Cerita Bersambung
Begitu sampai dirumah, Leo mendapati rumahnya kosong. Ia menelpon isterinya, tapi tidak diangkat. Leo baru ingat bahwa kemarin Rina memintanya agar pulang agak sore karena Rina harus memeriksakan kandungannya. Sementara sekarang sudah hampit maghrib.
Leo menepuk jidatnya, karena setiap sore lebih suka nongkrong di taman untuk meratapi dan menyesali kesalahan yang telah diperbuatnya dimasa lalu.
Sudah sebulan lebih dia mengabaikan keluarganya. Demi bertemu Dian, apapun dilakukannya, tapi itu tak membuatnya bisa melupakan semuanuya. Segalanya terasa gelap, dan terkadang ia juga kehilangan akal sehatnya.
Sore tadi dia bertemu seorang tukang roti, dan ia mengeluarkan semua yang membebaninya. Ia tak bisa mengatakannya kepada siapapun juga, tapi kepada seseorang yang tidak dikenal sebelumnya, ia dengan lancar bisa mengatakannya. Memang ia merasa sedikit lega. Dadanya juga terasa lebih longgar. Ia pulang kerumah dengan perasaan nyaman. Tapi ia kecewa ketika menemukan rumahnya kosong.
“Tapi ini salahku.”
Lalu Leo memutuskan untuk menyusulnya ke dokter kandungan dimana Rina biasa mendatanginya.
Tapi ketika sampai disana, perawat dokter mengatakan bahwa ibu Rina baru saja selesai diperiksa dan sudah pulang.
Leo kembali pulang, dan sudah bisa membayangkan bagaimana nanti Rina akan memarahinya,
Dan itu benar. Ia masuk kehalaman beriringan dengan mobil isterinya. Ketika isterinya turun dari mobil, Leo memburunya.
“Rina, aku tadi menyusul kamu ke dokter, tapi kamu sudah pulang,” kata Leo sambil berjalan menjajari isterinya.
“Apa menurutmu aku harus menunggu kamu datang? Apakah kamu mengatakan akan menyusul aku ke dokter?” kata Rina tanpa berhenti melangkah, terus menuju rumah dan membuka pintu dengan wajah cemberut.
“Maaf, aku tidak bisa pulang lebih sore.”
“Aku tahu.”
Rina terus masuk ke kamar.
“Mana Dina ?”
“Oh, kamu masih ingat bahwa kamu punya anak bernama Dina?”
“Rina, kok gitu sih?”
“Aku harus bagaimana?
Rina terus masuk kekamar mandi, membersihkan diri lalu berganti baju. Leo menatapnya tak berkedip. Ia melihat perut isterinya telah tampak membuncit.
“Ya Tuhan, anakku sudah besar,” Leo mendekat dan mengelus perut isterinya, tapi Rina menepiskannya.
Ia menarik baju ganti yang telah disiapkannya dan mengenakannya tanpa mempedulikan lagi suaminya. Ia keluar dari kamar, dan Leo terus mengikutinya.
“Rina, jangan marah begitu. Aku janji besok akan pulang lebih sore.”
“Untuk apa? Aku sudah bisa ke dokter sendiri, Tak masalah seandainya nanti saat melahirkan aku juga harus sendiri.”
“Tidak, mana mungkin begitu? Aku akan menunggui kamu sampai anak kita lahir.”
Rina masuk keruang makan, duduk di kursi setelah mengambil segelas jus jeruk dari dalam almari pendingin.
“Aku minta dong,” pinta Leo.
Rina mengangsurkan kan berisi jus dan gelas yang masih kosong kehadapan suaminya.
“Aku harus mengambil sendiri nih?”
“Apa mas itu anak kecil sehingga hanya segelas minum saja aku harus melayaninya?”
“Baiklah, sekarang katakan dimana Dina.”
“Dirumah ibu.”
“Bukankah besok dia sekolah?”
“Tidak, ada rapat disekolah dan anak-anak diliburkan.”
“Oh, baiklah.. besok saat makan siang aku jemput Dina dirumah ibu.”
Rina meneguk kembali minumannya, tanpa sedikitpun menatap suaminya.
“Bagaimana kabar anakku?”
“Anak yang mana? Kamu kan punya anak dimana-mana.”
“Rina !”
Kali ini Leo membentak Rina.
“Kamu bertanya kurang jelas, aku bingung harus menjawabnya.”
“Kamu sengaja membuat aku marah? Kamu habis periksa ke dokter, ya pasti anak yang kamu kandung itu yang aku tanyakan.”
“Baik-baik saja. Ada resep diberikan dokter, tapi belum aku ambil di apotik.”
“Mana resepnya, biar aku ambil..”
Rina berdiri untuk mengambil resep yang ada didalam tasnya. Tadi Leo agak membentaknya, dia tak berani lagi membantahnya.
Leo mengakui bahwa dia bersalah, tapi ia tak ingin Rina mengatakan hal yang menyakiti perasaannya. Sejauh ini Rina selalu baik dan tak pernah mengatakan hal-hal buruk, Entah mengapa dihari-hari terakhir ini perangainya agak berubah. Dulu dia sangat peduli pada Dian. Sangat suka ketika Dina begitu akrabnya dengan Dian. Ia bahkan pernah mengatakan bahwa rela berbagi seandainya Leo ingin menikahi Ika. Sekarang semuanya sudah berubah. Leo tak tahu penyebabnya, padahal dia sudah berusaha menjauhi Ika. Rina bahkan pernah marah-marah ketika Ika mengatainya lancang. Apakah karena itu lalu dia membenci Ika?.
Rina mengambil resep yang tadi diberikan dokter, lalu diserahkannya kepada suaminya.
“Obat untuk apa saja ini?”
“Kata dokter vitamin, dan tambahan kalsium, juga obat muntah, yang diminum kalau aku masih merasa mual.”
“Kamu masih sering mual?”
“Tidak. Itu sebabnya aku beberapa hari ini selalu masak sendiri.”
“Baiklah, tapi tetap nggak boleh capek-capek ya.”
Rina diam, lalu kembali duduk, meneguk kembali minumannya sampai habis.”
Rina membiarkannya ketika suaminya pergi. Ia merasa perhatian suaminya hanyalah perhatian yang dibuat-buat. Ia tahu suaminya masih cinta sama kekasih lamanya. Dan rasa kesalnya kepada Ika semakin bertambah.
***
Ika sedang menata dagangannya pagi itu. Pagi masih remang, dan pembeli belum datang. Hari itu Ika kepasar lebih pagi. Ketika datang dari pasar, Dian belum berangkat ke sekolah.
“mBak, mau rotinya lagi?” sebuah sapaan mengejutkannya.
“Oh.. eh.. masnya ya yang jual roti Cinta?”
“Iya mbak..”
“Boleh, boleh.. saya minta 40.000,” kata Ika sambil menata dagangannya.
“Saya taruh disini ya mbak..” kata tukang roti sambil ikut menata rotinya di sudut kiri bangku dagangan.
“Ini uangnya mas,” kata Ika sambil memberikan uang empat puluh ribu.
“Tumben lebih pagi,” kata tukang roti sambil memasukkan uangnya kedalam dompet yang dikalungkannya dileher dan tergantung didepan perutnya.
“Kebetulan bangun lebih pagi,” jawab Ika tanpa mempedulikan tukang roti yang kemudian sudah berlalu.
“Ibu, Dian berangkat dulu ya,” kata Dian sambil menuntun sepedanya, kemudian berhenti untuk mencium tangan ibunya.
“Hati-hati ya nak, belajar yang rajin, biar pintar,” kata Ika sambil tersenyum.
“Ibunya cantik, anaknya ganteng..” celetuk seorang ibu yang kebetulan datang lebih dulu.
“Iya bu. Silahkan bu, sayurnya segar-segar.. ikannya juga..”
Lalu beberapa ibu datang menyusul.
“Aduuh, sudah ada roti cinta nih..”
“Iya aku mau tiga.. anakku kemarin minta dibelikan juga.”
Hari itu dagangan Ika laris manis. Sayur dan ikan habis terjual. Roti juga habis terjual. Belum terlalu siang ketika Ika membersihkan bekas dia menggelar dagangannya.
Ia menutup pintu depan lalu beranjak ke kamar mandi ketika dering pesan masuk terdengar. Ika berhenti dan mengamati ponselnya. Tak ada nama di pesan masuk itu, dan betapa terkejut Ika membacanya.
“Akan tetap mencintai kamu.”
Singkat bunyi pesan itu, tapi cukup mnembuat dadanya berdegup kencang. Siapakah pengirim pesan itu?
Ika ingin menelpon pengirim pesan itu tapi diurungkannya. Jangan-jangan hanya orang iseng saja. Tapi darimana dia tahu nomor kontaknya?
Lalu Ika mengacuhkannya, meletakkan ponselnya di meja makan, lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia terbiasa mandi setelah memasak, agar ketika anaknya datang dia sudah tampak segar dan wangi.
Ketika beranjak ke dapur, ia menghampiri lagi ponselnya. Ada pesan masuk lagi.
“Tetap mencintai kamu, dan tetap menunggu jawaban kamu.”
Degup dada Ika semakin kencang. Hanya satu orang yang mengatakan akan menunggu jawaban. Tapi benarkah dia Baskoro?
Dengan gemetar Ika membalas pesan itu.
“Siapa anda?”
“Adakah orang lain yang menyatakan cinta?”
Ika tak menjawabnya. Ia langsung ke dapur dan menyiapkan apa yang akan di masaknya. Tapi bunyi tulisan itu kembali melintas di kepalanya.
“Bagaimana kalau dia benar mas Baskoro?” gumam Ika.
Lalu Ika menelpon Risma.
“Ini Ika?”
“Ya mbak.”
“Ada apa? Ada berita tentang Baskoro? Atau dia sudah datang menemui kamu?”
“Tidak, tapi ada pesan singkat yang tidak memakai nama. Nomornya akan saya kirimkan ke mbak Risma. Coba mbak telpon dia, barangkali benar dia mas Baskoro.”
“Apa bunyi pesannya ?”
“Coba saja mbak telpon dulu,” kata Ika yang enggan mengatakan isi pesan yang menyatakan cinta itu. Lalu Ika menutup ponselnya dan menuliskan nomor orang yang baru saja mengirimkan pesan.
Ika sedikit merasa tenang. Ia berharap dari Risma akan dia temukan jawabannya.
Lalu ia melanjutkan memasak, sambil menunggu Risma menghubunginya lagi.
Tapi sampai Ika selesai memasak, Risma tak kunjung menghubunginya. Ika merasa panas dingin oleh rasa yang tak menentu. Ia berharap pengirim pesan itu adalah Baskoro. Tapi mengapa Risma lama tidak menelponnya kembali? Ika penasaran sekali. Agak ragu ketika dia kembali menelpon Risma.
“Ika ?”
“Ya mbak..”
“Berkali-kali aku menelpon, tapi dia tak mau mengangkatnya.”
“Benarkah ?”
“Benar, apakah kamu mengira dia Baskoro?”
“Iit.. itu.. hanya perkiraan saya mbak..”
“Sebenarnya apa isi pesannya?”
“Tapi.. saya juga.. tidak tahu..”
“Tolong, kirimkan isi pesannya, apa itu tentang cinta?”
Karena Risma sudah menebak, maka Ika kemudian mengirimkan dua pesan singkat itu ke Risma.
Lalu Ika menutup ponselnya. Sedikit malu mengatakan tentang ungkapan cinta seseorang kepada dirinya, lalu ia mengatakannya kepada orang lain.
Lama Risma tak menelponnya lagi. Kali ini Ika membiarkannya. Sebentar lagi Dian akan datang, dan dia harus menata meja untuk makan siang mereka berdua.
***
Siang hari itu setelah saat istirahat tiba, pak tua seperti biasa menerima satu tas keresek berisi sebungkus nasi dan segelas minuman.
“Anak baik, terimakasih banyak,” itu yang selalu dikatakan pak tua, sambil mengacak lembut kepala Dian, dan sebelah tangannya memegangi tangan Dian, kemudian Dian menggenggam erat tangan itu, setelah kemudian dia berlari masuk ke halaman sekolah.
Pak tua berdiri sambil mendekap bungkusan itu, dan berjalan tertatih menjauh dari sekolah Dian.
“Tunggu pak.”
Pak tua berhenti. Seorang tukang roti nangkring diatas sepeda motornya.
“Ada apa?”
“Ini roti buat bapak,” kata si tukang roti.
“Tidak.. terimakasih, aku sudah punya makanan..”
“Jangan menampik rejeki. Terima saja, ini kan bisa bapak makan nanti sore. Terimalah,” tukang roti itu setengah memaksa.
“Aku akan kenyang dengan makanan ini,” katanya sambil membetulkan letak topi besarnya yang agak miring.
“Ini bisa bapak makan, sambil duduk nongkrong di taman,” kata si tukang roti sambil menggenggamkan keresek berisi roti ditangan pak tua, kemudian cepat-cepat berlalu.
Pak tua membungkuk, mengambil tongkat penopang tubuhnya yang terjatuh. Lalu berdiri tegak, berjalan cepat menuju kearah sebuah mobil.
“Kurangajar. Dia tahu siapa aku ! Siapa tukang roti itu?” gumamnya sambil masuk kedalam mobil, lalu melempar caping besarnya kearah belakang, dan mencopot atribut pakaian lusuh yang tadi dikenakannya, dimasukkannya kedalam keresek yang selalu disediakannya lalu melemparkannya juga kearah belakang.
Mobil itu kemudian meluncur ke arah lain, bukan kearah rumahnya. Ia harus menjemput anak perempuannya di rumah mertua.
***
“Bapaaak…” sebuah teriakan terdengar menyambut kedatangannya.
Leo turun lalu mengangkat tubuh Dina, diangkatnya tinggi, kemudian diciumnya kedua pipI gembulnya.
“Anak bapak kemana saja? Dari kemarin bapak cari-cari kok nggak ketemu.”
“Dina menginap dirumah simbah, kan hari ini libur. Tapi besok sudah harus masuk lagi.”
“Oh, baguslah. Itu sebabnya bapak menjemput Dina siang ini.”
“Bapak tidak bersama ibu?”
“Bapak kan dari kantor, jadi tidak bersama ibu. Ayo siap-siap, kita pulang sekarang. Mana simbah ?”
“Ada didalam,” kata Dina sambil merosot turun lalu berlari masuk sambil berteriak memanggil neneknya.
“Menjemput anakmu, Leo ?” sapa sang ibu mertua begitu mendengar teriakan Dina.
“Iya bu, sekalian pulang makan siang dirumah.”
“Iya, katanya isterimu sudah mulai suka memasak lagi.”
“Iya bu, tapi saya juga menyuruhnya jangan terlalu capek.”
“Itu benar. Ayo duduklah dulu, sambil menunggu Dina bersiap-siap.”
***
“Bapaaak… lihat, mengapa ada topi besar dibelakang?” teriak Dina ketika ia menoleh kebelakang. Saat itu mereka sudah dalam perjalanan pulang. Leo terkejut, sesaat dia bingung menjawabnya.
“Itu bapaaak.. ada topi besaar, punya siapa?”
“Ooh, itu.. itu.. “
“Biar Dina ambil,” kata Dina sambil berdiri dan bersiap melompat ke belakang.
“Jangan Dina, itu bukan punya kita.”
“Punya siapa? Mengapa ada di mobil bapak?”
“Punya .. itu.. punya teman bapak.. orang kantor..”
“Mengapa ada di mobil bapak?”
“Dia beli untuk anaknya, tadi belinya sama bapak, ketika dia turun, lupa membawa topinya itu"
“Dina pengin lihat deh,” kata Dina yang memaksa ingin melompat ke belakang.
“Dina, jangan.. itu bukan punya kita, Nanti kalau rusak bagaimana?”
“Mengapa temannya bapak beli topi seperti itu? Dina pernah melihat orang memakai topi seperti itu. Dia pengemis.”
“Bukan, itu hanya untuk main-main saja. Ayolah duduk saja, jangan berdiri begitu, nanti kalau bapak mengerem, kamu bisa jatuh, tahu!”
Dina akhirnya menurut. Leo menghela nafas lega.
***
Mobil Leo sudah berhenti dihalaman, tak tampak Rina menyambutnya. Dina lebih dulu keluar dan berteriak-teriak.
“Ibu.. aku sudah pulang.”
“Ya ampuun, anak ibu sudah pulang, cantik.. dirumah simbah rewel tidak?”
“Tidak dong bu, kata simbah, Dina sudah hampir punya adik, jadi tidak boleh rewel, tidak boleh nakal.”
“Bagus, anak pintar.”
“Mana baju-baju kotor kamu? Tidak ditinggal ditempat simbah kan? Kasihan simbah dong kalau ditinggal disana.”
“Enggak kok, sudah Dina bawa, masih di mobil .. Maukah ibu mengambilnya?”
“Baiklah, Dina cuci kaki tangan dulu sana, terus makan. Sekarang biar ibu ambil baju-baju Dina, sebelum kelupaan.”
“Iya bu.”
Dina berlari kebelakang, sementara Leo langsung ke kamar mandi untuk mencuci tangan.
Rina mendekati mobil dan membuka pintu depan untuk mengambil baju Dina yang tertinggal. Tiba-tiba Rina melihat sesuatu. Sebuah keresek, tapi itu bukan baju-baju Dina, karena baju Dina sudah ada ditangannya, Rina menarik keresek itu. Isinya segelas teh, dan bungkusan apa ya. Rina menciumnya.
“Ini seperti nasi dan lauknya, serta segelas teh. Punya siapa ya?”
Ika menenteng keresek itu kerumah dengan penuh tanda tanya,.
“Maaas.. mas.. ini apa mas ?”
==========
“Maas… ini apa mas?”
Leo keluar dari dalam kamar. Terkejut melihat Rina membawa keresek yang diacungkannya kearahnya.
“Ini apa mas? Punya siapa?”
“Oo.. itu.. tadi itu .. ada orang itu.. orang.. jualan.. “
“Lalu mas beli?”
“Iy.. iya.. aku beli..”
“Ini ada teh, roti.. lalu sebungkus nasi.. coba aku buka… ayo kita sekalian makan..” kata Rina sambil melangkah ke ruang makan. Leo mengikuti dengan hati berdebar.
Leo melihat Rina membuka bungkusan itu.
“Biasanya aku langsung memakannya, tadi karena si tukang roti seperti mengenali aku, aku langsung kabur, menjemput Dina, lupa menyembunyikannya,” kata batin Leo sambil memikirkan jawaban apa yang akan diberikannya kalau Rina mendesaknya.
“Ini nasi oseng, dan sepotong paha, hm.. baunya sedap. Enakkah rasanya?”
“Mana aku tahu, aku kan belum memakannya.”
“Mengapa mas beli nasi bungkus dan minuman ini, sementara mas sudah mau pulang untuk makan?”
“Itu.. tadi.. ada.. ada orang jualan, aku.. merasa kasihan.. lalu aku beli.”
“Kelihatannya enak. Hm.. bener kan, enak.. osengnya sedap, paha gorengnya juga enak, bumbunya sampai meresap ke dalam. Dimana mas membelinya? Pintar benar penjual ini memasaknya,” kata Rina sambil mengambil sendok dan memakan nasi bungkus itu dengan lahap. Leo menahan senyuman dalam hati. Rina mana tahu siapa yang memasak makanan itu.
“Mas, besok kalau mas pulang, aku tolong dibelikan dong.”
“Ya nggak tahu aku, ketemu lagi apa enggak,” kata Leo sambil mengambil nasi dan menyendokkan sayur ke piringnya.
“Enak bener. Lebih enak masakan ini daripada masakan aku.”
“Iya sih..” kata Leo sekenanya.
“Jadi menurut mas, masakanku nggak enak?” tiba-tiba Rina kesal karena secara tidak langsung Leo mengatakan bahwa masakannya kurang enak.
“Lho.. apa sih.. aku hanya meng ‘iya’ kan omongan kamu, kok marah.”
“Biasanya mas kan memuji masakanku?”
“Iya, masakan kamu enak..”
“Lebih enak mana masakan aku sama nasi bungkus ini ?”
“Mana aku tahu, aku kan belum memakannya?”
Rina terdiam, memang benar, mana bisa Leo membandingkan, sedangkan dia belum merasakannya?
“Benarkah masakanku enak?”
“Hm mh..” kata Leo sambil mengacungkan jempolnya.
“Apa ibu marah?” tiha-tiba Dina yang sejak tadi diam nyeletuk.
“Tidak sayang, ibu hanya ingin bercanda sama bapak.”
“Tadi bapak bilang, ibu marah.”
“Iya, tapi hanya bercanda,” kata Rina. Leo hanya tersenyum.
“Mas, kalau besok ketemu lagi penjual nasi ini, aku mau ya, dibelikan.”
Leo mengangguk-angguk, karena mulutnya penuh nasi.
***
“Ika..” itu sapaan Risma ketika menelpon Ika.
“Ya mbak.. bagaimana? Sudah dijawab ?”
“Tidak. Aku kirimkan ucapan itu kembali kepadanya, tapi dia tidak merespon sama sekali. Barangkali dia bukan Baskoro.”
“Ooh, bukan ya? Tapi…”
“Apa menurut kamu kalimat seperti itu adalah ucapan Baskoro?”
“Itu…” Ika ragu-ragu menjawabnya.
“Apa kamu mengenalinya sebagai gaya Baskoro ketika mengungkapkan cinta?”
“Saya.. saya rasa.. seperti iya, tapi kalau bukan…”
“Apa kamu punya pecinta yang lain..?”
“Apa? Tidak.. tidak pernah ada..”
“Mungkin benar dia Baskoro, yang masih marah sama aku, tapi mungkin juga orang lain yang suka sama kamu.”
“Tidak ada kok.”
“Nanti aku mencobanya dengan cara yang lain. Tapi kamu juga boleh menelponnya, siapa tahu dia mau mengangkatnya."
“Baiklah, akan saya coba.”
Ika termenung ketika pembicaraan itu berhenti. Siapa yang mampu mengucapkan kata-kata itu selain Baskoro? Broto tidak mungkin, dia tak pernah berbicara tentang cinta. Leo? Mana mungkin Leo berani?
Dan seperti menjawab kebingungan hatinya, terdengar sebuah panggilan pesan singkat. Gemetar Ika membukanya. Tuh kan, dia lagi.. dia lagi..
“Mengapa ungkapan cinta aku disebarkan ke orang lain? Aku malu dong..!”
Dan sebuah emotikon lucu berderet-deret dibawah pesan itu.
Ika tersenyum. Hanya Baskoro yang memiliki kekonyolan seperti ini.
“Jangan bersembunyi dibalik pesan singkat. Tunjukkan siapa anda.”
Tapi ia kemudian tak mengatakan apa-apa. Dialog aneh itu terhenti hanya dalam sepatah dua patah kata. Lalu si pengirim pesan itu menghilang begitu saja.
Dan Ika tak mau mengejarnya. Biarkan saja apa maunya.
Ia juga tak ingin mengatakannya kepada Risma. Kalau dicecar soal ucapan cinta itu, Ikalah yang benar-benar malu. Tapi ada sedikit perasaan lega. Sepertinya dia memang Baskoro, dan dengan demikian Baskoro entah ada dimana, ia selamat tak kurang suatu apa. Ika menyembunyikan senyumnya, seperti ia ingin menyembunyikan rindu yang tiba-tiba memenuhi dadanya.
***
“Belum bisa menghubungi dia ?” tanya Broto ketika sedang makan siang bersama Risma.
“Aku yakin, Ika tahu kalau dia Baskoro. Tapi tampaknya Ika juga begitu yakin. Pesan singkat itu masih merupakan teka-teki.”
“Cuma sebenarnya sudah ketahuan ?”
“Belum yakin seratus persen, yapi tampaknya memang benar dia.”
“Sekarang kamu tidak perlu sedih lagi. Sudah ada gambaran yang hampir meyakinkan.”
“Tapi belum puas rasanya kalau belum berbicara dengan dia.”
“Mungkin dia masih kesal sama kamu, Dan mengira kamu masih akan memarahinya, atau tidak penyetujui apabila dia mencintai Ika.”
“Begitu ya?”
“Coba kamu hubungi lagi, dengan menunjukkan bahwa kamu setuju Ika menjadi ipar kamu.”
“O.. iya mas, kamu benar.”
“Kamu hanya menanyakan siapa dia, dan mem forward WA dia yang ditujukan ke Ika, tapi kamu tidak menunjukkan bahwa kamu sudah tidak marah, dan berharap Baskoro benar-benar bisa menjadi pendamping Ika.”
“Sebentar, aku baru memikirkan kalimat yang bagus untuk itu. Atau.. langsung menelponnya?”
“Tidak, dia tak akan mau mengangkatnya.”
“Baiklah, mm.. ya.. aku nenemukannya. Sebentar akan aku tulis..”
*Mengapa kamu pergi? Apa kamu tidak sadar bahwa Ika sedang menantikan kamu?*
“Begini mas bagus nggak?” kata Risma sambil menunjukkan tulisan dia di pesan singkat, tapi belum dikirimkannya.
“Lumayan..”
“Kok lumayan sih, bagus atau tidak?”
“Bagus, tapi itu belum menunjukkan sikap kamu yang sebenarnya.”
“Harus ditambah ya?”
“Baiknya begitu.”
*Mengapa kamu pergi? Apa kamu tidak sadar bahwa Ika sedang menantikan kamu? Jangan terlalu lama, nanti keburu tua. Jangan lupa aku adalah kakak kamu. Bawalah aku serta ketika kamu akan melamarnya, karena aku sudah menyiapkan pesta meriah untuk menyambut calon iparku yang ternyata sangat baik. Kamu tidak salah memilih, aku ingin kamu berbahagia disampingnya.*
“Begini mas?”
“Ya.. ini bagus. Kirimkan segera.”
Risma tersenyun senang, lalu nmengirimkan pesan itu.
“Lihat, dia langsung membacanya. Pasti ia akan sangat antusias untuk kemudian menelpon aku,” kata Risma dengan wajah berseri.
Lalu sebuah pesan kembali terkirim.
Terburu Risma membukanya, tapi wajahnya keruh seketika.
Broto mengambil ponsel Risma dan membaca pesan itu.
“Salah kamar.”
“Haa? Kok salah kamar ?”
“Celaka dua belas mas, ternyata bukan Baskoro.”
“Aduh, bukan ya?”
“Maaf..”
Broto mengirimkan permintaan maaf itu.
Wajah Risma seperti tertutup mendung. Harapan akan bisa menemukan adik kandungnya pupus seketika. Broto melihat mata Risma mulai berkaca-kaca.
“Lalu siapa dia? Mengapa mengatakan cinta kepada Ika? Berarti Baskoro punya saingan. Tapi ketika aku bertanya, dia bilang tidak ada orang lain yang jatuh cinta sama dia,” kata Risma lemas.
“Ya sudah, selesaikan dulu makannya, nanti kita pikirkan lagi.”
“Anak itu sungguh keterlaluan. Suka sekali melihat kakaknya bingung dan sedih.”
Tiba-tiba ponsel Risma kembali berdering. Ada pesan masuk lagi.
“Ini,” kata Broto sambil mengangsurkan ponsel Risma.
“Buka saja, aku sedang malas membaca pesan.
Broto membuka pesan itu.
“Astaga…” pekik Broto.
“Ada apa ?”
“Ini dari Ika, tapi yang dikirimkannya adalah pesan kamu tadi,” kata Broto sambil menyerahkan ponselnya.
*Mengapa kamu pergi? Apa kamu tidak sadar bahwa Ika sedang menantikan kamu? Jangan terlalu lama, nanti keburu tua. Jangan lupa aku adalah kakak kamu. Bawalah aku serta ketika kamu akan melamarnya, karena aku sudah menyiapkan pesta meriah untuk menyambut calon iparku yang ternyata sangat baik. Kamu tidak salah memilih, aku ingin kamu berbahagia disampingnya.*
“Lhoh, apa maksudnya ini?”
“Orang itu mem forward WA kamu ke Ika, lalu Ika meneruskannya kemari.”
Tak sabar Risma menelpon Ika.
“Ya mbak.. “ jawab Ika dari seberang.
“Apa maksudnya ini ?”
“Orang itu mengirimkan ini, saya tidak tahu ini asalnya dari mana, dan mengapa dikirimkannya ke saya?”
“Itu dari aku.”
“Dari mbak Risma?”
“Aku pikir dia Baskoro. Tapi dia menjawab ‘salah kamar’, begitu.”
“Orang aneh.”
“Tadinya aku sudah senang, dan yakin bahwa dia Baskoro, sekarang harapanku patah lagi,” kata Risma sedih.
“Sabar mbak, bagaimanapun saya ingin tahu, siapa dia sebenarnya.”
“Ini semua gara-gara Rina !”
“Gara-gara bu Rina?” sambut Ika terkejut.
“Rina telah menjelek-jelekkan kamu, sehingga aku mengira kamu perempuan nggak bener. Ketika aku menegur Baskoro, dia marah lalu pergi.”
“Ya ampuun, bu Rina sangat baik, bagaimana dia bisa menjelek-jelekkan saya? Apa yang dikatakannya?”
“Sudah, aku tidak perlu mengatakannya secara gamblang. Yang jelas dia memfitnah kamu, lalu semuanya menjadi seperti ini.”
“Ini aneh, mengapa bu Rina yang sangat baik bisa berubah sikap seperti itu?”
“Terkadang orang bisa bersikap baik, tapi sesungguhnya hal itu bertentangan dengan apa yang ada didalam hatinya.”
Ika masih termenung beberapa saat lamanya. Rina yang baik, dan kebaikan itu ternyata palsu?
“Apa salahku? Apa karena dulu aku mempunyai hubungan dengan Leo? Tapi aku kan tidak bermaksud merebut Leo darinya? Bahkan aku menolak ketika Leo ingin menikahi aku? Apa yang sebenarnya dipikirkan olehnya?
***
Sore itu Leo duduk ditaman seperti biasanya. Bukan karena ingin meruntuki nasibnya yang serba membingungkan, karena setelah menceritakan semuanya kepada si tukang roti, maka perasaannya sedikit merasa lega. Ia ingin menjalani hidupnya seperti biasa. Tapi pertemuannya dengan tukang roti siang tadi membuatnya penasaran. Tukang roti itu seperti sudah tahu tentang dirinya. Siapa dia sebenarnya? Leo kesal karena setiap kali disuruh membuka helmnya dia selalu menolak.
Matahari sudah condong ke arah barat. Begitulah setiap sore yang dilakukannya sepulang dari kantor.
“Mana dia, mengapa tidak lewat sudah jam segini?”
Leo menoleh kesana kemari, berharap si tukang roti itu lewat seperti kemarin.
“Jangan-jangan dia tidak lewat sore ini. Baiklah, besok siang pasti dia berjualan didepan sekolah. Aku harus menemuinya dan menanyakan siapa dirinya,” gumamnya sambil terus melihat kearah jalanan.
Dan tiba-tiba yang ditunggu itu benar-benar lewat.
“Rotiiiii!!” Leo berteriak.
Tukang roti itu menoleh, lalu membelokkan sepeda motornya kearah Leo.
“Lho pak, kok masih disini? Roti dagangan saya tinggal dua bungkus. Masih mau ? Siang tadi saya memberikannya kepada pak tua dengan caping lebar didepan sekolahan, setelah itu dagangan saya laris sekali. Benar kata orang-orang tua, ketika kita mendermakan sedikit yang kita miliki, maka Alloh akan memberikan gantinya dengan berlipat-lipat. Pak tua itu tampak menyedihkan, jadi…”
“Berhentilah menyebut pak tua,” kata Leo memotong ucapannya.
Leo gemas sekali pada tukang roti itu. Pak tua yang dimaksud adalah dirinya, tapi dia pura-pura tak mengenalinya.
“Duduklah disini, mari ngobrol sebentar,” pinta Leo sambil menepuk-nepuk bangku disebelahnya.
Tukang roti itu turun, lalu menstandard kan sepeda motornya, kemudian duduk disamping Leo.
“Tolong lepaskan helmnya mas,” pinta Leo.
“Biarkan begini saja pak, maaf,” kata tukang roti sambil memegangi helmnya.
“Baiklah, terserah kamu saja.”
“Bapak ingin mengobrol tentang apa lagi?”
“Bagaimana sampeyan tahu bahwa laki-laki tua itu aku?”
“Itu mudah bagi saya, karena saya melihat topi lebar disamping tempat duduk bapak sore kemarin, dan saya memang sudah curiga karena saya melihat didepan sekolahan itu bapak kelihatan terbungkuk-bungkuk, kemudian setelah agak jauh bapak berjalan tegak, lalu memasuki mobil,” kata tukang roti sambil tertawa.
Leo menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Aku ingin melihat anakku setiap hari,” kata Leo lirih.
“Ooh… sangat memprihatinkan..” bisik si tukang roti.
“Kamu sudah tahu siapa aku, dan tahu apa yang aku lakukan. Tapi aku belum tahu siapa kamu itu sebenarnya.”
Tukang roti itu tertawa.
“Itu tidak adil bukan?” lanjut Leo.
“Baiklah, tapi saya minta, bapak tidak akan menonjok wajah saya begitu melihat siapa saya.”
Leo tertawa.
“Mengapa pula aku harus menonjok wajah kamu? Bukankah kamu orang baik?”
“Saya orang baik, dan berusaha selalu baik, tapi belum tentu bagi bapak saya juga baik.”
“Sudahlah, lepaskan helm kamu, aku tak akan menghajar orang tanpa alasan. Lagi pula tubuh kamu lebih tinggi besar, mana berani aku menghajar?”
Keduanya tertawa keras. Dan tukang roti itu pelan-pelan membuka helm nya.
Leo terbelalak. Disampingnya, duduk laki-laki yang dibencinya karena mencurigai bahwa masih ada hubungan cinta antara isterinya dan dia.
“Baskoro ?” pekiknya.
“Ya, ini aku. Ingin menghajar aku?”
“Mengapa kamu menjadi tukang roti?”
“Karena pacarku seorang tukang sayur.”
Leo semakin membulatkan matanya.
“Ika ? Kamu pacaran sama Ika?”
“Tidak, dia menolak aku. Katanya aku terlalu tinggi. Itu sebabnya aku menjadi tukang roti keliling, supaya aku tidak terlalu tinggi di matanya.”
Leo mengangguk-angguk mengerti. Rasa kesal di hati Leo terhadap Baskoro telah memudar. Ia kagum melihat seorang laki-laki seperti Baskoro rela berkorban demi cintanya kepada Ika.
“Aku baru tahu bahwa Dian itu darah daging kamu. Beberapa bulan yang lalu mbak Risma memarahi aku gara-gara ada yang memfitnah Ika. Aku baru tahu cerita yang sebenarnya ketika kamu tanpa sadar siapa aku, lalu menceritakan semuanya.”
“Alloh telah mengatur semuanya.”
“Tapi kamu belum mengatakan, mengapa kamu pura-pura jadi pengemis?”
“Sudah sebulan Rina menolak ketika Dina ingin mengajak Dian jalan-jalan. Alasannya adalah kehamilannya. Pusing lah, mual lah. Aku nggak enak kalau kesana sendiri. Rina kelihatan nggak suka. Aku ingin melihat Dian dari dekat, lalu aku menempuh cara gila itu, sehingga setiap hari bisa mengelus kepalanya, memandangi wajahnya.”
Baskoro menatapnya iba. Lalu dia teringat ketika Leo sakit, dan perawat mengatakan bahwa Leo selalu menyebut nama Ika ketika sedang mengigau. Jadi Ika yang dimaksud adalah Yanti?
“Apakah kamu masih mencintai Ika?” tanya Baskoro sambil menatap tajam Leo.
Leo menghela nafas panjang.
“Cinta itu kan sebuah perasaan. Tapi aku lebih merasa dibebani dosa karena membuatnya menderita selama bertahun-tahun.”
“Kamu tidak marah mendengar aku mencintai dia?”
“Aku percaya karena kamu memiliki cinta yang begitu agung. Aku hanya bisa menitipkan anakku, kalau kau berhasil mendampingi hidupnya.”
Baskoro mengangguk.
“Aku menyayangi keduanya.”
“Tapi tunggu, kamu tadi bilang ada yang memfitnah Ika. Siapa dia, dan memfitnah bagaimana?”
“Dia mengatakan bahwa hadirnya Dian disebabkan karena pergaulan bebas, sehingga tak jelas siapa bapaknya.”
“Kurangajar dia. Katakan siapa?!”
“Tidak usah.. yang jelas aku sudah tahu hal yang sebenarnya.”
“Tolong, katakan siapa dia,” pinta Leo.
“Tanyakan pada isteri kamu.”
Bersambung #21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel