Aku baik-baik saja. Sangat sehat," jawab Aerin sambil tersenyum dan tentu saja dengan mata berkaca-kaca.
"Hmmm, kamu hidup dengan sangat baik tanpa perlu dukungan papa. Papa dengar kamu beli Range Rover dan beli rumah mungil di kawasan elite, tanpa kredit. Sure, hidup kamu sangat baik." Ada nada bangga dalam ucapan itu. Aerin menatap dengan penuh selidik.

"Papa kok bisa tau aku punya Range Rover dan tinggal di rumah sendiri?" Pak Bramantio tertawa kecil.
"Walaupun hubungan kita sebelumnya sangat tidak harmonis, kamu pikir papa akan membiarkan kamu tinggal sendirian di Jakarta tanpa penjagaan?"
"Maksud papa?"
"Ada 2 bodyguard yang menjaga kamu secara bergantian."

Aerin mendelik tak percaya.

"Irin, kamu itu adalah PR besar buat papa dan mama. Pekerjaan Rumah yang harus kami selesaikan sebelum ajal menjemput. Kamu tau, sangat berat bagi papa sebagai seorang suami untuk memaafkan mami kamu. Nanti kalau kamu sudah menikah, kamu akan mengerti betapa pentingnya harga diri bagi seorang suami. Maafkan papa dan mama, baru sekarang kami bisa berdamai dengan diri kami sendiri untuk menerima kamu. Kamu pasti sangat menderita."

Aerin tak kuasa menahan tangisnya, papa langsung memeluknya dengan erat.

"It's over. Kita buka lembaran baru mulai sekarang. Kamu anak papa, seperti Chandra dan Ricky, tidak berbeda. Maafkan papa dan mama."
"Aku tidak pernah marah kepada papa, mama. Aku yakin suatu hari nanti, papa mama pasti akan bersikap seperti layaknya orangtua yang seharusnya. Aku hanya kesepian, aku sendirian. Aku pengen punya keluarga yang saling menyayangi. Aku pengen punya papa yang bisa menjadi my hero. Papa yang berdiri tegak di belakangku, memberi support agar aku siap menghadapi segala tantangan kehidupan. Aku pengen punya mama yang bisa jadi tempat curhat, terutama curhat tentang kisah asmaraku yang tak seindah cerita novel."

Aerin kembali menangis. Beban berat yang menyesakkan dada, secara perlahan mulai mengikis. Ia tau, selama ini ia sangat tertutup. Ia tidak punya keluarga dan sahabat dekat untuk berbagi cerita. Ia memendam lukanya sendiri.
***

Sesi photo berjalan lancar dan penuh keakraban, terutama dengan Mas Chandra dan Mas Ricky yang jarang banget dijumpainya.

Saat Aerin dibawa untuk tinggal di rumah papa, Mas Chandra sudah SMA dan Mas Ricky sudah SMP. Mereka tinggal dan bersekolah di Brisbane. Mereka jarang pulang ke Jakarta.

Selama Aerin SMP, ia ingat hanya bertemu sekali dengan kedua saudaranya itu. Saat Aerin SMA, jarak mereka semakin jauh karena satu peristiwa tragis yang melibatkannya, membuat papa mengirimnya untuk melanjutkan SMA di London.

Begitulah, selama kurun waktu 5 tahun usianya hingga 29 tahun, bisa dihitung berapa kali saja ia berjumpa dengan kedua saudara laki-lakinya itu.
Mas Chandra sudah menikah dan mempunyai 2 putra dan 1 putri yang beranjak remaja. Sementara Mas Ricky mempunyai 2 putra. Keduanya adalah pilar perusahaan konstruksi papa dan mama.

Papa dan mama membangun PT. BraDia disaat mereka baru menamatkan kuliah teknik sipil. Perusahaan kecil itu berkembang sangat pesat, menjadi salah satu perusahaan kontraktor skala nasional yang sangat diperhitungkan keberadaannya.
Di tangan Mas Chandra dan Mas Ricky, BraDia bahkan sudah melebarkan sayapnya dalam proyek konstruksi di beberapa negara asia.

Sebenarnya papa menentang keras saat Aerin memilih computer science sebagai pilihan kuliahnya. Papa ingin ia nantinya ikut terlibat di perusahaan keluarga. Tapi Aerin menentang keras keinginan papa saat itu, yang semakin memperjauh hubungan mereka.
***

"Cantik banget..."

Chandra melirik 2 jagoannya yang sedang saling berbisik pelan, tapi kedengaran. Mata keduanya tak lepas dari memandang sosok Aerin yang sedang ada sesi photo.

"Hus...tante itu. Jaga mata!"

Keduanya tertawa agak malu-malu.

"Papa..." protes Dion sebel.
"Kenapa?"

Ricky datang menghampiri. Chandra dan kedua putranya tertawa.

"Mereka lagi menikmati cantiknya Tante Aerin." Ricky ikutan tertawa.
"Iya, Tante Aerin emang cantik banget kan? Udah cantik, baik hati plus pintar. Tipe wanita impian, bukan begitu?" Goda Ricky sambil tersenyum jahil.
"Ah, Om Ricky tau aja," protes Raffa, adiknya Dion. Mereka tertawa lagi.

Papa datang mendekat melihat kebahagiaan di wajah mereka.

"Ada apa?"
"Tante Aerin sangat cantik, pa. Bikin keponakan pada meleleh," info Ricky yang membuat Dion dan Raffa agak salah tingkah. Mereka tertawa.

Bramantio menatap Aerin yang sekarang sedang diphoto bersama Clara, putrinya Chandra yang duduk di bangku SMP.

"Iya, tante kalian emang luar biasa."

Aerin jauh lebih cantik dari almarhumah Saras, maminya. Waktu kecil sosoknya biasa saja, ia tidak ingat kapan anak gadisnya mulai berubah secantik itu. Banyak sekali waktu yang berlalu tanpa ia sadari, dan banyak sekali momen penting dalam kehidupan Aerin yang ia lewati.
Chandra memeluk erat bahu papa, mata papa tampak berkaca-kaca menatap Aerin yang tampak sangat bahagia. Pancaran kebahagian di wajahnya semakin membuat dia sangat menarik.

Sebenarnya Chandra dan Ricky pernah berdiskusi panjang tentang Aerin yang jarang sekali bersama mereka. Ada keinginan mereka untuk menjalin hubungan yang lama terputus, tapi lagi-lagi mereka harus menjaga perasaan mama yang saat itu memberi respon begitu dingin saat mereka menyinggung tentang Aerin.
Keduanya tau dengan baik keadaan Aerin yang sangat berkecukupan di Jakarta, karena itu mereka merasa tenang. Mereka memantau keadaan Aerin tanpa Aerin tau. Sekarang semuanya sudah membaik, keduanya sudah bisa menunjukkan rasa sayang mereka secara terang-terangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER