Cerita Bersambung
"Sedari tadi Ibu belum ngendika apapun. Fira mau tanya pendapat Ibu. Ibu yang melahirkan Fira dan juga ikut mendidik Fira sampai jadi kayak sekarang," Ucap Fira lembut.
Netranya menatap Bu Rindi dengan penuh sayang.
Bu Rindi tersenyum mendengar kalimat putrinya.
Katanya, "Ibu terserah kamu, Ndhuk. Yang jalanin juga kamu. Pahit manisnya rumah tangga juga nanti kamu yang ngrasain. Asal kamu mantep sama Nak Fajar, Ibu pasti akan memberi restu."
Fira tak punya alasan lagi untuk menolak pinangan Fajar.
Dengan satu tarikan nafas ia memberi jawaban,
"Bismillahirrohmanirrohiim ..., Insyaa Alloh saya sudah mantap menerima khitbah Mas Fajar. Untuk proses selanjutnya saya manut aja sama bapak."
Fajar tentu saja menghela nafas lega mendengar jawaban Fira.
Meski ia sudah menebak bahwa Fira tak mungkin menolak pinangannya.
Tapi mendengar sendiri jawaban meluncur dari mulut Fira jelas suatu kebahagiaan tersendiri.
Senyum sumringah terpancar pada wajah Fajar.
"Alhamdulillahirobbil 'aalamiin ..., Terimakasih, Fir, kamu bersedia jadi istri Mas dan ibu untuk Naysilla. Insyaa Alloh Mas akan melakukan yang terbaik untuk membahagiakanmu."
Kalimat itu diucapkan Fajar dengan penuh kesungguhan.
Sementara tatapannya mengarah tajam pada wanita yang menjadi calon istrinya.
"Jadi kapan keluarga Nak Fajar akan bersilaturahim ke sini...?"
Giliran dokter Kusuma yang bertanya.
"Insyaa Alloh hari minggu besok kalau Bapak dan Ibu ada waktu, abi dan umi pengen ke sini. Sekalian mbahas soal mahar dan hal lain yang kaitannya sama akad dan walimah nanti," Jawab Fajar mantap.
Meski yang bertanya dokter Kusuma, tapi pandangan Fajar sulit beralih dari Fira yang menurut penglihatannya tampak sangat mempesona malam itu.
"Soal akad nikah, mohon maaf Pak, Bu. Kalau Fira, Bapak, dan Ibu berkenan, saya ingin secepatnya menikahi Fira. Mungkin waktu tiga bulan cukup untuk mempersiapkan semuanya. Niat baik akan lebih afdhol kalau segera dilaksanakan," Sambung Fajar lagi.
Dokter Kusuma menoleh ke arah Fira.
Beliau ingin tahu pendapat putrinya.
"Piye, Ndhuk......?"
"Saya manut aja, Pak. Kalau Bapak Ibu setuju sama keinginan Mas Fajar, Fira nggak masalah. Lagian memang benar kata Mas Fajar lebih cepat kami menikah lebih baik. Kasihan mamahnya Ifah yang udah sepuh kalau kelamaan ngurus Naysilla. Kalau Fira udah resmi jadi istri Mas Fajar kan bisa ngasuh Naysilla."
Hati Fajar mencelos mendengar jawaban Fira.
Meski ia paham bahwa kesediaan Fira menjadi istrinya karena ingin merawat Naysilla.
Tapi tetap saja ada rasa sedih di hati Fajar saat tahu bahwa Fira memang belum membuka hati untuk dirinya.
Pertemuan malam itu diakhiri dengan kesepakatan bahwa pinangan resmi akan dilakukan hari minggu besok.
Artinya kedua pihak hanya punya waktu kurang dari seminggu untuk mengurusi tethek bengek hantaran dan juga hidangan untuk menjamu tamu.
"Nak Fajar kalau bingung milih buat peningset, ngajak Fira aja. Biar dia milih sendiri. Toh buat dipakai Fira juga. Daripada udah beli mahal-mahal nanti Fira nya nggak cocok kan sayang. Selera orang beda-beda soalnya," Ujar Bu Rindi pada Fajar ketika calon menantunya itu mencium tangannya untuk berpamitan.
"Nggih, Bu. Nanti saya obrolkan lagi sama Fira gimana enaknya."
Dokter Kusuma dan Bu Rindi mengantarkan Fajar hingga ke depan pintu.
Kedua orang tua itu kemudian berbalik masuk rumah.
Sengaja memberi kesempatan Fira dan Fajar mengobrol berdua.
Mungkin saja ada yang mau mereka bicarakan tapi malu jika didengar oleh orang lain.
"Mas Fajar titip ini ya," Kata Fira sambil mengangsurkan map yang berisi berkas.
"Kamu akhirnya mau jadi asisten penelitian di Ortho...?" Tanya Fajar saat membolak-balik berkas yang berada di dalam map untuk meneliti kelengkapannya.
"Iya, Mas. Lumayan bisa disambi di rumah kerjaannya. Internship kalau selesai jaga ya nganggur.
Biar Fira nggak bosen cuma di rumah aja. Bisa kok Fira bagi waktu antara kerjaan sama Naysilla," Jelas Fira.
Ia takut kalau Fajar beranggapan ia akan menelantarkan Naysilla dan lebih mengutamakan kariernya.
"Hahaha ..., Mas percaya sama kamu kok, Fir."
Fajar berjalan ke arah mobilnya.
Ia kembali dengan membawa dua buah buku yang lumayan tebal.
"Ini ringkesanku...., Fir. Lumayanlah buat belajar teori bahan CBT sama praktik IPM. Aku dulu rajin lho....," Tutur Fajar sambil menyodorkan bukunya pada Fira.
"Sama kalau mau diajarin praktik ya nanti bilang aja! Biar Mas cari jadwal kosong. Mau diajarin apa....? Bandage, splinting, hecting model jahitan apapun, pasang DC, pasang IV line, insya Alloh Mas mahir kok. IPM untuk kasus-kasus yang sering keluar pas UKDI, Mas ya lumayan bisa. Cuma kalau pemeriksaan spesifik macem pemeriksaan Mata, THT, apalagi Psikiatri ya Mas nyerah deh. Paling cuma bisa bantu jadi probandus aja," Fajar bercerita panjang lebar.
"Iya, iya deh. Fira jelas percaya kok. Kan Mas Fajar emang pinter. Makasih banget bukunya, lumayan Fira nggak usah ngeringkes lagi. Biar Fira baca-baca dulu deh. Kalau ada yang nggak paham nanti tinggal tanya Mas Fajar."
"Mas pasti bantuin kamu sebisa Mas. Apasih yang nggak buat kamu, Sayang...?"
Goda Fajar sambil mengerlingkan matanya.
Fira hanya melengos tidak menanggapai omongan Fajar.
Lelaki itu memang akan menjadi suaminya.
Tapi tak ada secebik cinta di hati yang membuat Fira enggan menanggapi rayuan gombal Fajar.
"Eehhm, Mas ..., soal mahar,"
Fira agak ragu melanjutkan kalimatnya.
"Ya, Fir.........? Gimana..... .........? Kamu mau minta apa....? Biar Mas cariin. Kalau bisa cepet dapet ya Mas bayar tunai, tapi kalau susah ya Mas ngutang kalau Fira nggak keberatan."
"Ehm, bukan berwujud materi kok, Mas. Dulu Fira bilang sama Mas Raffi kalau kami berjodoh Fira minta mahar hafalan Surat An Nisa dan Surat Ar Rahman. Yah, setidaknya kalau hafal dan paham isinya bisa lebih lancar mengamalkan. Fira pengen punya suami yang bisa menghormati wanita dan rajin bersyukur atas semua nikmat Alloh."
"Insyaa Alloh kalau hafalan Mas bisa usahakan,"
Fajar berkata sambil menyunggingkan senyum meskipun sedikit terpaksa.
Mendengar nama Raffi disebut mengobarkan api cemburu di dadanya.
"Err, tapi tiga bulan waktu yang singkat, Mas. Surat An Nisa lumayan panjang. Kalau Mas Raffi jelas hafal karena waktunya lama, tapi waktu Mas Fajar mungkin nggak sampai tiga bulan. Apalagi Mas sibuk residen, jadi ...."
"Jangan khawatir.., Fir. Untuk mahar yang ini Mas akan bayar tunai. Jangan remehkan hafalan Mas...! Dulu pas residen junior Mas biasa ngapalin riwayat pasien beserta hasil rontgennya,"
Fajar memotong kalinat Fira.
Jiwa lelakinya jelas terusik jika dibandingkan dengan Raffi.
"Ok..., Fir, Mas pamit ya. Soal peningset yaa mungkin dalam minggu ini Mas hubungin kamu. Biar kita nyari bareng. Udah ya, Sayang, Mas jalan dulu. Assalamu'alaikum,"
Fajar beranjak masuk ke dalam mobilnya.
"Wa'alaykumussalam warohmatullah."
●●●
Fajar menghentikan mobil Fortunernya di depan sebuah rumah bercat putih.
Ia tentu tak asing dengan suasananya.
Rumah tempat ia biasa berkunjung dan mengobrol apapun dengan penghuninya sekedar menumpahkan isi kepala agar tidak terlalu penuh.
"Mau apa kamu ke sini, Jar...?" Kalimat sinis terlontar saat pintu rumah itu terbuka.
"Kalau cuma mau ngejek aku mending kamu pulang aja..! Aku nggak butuh orang yang ngaku teman tapi nikung dari belakang," Raffi berkata dengan penuh amarah.
"Fi..............! Dengerin aku dulu....! Aku mau ...."
"Nggak ada yang perlu kamu jelasin lagi, Jar. Bukankah semua udah jelas...? Jadi silahkan pulang dan urus semua persiapan nikahmu...!"
Usir Raffi dengan tatapan nyalang menyimpan murka yang teramat sangat.
Keterangan
1. CBT : Computer Based Test, ujian tulis Uji Kompetensi Dokter
2. IV line: infus
3. Bandage : teknik membalut luka
4. Splinting : teknik pasang bidai (spalk) pada bagian tubuh yang dicurigai patah
5. IPM : Integrated patient management, ujian semacam menangani pasien dari awal sampai akhir
Alhamdulillah saya bisa nepatin janji update kisah ini hari minggu.. terimakasih para pembaca setia yang udah nungguin..
==========
"Fi... .! Biarin aku masuk....!"
Fajar setengah berteriak sambil mencoba mendorong pintu, tapi Raffi menahannya dari dalam.
Kedua lelaki itu adu kuat.
"Le... . ! Ada tamu kok nggak disuruh masuk...?" Bu Nur muncul dari dalam rumah.
"Lho, kamu to, Jar......? Ayo masuk.......! Fi, kamu gimana to le...? Ada Fajar, bukannya disuruh masuk malah dorong-dorongan pintu kayak anak kecil aja," Bu Nur beralih menasihati putranya.
Raffi tak mampu membantah perintah ibunya.
Mau tak mau ia mempersilahkan Fajar duduk di ruang tamu.
"Le, ibu nggak ngajarin kamu untuk berakhlak buruk. Semarah-marahnya kamu, tetep harus menghormati tamu. Apalagi Fajar datang baik-baik dengan maksud silaturahim. Kalian sejak kecil bersahabat dan udah deket kayak saudara. Jangan sampai cuma karena masalah perempuan kalian bermusuhan....! Kamu tahu to Le, apa hukumnya bagi orang yang mutus silaturahim...?"
Bu Nur memberi ceramah panjang lebar pada putranya.
Raffi hanya mengangguk pasrah mendengar petuah ibunya.
Dalam hati ia membenarkan semuanya.
Fajar memang tidak salah.
Sebelum ada yang mengkhitbah Fira, gadis itu bebas dipinang siapapun.
"Lalu kamu ngapain ke sini, Jar ..?"
Raffi bertanya langsung pada pokok permasalahan.
Fajar menghela nafas panjang.
Ia berusaha menata kalimatnya agar tidak terlalu melukai hati Raffi.
"Fi, aku minta maaf kalau kamu sakit hati sama apa yang kulakukan. Soal Fira. Yah, walaupun itu halal sih dan aku juga nggak melanggar syariat apapun. Tapi aku berusaha menjaga adab padamu, Fi. Aku tahu perasaanmu. Tapi ...."
"Nggak apa-apa, Jar. Aku juga nggak berhak marah. Aku yang salah. Udah nyia-nyiain Fira dan gantungin dia tanpa kepastian. Dalam ibadah juga wajib mendahulukan diri sendiri kan, daripada orang lain...? Lagipula aku yakin Fira lebih bahagia kalau sama kamu," Raffi menjawab lemah.
Berat sekali rasanya mengucapkan kalimatnya.
Pembicaraan kedua sahabat itu berhenti sejenak saat Aisyah, adik Raffi keluar mengantarkan minuman.
Fajar menyesap sedikit teh yang disuguhkan.
"Fi, aku ke sini mau ngomong soal janjimu. Aku paham banget perasaanmu. Gimanapun calon istriku adalah wanita yang sangat kamu cintai."
Sengaja Fajar menekankan frase 'calon istriku' untuk menegaskan status Fira.
"Iya aku tahu..., Jar. Kita punya janji untuk saling mendampingi saat meminang calon istri dan waktu akad nikah. Aku akan menepati janjiku. Tapi itu juga kalau kamu izinkan ...,"
Raffi sengaja menggantung kalimatnya.
Ia melihat respons Fajar.
"Meski Fira memilihmu jadi calon suami, tapi jelas masih ada namaku yang terukir manis di hatinya.
Kalau kamu keberatan ya aku nggak usah dateng aja,"
Raffi melanjutkan kalimatnya.
Jelas sekali raut muka Fajar yang berubah, pertanda tidak suka.
"Aku nggak masalah. Seandainya memang Fira masih mencintaimu, faktanya dia memilihku. Makhluk logical thinker kayak Fira jelas nggak akan mudah kebawa perasaan. Jadi silahkan aja kalau kamu mau tetap datang mendampingiku...!" Nada bicara Fajar sedikit menusuk.
Kedua sahabat itu saling pandang.
Masing-masing berusaha menahan diri agar tidak memperkeruh suasana.
Meski begitu keduanya sadar, persahabatan yang terjalin sejak dulu tidak akan pernah sama lagi.
Seandainya hubungan mereka membaik pun tetap butuh waktu untuk mengubur rasa dendam dan sakit hati.
●●●
Rumah keluarga dokter Kusuma cukup ramai hari itu.
Minggu pagi adalah waktu yang disepakati dengan keluarga pak Irsyad untuk menyelenggarakan acara khitbah Fajar dengan Fira.
Meski hanya mengundang saudara dan tetangga dekat, tapi kemeriahan acara tak bisa disembunyikan.
"Ndhuk.......!"
Fira yang sedang dirias oleh make up artist langganan saudaranya dikejutkan oleh sebuah panggilan.
Saat menoleh, gadis itu sedikit terkejut melihat sosok Bu Halimah berdiri tegak di ambang pintu dengan menggendong bayi Naysilla.
"Mamah.. ," tanpa mempedulikan riasannya yang tengah dipulas, Fira berhambur dan menyalami wanita sepuh itu dengan takzim.
Tapi karena sedikit tergesa-gesa Fira tak sengaja mengguncang Naysilla.
Bayi mungil itu terbangun dari tidurnya dan menangis keras.
Refleks Fira segera meraih bayi yang usianya baru menginjak dua bulan itu dan membuainya dengan penuh sayang.
Seperti memiliki kontak batin yang erat, tangis Naysilla segera berhenti saat mencium aroma wanita yang telah ikhlas mengasuhnya semenjak lahir.
"Oalah, Ndhuk, kamu itu dari tadi rewel soalnya kangen sama bundamu to...?"
Bu Halimah membelai cucunya dengan lembut.
Bu Halimah beralih pada Fira.
Ia merengkuh gadis itu dan menggandengnya duduk bersisian di atas tempat tidur.
Dengan penuh keibuan ia menatap Fira.
Dikeluarkannya sebuah bungkusan dari dalam tasnya.
Sambil menyodorkan pada Fira, wanita sepuh itu berkata,
"Ndhuk..., terimakasih kamu udah mau jadi ibunya Naysilla. Dari dulu ibu udah nganggep kamu kayak anak ibu sendiri. Jadi anggap aja ini hadiah dari ibu untuk anaknya yang bentar lagi dikhitbah lelaki sholeh pilihannya."
"Mamah ...,"
Lidah Fira kelu, tak mampu berucap lagi.
Bu Halimah mengenggam jemari Fira.
Masih dengan nada lembut beliau berusaha membujuk gadis itu,
"Nggak ilok nolak rezeki. Terima ya, Ndhuk...!"
Fira menatap gelang emas berbentuk lumba-lumba yang bertahtakan berlian pada matanya.
Keluarga almarhumah Ifah bukanlah golongan berada seperti keluarganya.
Pasti Bu Halimah susah payah untuk membelikannya gelang itu.
Netra Fira tampak berkaca-kaca menahan haru.
Suara riuh mulai terdengar, arahnya dari luar.
Sepertinya rombongan keluarga Fajar sudah tiba.
Bu Halimah berniat mengambil cucunya dari gendongan Fira dan membawanya keluar.
Tapi bayi mungil itu tampaknya tidak mau dipisahkan dari Fira.
Naysilla menangis bila gendongannya berpindah orang dan kembali tenang saat kembali berada di pelukan Fira.
Beberapa kali mencoba, Bu Halimah menyerah dan membiarkan Fira menggendong cucunya.
Saat sudah tinggal berdua dengan Naysilla di kamar, Fira kembali hanyut dalam pikirannya.
Sejujurnya ia masih gamang dengan keputusannya.
Tapi tak mungkin lagi untuk mundur.
Menatap wajah polos bayi Naysilla membuat Fira berusaha memantapkan hati.
Fajar jelas bukan pilihan yang buruk.
Mencoba ikhlas merawat bayi piatu dan meniatkan semua untuk ibadah, Fira berharap apa yang dilakukannya berbalas pahala.
Suara ketukan di pintu kamar memberi isyarat bagi Fira untuk keluar.
Masih menggendong Naysilla, ia bergegas keluar kamar.
Awalnya ia berniat menyerahkan bayi itu ke gendongan Bu Halimah.
Rupanya Naysilla masih belum mau lepas darinya.
Suara tangis sontak terdengar saat bayi itu berpindah tangan.
Jadilah Fira menggendong Naysilla hingga di depan tamu.
Bisik-bisik terdengar dari para hadirin.
Sebuah pemandangan yang sangat tidak lazim.
Gadis yang akan dikhitbah muncul dengan menggendong bayi calon suaminya.
Fira bukannya tidak mendengar kasak-kusuk para tamu yang membicarakannya, tapi ia berusaha mengacuhkannnya dan berjalan dengan anggun ke arah kursi kosong di sebelah orang tuanya.
Sementara di luar sana terdengar kalimat sambutan dari perwakilan masing-masing keluarga.
"Ndhuk........!" Panggil dokter Kusuma sambil menepuk lembut bahu anak gadisnya.
Fira menoleh.
Saat menatap netra teduh ayahnya, tampak bahwa lelaki sepuh itu menyimpan kebahagiaan yang membuncah.
Hanya saja seperti biasanya, ayahnya itu berpembawaan tenang dan tidak terlalu ekspresif menunjukkan gejolak batinnya.
"Nggak usah kamu denger omongan orang. 'Keplok ora tombok', cuma bisa ngrasani. Kalau hidupmu bahagia dirasani karena iri, nek hidupmu nelangsa tambah dihina. Anggap aja ini ujian pertama untuk pernikahan kalian nanti. Namanya rumah tangga pasti bakal banyak cobaan. Apalagi suamimu duda ...,
Yah walaupun cerai mati. Tapi pasti ada aja mulut usil yang mencacimu. Tapi yakinlah sama Bapak....!
Fajar lelaki sholeh yang patut kamu pertahankan."
"Nggih....., Pak," Fira menjawab takzim.
Obrolan anak dan ayah itu berhenti saat melihat rombongan keluarga Fajar berjalan masuk ke halaman dan duduk tepat di hadapan mereka.
Fira melirik sekilas ke arah Fajar.
Ia tak dapat memungkiri, calon suaminya terlihat sangat tampan dengan stelan batik sogan bermotif Wahyu Tumurun berpadu celana kain warna hitam.
Tapi bukan itu yang membuat detak jantung Fira berdebar tak karuan.
Melainkan sosok yang duduk tepat di samping Pak Irsyad, ayah Fajar.
Kekasih hatinya itu membuktikan ucapannya, menemani Fajar, sahabat baiknya saat meminang calon istri.
Kelopak mata Fira mulai menghangat saat menatap wajah muram Raffi.
Bertolak belakang dengan Fajar yang aura bahagianya terpancar cemerlang, penampilan Raffi tampak kacau.
Tatapan kosong dan wajah yang sendu cukuplah menggambarkan perasaan lelaki yang pernah menjadi kekasihnya.
Beberapa kali pandangan mereka sempat bertemu, tapi keduanya buru-buru mengalihkan mata.
Saling menyadari bahwa cinta yang sudah terpupuk lama pada akhirnya akan meranggas dan mati untuk selamanya.
Fajar sedikit kaget saat melihat Fira duduk di depannya sambil memangku Naysilla.
Benih-benih cinta yang mulai tumbuh di hatinya semakin bersemi, mendapati kenyataan bahwa Fira memang tulus menyayangi putrinya.
Begitu juga sebaliknya, bayi mungil itu seakan tak mau lepas dari Fira.
Tapi ada yang sedikit melukai perasaan Fajar saat ia memperhatikan arah pandangan calon istrinya itu bukan terarah padanya, melainkan pada lelaki yang duduk di sebelah abahnya.
"Fira...., puaskanlah matamu menatap mantan kekasihmu...! Tapi aku bersumpah akan menghapus semua tentang Raffi dari memori kehidupanmu. Biar hanya aku yang akan bertahta di hatimu.
Karena aku calon pemilik halalmu," Ucap Fajar dalam hati.
Bersambung #17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel