Cerita Bersambung
Baskoro menghentikan langkahnya, begitu mendengar teriakan Risma sambil menuding kearahnya. Dia masih menoleh kekiri dan kekanan, lalu kebelakang, berharap ada orang lain yang diteriaki kakaknya. Tapi tak ada siapa-siapa, dia masuk sendirian, dan tak ada yang mengikutinya.
Ika yang sudah tahu permasalahannya segera mendekati Risma, menurunkan tangannya yang masih mengarahkan telunjuknya kearah Baskoro.
“mBak Risma, itu bukan hantu..’
“Kalau orang sudah mati, kemudian muncul lagi, bukankah itu hantu?”
“Dia mas Baskoro. Belum pernah mati mbak.”
“Ika, mengapa kamu bisa dengan mudah dibohongi olehnya?” kata Risma berbisik.
“Masak sih mbak, dia berbohong? Saya justru heran, mengapa mbak Risma bisa tidak mengenali adik sendiri?”
“Tapi dia itu hantu.”
“mBak, hantu itu konon kakinya tidak menapak di tanah, ataupun dilantai. Coba mbak lihat, dia berjalan diatas lantai, menapak dengan mantap,” kata Ika. Lalu Baskoro menghentak-hentakkan sepatunya agak keras sehingga menimbulkan bunyi.
“Tuh kan, dia manusia biasa mbak.”
“Mengapa wajahnya mirip Baskoro?”
“Karena dia memang mas Baskoro.”
“Bukankah Baskoro sudah meninggal?”
Tiba-tiba Baskoro tak bisa menahannya lagi. Ia mendekat lalu menubruk kaki Risma, dan menangis disana.
Risma amat terkejut.
“Hei, apa yang kamu lakukan?”
“Ini semua kesalahan aku mbak, aku bersalah sehingga membuat mbak Risma seperti ini. Maafkan aku mbak,” isak Baskoro sambil terus memeluk kaki Risma.
“Mengapa dia menangis?” Risma menatap Ika dengan wajah bingung.
“Dia sedih karena mbak Risma tidak mengenalinya.”
“Tapi dia sudah meninggal..”
“Tidak mbak, dulu itu mas Baskoro hanya pura-pura meninggal,” akhirnya Ika menemukan kata-kata untuk membujuk Risma.
“Pura-pura meninggal?”
“Benar, pura-pura meninggal, tapi sebenarnya dia pergi,” Ika melanjutkan cerita karangannya.
“Entah mbak Risma ingat atau tidak. Pada suatu hari, mbak Risma memarahi dia, karena dia berhubungan dengan seorang tukang sayur.”
Mata Risma berkejap-kejap.
“Mas Baskoro pergi dari rumah, lalu menjadi penjual roti keliling,” tuh kan, sebenarnya nggak nyambung ya, tapi ucapan yang pertama sebenarnya hanya untuk pengalihkan perhatian Risma dari ingatan tentang Baskoro yang sudah meninggal, dan itu berhasil. Risma kemudian mencoba mengingat-ingat tentang kemarahannya kepada Baskoro, karena hubungannya dengan seorang tukang sayur.
“Itu karena ada yang memfitnah si tukang sayur itu. Dia sebenarnya wanita yang baik,” gumam Risma seperti kepada dirinya sendiri.
Ika hampir bersorak karena berhasil membuat Risma mengingat sesuatu.
“Apakah mbak Risma tahu, tukang sayur itu adalah aku?”
Risma menatap Ika masih dengan mata yang berkejap-kejap.
“Kamu ya? Kamu tukang sayur itu?”
Ika mengangguk. Senyumnya mengembang. Baskoro mengangkat wajahnya yang kuyup oleh air mata.
“Tunggu, mengapa kamu membuat kakiku basah?”
“mBak Risma, tatap aku baik-baik, aku Baskoro adikmu, yang pergi karena mbak memarahi aku. mBak tidak sadar bahwa seseorang telah memfitnah tukang sayur itu,” kata Baskoro dengan suara serak.
Risma memejamkan matanya.
“Siapa yang bunuh diri waktu itu?”
“Aku mbak, di Amerika, tapi aku tidak mati, aku masih hidup sampai sekarang.”
“Mengapa aku sendirian?”
“Itu kejadian yang berbeda. Bertahun-tahun lewat. Lalu aku bertemu tukang sayur dan jatuh cinta. mBak memarahi aku, lalu aku pergi. mBak mengirim aku pesan WA, tapi aku menjawabnya sambil bercanda sehingga mbak tetap tidak tahu bahwa mbak sudah berhubungan dengan aku melalui pesan-pesan itu.”
“Pesan singkat.. pesan singkat..”
“Ya, mbak ingat bukan?”
“Ini seperti melompat-lompat.”
“Baiklah, pelan-pelan. Sebaiknya dimulai dari mana ya. O, dari mbak Risma memarahi mas Baskoro, lalu mas Baskoro pergi. mBak ingat tidak?” kata Ika.
“Yang bunuh diri itu..”
“Tidak. Lupakan masalah bunuh diri itu. Kejadiannya sudah lama sekali. Mas Baskoro punya nyawa rangkap, sehingga biar mencoba bunuh diri tapi dia masih tetap hidup,” kata Ika lebih bersemangat.
Risma tampak mengangguk-angguk. Dipandanginya Baskoro yang masih berdiri didekat kakinya.
“Itu sudah lewat. Bertahun-tahun lewat.”
“Kejadian yang membuat mbak Risma berpisah dengan mas Baskoro, adalah ketika mbak Risma memarahi mas Baskoro itu.”
“Karena si tukang sayur itu ya?” gumam Risma.
“mBak ingat Rina ?” sambung Baskoro yang sedikit lega karena Risma mau mendengarkan apa yang dikatakan Ika.
“Rina.. aku benci Rina. Dia yang membuat Baskoro bunuh diri.”
“Tidak, bukan itu, itu kejadian yang sudah lewat. Sudah bertahun-tahun lewat. Ada kejadian baru seperti yang tadi saya katakan.”
“Tapi aku kurang suka sama Rina. Dia itu.. haaa.. benar, aku marah karena dia. Dia memfitnah tukang sayur itu. Kenapa ya, apa dia masih suka sama Baskoro?”
“mBak sudah ingat kan?” kata Baskoro lebih bersemangat lagi. Ia kemudian melangkah mendekati Risma, tepat disampingnya. Ika beringsut kebelakang.
“Aku merasa bersalah karena kemudian aku pergi meninggalkan mbak Risma. Berbulan-bulan.”
“Siapa tukang roti, tadi aku mendengar ada cerita tentang tukang roti.. “
“Akulah tukang roti. Aku tidak pergi kemana-mana. Aku menyuruh orang membuat roti, lalu aku menjajakannya keliling kota.”
“Apa kamu pergi tanpa membawa uang?”
Ika benar-benar merasa lega. Ia duduk di sebuah kursi yang ada didekat ranjang Risma, hanya mendengarkan Baskoro bicara dengan kakaknya. Baskoro menceritakan apa yang dilakukannya setelah pergi meninggalkannya. Bicaranya masih terkadang meloncat-loncat, tapi setidaknya tidak lagi menolak Baskoro yang semula dianggapnya hantu.
“Jadi kamu benar adikku? Kamu sudah kembali?”
Ika mengusap air matanya ketika melihat Risma berpelukan dengan Baskoro sambil bertangisan.
***
Sore hari itu Ika kembali bersama Dian dan Dina dengan diantar Broto. Ika yang meminta, supaya Baskoro bisa bicara lebih banyak dengan kakaknya. Ika yakin bahwa sehari atau dua hari lagi Risma sudah pulih dan boleh keluar dari rumah sakit.
“mBak Ika hebat, karena kedatangan mbak Ika lah Risma bisa pulih,” kata Broto didalam pesawat yang membawa mereka kembali.
“Jangan terlalu memuji saya mas, bukan saya yang melakukannya, tapi mas Baskoro sendiri. Tangisan dia, telah membuka hati mbak Risma, sehingga mau mendengarkan apa yang kami katakan.”
“Benar, tapi tanpa mbak Ika, nyatanya Risma belum bisa mengingat Baskoro kembali.
“Ada saat dimana sesuatu harus berakhir,” kata Ika merendah.
“Yang paling jelas adalah mas Broto yang selalu mendampingi mbak Risma, dan memberinya semangat tanpa mengenal lelah.”
“Sesungguhnya dulu kami memang pernah dekat.”
“Saya pernah mendengarnya. Dan semoga waktu akan mempertemukan kembali sebagai pasangan yang tak terpisahkan,” kata Ika.
Broto tersenyum.
“Saya tidak tahu, apa Risma masih menginginkan saya lagi. Sejauh ini kami hanya bersahabat.
“Itu karena mbak Risma belum lama kehilangan suami.”
Broto mengangguk.
“Mungkin..”
“Semoga mbak Risma bisa segera menemukan kebahagiaannya lagi disamping mas Broto.
“Saya kira Risma justru akan memikirkan Baskoro terlebih dulu.”
“Maksudnya?”
“Baskoro sudah bercerita banyak tentang mbak Ika. Saya bersyukur, Baskoro seorang laki-laki yang baik. Dia rela bersusah payah menjadi tukang roti hanya karena ingin merebut cinta mbak Ika.”
Ika tersenyum lebar. Sungguh dia merasa geli kalau mengingat apa yang telah dilakukan Baskoro. Berbulah bulan menjadi penyetor roti untuk dagangannya, dan dia tak sadar bahwa tukang roti itu adalah Baskoro.
“Terkadang saya ingin tertawa. Mas Baskoro bisa melakukan hal sekonyol itu.”
“Dia memang konyol. Dan satu yang aku ketahui dari dia, dia tak akan pernah berhenti meraih apa yang diinginkannya.”
Ika menggeleng-gelengkan kepalanya. Karena kekonyolan itulah maka dia bisa jatuh cinta.
***
Pagi itu Ika belum berjualan. Pagi-pagi menyiapkan sarapan untuk Dina dan Dian, lalu mengantarkan keduanya ke sekolah masing-masing.
Ketika sampai dirumah Leo sudah menunggunya di teras.
“Ternyata aku terlambat. Sedianya aku mau menjemput Dina dan Dian untuk aku antarkan ke sekolah, ternyata kamu sudah lebih dulu melakukannya.”
“Maaf belum sempat mengabari kalau kami sudah kembali. Begitu sampai lalu menunggui anak-anak belajar. Pasti mereka juga capek.”
“Aku sudah tahu, karena Baskoro sudah menelpon aku. Bukankah kalian diantar mas Broto?”
“Iya, karena mas Baskoro harus selalu dekat dengan kakaknya.”
“Aku senang, kata Baskoro, mbak Risma sudah semakin baik.”
“Ya, sykurlah. Bagaimana keadaan bu Rina ?”
“Masih harus dirawat. Dia dan bayinya baik-baik saja, tapi setelahnya Rina tidak boleh terlalu banyak beraktifitas. Kandungannya lemah, harus selalu diawasi.”
“Sedianya aku akan membezoek setelah memasak.”
“Nanti aku samperin.”
“Tidak usah Leo, aku akan berangkat sendiri saja. Lagi pula aku harus menjemput Dina dan Dian juga, karena tadi Dian tidak membawa sepeda.
“Biar aku saja yang menjemputnya, lalu aku ajak makan siang sekalian, kalau kamu jadi membezoek Rina, tidak usah tergesa-gesa.”
“Baiklah kalau begitu, terimakasih banyak.”
“Aku minta ma’af karena harus menitipkan Dina sampai beberapa hari mendatang, karena Rina masih harus dirawat. Semoga bisa segera pulang, sehingga aku bisa menjemput Dina. Sungkan merepotkan kamu terus.”
“Tidak apa-apa. Mereka senang bisa belajar bersama. Jangan memikirkan Dina dulu, bu Rina butuh perhatian kamu.”
“Benar, Ika, terimakasih banyak.”
***
Sebulan telah lewat, Rina sudah kembali kerumah, dan ibunya selalu mendampinginya. Baskoro juga sudah mengabari bahwa Risma sudah pulang kerumah dan sangat bersemangat ingin segera melamarnya,
Ika berdebar mendengarnya. Sungguh dia tak pernah mimpi akan benar-benar menemukan pendamping seperti Baskoro.
Dan benar, Risma bersama kerabatnya pada suatu hari datang untuk melamar. Yang lucu adalah, dari pihak Ika, keluarganya adalah Leo dan Rina, serta pak Kartiman bersama isteri, dan Broto.
Rupanya Ika tidak sendiri. Banyak cinta disekelilingnya. Tapi Ika menolak ketika Risma ingin mengadakan pesta yang besar-besaran.
“Ika, aku mohon jangan menolak ya, itu adalah ungkapan bahagia aku karena Baskoro sudah menemukan jodohnya.”
“Tapi apakah pesta pora itu perlu mbak?”
“Bukan pesta poranya Ika. Kita juga akan berbagi. Baskoro tidak hanya mengundang rekan-rekan bisnisnya, tapi juga beberapa Yayasan yatim piatu dikota ini, agar bisa ikut berbahagia dan mendapatkan santunan yang akan kami persiapkan.”
Ika yang semula menolak, tak bisa berbuat banyak karena Baskoro juga membujuknya.
***
Dan pesta itu benar-benar digelar. Broto dan Risma, Leo dan Rina, menjadi pengganti orang tua kedua mempelai. Sebenarnya Ika sudah mengingatkan, takut Rina kecapekan, mengingat kandungannya yang sudah menginjak delapan bulan. Tapi Rina menolak, alasannya hanya duduk, tak akan membuatnya lelah.
Dina dan Dian yang membawa kipas untuk mengipasi pengantin, sangat bersemangat memakai pakaian Jawa yang membuat yang hadir tertawa karena Dina yang kemayu dan menawan selalu membuat ulah yang lucu-lucu. Seperti menggoda pengantin, dan mengajak Dian bertukar tempat duduk dengan polahnya yang menggemaskan.
Tapi yang paling menarik adalah sepasang pengantin yang benar-benar mempesona. Ganteng dan cantik, bak prabu Rama dan Dewi Sinta, kata beberapa yang hadir.
“Bukan, itu seperti Harjuna dan Dewi Sembadra,” kata yang lainnya.
Tapi dibalik kemeriahan dan kebahagiaan sepasang pengantin itu, Rina yang tampaknya hanya duduk mulai kelelahan. Keringat membasahi dahi dan sekujur tubuhnya. Dan Rina tiba-tiba merasa lemas. Dia yang semula masih kuat menahannya, kemudian menyentuh lengan suaminya, yang sangat terkejut melihat wajah isterinya pucat pasi.
Leo beranjak berdiri lalu menuntun isterinya kebelakang. Ika yang melihatnya juga merasa cemas, tapi tak bisa berbuat banyak karena tamu-tamu sedang menyalaminya.
Leo menyuruh isterinya berganti pakaian lalu melarikannya ke rumah sakit.
***
Malam itu Ika tak bisa tenang. Ia menghawatirkan Rina yang katanya sudah dilarikan ke rumah sakit. Baskoro yang menghubungi Leo mendapat jawaban bahwa bayi yang dikandung Rina sudah langsung dioperasi.
“Padahal belum saatnya bukan?” kata Ika khawatir.
“Sudah delapan bulan lebih. Memang belum saatnya, tapi kata Leo memang harus segera dilahirkan karena kondisi Rina yang lemah.”
“Bagaimana keadaan bayi dan ibunya?”
“Baik-baik saja, cuma bayinya harus masuk inkubator. Mungkin tidak bisa segera dibawa pulang.”
“Ya ampun, tapi syukurlah, aku senang semuanya selamat. Kok jadi ingin segera membezoek ya mas.”
“Besok kita akan ke rumah sakit. Sekarang malam ini adalah malam kita, jadi jangan memikirkan yang lain selain kita,” kata Baskoro sambil tersenyum.
“Iih, egois..” gumam Ika sambil mengurai rambutnya yang semula disanggul dengan berbagai hiasan yang terasa berat.
“Ternyata rambutmu panjang ya.”
“Iya, sayang kalau harus dipotong. TapI ya itu, kalau dandan harus lebih lama.”
“Tidak apa-apa, nanti aku bantu menyisir rambut kamu.”
“Seperti nggak punya pekerjaan saja.”
“Membantu mendandani isteri juga termasuk pekarjaan suami.”
“Ngarang ah.”
Alangkah indahnya ketika cinta telah berlabuh. Alangkah indahnya ketika biduk yang dikayuh telah tiba disebuah muara. Muara yang indah, seperti selalu diimpikannya.
***
“Mas Diaaan.. lihat, adik kita perempuan.”
“Iya, cantik seperti kamu.”
“Aku mau bilang sama bapak, dia harus diberi nama Dita.”
Dian dan Dina tertawa-tawa bersama.
“Itu kan mau kamu. Mana mungkin bapak dan ibu kamu mau menurut sama usulan kamu.”
“Kan bagus mas, Aku.. Dina.. kakak aku.. Dian.. adik aku.. Dita.”
“Dian, Dina, Dita, pasti bapak sama ibu suka.”
“Ya sudah, terserah kamu saja. Kan kamu yang punya adik.”
“Lho, mas Dian bagaimana, kata bapak, itu juga adiknya mas Dian.”
Dian hanya tersenyum. Sesungguhnya dia sedih, karena setelah kenaikan kelas nanti, Baskoro akan memboyong ibunya ke Jakarta. Pasti dia juga akan ikut serta. Baskoro sudah mengurus kepindahan sekolah Dian, dan mencarikan sekolah baru di Jakarta.
“Nanti kita akan bergantian menggendongnya,” celoten Dina lagi. Dian lagi-lagi hanya tersenyum. Ia belum ingin mengatakan bakal kepergiannya ke Jakarta nanti. Takutnya Dina akan berteriak-teriak memprotesnya.
***
Dan hari itu benar-benar tiba. Leo dan isterinya mengantarkan kepergian Baskoro dan isterinya bersama Dian pastinya.
Ada sesuatu yang tersekat di kerongkongan, ketika menyadari bahwa dia akan berpisah dengan Dian.
Menunggu Baskoro yang sedang check in, Leo terus saja memeluk Dian. Dina menggelendot disampingnya. Tak bisa menyembunyukan kesedihan diantara mereka.
“Apakah mas Dian tidak akan datang lagi kemari?”
“Pasti akan datang kemari Dina, kalau liburan, misalnya, ya kan Dian?”
“Mas Dian akan sering datang kemari, jangan sedih,” kata Dian. Sementara sesungguhnya dia juga sedih.
“Benar ?”
Dian mengangguk dan keduanya berangkulan. Leo hampir menitikkan air mata melihat ulah kedua anak itu.
Saat berpisah itu tiba, Baskoro kemudian memeluk Leo erat-erat.
“Jangan khawatir, aku akan menjaga Dian,” bisik Baskoro di telinga Leo.
Leo hanya mengangguk. Tak sempat mengucapkan terimakasih karena suaranya seperti tersekat di tenggorokan. Ada jerit yang tak sempat terdengar, yang sesungguhnya ada didalam hati Leo.
“Jangan bawa cintaku.”
Lalu dia hanya bisa melambaikan tangannya, ketika dari kejauhan melihat pesawat yang ditumpangi Dian mengudara, menjauh, dan tak tampak lagi karena ditelan mega.
*** T A M A T ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel