Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 26 Juni 2022

Jangan Bawa Cintaku #22

Cerita Bersambung

“Iih.. mas Diaaan.. jangan dibuka-buka lagiii… bauuu…” teriak Dina sambil menutup mulut dan hidungnya.
“Ada apalk sih, kok ribut?” Rina menoleh kebelakang, belum tahu apa yang diributkan.
“Ini bu, ada baju bauuuu..” Dina masih berteriak.
“Baju apa sih mas?” Rina menatap suaminya yang masih saja menyetir tanpa mengatakan sesuatu.

Leo bingung antara harus berterus terang atau berbohong lagi. Tapi bohong yang bagaimana yang bisa dia katakan sekarang? Apalagi ketika mendengar Dian berteriak mengatakan bahwa dia mengenali baju itu.

“Aku tidak bohong, ini baju pak tua,” Dian mengulangnya.
“Pak Tua siapa sih Dian ?” tanya Rina penasaran.
“Itu bu.. pak tua yang setiap hari Dian bawakan makanan.”
“Kok bajunya bisa sampai didalam mobil kamu mas? Kamu selain membeli nasi bungkusnya juga membeli baju bututnya?”

Dan Leo seperti menemukan jawaban yang tepat untuk penemuan yang menghebohkan itu.

“Yaah, aku hanya kasihan saja.”
“Jadi karena kasihan, mas membeli baju bututnya sama makanannya? Berapa mas bayar untuk semua itu?”
“Tidak usah menanyakan berapanya. Sudahlah.”
“Jadi bapak membeli baju bau ini ya pak?” tanya Dina yang mendengar apa yang dikatakan bapaknya.
“O, pantaslah kemarin pak tua tidak ada didepan sekolah Dian. Apa karena tidak punya baju lagi?” tanya Dian penuh iba.
“Ya, mungkin juga.”
“Dimana ya rumah pak tua itu? Kalau saya tahu, akan saya beri dia baju yang baru. Ibu pasti mau membelikannya,” kata Dian lagi.
“Aneh ..” gumam Rina.
“Sudahlah, jangan diributkan lagi.”
“Baju itu harus dibuang saja, bauu sih..” teriak Dina.
“Jangan dibuang, biar nanti aku bawa pulang lalu aku cuci. Besok kalau ketemu pak tua akan aku berikan lagi baju ini. Aku juga akan minta agar ibu membelikan baju yang baru untuk pak tua.”

Leo hampir menitikkan air mata mendengar ucapan Dian. Alangkah mulia hati si kecil ini. Begitu peduli pada orang yang tak punya. Leo harus berterimakasih pada Ika, yang telah mendidik anaknya dengan pelajaran yang sangat indah.

“Sangat aneh ya, pengemis menjual baju dan nasinya. Apa uangnya akan dibelikan makanan yang murah? Sehingga dia punya sisa uang untuk keperluan lainnya?” kata Rina yang tak bisa membayangkan kejadian itu.

“Sudahlah, jangan lagi bicara tentang baju itu.”
“Mas Dian, ikat kereseknya dengan erat-erat, supaya baunya nggak tersebar keluar,” kata Dina.
“Iih, Dina nggak boleh begitu. Kita harus mengasihani semua orang yang tak punya. Jangan mentang-mentang bajunya bau lalu kamu memperlihatkan rasa jijik begitu.”
“Tapi benar bau kan?”
“Nggak bau-bau amat. Hanya memang tidak wangi seperti baju kamu,” kata Dian sambil mengikat bungkusan itu lebih erat.

Leo kembali menangkap sebuah pelajaran indah dari apa yang diucapkan Dian. Lalu terbersit dalam pikirannya, bahwa nanti dia akan mengatakan semuanya kepada Rina. Sungguh menyiksa menyimpan kebohongan. Kalau ketahuan bukan saja dia akan merasa bingung, tapi juga malu.
***

Leo mengajak Rina dan anak-anak belanja. Belanja untuk keperluan dapur Rina, dan apa yang diinginkan Dina. Walaupun Dian tak mau meminta apapun, tapi Leo dan Rina memaksanya untuk membelikan. Ada baju dan mainan.

“Om, bagaimana kalau baju Dian yang om belikan itu ditukar dengan baju untuk pak tua saja?” tiba-tiba kata Dian. Leo terbelalak. Rina juga kemudian menatap Dian tak berkedip.

“Dian, begini saja. Baju ini tetap untuk Dian, sedangkan untuk pak tua ayo kita pilihkan lagi mana yang bagus,” kata Leo sambil menarik tangan Dian, agar memilih baju untuk pak tua.

“Ayo, yang mana.. Dian dong yang memilih..” kata Leo ketika mereka sampai di counter baju-baju pria dewasa.

“Ini bagus, tapi mahal. Nggak usah yang mahal-mahal om, pak tua itu kan orang yang sederhana. Jadi dengan baju sederhana saja dia pasti juga sudah senang.”
“Tidak apa-apa, biar pak tua senang karena kamu yang memilihkannya. Ini kah? Yang biru muda, garis-garis biru tua?”

Dian mengangguk ragu-ragu.

“Iya bukan?” kata Leo tertawa melihat keraguan dimata Dian.
“Kalau om suka.. terserah om saja.”
“Bagus, anak baik, ayo kita bawa baju ini ke kasir,” kata Leo sambil menarik lengan Dian, diajaknya ke kasir, sekalian membayar semua belanjaan.

“Mas, nanti kalau dijual lagi sama pak tua, bagaimana ?” Rina berbisik ditelinga suaminya.
“Biarkan saja. Barang sudah kita berikan, jadi mau dijual atau dibuang terserah dia,” kata Leo sambil membayarnya.
***

Siang itu mereka makan dengan riang. Dian merasa sedang berada diantara keluarga yang utuh seperti lainnya. Ada bapak, ada ibu, ada adik. Alangkah bahagianya seandainya itu benar-benar terjadi. Dan ternyata itulah impian Dian yang lama dipendamnya, dan tak berani diungkapkannya secara gamblang kepada ibunya. Diam-diam juga, Dian tahu bahwa ibunya memendam sesuatu yang disimpannya rapat-rapat, dan sesuatu itu adalah hal yang menyedihkan.

“Hayo.. Dian, makan nggak boleh sambil melamun,” tegur Rina.

Dian memeletkan lidahnya, lalu melanjutkan menyendok makanannya.

“Nanti kita akan memesan lauk untuk kamu bawa pulang ya, jadi bukan hanya kita yang makan enak siang ini,” lanjut Rina.

Dian hanya mengangguk.

“Aku kok ya nggak kepikiran mengajak ibu kamu ya Dian, habisnya tadi Dina pengin cepat-cepat pergi saja.”
“Besok lain kali kita ajak saja dia,” sambung Leo.
“Ibu nggak akan suka pergi-pergi,” kata Dian.
“Siapa tahu lain kali dia mau,” kata Rina.

Acara makan siang itu masih dilanjutkan untuk jalan-jalan, entah kemana. Tampaknya Leo belum puas menikmati kebersamaannya bersama Dian.

“Bapak.. setelah ini kita ke taman ya,” rengek Dina.
“Apa kamu belum capek nak?” tanya Rina.
“Belum, Dina masih ingin main disana.”
“Baiklah, sekarang kita ke taman ya.”
“Horeee..” Dina bersorak sambil menggandeng tangan Dian untuk lebih dulu naik keatas mobil.
***

Kedua anak asyik bermain, tapi Leo memilih duduk disebuah bangku, karena melihat Rina tampak letih.

“Kamu capek?”
“Tidak mas, senang melihat anak-anak begitu gembira.”
“Baiklah, kita duduk-duduk saja disini ya, udara sore sangat nyaman.”

Tiba-tiba Leo melihat sesuatu. Tukang roti yang dikenalnya melintas.

“Rotiiii !!” teriak Leo.
“Iih, mas.. belum kenyang juga ya, masih ingin roti?”

Tapi Leo tidak menjawab. Dia berdiri lalu mendekati si tukang roti yang sudah berhenti, lalu dengan tangannya, Leo menyuruh agar si tukang roti berhenti di pinggir jalan saja.

“Masih jualan roti juga?” sapa Leo.
“Biarkan saja dulu.”
“Belum berani berterus terang sama dia?”

Tukang roti itu menggeleng.

“Aku mau curhat nih,” kata Leo sambil duduk diatas batu besar yang kebetulan ada di pinggir jalan itu.
“Curhat apaan? Aku lihat kalian tampak gembira, dan bahagia. Sudah dapat jawaban dari isteri kamu tentang siapa yang memfitnah Yanti?”
“Mengapa kamu tak mau bilang saja bahwa itu kelakuan Rina?”
“Kamu harus tahu sendiri. Aku bukan tukang adu domba.”
“Dia sudah ketemu Ika dan meminta ma’af. Itu sebabnya aku bisa dengan nyaman mengajak dia jalan-jalan bersama anak-anak.”
“Berarti kisah pak tua akan berakhir?”
“Itulah Bas. Kisah pak tua masih menjadi misteri bagi isteri aku. Dulu caping lebar itu ketahuan oleh Dina ketika melihatnya ada didalam mobil. Lalu baju bekas dipakai pak tua, tadi ditemukan Dina pula, aku bingung mau jawab apa. Memang aku teledor, lupa membuangnya.”
“Hahaa… itu ada lagunya, o..o.. kamu ketahuan…” kata tukang roti sambil berdendang, lalu tertawa terbahak.
“Jangan gila kamu. Orang bingung malah diketawain.”
“Begitu ketahuan kan kamu harus siap jawaban. Kamu jawab apa?”
“Kebetulan kemarin Rina membawa bungkusan nasi yang biasanya diberikan Dian untuk pak tua. Karena pak tua tidak ada, bungkusan itu dibawanya pulang. Nah, ketika itu Rina kebetulan ada disana, sementara kemarinnya tuh aku sudah ketahuan membawa bungkusan serupa dari Dian yang belum sempat aku makan. Rina pasti bertanya kan waktu itu, nah aku jawab itu aku beli dari orang jualan. Kok keesokan harinya dia tahu itu dari Ika yang membekali anaknya untuk pak tua. Bingung kan.”
“Benar, kalau itu benar-benar bikin bingung. Ribet, ketahuan demi ketahuan, duuh.. ya sudah aku pergi dulu,” kata si tukang roti.
“Eeit.. disuruh dengar curhat aku malah mau kabur, gimana sih?”
“Baiklah, lalu apa jawabmu?”
“Aku bilang saja nggak tahu. Lalu Rina punya kesimpulan yang membuat aku hampir tertawa. Mungkin pak tua itu memberikan nasinya kepada isterinya, lalu oleh isterinya dijual sama kamu.”

Baskoro benar-benar ngakak.

“Nah, ketika Dina menemukan baju butut itu, aku nggak usah menjawabnya, Rina sudah mengambil kesimpulan sendiri. Jadi isteri pak tua itu bukan hanya menjual nasi bungkusnya, tapi juga menjual baju suaminya?”

Ketawa Baskoro belum habis juga.

“Sekarang ini aku merasa tertekan. Kebohongan ini sangat membuat aku tersiksa juga.”
“Kalau begitu kamu harus berterus terang. Memang kebohongan itu amat menyiksa.”
“Berterus terang ya?”
“Iya. Kalau kamu tak ingin menimpali kebohongan demi kebohongan yang akhirnya juga akan terkuak,” kata Baskoro si tukang roti sambil naik keatas kendaraannya.
“Oh ya, masih ada sisa empat roti, nih, “ katanya sambil meraih roti di keranjang dan dimasukkan kedalam keresek.
“Kenapa buru-buru sih?”
“Mau tahu aja urusan anak muda,” kata Baskoro sambil menstater sepeda motornya, dan berlalu.

Leo membawa keresek itu dan kembali ke bangku di mana isterinya masih duduk, menatapnya dengan heran.

“Mas kok kelihatan kenal sekali sih sama penjual roti itu?”
“Iya, dia biasa berjualan di kantor, rotinya enak. Nih,” kata Leo sambil memberikan keresek itu. Nah kan, kok jadi dia bohong lagi.

“Ini seperti roti yang ada didalam keresek yang kamu beli dari isteri pak tua itu lho mas. Memang enak sih.”
“Ya namanya orang jualan, dimana-mana juga ada,” kata Leo sambil duduk disamping isterinya.
“Rin, aku akan mengatakan sesuatu.”
“Apa tuh ?”
“Tapi kamu nggak boleh kesal, nggak boleh marah.”
“Kelihatannya serius.”
“Sangat serius. Ini sebuah kebohongan. Mirip cerita di buku anak-anak.”

Rina menatap suaminya tak berkedip.

“Tentang apa nih?”
“Tentang pak tua..”
“Pak tua yang setiap hari diberi makan oleh mbak Yanti melalui Dian?”

Leo mengangguk.

“Gimana cerita pak tua itu, kelihatannya heboh..”
“Sangat heboh, karena pak tua itu adalah aku.”

Rina membulatkan matanya. Menatap suaminya yang mengucapkannya dengan sungguh-sungguh,

“Memang benar, setiap saat istirahat sekolah aku berada didepan sekolah Dian dengan memakai baju lusuh dan caping lebar. Lalu karena kasihan maka setiap hari Dian memberikan aku makan dan minum. Tadinya aku hanya menatapnya saja dari kejauhan, dan awalnya Dian memang tak melakukan apa-apa. Tapi besok harinya dia memberikan bekal makannya untuk aku. Dan hari-hari selanjutnya dia minta kepada ibunya untuk memberi makan pak tua setiap hari.”
“Mas Leo..?” Rina masih terbelalak.
“Maafkan aku Rina. Ketika kamu segan saat Dina mengajak kamu kerumah Dian, aku sangat rindu melihat anakku. Kamu sudah tahu kan dia memang anakku..?”
“Ya Tuhan, lalu kamu melakukan hal yang sangat dramatis itu?”
“Maaf Rina, aku tidak berterus terang sama kamu. Tapi mulai sekarang semua kebohongan itu aku harus menghapusnya. Jangan ada dusta diantara kita.”

Rina tersenyum, teringat sebaris syair dalam sebuah lagu.

“Masih ada lagi sebuah rahasia,” lanjut Leo.
“Apa tuh?”
“Tapi belum sa’atnya aku katakan sama kamu.”
“Katanya jangan ada dusta diantara kita.”
“Itu bukan diantara kita. Itu tentang orang lain.”
***

Hari sudah sore. Ika sudah selesai bersih-bersih rumah dan mandi. Ia duduk di teras, menunggu kedatangan Dian.

“Sudah sore kok belum pulang sih. Kemana saja mereka?”

Ika berkali-kali melongok kejalan, tapi belum ada tanda-tanda ada mobil berhenti disana. Ika ingin menelpon Rina, tapi merasa kurang enak.

“Nanti aku dikira nggak percaya sama mereka. Tapi kan sudah saatnya Dian mandi lalu belajar,” gumam Ika sambil berdiri, karena mendengar ponselnya berdering. Tumben Broto menelpon.

“Hallo..”
“mBak Ika ya?
“Iya, mas Broto? Tumben mas, ada apa?”
“Cuma mau memberi kabar, bahwa Risma saat ini ada dirumah sakit.”
“Apa ? mBak Risma sakit? Sakit apa?” kata Ika terkejut.
“Mungkin karena terlalu memikirkan Baskoro. Dia sudah berusaha sekuat tenaga dan semampunya, tapi belum juga berhasil.”
“Kasihan sekali mas, kapan mbak Risma masuk rumah sakit?”
“Baru siang tadi. Sehabis makan siang, dia bilang pusing, lalu pingsan. Aku melarikannya ke rumah sakit.”
“Kata dokter, penyakitnya apa?”
“Tidak ditemukan adanya penyakit tertentu. Dugaan sementara adalah karena stress. Kasihan aku melihat wajahnya pucat dan tak bersemangat.”
“Aduh, bagaimana ya mas, kalau dekat, aku pasti akan menjenguknya dan menghiburnya. Tapi ini di Jakarta, aku bingung.”
“Tidak apa-apa mbak Ika, aku hanya mengabari saja. Barangkali Baskoro menghubungi mbak Ika, tolong katakan berita ini.”
“Iya mas, pasti. Dan aku hanya bisa berdo’a agar mbak Risma segera pulih.”
“Terimakasih mbak Ika.”

Ketika menutup ponselnya, Ika merasa sedih. Ikut sedih karena seorang kakak kehilangan adiknya selama berbulan-bulan, tak jelas dimana keberadaannya.
Tiba-tiba Ika teringat pengirim pesan yang sangat misterius itu. Dugaannya, dia adalah Baskoro. Tapi benarkah Baskoro? Ika ingin menghubunginya, tapi ragu-ragu. Bagaimana kalau bukan?

“Ah, biar saja salah, siapa tahu benar,” gumam Ika.

Lalu ia meraih ponselnya lagi, membuka nomor tak jelas yang membuatnya kesal. Ia sudah mau menuliskan sebuah pesan, atau menelponnya saja, ketika tiba-tiba sebuah sepeda motor masuk.
Ika terbelalak. Si tukang roti? Mengapa sore hari baru datang? Ika berdiri menyambutnya di teras.

“Maaf mbak Ika, tadi pagi tidak mengirim roti kemari, karena kehabisan di jalan,” katanya sambil turun dari atas sepeda motornya.
“Oh, kehabisan ya? Pagi-pagi sudah habis?
“Iya. Ada ibu-ibu yang memborong hampir semua roti dagangan saya, sehingga tinggal beberapa bungkus saja. Jadi saya tidak kemari.”
“Nggak apa-apa kok mas. Tadi juga banyak ibu-ibu menanyakan, dan anak saya juga pesan, katanya mau diberikan temannya, tapi tidak apa-apa, besok saja kalau masih ada.”
“Ini saya membawakan yang baru mbak, masih hangat.”
“Masih hangat?”
“Iya, baru keluar dari oven dan langsung dibungkus, saya membawanya kemari, supaya besok tidak kehabisan.”
“Oh, baiklah.”
“mBak Ika mau berapa bungkus?” tanyanya tanpa membuka helmnya.
“Limapuluh juga nggak apa-apa mas, tolong taruh di meja situ saja ya, Saya ambilkan uangnya,” kata Ika sambil beranjak ke belakang untuk mengambil uang.

Tukang roti itu masih menghitung dan menata roti di meja yang ditunjuk Ika. Limapuluh bukan jumlah sedikit, jadi agak lama tukang roti itu menghitungnya.

“Saya mau menelpon teman saya dulu mas, ada yang penting. Silahkan semuanya di taruh di meja saja.”

Ika duduk di kursi lain, agak jauh dari meja di mana tukang roti itu menata rotinya. Ika menghubungi nomor telpon yang diharapkan ada hubungannya dengan Baskoro. Dengan ragu ia memencet nomor tersebut.
Tapi alangkah terkejutnya ketika ponsel tukang roti yang ada didalam sakunya itu berdering.
Dua-duanya saling pandang dengan terkejut.

==========

Ika merasa aneh, apakah hanya kebetulan ketika dia memencet nomor lalu bersamaan dengan ponsel si tukang roti berdering? Lalu Ika mematikannya, ponsel si tukang roti pun diam. Lalu berbunyi lagi ketika Ika memencet lagi nomernya.
Bingung tak tahu harus berbuat apa, si tukang roti mengambil ponselnya dan mematikannya.

“Kamu ?” kata Ika hampir memekik.
“Kamu orang iseng yang mengirimkan pesan secara tidak tahu sopan santun? Darimana kamu mendapatkan nomor ponsel aku? Dan apa maksudmu dengan kata-kata tidak pantas yang kamu kirimkan ke ponsel aku? Aku bukan perempuan murahan yang bisa dengan gampang kamu permainkan,” lanjut Ika sengit.

Tiba-tiba si tukang roti mendekati Ika lalu menjatuhkan dirinya, bertumpu pada kedua lututnya, sambil merangkapkan kedua telapak tangannya.

“Ma’afkan aku, aku memang mencintai kamu,” bisiknya sambil masih tetap memakai helm.

Mata Ika berkilat karena kesal. Tukang roti yang baru beberapa kali ketemu, dengan lancang mengaku cinta?

“Darimana kamu mendapatkan nomor kontak aku?” dingin ucapan Ika, karena kurang suka pada sikap si tukang roti.
“Aku sudah lama tahu..”
“Apa maksud kamu ?”

Perlahan si tukang roti membuka helm nya, dan Ika hampir pingsan ketika menatap wajahnya.

“Mas Baskoro ?” katanya dengan bibir bergetar.
“Namaku Baskoro, seorang penjual roti keliling yang jatuh cinta kepada seorang penjual sayur. Kamu tidak usah mendongak terlalu tinggi untuk menerima cinta aku.”
“Ya Tuhan,” Ika berbisik lirih. Matanya mulai mengambangkan air bening. Tak tahu bagaimana perasaannya sa’at itu.

“Bisakah kamu terima cinta aku? Aku tak akan berdiri dan akan tetap begini sampai kamu menjawab perkataan aku.”

Air bening yang mengambang itu perlahan turun, seperti butiran permata meloncat dari sepasang mata indahnya.

“Mengapa kamu melakukannya mas?” suara itu kini diiringi isak perlahan.
“Demi cinta aku, akan aku lakukan apapun. Kamu mengatakan bahwa tak pantas kamu menerima aku, maka aku rela menjadi pedagang roti agar kamu tak merasa rendah diri. Terimalah cinta aku,” kata Baskoro lembut.

Yang terdengar adalah isak Ika perlahan. Baskoro memberanikan diri mengusap air mata itu dengan jemarinya.

“Aku akan mencintai kamu dan Dian. Aku akan membahagiakan kalian. Tak akan aku biarkan lagi air mata duka mengaliri pipimu.”
“Berdirilah mas.”
“Tidak, jawablah ya, atau tidak.”
“Benarkah kamu mencintai si tukang sayur yang kotor dan bau?”
“Kamu bening seperti air dari gunung. Harum seperti selaksa bunga.”
“Ya Tuhan..”
“Jawablah Yanti.”
“Berjanjilah kamu juga akan mencintai Dian seperti anak kandung kamu.”
“Aku bahkan bersumpah untuk melakukannya.”

Air mata Ika semakin deras mengalir.

“Berdirilah mas..”
“Jawab dulu..”

Apa lagi jawab yang pantas dikatakan? Baskoro begitu baik, begitu melindungi dan rela berkorban untuk cintanya. Baskoro juga tampan menawan, dan Ika tak bisa menyembunyikan rasa kagum dan getar jantungnya setiap kali melihat senyumnya.

“Jawab, atau aku tak akan berdiri disini selamanya. Ya, atau tidak.”

Ika mengangguk pelan.

“Jawab dengan kata-kata, bahwa kamu juga mencintai aku.”
“Ya..”
“Ya apa..?”
“Aku menerima cinta kamu,” kata Ika malu-malu, sambil menunduk. Baskoro ingin menari karena bahagia. Ia mengembangkan kedua tangannya, bermaksud memeluk Ika, tapi Ika menggoyang-goyangkan tangannya.

“Maaf, belum boleh ya?” kata Baskoro sambil berdiri.
“Ayo kita jalan-jalan.”
“Apa?”
“Jalan-jalan, seperti sepasang remaja yang sedang jatuh cinta,” kata Baskoro seenaknya.
“Tidak, baru saja ada berita memprihatinkan.”
“Berita apa?”
“mBak Risma dirawat dirumah sakit.”

Baskoro terkejut.

“Sakit apa?”
“Memikirkan kamu. Segera telpon dia lalu pergilah ke Jakarta.”
“Ya Tuhan, ampunilah aku,” kata Baskoro yang kemudian mengambil ponselnya dan menelpon kakaknya.

“Tidak diangkat..”
“Mas Broto saja. mBak Risma mungkin tidak mengaktifkan ponselnya.”

Dan memang benar ketika menelpon Broto kemudian Baskoro bisa berbicara dengannya.

“Jadi ini benar kamu Bas?”
“Benar mas, maaf ya.”
“Keterlaluan kamu Bas, kamu mempermainkan kakak kamu, dan membuatnya benar-benar sakit.”
“Maaf mas, sekarang juga aku mau berangkat ke Jakarta. Katakan pada mbak Risma bahwa aku masih hidup.”
“Sembarangan sih. Ya sudah, kami tunggu.”

Baskoro menutup ponselnya lalu menghela nafas panjang.

“Ya sudah, sayang, aku pamit dulu, mau berangkat ke Jakarta sekarang. Kamu mau ikut?”

Dipanggil sayang membuat Ika salah tingkah.

“Mau nggak?”
“Nggak lah, Dian kan sekolah, aku titip salam saja untuk mbak Risma, semoga segera pulih setelah ketemu adiknya yang nakal ini.”
“Aku memang nakal. Tunggu ya sa’atnya aku bisa lebih nakal lagi buat kamu,” katanya sambil membalikkan tubuh, setelah sebelumnya meninggalkan senyuman dan cium jauh.

Ika benar-benar tertawa melihat ulah Baskoro yang selalu kocak.

“Heii, rotinya bagaimana ?” teriak Ika ketika Baskoro sudah naik keatas motornya.
“Biarin disitu. Jual besok pagi dan sebagian untuk Dian. Bayarnya aku tagih kalau aku sudah pulang dari Jakarta,” teriaknya sambil menstarter motornya dan melaju meninggalkan halaman.

Senyum Ika mengembang. Bahagiakah dia? Iya lah, bohong kalau enggak. Tiba-tiba seorang pengeran berkuda berlutut dihadapannya dan menyatakan cinta.

“Hidupku hanya mengalir, mengikuti kemana akan bermuara. Tapi kali ini tampaknya aku benar-benar jatuh cinta,” gumamnya sambil memungut roti yang masih terserak diatas meja,

Ika juga geleng-geleng kepala, menyadari seorang pengusaha kaya rela berjualan roti keliling, bercapek dan berpanas ria, demi sebuah cinta. Alangkah indahnya.
***

“Heiii… berhenti..!!” teriak Leo yang sudah hampir sampai dirumah Ika, dan melihat si tukang roti lewat.

Tukang roti berbalik, mendekati mobil Leo dan berhenti tepat disamping Leo yang juga memberhentikan mobilnya.

“Kamu buru-buru pergi, rupanya punya rencana datang kemari ketika semua pada pergi hah?”
“Tahu aja kamu. Dengar aku sedang berbahagia, sekaligus sedih.”
“Kenapa?”
“Kapan-kapan aku beritahu, aku sedang buru-buru,” kata Baskoro sambil memutar motornya dan kembali memacunya menjauh.
“Ada apa sih mas?”
“Itu kan penjual roti Cinta,” celetuk Dian.

Leo hanya tertawa, lalu menjalankan mobilnya dan berhenti beberapa puluh meter didepan, persis di pagar rumah Ika.

“Mas nggak turun ?”
“Nggak usah, kamu saja.”
“Terimakasih om,” Dian tak pernah lupa mencium tangan Leo. Dengan lembut Leo mengacak rambut Dian.

“Jangan lupa belanjaan kamu, Dian,” kata Rina mengingatkan.

Rina mengikuti kedua anak yang sudah lebih dulu berjalan masuk. Ketika itu Ika sedang memungut roti yang sebagian terserak di lantai, dimasukkan kedalam sebuah kotak plastik besar. Rina teringat, tadi di tukang roti berbincang sebentar dengan suaminya.

“Roti untuk dijual ya mbak?” tanya Rina.
“Oh, sampai tidak tahu ada bu Rina. Iya, baru saja datang.”
“Roti untuk dagang besok pagi ?”
“Iya, bu Rina.”
“Waah, rotinya banyak,” teriak Dian.
“Dian, coba ambil keresek yang bersih. Kita bawakan untuk Dina beberapa bungkus ya.”

Dian segera berlari ke belakang.

“Aku suka.. aku suka,. “
“Dinaa…” tegur ibunya.
“Nggak apa-apa bu Rina, memang Dian ingin memberi roti ini untuk Dina, sedianya tadi pagi, tapi hari ini datangnya sore.”
“Ini bu, plastiknya. Dina suka coklat kan?” tanya Dian.
“Iya, aku coklat.. yang banyak..”
“Eeh.. kok yang banyak..” tegur Rina.
“Nggak apa-apa bu, biar saja. Ayo Dina, ambil saja. Berapa Dina mau.”
“Dua.. eh.. tiga..”
“Baiklah. Ini.. untuk Dina semua.”
“Terimakasih bu Yanti. Mas Dian aku pulang dulu,” kata Dina setelah mencium tangan Ika dan melambaikan tangannya pada Dian.
***

“Ini kok Dian dapat belanjaan banyak banget..” kata Ika setelah Dian selesai mandi.
“Iya bu, om Leo beli untuk Dina sama Dian.”
“Ini kok ada hem besar? Punya om Leo terbawa oleh kamu nak.”
“Bukan bu, itu om Leo beli untuk diberikan pak tua.”
“Bagus sekali, ini mahal.”
“Iya, Dian sudah mengingatkan, om Leo nekat membelikan.”
“Ini apa.. iih.. baju kotor punya siapa?”
“Ibu, pak tua kemarin tidak datang kesekolah. Tampaknya kemarinnya dia menjual nasi yang Dian berikan, berikut baju yang dipakainya.”
“Apa ? Dijual ?”
“Kebetulan om Leo yang membelinya.”
“Haa? Lalu..”
"Nggak tahu bagaimana, om Leo membelinya dari seseorang, mungkin isteri pak tua.”
“Mengapa dijual ya? Apa dia nggak butuh makan? Kasihan sekali.”
“Makanya kemarin dia tidak datang ke sekolah Dian, barangkali dia nggak punya baju bu. Karenanya baju ini Dian bawa pulang, mau Dian cuci. Besok kalau Dian sekolah, baju yang baru ini mau Dian berikan. Semoga saja dia datang.”

Ika mengelus kepala anaknya. Trenyuh mendengar Dian begitu peduli kepada orang lain.

“Baiklah, anak baik, besok ibu bawakan lagi nasi dan minum seperti biasanya. Semoga besok pak tua akan datang ya.”
“Iya bu.”
“Sekarang kamu belajar dulu, baju pak tua akan ibu rendam dulu dengan air sabun, supaya besok kalau dicuci bisa benar-benar bersih.”
“Terimakasih ibu.”
***

Ketika Dian selesai mandi di pagi hari itu, ia mencari ember dimana ibunya merendam pakaian pak tua. Tapi ternyata rendaman itu sudah tidak ada. Ketika ia melongok ke tempat jemuran, dilihatnya baju pak tua sudah dijemur disana. Tampak bersih dan tidak bau. Dian tersenyum. Besok pak tua akan mendapatkan lagi baju lamanya dalam keadaan bersih dan wangi.
Dian bersiap ke sekolah dengan membawa bekalnya sendiri, nasi dan minum jatah pak tua, serta baju baru yang dibelikan Leo kemarin siang.
Dian berangkat setelah mengunci pintu rumah dan menggelar taplak plastik dimeja, di mana ibunya biasa berjualan, agar nanti kalau ibunya datang dari pasar tinggal menata dagangannya dengan rapi.

Hari itu entah mengapa Dian mengayuh sepedanya dengan semangat. Harapannya hanya satu, semoga pak tua akan datang didepan sekolahnya.
***

Tiga pelajaran pada jam-jam awal telah usai. Dentang bel tanda istirahat tiba. Dian seperti terbang mengambil bungkusan nasi dan baju yang akan diberikan pak tua. Ia berdiri ditengah pintu halaman masuk sekolah. Matanya mencari-cari. Sedikit kecewa karena tak melihat lagi pak tua ditempat biasanya.

“Dimana ya rumah pak tua itu? Apakah dia benar-benar tak punya baju sehingga tidak keluar dari rumahnya?” hanya itu yang dipikirkan Dian.

Ia melongok kekanan dan kekiri, bahkan keseberang jalan. Pak tua tetap tak tampak batang hidungnya. Entah mengapa, Dian merasa sangat sedih. Seperti ada yang hilang daripadanya. Suara riuh rendah teman-teman sekolahnya yang asyik bermain, tak tampak ramai. Ia merasa sepi. Lalu dengan langkah gontai Dian kembali memasuki halaman.

Namun tiba-tiba Dian mendengar suara ketukan tongkat dengan irama yang dikenalnya. Dian ingin bersorak karena ketika menoleh kebelakang, dilihatnya pak tua itu datang, hanya dengan celana pendek, tanpa baju. Air mata Dian hampir tumpah. Pak tua benar-benar tak punya baju. Seperti biasa wajah tuanya tak pernah tampak, karena selalu mengenakan caping yang sangat lebar. kecuali jalannya yang tertatih, yang menandakan bahwa dia memang sudah tua. Lalu pak tua duduk dibawah pohon, seperti biasanya.
Dian bergegas menghampiri.

“Pak tua, saya membawakan baju untuk pak tua,” kata Dian sambil membuka bungkusannya. Dian membuang label yang tergantung di leher baju itu, lalu mengulurkannya pada pak tua. Ketika Dian ingin membantu mengenakannya, pak tua itu menggoyang-goyangkan tangannya.

“Biar aku pakai sendiri,” katanya setengah berbisik.

Dian membantu membuka kancing satu persatu, lalu pak tua mengenakan baju itu.

“Nah, sekarang pak tua punya baju. Ini makan dan minum untuk pak tua. Dimakan ya, jangan dijual,” pesan Dian sebelum meninggalkan pak tua.

Pak tua mengangguk dan menahan senyumnya. Diacaknya kepala Dian dengan lembut, dan seperti biasa Dian meggenggam erat tangan pak tua, sebelum kemudian berlari masuk kehalaman.
***

Ketika pulang makan siang itu, Rina terkejut melihat Leo pulang dengan memakai baju biru muda bergaris, yang kemarin diminta Dian untuk diberikan kepada pak tua.
Leo tersenyum melihat Rina menatapnya heran.

“Lihat bu, bapak membeli lagi baju pak tua,” teriak Dina.

Leo mengedipkan sebelah matanya kearah isterinya. Rina kemudian ingat cerita suaminya tentang pak tua yang sebenarnya adalah dirinya.
Tanpa banyak berkata Rina menggandeng Dina masuk kedalam, lalu menyiapkan makan siang untuk suami dan anaknya.

“Jadi kamu tadi kesekolah Dian lagi?” tanya Rina berbisik, ketika Dina sedang mengganti bajunya.

Leo mengangguk sambil duduk di kursi makan.

“Supaya Dian tidak kecewa ketika tidak melihat pak tua, sementara dia sudah membawakan baju baru untuknya.”
“Kapan semua ini berakhir mas?”
“Tenang saja, semua pasti ada ujungnya. Yang penting kita sudah melewati hari-hari yang sulit. Melewati kesalahan dan dosa aku, kesalahan kamu, dan banyak hal yang semuanya harus kita lupakan.”
“Baiklah.”

Keduanya saling tatap, dan berjanji akan menciptakan ketenangan dalam hidup mereka di hari-hari yang akan datang.
***

Dian makan dengan lahap siang itu, sambil berceloteh tentang pak tua yang hadir dengan celana pendek tanpa baju. Ika menutup mulutnya karena heran dan juga merasa kasihan.

“Jadi pak tua itu benar-benar telah menjual bajunya?”
“Iya bu, begitu Dian berikan baju yang tadi, langsung dipakainya.”
“Syukurlah. Itu baju butut yang kemarin kamu bawa, sudah ibu setlika. Besok bisa kamu berikan lagi. Dan ibu juga sudah membelikan lagi hem untuk pak tua, di pasar pagi tadi. Tapi bukan hem mahal yang seperti kamu bawa kemarin.”
“Oh ya bu? Tidak apa-apa bu, pak tua pasti akan menerimanya dengan senang hati.”
“Iya nak. Berbagi itu indah bukan? Bukan hanya yang diberi yang merasa senang, tapi kita yang memberinya juga pasti akan merasa senang dan bahagia lho.”
“Iya ibu..”

Ika sedang membersihkan meja setelah mereka makan, dan Dian sedang mencuci piring bekas, ketika didengarnya seseorang mengetuk pintu.
Dian berlari kedepan, dan terkejut melihat siapa yang datang.

“Om Leo ?”

Bukannya mempersilahkan tamunya duduk, Dian malah berlari ke belakang.

“Ibu.. ibu.. dengar, pak tua menjual baju pemberian Dian itu lagi.”
“Apa? Bagaimana kamu tahu?”
“Ayo bu, lihatlah kedepan.”

Bersambung #23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER