Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 27 Juni 2022

Jangan Bawa Cintaku #23

Cerita Berambung

Ika tertegun, didepan teras, Leo berdiri dengan senyum mengembang, mengenakan pakaian biru muda bergaris-garis dan sangat manis. Ika ingat, itu pakaian yang diberikan Dian untuk pak tua. Benarkah pak tua telah menjualnya dan kebetulan Leo lagi yang membelinya?

“Dian.. mengapa berdiri disitu? Mana cium tangan untuk om Leo?” sapa Leo justru kepada Dian.

Dian seperti baru tersadar dari pingsannya. Ia bergegas menghampiri Leo, lalu mencium tangannya.
Leo mengacak rambut Dian lembut.

“Pak tua menjualnya lagi?” tanya Dian kepada Leo yang masih saja tersenyum-senyum.

Leo menggelengkan kepalanya.
“Om Leo suka warnanya, lalu membeli lagi untuk om sendiri?”

Leo masih juga menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Ika, bolehkah aku duduk?” tanya Leo karena Ika juga masih terpaku ditempatnya.
“Oh.. eh.. tentu saja, silahkan..” kata Ika sambil beranjak ke belakang.
“Ika, jangan pergi dulu, kamu harus mendengar apa yang akan aku katakan,” kata Leo sambil duduk.

Ika menghentikan langkahnya, duduk disamping Dian .

“Ada sebuah cerita. Mirip sebuah dongeng. Tentang pak tua yang dikenal sebagai seorang pengemis.”
“Pak tua tidak apa-apa kan?” potong Dian dengan khawatir. Ia takut terjadi apa-apa pada pak tua yang siang tadi ditemuinya.
“Tidak. Pak tua baik-baik saja.”
“Oh, syukurlah,” kata Dian lega.
“Pak Tua bilang, besok Dian tidak usah mencarinya lagi.”
“Om Leo tahu dari mana? Om ketemu, lalu dia berpesan begitu?”
“Karena pak tua itu sebenarnya aku.”

Bukan hanya Dian yang terkejut. Ika mengangkat wajahnya dan memandangi Leo yang dari tadi seperti hanya bicara dengan anaknya.

“Aku kan lama tidak bertemu Dian, sebelum hari Minggu kemarin itu? Ya kan Dian?”

Dian mengangguk.

“Karena aku sangat rindu ketemu Dian, lalu aku menyamar jadi pak tua.”
“Apa?” kata Dian dan Ika berbarengan.
“Ini seperti sebuah dongeng ya? Tapi itu benar. Akulah pak tua itu, yang setiap hari bisa memegang tanganmu, setelah kamu memberi aku sebungkus nasi dan segelas minum.”
“Jadi…”
“Jadi akulah yang menyamar jadi pak tua.”
“Mengapa kamu melakukannya? Bukankah kamu bisa mengajaknya jalan bersama Dina setiap kali kamu inginkan?” tanya Ika.
“Aku merasa tak enak..”
“Tak enak?”
“Waktu itu Rina agak segan diajak bepergian, biarpun Dina merengek-rengek ingin ketemu Dian. Dan aku tak ingin berangkat sendiri kemari tanpa Rina.”
“Lalu kamu melakukan itu?”
“Maaf Ika. Kemudian aku sadar bahwa tak selamanya aku bisa menyembunyikan keadaan itu. Sekarang aku berterus terang, terutama untuk Dian agar besok dia tak akan mencari-cari pak tua lagi. “

Tiba-tiba Dian tertawa.

“Kenapa tertawa?”
“Geli saja. Memang seperti cerita di buku-buku yang pernah saya baca.”
“Ceritanya bagaimana?”
“Seseorang yang menginginkan sesuatu, lalu melakukan penyamaran..”
“Ada cerita seperti itu?”
“Ada, tapi itu seorang penjahat.”
“Aduuh.. tapi aku bukan penjahat lho..” kata Leo sambil tertawa. Ikapun tersenyum.
“Tapi Dian, diluar sana masih banyak pak tua-pak tua yang lain, yang membutuhkan pertolongan kita. Lakukanlah terus hal baik itu, ya.”
“Ya om.” Lalu Dian berdiri.
“Hei, mau kemana kamu?”
“Mau membuatkan minum untuk om Leo, dan mengambil baju pak tua yang sudah diseterika ibu, kecuali itu ibu juga sudah membeli baju baru yang lain untuk pak tua.”
“Simpan saja baju itu. Pasti ada pak tua lain yang membutuhkannya.”
“Baiklah, tapi saya akan membuatkan minum untuk om Leo,” kata Dian sambil melangkah kebelakang,

Ika merasa sungkan duduk berduaan dengan Leo.

“Apa kabar Baskoro?”

Pertanyaan itu menghentikan langkah Ika yang sudah akan berdiri untuk beranjak ke belakang.

“Mengapa kamu tanyakan itu?”
“Aku sudah berbincang dengan si tukang roti.”
“Oh…”
“Dunia ini terkadang aneh. Benar kata Dian ada orang melakukan penyamaran untuk mencapai suatu keinginan. Tapi Baskoro tidak berniat jahat bukan? Seperti pak tua yang ada dihadapan kamu ini.”

Ika menatap Leo tak berkedip. Tak mengira Leo tahu semuanya.

“Kamu heran aku mengetahui semuanya? Kami sudah berbincang lama. Aku bilang kepada Baskoro, aku menitipkan Dian, agar dia mengasihinya seperti anak kandungnya sendiri.”
“Apa?
“Dia akan menjadi ayah yang baik untuk Dian.”
“Silahkan diminum om,” kata Dian yang sudah muncul dengan dua cangkir teh hangat.
“Anak pinter, terimakasih banyak. Tapi setelah ini om akan langsung pamit.”
“Kok buru-buru om?”
“Om masih harus kembali ke kantor. Ini tadi setelah menjemput Dina, lalu makan siang dirumah, terus mau kembali ke kantor. Tapi om memerlukan mampir kesini supaya kamu tidak lagi mencari pak tua besok pagi.”

Dian tertawa.
Sepeninggal Leo, Ika masih termenung. Jadi Baskoro sudah pernah berbincang dengan Leo, bahkan Leo menitipkan Dian padanya? Bukankah dulu mereka bermusuhan?
***

Malam hari itu sebelum tidur, Dian yang berbaring di ranjang sebelah ibunya masih bercerita tentang pak tua yang ternyata adalah Leo. Ia bercerita sambil tertawa-tawa.

“Heran bener aku bu, kok sama sekali nggak mengira kalau dia itu om Leo.”
“Apa kamu tidak melihat wajahnya?”
“Tidak. Dia memakai topi yang sangat lebar. Seperti topi bapak-bapak tani kalau mau berangkat ke sawah. Mana kelihatan wajahnya.”
“Mengapa kamu mengira bahwa dia itu sudah tua?”
“Habis, dia itu kalau berjalan kelihatan tertatih-tatih begitu, dan pakai tongkat, seperti sudah tidak kuat bertumpu pada kedua kakinya. Jadi Dian mengira dia sudah tua.”

Ika tersenyum geli.

“Yang lebih lucu lagi, siang tadi, pak tani tua berjalan hanya memakai celana pendek, dan tubuh bagian atasnya terbuka. Tidak memakai baju. Ya pasti Dian mengira karena kemarin bajunya sudah dijual sama om Leo. Itu bu, baju yang kemudian dicuci oleh ibu.”
“Kamu tidak memperhatikan, bagian tubuh yang terbuka itu kalau dia kakek-kakek pasti keriput dong.”
“Dian tidak memperhatikan bu, Dian hanya senang ketika dia datang. Kan Dian membawakan baju baru untuk pak tua?”

Ika geleng-geleng kepala. Leo dan Baskoro bisa-bisanya melakukan hal konyol seperti itu. Lalu tiba-tiba Ika teringat ungkapan cinta Baskoro. Ia sudah menerimanya, tapi ia belum sedikitpun bicara sama Dian. Bagaimana kalau Dian menolak? Ia harus segera mengatakannya, sebelum Dian mengetahui secara tiba-tiba.

“Ibu sudah tidur?” tanya Dian yang mengira ibunya sudah tidur, karena tak lagi mengajaknya bicara.
“Belum nak. Kamu sudah ngantuk ?”
“Belum ngantuk bu.”
“Dian.. ibu ingin bicara. Maukah kamu tidur disebelah ibu sini?”

Tanpa menjawab Dian bangkit dari ranjangnya, lalu berbaring disamping ibunya.

“Ada apa bu?”
“Apakah.. kamu.. suka.. eh.. ingin mempunyai ayah?”

Dian menoleh kearah ibunya. Mereka tidur berhadapan.

“Jawablah nak..”
“Bukankah Dian sudah tak punya ayah?”

Ika menghela nafas, lalu mengelus lembut kepala anaknya.

“Seandainya ada yang mau menjadi ayah Dian, apakah Dian akan menolaknya?”
“Oo, om Leo..?” kata Dian tak terduga.
“Bukaaan, om Leo itu kan ayahnya Dina.”
“Tapi om Leo suka menjadi ayahnya Dian. Dia selalu berkata begitu.”
“Tidak, begini… ada seseorang yang melamar ibu.”
“Melamar ibu?”
“Ia ingin ibu menjadi isterinya, dan menjadikan kamu anaknya.”

Mata Dian berkedip-kedip. Ia hampir tak percaya ibunya mengatakan itu.

“Itu benar. Dia seorang laki-laki yang baik, yang sangat sayang sama Dian, dan akan menganggap Dian sebagai anak kandungnya,” kata Ika pelan dan hati-hati.

Dian tak menjawab, hanya menatap ibunya berlama-lama.

“Tapi kalau Dian tidak suka, ibu akan menolaknya.”
“Ibu suka ?”
“Kalau Dian suka, ibu juga akan suka.”
“Siapa dia? Apa dia om Broto? Om Broto sangat baik sama Dian.”
“Om Baskoro.”
“Om Baskoro?”
“Ya.. bagaimana menurut kamu?”
“Ibu ingin menjadi orang kaya?” Ika terperangah. Ia merasa secara tidak langsung Dian menuduhnya suka karena Baskoro kaya.
“Mengapa Dian berkata begitu?”
“Karena om Baskoro memang kaya kan?”
“Ibu menerimanya, ketika dia menyamar jadi tukang roti.”

Mata Dian terbelalak.

“Tukang roti?”
“Tukang roti itu sebenarnya om Baskoro yang menyamar.”
“Tukang roti? Yang jual roti Cinta?”

Ika mengangguk.

“Mengapa akhir-akhir ini banyak orang menyamar?”
“Untuk mencapai sebuah keinginan, beberapa orang melakukan penyamaran. Seperri cerita kamu. Tapi mereka bukan orang jahat,”
“Mengapa harus menjadi tukang roti?”

Dian bukan anak bodoh, yang menerima sebuah alasan begitu saja. Ia harus tahu alasannya, mengapa seorang konglomerat harus menyamar menjadi tukang roti. Mengapa bukan yang lain.

“Dulu ibu pernah menolaknya, karena dia orang yang sangat kaya. Ibu tidak mau dikira mau menerima karena tergiur kekayaannya. Bebarapa saat dia menghilang, lalu muncul menjadi seorang tukang roti, yang selalu menitipkan dagangannya pada ibu.”

Dian tak menjawab.

“Om Baskoro menjadi pedagang roti keliling, supaya ibu menganggap dia tidak terlalu tinggi.”
“Maksudnya.. sama-sama pedagang kecil.. begitu?”
“Anak pintar, begitulah maksudnya, sehingga kemudian ibu menerimanya.”
“Luar biasa ya bu. Banyak kisah yang mirip cerita dalam buku. Tapi ini sebuah kenyataan.”
“Pertanyaannya sekarang, apakah Dian menyukainya? Bersedia menerima om Baskoro menjadi ayah kamu?”
“Sudah lama Dian ingin memiliki seorang ayah. Dian merasa, om Leo sangat cocok menjadi ayah Dian.”

Ika berdebar mendengar kata-kata Dian. Apakah jauh dilubuk hatinya Dian merasa bahwa memang Leo adalah ayah kandungnya?

“Dian, om Leo itu kan ayahnya Dina, dan adik bayi yang sedang dikandung bu Rina.”
“Iya bu.”
“Bagaimana dengan om Baskoro?”
“Ibu suka?”
“Lho bertanya lagi, kan ibu bilang, kalau Dian suka, ibu juga pasti suka.”
“Dian juga suka, kalau ibu suka,” kata Dian sambil memeluk ibunya.
***

Hari itu Baskoro menelpon, dengan nada sedih.

“Ada apa mas?”
“Sakitnya mbak Risma parah, ketika aku datang, dia tak lagi mengenali aku.”

Ika sangat terkejut.

“Separah itukah ?”
“Aku merasa berdosa. Aku yang membuat semua ini.”
“Jangan begitu mas, percayalah kalau pada suatu hari nanti mbak Risma pasti akan segera pulih. Teruslah berada didekatnya dan memberinya semangat.”
“Aku sudah melakukannya. Mas Broto juga selalu ada disampingnya.”
“Mas harus terus bersabar dan selalu memohon kepadaNya. Karena Dia lah Sang Maha Penyembuh, Maha Memberi. Maha segala Maha, tak ada duanya.”
“Sudah seminggu lebih aku mendampinginya.”
“Sabar ya mas.”
“Mana Dian?”
“Dian masih sekolah, dan belum pulang.”
“Apa kamu sudah mengatakan kalau aku akan menjadi ayahnya?”
“Sudah mas..”
“Bagaimana dia? Senangkah? Atau kecewa?”
“Dian anak baik, kalau aku suka maka pasti dia juga akan suka.”
“Baiklah, keadaan ini sangat menguatkan aku, dan membuat aku tidak sendiri, karena ada kamu dan Dian yang selalu ada didalam hati aku.”
“Iya mas. Kalau saja dekat, aku mau menunggui mbak Risma dan berbicara dengannya.”
“Bagaimana kalau aku jemput kamu dan Dian supaya ikut ke Jakarta?”
“Mana bisa mas, Dian kan sekolah.”
“Sehari saja. Hari Sabtu sore berangkat, Minggu sudah bisa pulang, siapa tahu mbak Risma akan senang melihat kalian, terutama melihat kamu, Yanti.”
“Apa tidak kasihan Dian, pasti akan capek di perjalanan.”
“Kita akan naik pesawat. Hanya sejam sudah akan sampai. Besok Sabtu ya, aku jemput. Demi mbak Risma, kata mas Broto dia sangat suka sama kamu. Siapa tahu kedatangan kamu bisa menjadi obat untuk dia.”
“Baiklah mas. Nanti aku akan bicara sama Dian.”
“Terimakasih Yanti, dan jangan lupa, aku sangat mencintai kamu.”

Ika tersenyum haru. Dalam kesedihannya Baskoro masih sempat mengatakan cinta. Dia memang luar biasa.
***

Dian tentu saja sangat gembira. Hari ini Baskoro akan menjemputnya dan ibunya, untuk terbang ke Jakarta. Bagaimana ya rasanya terbang? Seberapa cepatkah lajunya pesawat itu sehingga untuk ke Jakarta hanya memerlukan waktu satu jam saja?”

Hari itu Ika sudah berkemas, menyiapkan bajunya dan baju Dian serta perlengkapan lainnya, untuk menginap selama satu hari di Jakarta. Ia tinggal menunggu Baskoro yang akan datang siang hari ini.

“Berarti besok ibu nggak jualan dong?”
“Iya nak, bagaimana lagi. Kita harus menjenguk bu Risma yang sedang sakit.”
“Kalau begitu didepan itu harus kita tulisi bu. Libur dua hari, begitu, supaya pelanggan tahu dan bisa mencari orang jualan yang lain.”
“Baiklah, terserah kamu saja.”
“Dian buat tulisan yang besar ya bu.”
“Baiklah, buatlah yang besar dan bagus ya. Di laci meja ada spidol tuh.”

Dian berlari-lari masuk ke dalam rumah, mencari selembar kertas, yang kemudian ditulisinya dengan hurup-hurup besar.

“MBAK IKA LIBUR DUA HARI”
“Lihat bu, ini bagus kan ?”
“Baiklah. Tulisan kamu lumayan bagus.”
“Dipasang di pohon yang di dekat meja itu ya bu,” kata Dian sambil berlari kedepan.

Ika tersenyum. Ia beranjak lagi ke belakang, untuk memastikan bahwa barang yang dibawanya tidak ada yang tertinggal. Sabun, sikat gigi, handuk, obat-obatan, minyak angin. Siapa tahu mereka akan mabuk karena belum pernah naik pesawat.
Dian mengambil paku, dan siap menempelkan tulisan itu, ketika tiba-tiba mobil Leo berhenti disana.
Dian urung menempelkan tulisan itu, menyambut Leo yang ternyata datang bersama Dina.

“Mana ibu?” tanya Leo yang tampak buru-buru.
“Ada didalam,” Dian tidak memperhatikan Dina karena Leo tampak seperti orang bingung. Dan Dina juga tampak tidak seperti biasa. Apa yang terjadi?

“Ibuu… ibu…”
“Aduh, ada apa sih Dian, pakai berteriak segala. Om Baskoro sudah datang?”
“Bukan bu, om Leo.”
“Om Leo? Sama bu Rina?”
“Tidak, cuma sama Dina.”

Ika bergegas kedepan. Dilihatnya Leo berdiri didepan tangga teras. Wajahnya pucat.

“Ika, tolong. Bolehkah aku minta tolong?”
“Ya, ada apa?”
“Aku nitip Dina boleh ya, mungkin sampai beberapa hari.”
“Ada apa?”
“Rina jatuh dari tangga, sudah aku bawa ke rumah sakit.”

==========

Ika tegak terpaku ditempatnya. Sementara Dina tiba-tiba merangkul kakinya.

“Aad.. ada apa?”
“Aku minta maaf karena terpaksa merepotkan kamu. Sungguh aku titip Dina. Saat ini Rina ada dirumah sakit. Ibu yang menungguinya. Tolong Ika..” hanya itu yang diucapkan Leo, kemudian ia membalikkan tubuhnya dan pergi, meninggalkan Dina yang terisak merangkulnya.

“Tet.. tapi…”

Ika tak sempat mengatakan apa-apa, dan Leo juga tak banyak becerita tentang Rina. Ia hanya mendengar bahwa Rina jatuh dari tangga. Tangga mana, bagaimana keadaannya. Lalu terdengar deru mobil menjauh. Rupanya Leo telah benar-benar pergi.

“Jangan menangis Dina, kamu kan sudah besar,”

Ika menarik tangan Dina. Ia duduk di kursi teras, dipangkunya Dina yang masih terisak.

“Dina, jangan menangis, ibu tak akan apa-apa.”
“Bu Yanti, bagaimana kalau ibu meninggal?” isak Dina membuat jantung Ika sesaat berhenti berdetak.
“Ssssh.. Dina nggak boleh berkata begitu. Ibu akan baik-baik saja.”
“Tadi ibu diam saja. Apakah ibuku meninggal?”
“Tidak sayang, tidak, ibu akan baik-baik saja,” kata Ika sambil merangkul Dina didadanya. Iba melihat anak sekecil Dina tampak ketakutan kehilangan ibunya.

“Aku buatkan minum Dina, ini, minum dulu,” tiba-tiba Dian sudah membawakan secangkir teh untuk Dina. Dina menggelengkan kepalanya.

“Minumlah, mas Dian sudah membuatkan minum untuk Dina. Ayo, biar kamu lebih tenang.”

Dina meneguk teh yang dibuatkan Dian, kemudian kembali merangkul Ika.

“Sebenarnya ibu jatuh dimana?”
“Ibu mau belanja bersama bapak, begitu turun dari teras, jatuh kebawah. Lalu ibu diam saja. Mengapa ibu diam?” isak Dina.
“Oh, jatuh di tangga teras. Tidak apa-apa Dina, ibu hanya terkejut dan pingsan. Nanti juga pasti akan sadar kembali.”

Ika agak khawatir juga, apalagi mengingat Rina dalam keadaan mengandung baru kira-kira lima bulan. Dan tangga teras rumah Leo lumayan tinggi.

“Lalu bapak memanggil simbah. Sekarang simbah ada dirumah sakit.”
“Baiklah. Apalagi sudah ada simbah juga yang akan ikut menjaga ibu. Dengar Dina, dirumah sakit itu banyak sekali dokternya. Mereka pintar-pintar, dan selalu bisa menolong pasien.”
“Bisakah dokter menghidupkan orang meninggal?”

Ika merangkul Dina erat-erat.

“Dokter akan menolong orang sakit. Dina tak perlu khawatir. Ibu tidak akan meninggal.”
“Benarkah?”
“Benar. Ayo berdo’a, agar ibu segera sembuh.”

Lalu Dina merangkapkan kedua tangannya.

“Ya Alloh, jangan sampai ibuku meninggal, ya Alloh,” bisik Dina lirih.

Ketika sebuah taksi berhenti tepat didepan pagar, Ika baru sadar bahwa sore ini dia akan ikut pergi ke Jakarta bersama Baskoro.

“Ibu, itu om Baskoro,” teriak Dian.

Ika masih memangku Dina. Baskoro yang sudah naik ke teras, heran melihat Dina ada di pangkuan Ika, dan tampak habis menangis.

“Ada apa?”
“Baru saja Leo menitipkan Dina kemari,” kata Ika.
“Leo? Mengapa? Kamu tak bilang bahwa kita akan pergi?”
“Tak sempat bicara apapun. Leo begitu terburu-buru. Bu Rina jatuh dari tangga, sekarang ada dirumah sakit.”
“Ya Tuhan,” Baskoro mengelus kepala Dina.

Dina meletakkan kepalanya didada Ika.

“Kapan akan dijemput?”
“Leo bilang beberapa hari. Aku tidak tahu keadaan bu Rina bagaimana.”

Baskoro membelalakkan matanya.

“Beberapa hari ?”
“Barangkali karena terlalu repot, jadi harus menitipkan Dina disini. Dia kan tidak tahu bahwa kita akan pergi.”
“Aduuh.. bagaimana ini?”
“Bagaimana kalau Dina kita ajak ke Jakarta?” tiba-tina Dian nyeletuk.
“Ttapi..”
“Ide bagus Dian, sebentar, aku akan menelpon Leo,” kata Baskoro.
“Bas, ini kamu?” suara Leo menjawab panggilan Baskoro.
“Iya, bagaimana keadaan Rina?”
“Kamu sudah tahu? Ika memberi tahu kamu? Duh.. agak parah sih, harus dirawat, tapi syukurlah anakku selamat. Dia tersungkur dari tangga teras rumah. Agak tinggi sih, aku panik tadi. Langsung aku menelpon ibu mertua aku. Dan aku juga terpaksa menitipkan Dina dirumah Ika untuk beberapa hari. Maaf, aku sungguh bingung, tidak tahu harus melakukan apa tadi.”
“Ya, aku tahu Dina ada dirumah Yanti, eh.. Ika. Tapi sebenarnya kami akan berangkat ke Jakarta sore ini.”
“Oh, aku tidak tahu, maaf, kalau begitu akan aku jemput lagi Dina, nggak apa-apa, kalau perlu aku akan bawa dia ke kantor saat aku bekerja besok.”
“Tidak, Leo.. jangan dijemput, bagaimana kalau Dina aku ajak saja ke Jakarta?”
“Kamu mengajak Dina? Pasti merepotkan.”
“Ada Yanti dan Dian yang akan menjaganya selain aku. Besok kami sudah kembali karena hari Senin kan Dian juga harus ke sekolah.”
“Benarkah tidak merepotkan ?”
“Jangan sungkan, dia ada diantara orang-orang yang akan menjaganya.”
“Kamu sungguh baik Bas, terimakasih banyak, silahkan saja kalau tidak merepotkan, sekarang aku harus menemui dokter.”
“Baiklah, semoga Rina dan bayinya segera mendapat penanganan dan semuanya baik-baik saja.”
“Bolehkah aku bicara sama Dina?”

Baskoro menyerahkan ponselnya pada Dina.

“Bapak mau bicara.”
“Hallo Dina.”
“Bapak, ibu tidak meninggal kan ?”
“Tidak sayang, ibu dan adik kamu baik-baik saja. Hanya saja harus dirawat beberapa hari dirumah sakit.”
“Aku takut sekali.”
“Dina tidak perlu takut. Dengar, om Baskoro akan mengajak kamu ke Jakarta, bersama mas Dian dan ibu Yanti. Kamu mau kan?”
“Ya, aku mau.”
“Baiklah, jangan rewel dan jangan nakal ya.”

Leo menutup ponselnya dengan lega.

“Sekarang aku akan menghubungi bandara, semoga masih ada tiket satu lagi untuk Dina,” kata Baskoro setelahnya.
“Dina, kamu mau ikut kami naik pesawat kan?” kata Dian yang sudah mendengar pembicaraan Leo dan Baskoro.

Dina mengangguk pelan. Dia merasa senang, kesedihannya telah berkurang, karena ibunya ternyata baik-baik saja.
***

“Apa kata dokternya?” tanya ibunya Rina setelah Leo menemui dokter.
“Rina dan bayinya bisa diselamatkan. Tapi Rina harus hati-hati menjaga kandungannya. Tampaknya akan ada masalah, sehingga kelahirannya nanti harus dengan caesar.”
“Ya Tuhan, apakah keadaannya berbahaya?”
“Tidak bu, hanya setelah ini Rina tidak boleh melakukan kegiatan yang berat-berat. Saya sedang berusaha mencari pembantu lagi, karena simbok tampaknya sudah tidak bisa kembali bekerja.”
“Iya, simbok kan sudah tua, lebih tua dari ibu sendiri. Baiklah, tak apa-apa, untuk sementara ibu akan tinggal dulu bersama kalian.”
“Benarkah bu?”
“Benar, supaya ibu bisa ikut menjaga Rina.”
“Terimakasih banyak bu, saya merasa lega karena ibu mau tinggal bersama kami.”
“Dina jadi ikut Baskoro ke Jakarta?”
“Jadi bu, saya menitipkannya, daripada saya tidak bisa konsentrasi saat memikirkan Rina.”
“Baiklah, ibu juga sudah mengenal Baskoro, dia baik kok.”

Iyalah Leo tahu, kan dulu pacarnya Rina.
***

Baskoro meminta Broto menjemput Ika di depan rumah sakit, karena tak bisa membawa anak-anak memasukinya. Baskoro kemudian mengajak Dina dan Dian berjalan-jalan.

“Bagaimana keadaan mbak Risma ?” tanya Ika sebelum memasuki ruangan dimana Risma dirawat.
“Sudah lebih baik. Saya sering mengajaknya mengobrol, mengingatkan masa-masa yang telah lewat. Hanya ketika saya menyinggung nama Baskoro, dia tampak agak lama mengingat ingat. Sepertinya belum sepenuhnya ingat. Tapi beruntung dia masih ingat saya, karena sayalah yang selalu ada didekatnya.”
“Kasihan sekali.”
“Dia menahan kesedihan yang amat sangat, ketika tiba-tiba Baskoro menghilang. Tapi kata dokter, semuanya akan pulih ketika kita selalu memberinya semangat.”
“Pernahkah mbak Risma menyebut nama saya?”
“Sebelum sakit, dia selalu berbicara tentang mbak Ika. Dia sangat berharap mbak Ika bisa menjadi isteri Baskoro.”

Ika menundukkan kepalanya.

“Semoga dia bisa mengingat mbak Ika nanti.”

Keduanya memasuki ruangan itu, dan melihat Risma masih terbaring di ranjang dengan selang infus tersambung di lengannya.

“Risma.. lihat siapa yang datang,” kata Broto ketika sudah berada disamping ranjang Risma.

Risma menatap Ika lekat-lekat, dan dengan kecewa Ika melihat Risma menggelengkan kepalanya.

“mBak Risma, saya Ika..” kata Ika sambil meremas jemari tangan Risma.
“Aku seperti pernah mendengar nama itu.”
“Tentu saja Ris, karena kamu ingin agar dia menjadi adik ipar kamu.”
“Adik ipar aku? Memangnya aku punya adik?”
“Risma, kamu punya adik, namanya Baskoro, beberapa hari yang lalu dia selalu menunggui kamu disini.”
“O, laki-laki itu? Yang mengaku adik aku? Bukankah adikku sudah meninggal karena bunuh diri?”
“Tidak Ris. Baskoro tidak meninggal. Dia masih ada. Dia yang menjemput mbak Ika ini kemari, supaya ketemu kamu.”
“Kamu membohongi aku terus. Supaya aku senang?”
“mBak Risma, mas Broto tidak bohong. Mas Baskoro sudah kembali.”
“Bisakah orang mati hidup kembali?”
“Tidak ada yang mati Ris. Lihat, mbak Ika ini wanita yang baik, yang kamu inginkan agar menjadi adik ipar kamu.”
“Tampaknya baik sekali. Sayang Baskoro sudah tidak ada.”
“Mas Baskoro ada mbak..”
“Apakah aku harus memanggilnya supaya kamu percaya? Dia sedang bersama anaknya mbak Ika dan anaknya Rina. Kamu ingat Rina kan? Rina isterinya Leo? Rina yang dulu sangat dicintai Baskoro?” sambung Broto.
“Tidak, jangan membuat aku takut.”
“Mengapa takut ?”
“Kamu mau memanggil hantu kan?”

Broto dan Ika tak menjawab.

“Aku benci sama Rina. Dia itu yang menyebabkan Baskoro meninggal. Nekat Baskoro. Rela mati karena ditinggalkan Rina,” gumam Risma.

Broto menarik nafas panjang. Ika terus meremas tangan Risma, dan juga mengelusnya lembut.

“Barangkali memerlukan waktu agar mbak Risma mengingatnya lagi,” kata Ika lirih sambil memandang ke arah Broto. Broto mengangguk, lalu beranjak keluar.

“Sayang kamu datang terlambat,” Risma berbisik sambil terus menatap Ika.
“Ya Tuhan, mbak Risma mengira mas Baskoro sudah meninggal karena bunuh diri,” kata batin Ika sedih.
***

“Apa mbak Risma mengingat Yanti?” tanya Baskoro ketika Broto menemuinya malam itu.
“Semula dia bingung, tapi kemudian mengingatnya.”
“Syukurlah..”
“Tapi dia menganggap kedatangan mbak Ika sudah terlambat.”
“Maksudnya bagaimana ?
“Ketika ada mbak Ika, Risma mengatakan bahwa kamu sudah meninggal karena bunuh diri.”
“Apa? Kemarin dia tidak bilang begitu. Dia tak mengenali aku, dan berkata bahwa aku pembohong.”
“Iya aku tahu. Tapi tadi berbeda lagi apa yang dikatakannya.”
“Ya Tuhan,” Baskoro menjambak rambutnya sendiri karena rasa sesal yang amat sangat.
“Kamu harus kesana ketika ada mbak Ika. Barangkali akan berbeda apa yang dipikirkannya.”
“Malam ini?”
“Jangan, saatnya dia tidur. mBak Ika dengan telaten menemaninya,”
“Baiklah, kalau begitu besok pagi saja.”
“Anak-anak bagaimana?”
“Baik-baik saja. Mereka senang berputar-putar kota Jakarta saat malam.”
“Besok pagi aku kesini, anak-anak biar bersama aku. Kamu harus ke rumah sakit.”
“Baiklah. Terimakasih mas.”
***

Malam itu anak-anak menginap dirumah Baskoro, sedangkan Ika memilih tidur dirumah sakit menemani Risma. Sepanjang malam dia mengajak Risma bicara, sampai kemudian Risma tertidur kelelahan. Tapi tak banyak yang diingatnya, kecuali Rina yang dibencinya karena membuat Baskoro bunuh diri, dan Ika yang terlambat datang karena Baskoro sudah meninggal.
Broto menyiapkan makan malam untuk Ika, yang ditemaninya, sebelum dia pulang malam itu.

Pagi-pagi sekali Ika sudah bangun. Setelah mandi dan shalat, dia mendekati Risma kembali.

“Aku heran mengapa mas Broto membawaku kemari. Apa menurut kamu aku ini sakit?” tanya Risma ketika Ika menyuapinya pagi itu dengan sarapan yang disediakan dari rumah sakit.
“mBak Risma mungkin tidak sakit, hanya perlu menenangkan diri.”
“Apa menurut kamu aku ini tidak tenang?”
“Bukan begitu. Kalau mbak Risma dirumah sakit kan tidak harus memikirkan banyak hal? Ya bisnis, ya urusan ini itu lah.. pasti akan menjadi beban mbak Risma kalau mbak Risma ada dirumah.”
“Aku hanya memikirkan satu. Mengapa Baskoro meninggal.”
“Bagaimana kalau ternyata mas Baskoro tidak meninggal?”
“Jangan bergurau. Tapi sudahlah, jangan memikirkan apapun, supaya Baskoro tenang di alamnya.”
“mBak Risma ingin melupakan mas Baskoro?”
“Aku ingin melupakan, tapi tidak bisa. Dia itu kebangetan. Tega meninggalkan aku sendiri didunia ini.”

Ika merasa batinnya teriris, melihat Risma kemudian berlinang air mata. Susah sekali membuatnya percaya bahwa Baskoro masih hidup.

“Bukankah mas Baskoro datang kemari setiap hari?”
“Kamu tahu tidak? Aku ini kan sedang sedih, sedang merasa kehilangan, tapi tega sekali orang membohongi aku.”
“Membohongi bagaimana mbak?”
“Mengaku-aku, bahwa dirinya adalah Baskoro, bukankah itu membohongi namanya?”
“Apa dia bukan mas Baskoro sungguhan? Mengapa mbak Ris merasa bahwa itu kebohongan?”
“Ya ampun Ika, kamu tidak mendengar bahwa Baskoro sudah meninggal? Dia bunuh diri ketika Rina menikah dengan laki-laki lain bernama Leo.”
“Tapi mbak..”
“Harus berapa kali aku bilang tentang hal itu supaya kamu tidak terus-terusan percaya pada pembohong itu?”
“Karena saya mengenal mas Baskoro. Karena mas Baskoro sudah melamar saya, dan saya bersedia menjadi isterinya,” akhirnya Ika berkata lirih.

Risma menatap Ika tak berkedip, matanya berkaca-kaca.

“Kasihan kamu Ika..”
“Mengapa mbak?”
“Kamu datang terlambat..”

Ika menghela nafas sedih. Lalu ia tak melanjutkan berkata-kata, menyuapi Risma yang kata perawat sangat ajaib karena Risma mau makan.

“Biasanya dia tak suka makan mbak. Kalau disuapin, sesuap atau dua suap sudah nggak mau lagi,” kata perawat.
“Karena dia ini bakal ipar aku, biarpun gagal.”
“Kok gagal bu?”
“Calonnya keburu meninggal,” kata Risma sedih. Tapi Ika kemudian menatap perawat itu sambil mengedipkan sebelah matanya.

Lalu perawat itu pergi begitu saja sambil mengangguk dan tersenyum kepada Ika.
Begitu Ika selesai menyuapi Risma, lalu meletakkan bekas makan itu ditempatnya, muncullah Baskoro.
Semula Risma tak memandangnya, karena Ika sedang melayaninya minum. Tapi begitu melihat Baskoro, tiba-tiba Risma berteriak.

“Hantuuuu…”

Bersambung #24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER