Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 25 Juni 2022

Jangan Bawa Cintaku #21

Cerita Bersambung

Leo turun dari mobil setelah memarkir mobilnya langsung memasuki garasi. Ia turun dan mendapati isterinya sedang duduk di teras bersama Dina. Leo menahan amarahnya, dan menyuruh Dina masuk kedalam.

“Dina main di kamar dulu ya, bapak mau bicara sama ibu.”
“Bapak membawa nasi seperti tadi siang?”
“Tidak ketemu nak, ayo kedalam dulu.”
“Apa topi besar itu sudah dibawa pemiliknya?” Dina masih cerewet dengan pertanyaannya.
“Sudah bapak buang… eh.. bukan.. sudah diserahkan ke pemiliknya.”

Dina berlari-lari masuk kedalam, Leo menarik tangan isterinya, diajaknya masuk kedalam kamar.

“Ada apa sih mas, aduh.. mas mencengkeram tangan aku, sakit tahu,” kata Rina sambil berusaha melepaskan diri. Tapi Leo tak ingin melepaskannya. Rina berdebar melihat sikap suaminya. Seribu pertanyaan memenuhi benaknya. Ia juga melihat mata suaminya memerah menahan marah ketika menutupkan pintu kamar.
“Mas, ada apa sih mas? Hiih, lihat, sampai merah begini lenganku,” kata Rina sambil mengusap lengannya yang kemerahan.

Leo duduk di sofa.

“Duduk disitu,” perintahnya dingin.

Rina menurut, duduk didepan suaminya dengan alis berkerut.

“Aku tidak mengira kamu bisa memiliki hati sebusuk itu,” kata Leo tajam.
“Apa maksudmu mas ?”
“Kamu tidak sadar bahwa telah melakukan kesalahan yang sangat memalukan. Memalukan karena hanya orang jahat yang bisa melakukannya.”
“Aku tidak mengerti ! Dan jangan menatapku seperti itu,” Rina mencoba berteriak untuk mengalahkan debar jantungnya. Ia menduga-duga, kesalahan apa gerangan yang telah dilakukannya.

“Aku hanya menatapmu marah, dan tidak menghajar kamu, ini lebih baik bukan ?”
“Katakan yang jelas. Aku tidak mengerti semuanya.”
“Apa kamu mengira aku tak akan bisa mengetahuinya?”
“Katakan ada apa!” Rina mulai menjerit.
“Jangan berteriak.”
“Cepat katakan.”
“Kamu telah memfitnah seseorang. Kamu jahat. Aku tidak mengira.”
“Memfitnah apa?”
“Mengapa kamu mengatakan kepada orang lain bahwa Dian itu tak jelas siapa bapaknya?”

Rina terpaku ditempat duduknya. Bagaimana Leo bisa mengetahui semuanya? Mustahil Risma bertemu Leo lalu mengatakan itu. Siapa mengatakannya? Tapi nyatanya Leo mengetahuinya, Rina bingung harus menjawab apa. Sungguh dia menyesal karena telah melakukannya. Ia menyandarkan tubuhnya di sofa, wajahnya pucat, tak tahu harus menjawab apa.

“Jawab Rina !!”
“Darimana mas mengetahuinya?”
“Tidak penting darimana. Katakan mengapa kamu melakukannya? Kamu kan tahu bhahwa Dian itu darah daging aku? Mengapa kamu mengatakan bahwa Dian terlahir karena pergaulan bebas sehingga tak tahu siapa ayahnya?”
“Maafkan aku..” Rina berbisik lirih, air mata mulai mengambang.
“Aku tidak mengira bahwa dibalik sikap kamu yang baik, kamu memiliki sifat yang diluar perkiraanku. Memfitnah itu jahat. Lebih kejam dari pembunuhan. Mengapa kamu melakukannya? Jawab Rina !!”
“Aku hanya… hanya… tak ingin.. membuka aib kamu.. “
“Apa maksudnya membuka aib aku? Apa perlu kamu menceritakan tentang keberadaan Dian kepada orang lain? Untuk apa? Kalau kamu ingin menutupi aib aku, maka kamu tak akan bercerita tentang Dian kepada orang lain. Kamu bilang menutupi aib aku tapi kamu mengatakan tentang hal buruk yang sebenarnya bukan urusan orang lain. Mengapa kamu mengatakan hal keberadaan Dian? Lalu mengimbuhinya dengan fitnah yang amat kejam? Dian itu anakku ! Darah dagingku ! Dia terlahir karena aku, bukannya tak jelas siapa bapaknya. Bukan hadir karena pergaulan yang nggak bener. Bukan nggak jelas orang tuanya, tapi aku. Aku ada. Dan kamu sudah mengetahuinya. Mengapa kamu melakukannya? Apa perlunya kamu menceritakan itu kepada orang lain? Jawab !!”
“Ada yang bertanya..”
“Apa kamu nggak bisa bilang bahwa kamu tidak tahu apa-apa? Bukankah kamu juga tidak sepenuhnya tahu? Mengapa kamu memfitnah Ika? Apa salahnya sama kamu? Dia begitu baik sama kamu, begitu menghormati kamu. Kamu lupa, dia memanggil kamu bu Rina, itu sebuah penghormatan untuk kamu. Apa kamu tidak sadar? Dia juga menyayangi Dina, apa kamu lupa..? Apa salahnya dia Rina? Dia begitu baik menjaga keutuhan rumah tangga kita. Dia tak ingin merusaknya karena keluhuran budinya, apa kamu lupa? Setan apa yang merasukimu Rina?”

Rina terisak dan tak menjawab sepatah katapun.

“Mengapa kamu tidak bisa menjawabnya? Jawab mengapa kamu melakukannya!”

Rina menata nafasnya yang tersengal, menelusuri setiap kesalahan yang telah diperbuatnya, mencari penyebab dia melakukannya, lalu tercetus suaranya diantara isak.

“Karena aku cemburu sama dia !”

Leo melotot menatap isterinya.

“Cemburu? Apa yang membuat kamu cemburu? Dia berusaha merebut aku dari kamu? Dia bersikap genit agar aku mendekatinya?”
“Tidak Mas,” isaknya, lalu menarik tissue dan dihapusnya wajahnya dari kucuran air matanya.
“Lalu apa?”
“Aku cemburu, mengapa dia lebih baik dari aku, lebih banyak yang menyukainya, lebih menarik, lebih segalanya sementara dia hanya seorang tukang sayur.”
“Bodoh !!”

Rina menarik lagi tissue dan diusapkannya lagi pada wajahnya.

“Aku bodoh, aku khilaf. Maaf mas, jangan marah lagi, aku akan meminta maaf sama dia.”

Rina terus terisak, tanpa bisa mengatakan apa-apa lagi.
Hati Leo perlahan runtuh melihat penyesalan tergurat dari wajah isterinya.

“Benarkah kamu menyesalinya?”
“Sungguh aku menyesal, aku akan kesana, kalau perlu sekarang juga.”
“Tidak, lebih baik besok, ketika Dian sedang bersekolah. Masalah seperti ini jangan sampai anak kecil mendengarnya.”
“Maaf ya mas.”
“Meminta maaf pada Ika, dan mohon ampun kepada Allah atas semua yang telah kamu lakukan.”

Rina hanya bisa mengangguk, sambil tak henti mengusap air matanya.

“Ibu….” Tiba-tiba terdengar teriakan Dina dari luar, sambil menepuk-nepuk pintu dengan keras.
“Ya Dina..” yang menjawab adalah Leo, karena Rina kemudian beranjak ke kamar mandi untuk membasuh mukanya.

Leo membuka pintu, Dina langsung menerobos masuk.

“Mana ibu?”
“Lagi di kamar mandi. Ibu agak kurang enak badan. Dina mau minta apa?”
“Bapak kok belum ganti pakaian ?” tanya Dina ketika melihat masih memakai pakaian kerjanya, lengkap dengan sepatunya.
“Ooh, iya.. bapak lupa, tadi kecapekan lalu langsung tiduran di sofa.”
“O, bapak capek ya?”
“Sekarang sudah agak mendingan,” kata Leo sambil membuka sepatunya.
“Biar Dina bantu membuka sepatu bapak,” kata Dina yang kemudian langsung berjongkok, berusaha membuka tali sepatu bapaknya.

“Dina mau minta apa?”
“Dina lapar.”
“Oh, ya ampuun.. “ Leo tertawa.
“Sebentar ya, bapak ganti pakaian dulu, lalu kita akan makan bersama-sama.”
“Mana ibu?”
“Itu, masih di kamar mandi, sebentar juga akan selesai. Terimakasih, anak pintar bisa membuka sepatu bapak.”
***

“Ibu, mengapa lama sekali Dina tidak datang kemari ya?” tanya Dian malam itu setelah selesai belajar.
“Iya ya nak, mungkin bapak ibunya sedang sibuk, sehingga tidak ada yang mengantar.”
“Bolehkah Dian datang kesana dengan bersepeda?”
“Jangan nak, rumah mereka itu jauh dari sini.”
“Dian bisa kok.”
“Tidak nak, ibu tidak tega karena jauh. Coba ditunggu sampai hari Minggu, siapa tahu dia akan datang kemari.”
“Baiklah bu, soalnya buku-buku dari om Broto belum sempat Dian berikan.”
“Oh iya, sudah agak lama juga ya nak.”
“Iya, tapi sudah Dian bungkus rapi. Kalau sewaktu-waktu Dina datang tinggal diberikan.”
“Bagus nak, semoga besok hari Minggu dia akan datang. Kalau tidak datang juga, ibu akan menghubungi bu Rina agar mengambil bukunya.”
“Tapi kalau ibu menghubungi bu Rina, minta agar Dina diajak juga datang kemari.”
“Baiklah nak. Rupanya kamu kangen ya, sama Dina?”
“Iya bu, kangen sekali. Dia itu kan lucu.”

Ika tersenyum. Tidak merasa heran kalau ada ikatan terselubung diantara mereka. Paling tidak ikatan darah itu yang menyebabkannya.

“Iya, Dina cantik dan lucu. Ibu yakin, Dina juga kangen sama Dian.”
“Kalau bu Rina sama Dina datang kemari, ibu siapkan roti Cinta yang rasa coklat untuk Dina. Dia suka sekali coklat.”
“Oh ya? Baiklah. Kalau kamu suka yang rasa apa? Coklat juga kan?”
“Dian suka yang rasa blueberry, atau kacang.”
“Oh, beda selera rupanya. Sayang beberapa hari ini dagangan roti selalu terjual habis. Tapi besok ibu akan membeli lebih dan akan ibu simpan saja untuk Dina dan kamu. Rasa coklat, blueberry dan kacang kan?”
“Terimakasih bu..”

Ika ingin menelpon Rina saat itu juga, tapi teringat olehnya kata-kata Risma, bahwa Rina sudah memfitnahnya. Tangan yang sudah meraih ponsel itu kemudian hanya menggenggamnya saja.

“Ibu mau menghubungi bu Rina sekarang?” tanya Dian.
“Tidak sekarang nak, ini sudah malam. Pasti bu Rina sedang beristirahat. Nggak enak jadinya.”
“Baiklah, kalau begitu besok saja ya bu.”
“Baiklah, sekarang cuci kaki tangan kamu dan pergi tidur ya, ini sudah malam.”
***

Pagi itu pembeli sayur sudah mulai menipis. Memang hari sudah agak siang. Masih ada tiga orang ibu yang belanja, ketika tiba-tiba sebuah tangan lentik meraih tas keresek dan membantu memasukkan dagangan seorang ibu.

“Ini belanjaan ibu ya, biar aku membantu memasukkannya.”
“Belum dihitung mbak, aduh, pembantu mbak Ika kok ganteng dan cantik?” celetuk ibu-ibu bersahutan.
“Bu Rina?” Ika sangat terkejut ketika tiba-tiba Rina membantunya melayani pembeli.
“Biar saja, aku ingin berjualan juga kok. Ini tadi sudah dihitung, mbak Yanti?”
“Itu kan sudah bu, duapuluh empat ribu, tambah dagingnya seperempat, jadi.. empatpuluh sembilan ribu.”
“Nah, sudah dihitung tuh bu. Empatpuluh sembilan ribu,” kata Rina.
“Bu Rina, nanti tangan ibu kotor?”
“Sudahlah, aku ingin mencobanya.”

Ika terpana, melihat dengan cekatan Rina membantunya. Ia ingin mencegahnya, tapi pembeli yang lain menunggu dilayani.
Sepanjang melayani itu Ika terus perpikir, mengapa tiba-tiba Rina melakukannya, hampir seperti Baskoro melakukannya.
Pembeli sudah habis. Ika meminta Rina untuk mencuci tangannya dibelakang, sementara dia memasukkan dagangan yang tersisa ke keranjang, lalu dibawanya masuk kedalam.
Ketika Ika selesai menyimpan sisa dagangannya, dilihatnya Rina sudah duduk di ruang tengah. Ika berganti pakaian bersih setelah mencuci kaki tangannya, lalu keluar sambil menghidangkan secangkir teh hangat.

“Silahkan bu Rina, saya kaget tiba-tiba bu Rina datang pagi-pagi dan membantu saya berjualan.”
“Ternyata asyik berjualan ya mbak.”
“Tapi capek dan kotor mbak, jarang ada orang mau melakukannya.”
“Aku akan belajar dari mbak Yanti, yang terus berjuang untuk menggapai cita-cita mbak Yanti.”
“Silahkan diminum dulu tehnya mbak, masih hangat,” kata Ika mengalihkan pembicaraan. Risih juga mendapat pujian tak henti-hentinya.

Rina meneguk teh yang dihidangkan, lalu tiba-tiba duduk mendekati Ika lalu merangkulnya erat. Tentu saja Ika terkejut.

“Bu Rina.. ada apa ini?”
“Aku datang untuk meminta maaf.”
“Apa yang harus saya maafkan bu?”

Rina menarik tubuhnya, lalu mengusap setitik airmatanya yang meleleh.

“Ada apa sih mbak?”
“Aku minta maaf ya mbak Yanti?”
“Apa yang harus saya maafkan? Bu Rina tidak salah apa-apa.”
“Aku telah melakukan hal buruk.. aku telah menjelekkan nama mbak Yanti dihadapan mbak Risma, aku menyesal, maaf ya mbak Yanti.”

Ika baru mengerti. Siapa menegur Rina, sehingga dia tiba-tiba meminta maaf? Risma kah?

“Saya malah tidak mengerti,” tentu saja Ika berbohong.
“Sekarang aku katakan, bahwa aku telah melakukan hal buruk untuk mbak Yanti. Tolong maafkanlah aku.”
“Dalam hidup, saya tidak akan pernah mendendam kepada seseorang. Kebaikan dan keburukan saya, hanya Allah yang mengetahuinya. Saya juga banyak salah, dan saya selalu ingin memperbaikinya. Saya juga selalu mohon petunjukNya, agar saya bisa melangkah dengan baik, mengarungi hidup saya dengan baik, dan juga bersikap selalu baik kepada siapapun. Walau begitu, saya merasa bahwa saya masih banyak memiliki kekurangan. Barangkali saya juga melakukan kesalahan kepada bu Rina, saya mohon maaf, semoga hari-hari saya mendatang akan bisa saya lalui dengan nyaman.”

Rina memeluk Ika dengan hangat. Lalu Rina benar-benar sadar, betapa baiknya Ika yang telah difitnahnya.

“Aku akan banyak belajar dari mbak Yanti.”
“Dalam hidup ini, seseorang akan selalu belajar dari apapun yang ditemuinya. Pengalaman adalah guru yang terbaik.”

Rina mengerjapkan matanya dengan takjub. Hati perempuan sederhana ini pastilah terbuat dari emas dan permata. Begitu indah dan gemerlap.
Rina berada disana sampai Dian pulang dari sekolah.
Dian terkejut melihat ibunya sedang menemani Rina duduk diruang tengah. Matanya mencari-cari.

“Mana Dina?”
“Dina sekolah kan, tadi bu Rina hanya mampir. Kamu kangen ya sama adik kamu?” kata Rina ramah.
“Iya bu, lagi pula ada titipan buku dari om Broto untuk Dina. Nanti ibu bawa sekalian ya?”
“Baiklah, dan besok Minggu ibu akan ajak Dina kemari. Dia ingin mengajak kakaknya jalan-jalan.”
“Benarkah?” kata Dian dengan wajah berseri.
“Lho, ini apa Dian? Ini kan jatah untuk pak tua, mengapa dibawa pulang lagi?” tanya Ika heran ketika Dian membawa keresek untuk pak tua itu kembali pulang.
“Iya bu, tadi pak tua tidak ada. Dian sudah mencari-cari, tidak ada.”

Tiba-tiba mata Rina menangkap bungkusan itu.

“Apa itu mbak?”
“Ini, Dian selalu membawa sebungkus nasi dan segelas minum untuk seorang tua yang sering duduk didepan sekolah. Tapi hari ini katanya pak tua tidak kelihatan.”
“Rina tergoda untuk meraih bungkusan itu. Lalu teringat pada bungkusan semacam yang ditemukannya di mobil suaminya. Mengapa Ika mengatakannya sebagai jatah untuk pak tua? Dan mengapa juga suaminya pernah membawa bungkusan seperti ini? Apakah pak tua itu menjualnya lalu dibeli oleh suaminya?”
“mBak Yanti, baunya sedap, ini untuk saya ya?”
“Aduh jangan bu, kalau mau akan saya bawakan ditempat yang lebih bagus,” kata Ika sambil meraih kembali keresek itu, tapi Rina menahannya.
“Tidak, entah mengapa aku ingin makanan ini. Nggak tahu kenapa ya, bawaan orang hamil barangkali,” kata Rina sambil tertawa.
***

Sore itu Leo baru pulang dari kantor. Ia tak ingin lagi nongkrong di taman seperti biasanya. Entah mengapa setelah bertemu Baskoro perasaannya jadi ringan.
Tapi ketika melewati taman itu, Leo terkejut melihat si tukang roti duduk di kursi tempat mereka ngobrol kemarin sorenya.
Leo membelokkan mobilnya memasuki taman, lalu turun dan menghampiri si tukang roti.

“Hei, apa yang kamu lakukan disini?” sapa Leo.
“Nongkrong lah, memangnya cuma kamu yang boleh nongkrong disini?”
“Mengapa masih jualan roti ?”
“Lalu aku harus jualan apa? Ogah kalau harus menjual diri.”

Leo terbahak. Ia senang, sesungguhnya Baskoro itu kocak. Apakah Ika tidak tertarik sama dia?

“Sebagai orang yang sedang jatuh cinta, kamu kelamaan mengutarakannya. Keburu disambet orang, tahu.”
“Yang penting bukan kamu yang menyambet dia. Awas saja kalau kamu. Langkahi dulu mayat aku.”

Lalu keduanya tertawa terbahak.

“Aku tuh sebagai laki-laki, sudah termasuk yang kadalu-warsa. Maksudnya sudah tidak pantas jatuh cinta. Aku hampir punya dua orang anak, eh.. tiga. Hampir aku lupa, kan yang satu lagi akan aku titipkan sama kamu?”
“Kamu yakin akan menitipkannya sama aku dengan ikhlas?”
“Kamu akan mewakili aku, menjadi ayah yang baik untuk Dian. Lakukan yang terbaik untuk dia,” kata Leo sambil matanya berkaca-kaca.

Baskoro si tukang roti mengangguk mantap. Menatap Leo dengan iba. Lalu ditepuknya bahu Leo hangat.

“Akan aku lakukan, do’akan aku berhasil merebut hati si tukang sayur.”
“Kamu sudah mengutarakan lagi bahwa si tukang roti sedang jatuh cinta sama dia?”
“Belum.”
“Segera lakukan. Aku ingin anakku bahagia menemukan seorang ayah.”
“Aku akan membuatnya bahagia, Leo. Dan pada suatu hari nanti aku akan mengatakan bahwa kamu adalah ayah yang sesungguhnya.”

==========

Ketika Leo pulang untuk makan di siang hari itu, dilihatnya sang isteri sedang meletakkan sebuah bungkusan nasi dan segelas teh. Tampaknya dia baru datang juga dari bepergian. Lalu Leo teringat bahwa hari ini Rina akan menemui Ika untuk meminta maaf. Ketika menatap apa yang diletakkan isterinya dimeja, Leo terkejut. Darimana Rina mendapatkannya?

“Mas, makan siang sudah siap.”
“Ibu, aku sudah cuci kaki dan tangan, juga sudah ganti baju,” teriak Dina sambil duduk di kursi makan.
“Anak pintar. Sini ibu ambilkan nasinya,” kata Rina.
“Ibu, ini bungkusan apa? Bapak tadi membelinya?” tanya Dina ketika melihat bungkusan itu.
“Bukan, ibu membawanya dari bu Yanti.”

Mata Leo terbelalak. Ia sudah tahu bahwa itu buatan Ika untuk pak Tua. Tadi dia tidak kesekolah Dian, karena hari Minggu berencana ikut bersama Dina dan isterinya. Pasti Dian tadi mencari pak tua untuk diberinya makan, dan tidak ketemu, jadi bungkusan itu dibawanya pulang. Bagaimana bisa dibawa Rina? Leo terus menatap bungkusan itu sambil duduk.

“Mas, apakah kemarin mas membeli nasi yang mas bawa itu dari seorang laki-laki tua?” tanya Rina sambil menyendokkan nasi untuk suaminya.
“Memangnya ada apa?”
“Aku tadi sudah kerumah mbak Yanti.”
“Lho.. ibu kesana mengapa tidak mengajak Dina? Dina kan kepengin ketemu mas Dian,” teriak Dina ambil cemberut.
“Ibu kan sudah janji kalau besok hari Minggu mau kesana sama Dian. Tadi itu ibu hanya mampir. Lagi-pula mas Dian nggak ada kok, kan dia sekolah, sama dengan Dina?”
“Oo.. iya..”
“Tentang nasi itu ya mas. Ternyata setiap hari mbak Yanti membawakan sebungkus nasi sama teh untuk seorang laki-laki tua didepan sekolah Dian. Hari ini Dian membawanya pulang lagi karena katanya pak tua tidak datang. Aku terkejut, kok sama dengan bungkusan yang mas bawa, lalu aku memintanya untuk aku bawa pulang.”

Leo menyendok nasinya yang sudah dibubuhinya lauk.

“Apa mungkin pak tua itu menjualnya kembali karena butuh uang ya mas?”

Leo tersedak-sedak.

“Hati-hati mas,” Rina mengangsurkan segelas minum ke depan Leo, yang kemudian meminumnya.
“Makan kok nggak pelan-pelan,”
“Kamu ngomong terus sih,” gerutu Leo sambil terus terbatuk-batuk.
“Oh, baiklah, maaf. Aku hanya ingin bercerita tentang nasi bungkus ini kok.”
“Kan ibu kemarin minta dibelikan?” sambung Dina.
“Iya, ya sudah makanlah dulu. Aku mau makan nasi bungkus ini. Hm.. ternyata enak, pantesan, mba Yanti yang masak. Dia itu benar-benar wanita yang baik. Sudah cantik, pintar, penuh kasih sayang, dia rela membawakan nasi dan minum setiap hari untuk seorang laki-laki tua yang tidak dikenalnya. Masakannya enak pula,” kata Rina sambil menyendok nasi bungkusnya.

Leo meraih gelasnya dan meneguk lagi beberapa teguk. Takut tersedak mendengar celoteh Rina.

“Ini, ca sayur dan telur ceplok. Sedap benar,” kata Rina sambil menikmati nasinya.
“Pedaskah bu?”
“Tidak, Dina mau? Haak.. sini ibu suapin..”

Dina mangap, lalu mengunyahnya, lalu mengangguk-angguk.

“Enak.. aku mau.. aku mau..”
“Mau ditambahkan ke piring Dina?”
“Mauuu…”

Leo hanya mengamati polah Rina dan anaknya yang disibukkan dengan nasi bungkus yang sebenarnya adalah ‘jatahnya’. Tapi dia juga berpikir, bagaimana kalau Rina mengulangi pertanyaannya tentang nasi yang dibawanya kemarin.
Dan itu benar-benar terjadi. Setelah makan Rina menanyakannya lagi.

“Mas kemarin itu beli sama seorang laki-laki tua?”
“Nggak tuh,” aduuh.. Leo salah menjawabnya, jadi panjang deh.
“Perempuan ?”
“Eh.. iya..” tuh kan, ada pertanyaan lagi pasti.
“Mengapa perempuan ? Bukankah Dian memberikannya kepada pak tua?”
“Mana aku tahu?”
“Berarti pak tua itu membawanya pulang, lalu isterinya menjualnya, dan dibeli sama mas.”

Leo hampir tertawa, tapi ditahannya.

“Kok senyum-senyum sih mas?”
“Lucu saja, mendengarkan kamu mengarang cerita.”
“Kira-kiranya begitu. Tapi ngomong-ngomong tadi aku sudah ketemu mbak Yanti dan minta maaf.”
“Syukurlah.”
“Aku sangat menyesal, kerasukan setan jahat.”
“Setan itu ada disetiap hati manusia. Tinggal kita bisa mengendalikannya atau tidak. Aku juga merasa salah.”
“Ya sudah, yang lalu biarlah berlalu. Aku ingin menjalani hidup dengan nyaman.”
“Besok Minggu aku ikut jalan-jalan sama Dian.”
“Lho, katanya ada rapat di kantor?”
“Nggak jadi, ikut jalan-jalan saja.”
“Iya mas, itu lebih baik, kan mas sudah lama tidak ketemu Dian?”
“Sebenarnya aku ketemu setiap hari,” kata-kata itu meluncur begitu saja.
“Apa ? Mas kesana setiap hari?”
“Nggak juga, tapi aku balik kekantor dulu ya,” kata Leo yang kemudian berdiri. Ada sesal agak kelepasan bicara yang kemudian lebih baik menghindar dulu saja. Benar kan, siapa menyimpan bangkai, lama-lama akan berbau juga.

Rina melepas suaminya sampai ke teras, dengan penuh tanda tanya.
***

“Ibu, lihat, buku bacaan yang ibu bawa tadi sangat bagus. Mas Dian baik ya?” kata Dina ketika membuka bungkusan buku-buku yang tadi diberikan Dian padanya.
“Iya, tapi itu bukan dari mas Dian.”
“Ibu tadi bilang dari mas Dian ?”
“Benar, mas Dian memberikannya, tapi itu titipan dari om Broto.”
“O iya Dina ingat. Om Broto juga baik, suka beli buku-buku untuk Dina dan mas Dian.”
“Ya sudah, bukunya boleh dibaca, setelah Dina belajar. Nggak boleh lho, baca-baca sebelum belajar, nanti ke asyikan membaca, belajarnya jadi lupa.”
“Iya bu, Dina tahu.”
“Anak pintar..”

Walau bagaimanapun, mendengar Leo ketemu Dian setiap hari masih saja mengganggu perasaan Rina. Kesana setiap hari, sampai dia tidak tahu?

“Mbak Yanti?” sapa Rina ketika mendapat akal untuk mengorek keterangan dari Ika tentang kedatangan Leo setiap hari.

“Ya, bu Rina.”
“Maaf, tadi lupa bilang. Apa ada kunci tertinggal disini ya?”
“Kunci?”
“Yaa, kunci pintu rumah, eh.. kunci almari, kemarin mas Leo yang membawa.”
“Lhoh.. bagaimana bisa bu? Leo kemarin tidak datang kemari. Bahkan sudah lama tidak kemari.”

Rina terperangah.

“Oh, ya ampun, maaf mbak.. itu.. aduh, mengapa aku jadi salah terima.. tidak.. tidak.. maksud aku.. dirumah ibu. Kok aku tadi bisa telpon mbak Yanti sih. Mas Leo bilang ke rumah ibu, kok aku bisa kacau begini sih.”
“Oo..” Ika juga bingung.
“Baik mbak, sekali lagi maaf. Sungguh aku kok bisa telpon kemari sih.”
“Nggak apa-apa kok bu.”

Rina menepuk jidatnya keras-keras. Ia merasa harus belajar dulu kalau ingin jadi detektif.

“Salah sangka aku.. aduh.. mbak Yanti bingung nggak ya? Bicaraku jadi nggak karuan begitu,” gumamnya sambil menyimpan kembali ponselnya.
***

Tapi Ika memang benar-benar bingung. Masih bingung juga ketika Risma menelponnya.

“Ika?”
“Ya mbak..”
“Sudah ada berita belum?”
“Tentang mas Baskoro? Belum tuh mbak.”
“Pengirim WA itu belum menghubungi kamu lagi ?”
“Sudah.”
“Dia bilang apa?”
“Dia bilang, mengapa WA dia saya kirimkan ke orang lain.”
“Lalu..?”
“Ya sudah, dia diam karena saya juga tidak menanggapi lagi sampai sekarang. Saya anggap dia orang aneh.”
“Benar-benar aneh. Tapi aku sedih, Baskoro belum ada kabar beritanya.”
“Mbak Risma sabar ya, barangkali dia butuh mengendapkan perasaannya. Nanti kalau sudah tenang pasti dia akan kembali menemui mbak Risma.”
“Bagaimana kamu begitu yakin ?”
“Tidak mungkin seseorang bisa melupakan saudaranya. Hanya seorang pula.”
“Semoga perkiraan kamu benar.”
“Teruslah berdo’a mbak.”

Risma diam beberapa saat. Barangkali memang dia kurang khusuk dalam berdo’a, atau memang belum saatnya Allah mengabulkannya. Tiba-tiba timbul niatnya untuk membantu Ika, agar mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

“Ika, maukah aku menyewakan kios yang besar, agar dagangan kamu lebih banyak, dan lebih lengkap? Barangkali ditempat yang lebih strategis? Atau.. kamu ingin beralih dagangan.. bukan lagi sayur? Sebuah butik, barangkali. Aku punya teman yang…”
“Tidak mbak..” Ika memotong pembicaraan Risma.
“Aku ingin kamu lebih baik.”
“Ini sudah cukup untuk saya mbak. Biarkan saya mencecap hasil keringat saya sendiri. Setetes apapun, lebih membahagiakan. Dan bantuan dari orang lain membuat saya berhutang.”
“Mengapa kamu bilang begitu? Aku tidak akan menghutangkan apapun. Aku memberikannya cuma-cuma.”
“Itu tidak benar mbak. Memang secara materi, bolehlah mbak Risma tidak menghutangkan apapun untuk saya. Tapi saya akan merasa berhutang budi. Dan itu lebih berat bagi saya. Karena sebuah budi itu tak ternilai. Lebih dari segunung uang.”
“Ika..” Risma terdengar mendesah.
“mBak Risma jangan memikirkan saya. Saya bahagia dan merasa tidak kekurangan.”
“Ya Tuhan, kamu benar-benar wanita yang luar biasa. Tidak salah Baskoro jatuh bangun memikirkan kamu.”

Ikapun mendesah, dengan keluh yang lebih panjang. Begitu besar perhatian orang lain kepadanya. Tapi Ika merasa bahagia dengan hidupnya dan tak kekurangan,
***

“Memikirkan apa lagi? Makan jangan sambil melamun dong,” tegur Broto ketika sedang makan bareng Risma.
“Aduuh.. banyak mas. Aku sedih mikir Baskoro. Atau mungkinkan dia sudah ada di Amerika?”
“Kamu sudah kontak orang-orang kamu disana belum?”
“Kemarin-kemarin itu sudah, katanya nggak ada yang datang. Tapi aku sudah pesan, kalau melihat Baskoro datang, aku suruh ngabarin aku. Dan nyatanya belum ngabari juga.”
“Berarti dia masih disini. Atau di Solo.”
“Kok Ika bilang belum nyambung ya. Pengirim WA gelap itu juga sudah nggak melanjutkan WA gilanya.”
“Coba mana nomor yang kemarin itu. Apa katanya kalau aku yang menghubungi dia.”

Risma mengangsurkan ponselnya setelah menunjukkan nomor kontak yang dikirimkan Ika.
Broto mencoba menelpon, tapi seperti yang dilakukan terhadap Risma, dia tak mengangkatnya.
Lalu Broto mengirimkan pesan singkat.

“Maukah anda menjawab telpon saya? Sahabat saya sedang bersedih karena kehilangan adiknya. Saya khawatir dia jatuh sakit karena kesedihannya.”

Broto menunggu, tampaknya pesan itu dibaca. Lalu terdengar denting jawabannya.

“Saya ikut prihatin.”

Broto membacanya dan dengan kecewa ditunjukkannya balasan itu kepada Risma.
Risma menghela nafas panjang. Gurat kesedihan selalu menghiasi wajahnya dari hari ke hari. Broto hanya bisa menghiburnya. Segala upaya sudah dilakukannya.

“Rupanya kita memang harus bersabar.”
***

“Ibuu.. aku sudah mandi..” teriak Dina sambil berlari-lari kecil kearah dapur.
“Anak cantik, anak pintar.. sebentar ya, ibu selesaikan dulu memasak. Katanya kamu ingin mi rebus?”
“Bukankah kita akan pergi ke tempat mas Dian dulu?”
“Itu benar, tapi kita harus sarapan dulu. Dina tungguin didepan ya.”
“Aku kedepan sama bapak saja ya..” kata Dina sambil berlari kedepan.
“Bapak, kata ibu, kita harus sarapan dulu. Ibu sedang memasak mie rebus, pake telur,” kata Dina sambil menggelendot di pangkuan ayahnya.
“Kamu kangen ya sama mas Dian?” tanya Leo.
“Kangen bapak. Nanti kita bawakan mas Dian roti ya?”
“Bilang sama ibu. Bapak nggak punya roti.”
“Ibuuu…” Dian berlari lagi ke dapur.
“Ada apa nak, ini, mie nya sudah matang. Ibu tata dulu di meja ya.”
“Nanti ibu bawakan roti untuk mas Dian bukan?”
“Nanti kita beli roti sambil jalan saja. Kemarin ibu lupa beli.”
“Oh, baiklah. Soalnya mas Dian suka roti.”
“Ya, baiklah. Sekarang Dina bilang sama bapak, sarapan sudah siap. Ibu akan menunggu disini.”

Dina berlarian kedepan.

“Bapaak, ayo kita sarapan. Kata ibu, roti untuk mas Dian beli dijalan saja. Roti kita sudah habis, ibu lupa beli.”

Leo berdiri, dan Dina menarik-nariknya agar cepat. Ia ingin segera bertemu Dian. Maklum, sudah lama tidak bersama-sama.
Ketika duduk, Rina sudah menyiapkan mie rebus di piring masing-masing.

“Hm.. baunya..sedap banget,” celetuk Dina kemayu.
“Tunggu sebentar, masih panas,” kata Leo.
“Mas, kemarin mas bilang tiap hari ketemu Dian kan?”
“Apa? Aku bilang begitu?”
“Kok mas bisa lupa sih.”
“Oh, itu, maksudku tiap hari lewat sekolahnya Dian.”
“Hmm.. “ Rina menyendok mie nya dengan cemberut.
“Sudah dingin ya bu?” tanya Dina ketika melihat ibunya mulai menyendok makanannya.
“Sudah agak dingin, pelan-pelan.”
“Enak.. enak..” Dina mencicipinya seujung sendok.”
***

Pagi itu banyak orang yang berbelanja menanyakan roti cinta yang biasanya ada. Tapi sampai siang penjual roti tidak mengirimkan barangnya.

“Rotinya libur ya, mbak Ika?” tanya seorang ibu.
“Iya tuh bu, nggak tahu nih, biasanya pagi-pagi sudah datang. Padahal anak saya pesen untuk diberikan temannya. Ee, malah nggak datang.”
“Agak siang barangkali.”
“Mungkin bu, kemarin juga tidak bilang apa-apa.”

Tapi sampai dagangan sayurnya habis, penjual roti itu benar-benar tak datang.
Ketika Dian membantu ibunya membersihkan tempat bekas berjualan, dilihatnya mobil Leo datang.

“Mas Diaaan..” Dina berteriak dari dalam mobil.
“Dinaaa.”

Dian buru-buru menyelesaikan pekerjaannya, kemudian berlari kebelakang. Ika sedang menaruh sisa dagangannya, lalu masuk ke kamar mandi.

“Ibu.. Dina sudah datang,” teriak Dian.
“Baiklah, kamu sudah siap?”
“Mau cuci tangan lagi, lalu ganti baju.”

Dina sudah berlari-lari masuk kedalam rumah.

“Tunggu didepan, aku ganti baju dulu,” kata Dian.

Ketika Dina kembai ke depan, dilihatnya ibunya sudah duduk di kursi teras.

“Mas Dian baru ganti baju,” kata Dina.
“Baiklah, kita tunggu saja dulu. Sudahlah, kamu itu lari kemana-mana ngapain sih.”
“Aku mau cerita tentang buku yang aku baca kemarin.”
“Iya, nanti kalau mas Dian selesai pasti juga akan kemari.”
“Maaf bu Rina, baru selesai berjualan, lalu mandi nih, kata Ika yang sudah muncul lebih dulu.
“Kami mau ngajakin Dian jalan-jalan mbak Yanti.”
“Baiklah, Dian sedang ganti baju tuh.”
“Aku sudah selesai..” kata Dian yang tiba-tiba muncul.
“Baiklah, ibu.. ayo berangkaaat,” pekik Dina riang.

Rina berdiri, sambil tersenyum, sementara Dina dan Dian sudah mencium tangan Ika, lalu berlari ke arah mobil.

“Anak-anak selalu tak sabar menunggu,” keluh Rina sambil berjalan mengikuti Dina dan Dian.
“Ibu didepan saja, aku sama mas Dian di belakang.”
“Ya.. ya, baiklah ibu didepan.”

Leo sudah menstarter mobilnya, lalu menjalankannya pelan, ketika tiba-tiba Dina berteriak.

“Bapak, ini punya siapa?”
“Apa sih?”
“Ada keresek berisi baju-baju kumel !”

Dian ikut melihat kearah keresek. Dan tertawa melihat Dina mnutup hidung dan mulutnya.

“Bauuu..”
“Apa sih?” Rina menoleh kebelakang, sementara Leo bungkam. Aduuh, mengapa lupa membuangnya?
“Ini seperti pakaian pak tua,” Dian berteriak.

Bersambung #22

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER