Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 23 Juni 2022

Jangan Bawa Cintaku #19

Cerita Bersambung

Ika menatap tamunya dengan bingung. Air mata Risma sudah menetes, membasahi sepanjang pipinya.

“Apakah.. apakah.. mas Baskoro mengatakan bahwa dia akan datang kemari?” tanya Ika sedikit gugup.
“Tidak mbak Ika. Baskoro pergi dari rumah, kami mengira dia ada disini,” kata Broto.

Ika masih menatap tak mengerti. Tampaknya ada sesuatu yang luar biasa sehingga Risma sampai menitikkan air mata.

“mBak Ika..” kata Risma.
“Panggil saya Ika saja mbak, atau Yanti, itu lebih enak, mbak Risma kan lebih tua dari saya.”
“Baiklah, Ika. Apakah kamu tahu, bahwa Baskoro jatuh cinta sama kamu?”

Ika tertegun. Nggak enak rasanya ketika tiba-tiba kakaknya Baskoro menanyakan itu. Apa Baskoro sudah berterus terang sama kakaknya, lalu kakaknya melarang, kemudian dia pergi dari rumah?”
“Ika, katakan terus terang .. benarkah Baskoro pernah mengatakan cinta sama kamu?”
“Maaf mbak Risma. Kalaupun iya, saya tahu diri. Saya ini siapa, dan mas Baskoro itu siapa. Saya mana berani menerimanya?”

Risma menatap tajam kearah Ika. Tadi dia menuduh Ika menginginkan harta adiknya, ternyata Ika tahu diri dan menolaknya.

“Aku salah menilai kamu. Maafkan aku ya.”
“Apa yang harus saya maafkan ?”
“Ada yang berkata buruk tentang kamu, dan aku termakan olehnya. Aku memarahi Baskoro, lalu dia pergi tanpa pamit,” kata Risma yang kembali menitikkan air mata.

Ika tertegun. Ia mencoba mencerna apa yang dikatakan Risma. Lalu ia mulai mengerti, rupanya Risma melarang Baskoro berhubungan dengan dirinya, karena termakan oleh kata-kata seseorang, kemudian Baskoro memilih pergi dari rumah.

“Baskoro itu rapuh. Tidak seperti penampilannya. Aku takut dia melakukan hal-hal yang nekat. Bunuh diri, misalnya.

Mata Ika terbelalak.

“Bunuh diri ?”
“Dia pernah melakukannya, ketika putus dari Rina.”
“Ya Tuhan.. tidak mungkin mas Baskoro melakukannya.”
“Dia mampu melakukannya. Satu, akibat penolakan dari kamu, dua, akibat aku memarahinya pagi tadi," kata Risma sambil kembali mengusap air matanya yang tak pernah berhenti mengalir.
“Tidak..” Ika menutup mulutnya.
“Mas Broto, aku ikut kamu ke Jakarta sore ini. Barangkali Baskoro pergi ke Jakarta,” akhirnya kata Risma.
“Kamu tidak naik pesawat saja? Aku naik mobil, nanti kamu capek.”
“Tidak mas, harus ada seseorang didekat aku. Aku tak tahan menanggung cemas seorang diri.”
“Baiklah. Aku akan langsung berangkat sekarang, kamu aku antar pulang dulu?”
“Antar aku, aku mengambil barang-barang, lalu sekalian berangkat bersama kamu.”
“Baiklah.”
“Ika, aku mohon maafkanlah aku, dan terimalah Baskoro seandainya dia telah kembali.”

Ika terperanjat. Harus menerima Baskoro? Mana dia berani?

“Tolonglah Ika..”
“Tt..tapi.. saya.. saya kan.. saya .. hanya..hanya..”
“Tolong .. “ kata Risma sambil berdiri. Broto menatap Ika dengan perasaan iba, karena meliat wajah Ika tiba-tiba pucat dan tampak kebingungan.
“mBak Ika tenang saja, nanti kalau Baskoro sudah ketemu kita bicara lagi.”

Broto mengantarkan Risma yang sudah lebih dulu melangkah keluar. Ika masih belum bisa menguasai dirinya. Ia juga kasihan melihat Risma tampak sedih. Tapi ia juga bingung menerima permintaan Risma. Aduhai. Lalu Ika mencubit lengannya sendiri, barangkali dia hanya bermimpi. Tapi tidak. Risma meminta dia menerima cintanya Baskoro? Ini nyata karena lengannya terasa sakit ketika dicubit. Alangkah baiknya Baskoro. Penuh perhatian, terkadang kocak, dan bicara ceplas-ceplos semaunya. Dia juga ganteng, dan senyumnya mampu membuat ibu-ibu yang berbelanja mabuk kepayang. Ika tidak menampik bahwa dia suka. Tapi menerima cintanya? Barangkali dia harus mencari tangga setinggi mega agar bisa meraihnya.

“Ibu, tamunya sudah pulang?” Dian keluar dengan membawa nampan berisi cangkir, tampak heran ketika diluar hanya ada ibunya.

“Sudah Dian, mereka terburu-buru. Aduh, anak ibu yang pintar sudah membuat teh untuk tamu-tamu kita ya. Sini, mari teh buatan Dian ibu minum saja. Ini, satu buat ibu, satu buat Dian. Ayo duduklah.”

Dian tertawa, lalu duduk dihadapan ibunya.

“Kita tamu-tamuan ya bu.”
“Iya… hm.. pasti sedap teh buatan anak ibu yang ganteng ini..”
“Itu kan ibu yang temannya om Broto kan? Kita pernah kerumahnya ketika ada pengajian itu, ya kan bu?”
“Benar nak, mereka akan kembali ke Jakarta sore ini.”
***

“Pak, itu tadi temannya Broto, cantik sekali bukan?” kata bu Kartiman ketika Broto dan Risma bersama-sama pamitan kerumah sebelum lanjut ke Jakarta.

“Iya, itu yang punya perusahaan besar, dimana Broto diminta agar ikut mengelolanya.”
“Cantik ya pak, tapi tampak seperti wanita modern.”
“Wanita modern itu yang bagaimana sih bu, kamu ada-ada saja.”
“Penampilannya itu lho pak, seperti wanita-wanita terkenal yang sering aku lihat di televisi. Pakaiannya bagus, dandanannya juga luwes. Beda dengan nak Ika yang sederhana, tapi biarpun sederhana, nak Ika juga menawan.”
“Lha mengapa ibu membandingkan nak Ika dengan nak Risma?”
“Kalau harus memilih menantu ya pak, bapak pilih yang mana? Nak Ika yang sederhana, atau nak Risma yang wanita modern.”
“Ibu itu aneh-aneh saja. Mengapa bapak yang harus memilih? Yang harus memilik itu Broto, yang akan menjalani.”
“Cuma seandainya saja kok pak.”
“Ya nggak bisa jawab aku. Setiap orang itu kan punya kelebihan dan kekurangannya masihng-masing. Tidak ada yang sempurna didunia ini.”

Bu Kartiman tampak menghela nafas panjang. Ia benar-benar ingin segera punya menantu, lalu menggendong cucu.

“Kita doakan saja bu, agar Broto mendapatkan jodoh terbaik untuk dirinya. “
“Nak Risma itu tampaknya juga baik ya pak, walaupun dia orang kaya, tapi sama kita tetap saja tampak sangat santun. Kalau Broto suka sama dia, aku juga suka kok pak.”
“Ibu itu ngelantur.”
“Namanya orang berangan-angan kan ya boleh ..”
“Boleh saja, tapi jangan terlalu mengharap. Serahkan semuanya pada Yang Diatas, karena jodoh itu hanya Dia yang menentukannya. Ibu sama aku tinggal berdo’a saja, agar Broto menemukan yang terbaik untuk dirinya, untuk hidupnya. Ya kan bu?”
***

“Tidak kesana katanya mas,” kata Risma dalam perjalanan kembali ke Jakarta, ketika menelpon rumah dan juga kantornya.
“Mungkin belum sampai, atau mungkin masih di kantor.”
“Aku sudah menelpon kantor tadi. Baskoro tidak kesana. Kalau ke Jakarta pasti dia langsung ke rumah. Tapi penjaga mengatakan bahwa dia tidak datang.”
“Coba saja ditunggu sampai besok, mungkin belum sampai kesana. Sabarlah Ris, dan tenangkan hati kamu.”
“Aku tidak bisa tenang sebelum mengetahui keberadaannya.”
“Kita kan belum sampai di Jakarta, jadi lebih baik kamu berusaha menenangkan diri. Istirahat saja Ris, tidurlah.”
“Aku merasa bersalah mas.”
“Iya aku tahu.”
“Beruntung ada kamu mas, ada tempat aku berkeluh. Kalau tidak, aku pasti sudah limbung, lalu jatuh, lalu entah apa yang terjadi.”
“Mengapa kamu berkata begitu? Kamu itu wanita yang kuat. Kamu bisa melakukan apapun dengan baik.”
“Tapi aku tak bisa kehilangan Baskoro mas, hanya dia milik aku.”
“Baiklah, sekarang pejamkan matamu dan tidurlah. Baskoro akan baik-baik saja.”
“Baskoro itu rapuh.”
“Itu kan dulu. Sekarang dia sudah lebih dewasa. Dia akan melakukan yang terbaik. Percayalah.”
“Mungkinkah dia akan berubah ? Buktinya aku baru ngomel sedikit saja dia langsung pergi.”
“Langsung pergi kan, bukan mengambil sebotol obat tidur lalu menelannya langsung?” goda Broto.
“Ah.. kamu.”
“Tapi nanti dulu, jangan-jangan tadi dia pergi ke rumah Rina,” lanjut Broto.
“Mana mungkin? Dia tak pernah mau bertemu dengan Leo sejak dia sakit dan dirawat itu. Lagi pula kalau mau kerumah Rina mengapa dia membawa baju-bajunya juga?”
“Barangkali untuk meyakinkan atau menanyakan kepada Rina tentang kebenaran kata-katanya yang telah disampaikannya sama kamu, tapi tampaknya tidak ya.”
“Tampaknya tidak.”
“Ya sudahlah, jangan takut, tidurlah dan tenangkan hati kamu.”

Risma diam, mencoba memejamkan matanya dan mengendapkan kegelisahannya. Ada sedikit ketenangan dirasakannya, ketika ada Broto disampingnya. Broto yang selalu menghiburnya dan memberinya semangat.
***

Tapi malam itu mau tak mau Ika juga memikirkannya. Mengapa Baskoro pergi kalau hanya dimarahi oleh kakaknya? Begitu besarkah rasa cinta Baskoro kepada dirinya? Tidak, sungguh Ika tak berani menjalaninya. Baskoro terlalu tinggi buatnya. Tapi kata-kata Risma sangat membekas dihatinya.

“Tolooong…”

Dengan wajah sendu Risma mengatakannya. Masih terbayang dan sangat menyentuh hatinya wajah itu. Tapi kemudian Ika juga merasa terganggu dengan perginya Baskoro. Pergi tanpa pamit, pasti ada sesuatu yang melukainya. Mengapa juga dia tidak datang kemari? Ah, mengapa kemari? Dia itu siapa?
Ika berusaha memejamkan matanya untuk tidur, Esok hari banyak pesanan dari beberapa langganan, jadi dia harus kepasar lebih pagi.
***

Dan Risma juga tidak bisa menemukan Baskoro di Jakarta. Setidaknya di tempat dimana biasanya Baskoro menginap. Di kantor, atau dirumah mereka sendiri. Risma mulai kalang kabut lagi. Ia mencari kesetiap rumah sakit, barangkali ditemukannya orang bunuh diri dengan menenggak obat tidur, atau apalah. Tapi bayangan Baskoro benar-benar lenyap ditelan bumi.

“Aku harus menelpon Rina. Dia penyebab semua ini,” geram Risma karena kemarahannya dipicu oleh bisikan kejam dari Rina sehingga membuatnya melarang Baskoro mendekati Ika.

“Ya mbak Risma ? Maaf aku belum sempat menemui mbak Risma lagi. Aku sudah mulai suka memasak setelah tidak lagi merasa mual-mual.”
“Apa kemarin Baskoro kerumah kamu?” kata Risma tanpa mempedulikan apa yang dikatakan Rina.
“Tidak, apa dia bilang kalau dia kerumah aku? Dia mana mau bertemu mas Leo.”
“Kamu mengatakan hal buruk tentang Ika,” kata Risma sengit.
“mBak Risma, mengapa mbak Risma berkata begitu?”
“Kamu mengata-ngatai Ika sebagai seorang perempuan nggak bener, membuat aku kurang suka sama dia.”
“Mengapa mbak Risma seperti marah sama saya?”
“Kamu bohong kan?”

Rina berdebar. Risma mengatakannya bohong. Apakah Risma sudah tahu kalau dia bohong? Darimana kemarahan Risma itu datang? Ika merasa harus menutupi kebohongan itu dengan kebohongan yang lain.

“Bohong apanya mbak? Yang aku katakan itu benar, sudah tersebar dimana-mana.”
“Oh ya? Kamu mendengar dari siapa?”
“Aduh dari siapa ya mbak, aku lupa, pokoknya banyak yang mengatakan itu. mBak Risma mendesak aku sih, sebetulnya aku nggak mau bilang.”
“Dan gara-gara aku memarahi Baskoro karena mengira Ika wanita yang berperangai buruk, sekarang dia pergi entah kemana.”
“Apa? Baskoro pergi?”
“Itu gara-gara aku termakan oleh omongan kamu.”

Lalu dengan gemas Risma menutup ponselnya.

“Iya sih, aku yang memaksa Rina untuk bicara. Duuh.. entahlah… bagaimana ini,” keluh Risma, karena berbicara dengan Rina juga tak akan bisa meringankan kerisauannya.
***

Hari terus berjalan, dan Baskoro belum juga ditemukan. Ika melewati hari-harinya dengan penuh tanda tanya. Terkadang ada rasa aneh menghentak dadanya, seperti rasa senyap, seperti ada sesuatu yang hilang, seperti dia merasa sendirian.
Sudah berminggu-minggu ibu yang berbelanja selalu bertanya. Bukankah setiap minggu selalu ada mas ganteng yang membantu? Mengapa lama sekali tak tampak batang hidungnya?

“O. dia ada di Jakarta bu, belum bisa datang kemari,” selalu itu jawabnya.
“Kok lama ya mbak, biasanya kalau Minggu pasti meramaikan jualan mbak Ika,” kata seorang ibu.
“Iya benar, kalau hari Minggu kita bersemangat belanjanya, habis ada mas ganteng yang ikut melayani.”
“Barangkali lagi banyak pekerjaan, jadi nggak bisa pulang kemari,” jawab Ika sekenanya.
“Ibu.. ibu-ibu..” tiba-tiba seseorang berteriak mendekat. Itu suara Murni.
“Hiih.. anak ini, kalau datang pasti bikin heboh. Nggak ada mas ganteng, awas ya, jangan tanya lagi,” kata seorang ibu dengan kesal.
“Iya, sudah kelihatan, nggak ada mobilnya disitu. Ini lho bu, eh mbak Ika.. mbok ya nyediain makanan ini, enak lho.. roti, pasti nanti juga laris,” kata Murni sambil menunjukkan sebungkus keresek yang kemudian dikeluarkan isinya.

“Apa itu?”
“Roti bu, saya sudah ngicipin, enak sekali. Tadi itu isi pisang, lalu yang empat ini macam-macam bu, ada selai nanas, strowbery, coklat. Ini silahkan kalau mau, aku tadi beli lima, yang satu sudah aku makan sambil jalan,” kata Murni sambil membagikan roti yang barusan dibelinya.
“Ini, mbak Ika satu. Maksudnya, besok-besok mbak Ika harus nyediain ini untuk dijual disini. Bener deh. Enak, lagi pula murah.”
“Iya, lumayan enak. Berapa harga satunya?” tanya seorang ibu yang sudah mencicipi dan berbagi dengan dua orang ibu lainnya. Habis barangnya cuma empat, dibagi begitu banyak ibu-ibu. Hanya punya Ika yang belum disentuhnya.

“Belinya dimana ini Mur?” tanya seorang ibu.
“Itu, ada penjual roti yang membawa sepeda motor, roti jualannya di taruh di keranjang besar dibelakangnya,” terang Murni.

Beberapa ibu menoleh, tapi penjual roti yang dimaksud sudah pergi.

“Wah, sudah nggak ada. Tadi aku bilang, besok pagi aku suruh datang kemari supaya mbak Ika bisa beli untuk dijual,” kata Murni.
“Ya sudah, besok beli ya mbak Ika,” kata seorang ibu.
“Baik bu, ini punya saya belum saya makan, barangkali masih ada yang belum kebagian?” Ika menawarkan rotinya.
“Nggak usah mbak Ika, namanya ngicipin ya sedikit-sedikit. Besok saja kalau mbak Ika jual, saya mau beli.”
“Baiklah bu, kalau tukang rotinya lewat sini lagi,” kata Ika sambil melayani ibu-ibu yang belanja pagi itu.
***

Ketika selesai berjualan dan masuk ke rumah, Ika baru melihat bahwa bekal makan dan minum yang disiapkan untuk Dian kembali tertinggal dirumah.

“Ya ampuuun, Dian.. kebiasaan deh. Ini bekal untuk dia dan bungkusan nasi yang biasanya diberikan pak tua, ketinggalan semua. Bagaimana ini, apa enaknya aku susulkan saja ya. Takutnya nanti dia pulang agak siang, lalu lapar deh,” gumam Ika ambil menurunkan keranjang sayurnya.
“Baiklah, aku susulkan saja, kan sekolah Dian tidak begitu jauh. Tapi ini sudah saatnya istirahat, bisa nggak ya aku mengejar waktunya.”

Ika memasukkan bekal Dian kedalam keresek, dan memasukkan makan dan minum untuk pak tua ke dalam keresek yang lain.

“Mudah-mudahan saat istirahat belum usai.”
***

Dian bingung saat istirahat itu. Ia baru sadar bahwa bekalnya ketinggalan. Bagi dirinya, Dian tak masalah, tapi dia melihat pak tua yang mungkin karena sudah biasa dia bawakan makanan, lalu setiap siang pasti duduk diluar pagar sekolah. Lalu Dian ingat, bahwa ibunya selalu membawakannya bekal uang, untuk berjaga-jaga, barangkali sepedanya gembos, atau apa. Dian merogoh sakunya, bermaksud memberikan uang sepuluh ribu kepada kakek tua itu. Tapi tiba-tiba dilihatnya seorang penjual roti berhenti disana. Penjualnya nyaris pergi karena beberapa orang yang tadi membelinya sudah tak ada lagi.

“Rotiii!” Dian berteriak.

Tukang roti yang sudah nangkring diatas sadelnya itu kembali turun, membetulkan letak helmnya yang agak miring, menunggu Dian mendekat.

“Berapa harga rotinya pak?”
“Lima ribu rupiah nak.”
“Saya beli dua, tolong dimasukkan dalam keresek ya, mau saya kasihkan bapak tua itu,” kata Dian sambil mengulurkan uang sepuluh ribu.

Tukang roti itu memasukkan dua bungkus roti kedalam sebuah keresek, tapi kemudian memasukkan empat bungkus roti kedalam keresek yang lain, lalu diberikan kepada Dian.

“Ini yang kamu berikan kepada bapak tua itu, ini untuk kamu,” kata tukang roti itu.
“Tidak pak, uang saya hanya sepuluh ribu. Cukup ini saja,” kata Dian sambil menerima bungkusan yang beridi dua buah roti.
“Tunggu. Jangan kamu menolak ya nak, ini hadiah buat seorang anak yang baik hati. Ayo diterima saja,” kata tukang roti memaksa.
“Tt..tapi..”
“Sudah, diterima saja, nggak baik menolak rejeki.”

Dian menerima dengan ragu. Lalu ketika ibu sebuah sepeda motor mendekat.

“Diaaan !!”

Dian menoleh, ibunya sudah ada disampingnya.

“Ibu, bolehkah aku minta uang duapuluh ribu lagi?”
“Untuk apa?”
“Untuk membayar roti ini,” kata Dian sambil menoleh kearah tukang roti itu. Tapi dilihatnya tukang roti itu sudah tak ada lagi di tempatnya.

“Mana dia?” Dian mencari-cari dengan bingung.

==========

“Ada apa sih nak? Ini, ibu mengantar bekal makanan kamu yang ketinggalan, juga nasi dan minum untuk pak tua,” kata Ika heran melihat sikap Dian.
“Iya bu, maaf Dian lupa, soalnya tadi tergesa-gesa. Ini tadi Dian mau membelikan roti untuk pak tua itu, karena nasinya lupa Dian bawa. Sama penjual roti itu Dian dikasih empat lagi, padahal uang Dian hanya sepuluh ribu.”
“Mengapa kamu terima?”
“Kata penjual roti itu, ini hadiah untuk Dian yang sudah berbaik hati memberi untuk pak tua itu. Dian nggak mau menerima tapi dia memaksa.”
“Oh, ya ampuuh.. lalu dia pergi begitu saja?”
“Iya, mungkin dia tahu bahwa Dian minta uang pada ibu untuk membayar roti yang empat biji itu, lalu pergi tiba-tiba. Dian malah belum sempat mengucapkan terimakasih.”
“Ya sudah, dia memberikannya dengan ikhlas, terima saja. Besok kalau penjual roti itu datang, kamu coba bayar, nanti ibu kasih uangnya. Dan kamu harus mengucapkan terimakasih, apalagi kalau dia nggak mau menerima bayaran kamu.”
“Baik bu.”
“Ini bekal kamu yang ketinggalan, ini nasi dan minum untuk pak tua itu. Mana dia, ada disini kah?”
“Itu bu, disana, yang memakai topi lebar itu.”
“Baiklah, berikan nasi dan rotinya yang sudah terlanjur kamu beli, lalu kamu makanlah, Mungkin sebentar lagi sudah harus masuk ke kelas,” kata Ika sambil menyerahkan bungkusan-bungkusannya.
“Ya bu. Ini roti yang diberi tukang roti, ibu bawa saja.”
“Kamu nggak mau?”
“Dian sudah makan nasi yang dibawa ibu ini, pasti sudah kenyang. Nanti saja Dian makan dirumah.”
“Ya sudah. Buruan berikan kepada bapak itu. Ibu mau langsung pulang ya. Lain kali jangan lupa lagi. Kamu selalu begitu,” omel Ika sambil menstarter motornya.
“Maaf bu. Terimakasih ibu sudah membawakan ke sekolah.”

Ketika Ika berlalu, Dian bergegas mendekati pak tua dengan topi lebar itu, memberikan nasi dan rotinya.

“Ini bapak, makanlah, dan minumlah.”

Pak tua menerima bungkusan yang diberikan Dian, lalu mengelus kepala Dian dengan lembut.

“Anak baik, terimakasih banyak,” katanya sambil meraih tangan Dian.

Dian tersenyum dan menggenggam tangan pak tua dengan erat.

“Saya masuk dulu ya pak.”

Pak tua itu mengangguk dan berlalu, tertatih berjalan dengan tongkatnya, ketika Dian sudah masuk kehalaman.
***

Ika meletakkan sepeda motornya disamping rumah, lalu berganti pakaian dan mulai memasak setelah mencuci kaki tangannya. Ia meletakkan roti yang diberikan Dian begitu saja diatas meja.
Hari itu Ika hanya memasak ca sawi dan tahu putih, lalu menggoreng tempe kesukaan Dian. Ia juga menggoreng kerupuk yang kemudian dimasukkannya kedalam toples.
Masakan sudah siap ditata di atas meja, kemudian Ika beranjak kekamar mandi. Tapi tiba-tiba ponselnya berdering.
Hanya ada nomor, tanpa nama. Ika agak enggan mengangkatnya. Tapi ponsel itu berdering terus menerus.

“Hallo..” akhirnya Ika mengangkatnya.
“Ika.. aku mbak Risma,” kata penelpon itu dari seberang.
“Oh, mbak Risma, apa kabar?”
“Tidak begitu baik Ika, aku belum bisa menemukan Baskoro,” keluh Risma sedih.
“Ya Tuhan, kemana mas Baskoro pergi ?”
“Apakah dia sama sekali tidak menghubungi kamu ?”
“Tidak mbak, saya berharap mas Baskoro menghubungi, tapi sudah hampir sebulan saya tidak mendengar beritanya.”
“Saya sudah lapor polisi, sudah memasang iklan disetiap koran, baik yang di sini maupun di Jakarta.”
“Sabar ya mbak, saya yakin mas Baskoro baik-baik saja.”
“Bagaimana kamu bisa begitu yakin ? Dia bisa saja melakukan perbuatan nekat.”
“Permasalahannya hanya karena dimarahi mbak Risma, mana mungkin dia akan nekat?”
“Tapi kamu menolak dia kan?”

Ika menghela nafas panjang.

“Mungkinkah hanya karena saya maka dia akan berbuat nekat?”
“Rupanya kamu belum begitu mengenal dia. Kalau dia bilang mencintai seseorang maka itu akan terus dibawanya, digenggamnya dengan seluruh rasa. Bagaimana kalau dia nekat bunuh diri?”
“Tapi mana mungkin mas Baskoro akan melakukan itu? Tidak mbak, jangan berpikir yang buruk-buruk. Teruslah berdo’a.”
“Iya Ika, aku juga terus berdo’a dan berusaha. Baiklah, kabari aku kalau kamu mendengar tentang dia. Catat nomorku. Aku dapat nomor kamu ini dari mas Broto.”
“Pasti mbak, semoga segera ada kabar tentang mas Baskoro.”
“Sebentar Ika..”
“Ya mbak..”
“Apakah kamu mencintai Baskoro?”
“Aap..apa?” jawab Ika gugup.
“Kamu cinta nggak sama dia?”
“Ss..saya.. suka dia.. karena dia baik.. tt..tapi.. mana berani ss..saya..”
“Rasa cinta harus diungkapkan, jangan hanya dipendam dalam hati. Aku berharap, pada suatu hari nanti Baskoro kembali, dan berbahagia bersama kamu.”

Lalu Risma menutup pembicaraan itu, meninggalkan Ika termangu sambil masih terus memegang ponselnya.
***

Setelah selesai mandi, Ika melihat kearah meja makan lagi, barangkali ada yang belum disiapkannya untuk makan bersama anaknya nanti.

“Oh iya, rotinya belum aku pindahkan di piring,” kata Ika sambil mengambil piring satu lagi untuk menempatkan roti yang tadi diberikan Dian.

Lalu Ika terkejut memandangi bungkus roti itu.

“Ini kok sama dengan roti yang diberikan Murni pagi tadi ya?” gumam Ika sambil membuka kulkas, rupanya dia belum memakan roti itu. Diamatinya bungkus rotinya.

“Tuh, sama kan? Roti .. CINTA ? Lucu namanya, roti cinta.. hm.. pasti pembuat roti ini sedang jatuh cinta. Tapi kok bisa sama seperti yang pagi tadi ya? Pabriknya sama barangkali. Jadi ingin ngicipin, benarkah enak seperti kata ibu-ibu pagi tadi? Kalau enak aku mau beli untuk dijual lagi,” kata Ika sambil membuka bungkusnya.
“Ini yang isinya strawbery.. enak.. rotinya lembut, isiannya sedap benar.. “ kata Ika sambil menikmati rotinya.
“Mudah-mudahan tukang roti itu besok benar-benar akan kemari seperti kata Murni. Tapi kalau tidak.. pabriknya dimana ya. Coba besok di pasar aku akan bertanya-tanya.”
“Ibuuu…” teriakan itu selalu membuat senyuman dibibir Ika melebar. Senyum bahagia karena buah hatinya sudah pulang dari sekolah.

“Ibu sedang makan apa itu? Oh, itu roti yang diberikan penjual roti itu kan?” tanya Dian ketika mengamati bungkus roti yang masih terletak di meja.

“Kebetulan pagi tadi ibu juga dapat roti ini, dikasih mbak Murni. Kok bisa sama.”
“Enakkah bu?”
“Enak sekali, dengan harga semurah itu. Kamu ganti baju dulu lalu mencicipi rotinya, atau makan dulu, terserah kamu.”
“Sebenarnya masih agak kenyang, tapi bau tempe gorengnya membuat Dian lapar lagi.”

Ika tertawa senang.

“Ayo cepatlah kalau begitu, ibu tunggu disini.”
***

“Sekarang pulangnya sore terus ya mas.. hampir maghrib baru sampai rumah,” tanya Rina ketika sedang santai bersama suaminya didepan rumah.

“Iya, lagi banyak pekerjaan..”
“Capek nggak?”
“Nggak, sudah biasa dilakukan, masa capek?”
“Sebenarnya aku mau kontrol ke dokter sore tadi. Mas saya hubungi nggak bisa.”
“Oh, ponsel baru di cas, Jadi kamu belum periksa?”
“Belum, terpaksa besok pagi. Mas bisa pulang agak sore kan ?”
“Ya coba besok aku lihat.”
“Berusaha pulang cepat lah mas, nggak enak kalau aku periksa sendiri. Setiap periksa sendirian, dokter selalu bertanya, suaminya mana? Nah, aku dikira hamil tanpa suami dong.”
“Omong kosong apa itu. Kan sebelumnya aku juga pernah mengantar kamu ke dokter? Apa dokternya lupa?” kata Leo agak sengit, merasa bahwa Rina sedang mengingatkan kehamilan Ika tanpa suami. Padahal mungkin Rina juga tak bermaksud begitu.

“Mas, aku kan cuma bercanda, kok tiba-tiba jadi serius begitu ?”
“Bercanda yang nggak lucu,” gerutu Leo sambil menatap kearah lain.
“Jangan sensitif lah mas, yang hamil aku, tapi yang sensitif kok mas sih.”

Leo tak menjawab. Beberapa minggu ini Rina selalu menolak setiap kali Dina mengajak jalan bersama Dian. Banyak alasan dikemukakan. Yang pusing lah, yang badannya lemas lah.. tapi kalau Leo pergi sendiri bersama Rina, wajahnya langsung masam.

“Mas nggak perhatian sama aku kan, aku lagi pusing, dibiarkan dirumah sendirian?” katanya waktu itu, setiap kali Dina merengek mengajak pergi dengan Dian juga.

Padahal Leo ingin sekali bertemu Dian. Seminggu sekali cukup baginya.

“Mas, apakah besok Minggu kita ajak Dian jalan-jalan?” tiba-tiba Rina berkata, maksudnya agar Leo bersemangat dan wajahnya tak lagi muram.
“Nggak, aku lagi ada pekerjaan di kantor.”

Jawaban itu diluar perkiraan Rina. Ia mengira Leo akan senang kalau bertemu Dian nantinya.

“Hari Minggu? Ada pekerjaan di kantor?” tanya Rina heran.
“Ada pembicaraan tentang kemungkinan dibukanya cabang di luar kota. Bisanya besok Minggu.”
“Owwh..”
“Kalau kamu mau sendiri ya terserah..”
“Tumben kamu tidak tertarik untuk bertemu Dian?”
“Apa kamu tidak mendengarnya? Aku ada pekerjaan di kantor.”
“Baiklah, tidak usah berteriak, aku sudah mendengarnya,” kata Rina sambil berdiri kemudian melangkah kebelakang.
“Dinaa…”
“Ya ibu..” jawab Dina dari dalam kamar.”
“Maukah besok Minggu kita jalan-jalan?”
“Mauuuuu,” teriak Dina yang langsung berdiri dan berjingkrak-jingkrak.
“Hmm.. senangnya.. Tapi tidak sama bapak.”
“Tapi sama mas Dian bukan ?”
“Ya, nanti kita samperin mas Dian..”
“Asyiiik…”

Rina tersenyum. Bukan karena gembira. Sebenarnya dia segan, tapi hanya ingin memancing kegembiraan suaminya. Ternyata meleset. Leo bergeming, seperti tak tertarik pada ajakannya, padahal biasanya bertemu Dian selalu membuatnya senang.

“Apa mas Leo sedang kesal dan tak peduli pada anaknya?”

Rina masuk kedalam kamarnya, mengambil minyak angin yang selalu terasa segar setiap kali dia menghirup aromanya.

“Mungkin sudah bosan memikirkan Dian. Syukurlah, aku juga tak ingin mengungkitnya lagi, bahkan enggan menyebut namanya.”

Tiba-tiba Rina teringat apa yang dikatakan Risma, bahwa Baskoro pergi setelah Risma memarahinya. Kemana Baskoro pergi? Jangan-jangan kerumah mbak Yanti. Baiklah, besok Minggu aku kesana, siapa tahu Baskoro ada disana.
***

“mBak Ikaaaa… jadi beli rotinya nggaak? Itu.. si tukang roti ada di pertigaan,” teriak Murni dari jauh.
“Oh, iya.. biar saja kalau dia kemari aku beli Mur.. lagi njualin nih..” jawab Ika yang sudah sibuk oleh pelanggannya.
“Aku belikan dulu mau? Kata tukang roti itu, kalau mau dijual lagi, boleh empatribu rupiah. Tapi belinya minimal sepuluh biji. Mau saya belikan ya mbak, sepuluh dulu, gitu.”
“Baiklah, terserah kamu saja. Ini uangnya..” kata Ika.
“Biar pakai uang aku dulu mbak,” teriak Murni sambil menjauh.
“Ngapain anak itu, seperti bingung kalau ada si tukang roti, pasti dia laki-laki, agak ganteng gitu,” kata seorang ibu yang disambut anggukan kepala oleh ibu-ibu yang lain.

Tak lama kemudian Murni sudah kembali, lalu meletakkan roti-roti itu di meja, setelah dia mengatur agar roti itu bisa ditempatkan dengan baik.

“Aku beli dua ya mbak Ika,” kata seorang ibu.
“Ya, aku juga dua..”
“Lho mbak, ini rotinya malah dikasih duabelas. Jadi empatpuluh ribu dapat duabelas. Ya ampun, baik hati masnya itu tadi,” teriak Murni.
“Dapat berapa persen kamu Mur, ikut menawar-nawarkan rotinya,” kata ibu yang lain.
“Nggak dapat apa-apa, cuma kasihan saja, dia tukang roti baru, biar laku di kampung sini, gitu.”
“Tapi rotinya enak.”

Dan dalam sekejap roti itu habis terjual.

“Tuh kan mbak, besok beli lebih banyak ya.”
“Iya, kalau mau suruh kemari Mur, kasihan kalau harus suruhan kamu.”
“Tadi sudah aku kasih tahu.”
“Ternyata dia juga jualan sampai ke sekolahnya Dian juga lho.”
“Benarkah ? Baguslah, kalau rotinya enak pasti juga laris.”
***

Sore hari itu matahari sudah condong kebarat. Semburat merah yang mengelilingi langit menandakan bahwa sang matahari akan segera masuk ke peraduan.
Disebuah taman, seorang laki-laki muda duduk disebuah kursi. Tak ada teman, dan itu sudah dilakukannya selama beberapa minggu ini. Wajahnya yang tampan tampak muram, dan kegelisahan kelihatan dari sinar matanya yang tampak sayu.

Tiba-tiba dia tertarik kepada seorang yang bersepeda motor, dengan keranjang besar di belakangnya, dan bertuliskan roti CINTA.
Laki-laki muda yang merasa sendirian itu memanggilnya.

“Rotiii !”

Laki-laki bersepeda motor itu menghentikan kendaraannya, lalu membawanya mendekat kearah suara yang memanggilnya.

“Itu roti kan ?” tanyanya.
“Ya, tapi hampir habis pak, tinggal beberapa bungkus saja,” kata penjual roti yang kemudian membetulkan letak helmnya, membuat wajahnya tertutup semuanya.

“Masih baru kan ?”
“Selalu baru pak.

"Ini, bapak mau yang mana, ada yang isinya selai kacang, coklat, strawbery. Tinggal itu pak. Tadi ada yang isi nanas, pisang..”
“Ini sudah mau pulang?”
“Iya pak, saya jualan sejak pagi.”
“Tinggal berapa itu?”
“Tinggal delapan.. eh.. tujuh pak.”
“Baiklah, saya beli semua, tapi temani aku duduk disini sebentar.”
“Oh.. baik pak.”
“Lepas helmnya dong.”
“Nggak usah pak, biar begini saja. Kok bapak duduk sendirian disini?”
“Setiap sore aku duduk disini sendirian. Menghantarkan matahari pulang ke peraduan.”
“Bapak puitis sekali.”
“Karena aku kesepian.”
“Kesepian ? Bapak tidak punya keluarga ?”
“Saya punya isteri yang sedang mengandung, dan seorang anak perempuan.”
“Kalau begitu mengapa bapak merasa kesepian?”
“Saya terbebani oleh dosa saya dimasa lalu.”

Penjual roti menatap laki-laki tampan disampingnya.

“Tampaknya dosa yang amat besar.”
“Amat sangat besar, dan membuat seorang gadis menderita selama bertahun-tahun. Mengarungi hidup dan melahirkan anaknya serta membesarkannya dengan penuh penderitaan.”
“Bapak.. telah.. eh.. maaf.. memperkosa seorang gadis?”
“Tidak sepenuhnya dikatakan begitu. Ah ya, aku senang bertemu seseorang, yang aku tidak kenal, sehingga aku bisa mengungkapkan semua yang aku derita selama ini.”
“Kalau itu bisa meringankan beban bapak, saya akan mendengarnya.”
“Maaf kalau ini akan membosankan. Maaf juga kalau saya memperlakukan anda sebagai wadah keluh kesah saya.”
“Tidak apa-apa, semua orang punya keluhannya masing-masing. Katakan saja kalau itu bisa meringankan.”
“Maukah melepas helm anda?”
“Tidak usah, biarkan begini saja, apakah ini mengganggu?”
“Tidak, baiklah aku akan melanjutkannya. Ketika itu, aku dan pacarku, datang ke sebuah pesta ulang tahun. Maklumlah, anak-anak muda yah hura-hura lah acaranya. Pacarku sudah merengek mengajak aku pulang, karena kami kurang suka pada suasana panas yang sedang berlangsung.

“Baiklah. Sepasang anak muda alim boleh pulang, tapi untuk menghormati tuan rumah, silahkan minum dulu barang seteguk,” kata seseorang yang di iyakan oleh teman-temannya.

Pacar aku sudah menggeleng-gelengkan kepalanya, dan menarik aku agar segera keluar.

“Hanya sirup.. bukan minuman keras sayang..” kata salah seorang temanku sambil menghadang jalan dihadapan kami. Dan agar mereka puas maka kami meneguk minuman itu. Memang hanya seperti sirup jeruk. Setelah itu kami diijinkan keluar. Tapi di pintu keluar kepalaku terasa sangat pusing. Aku melihat pacar aku sudah pingsan dan seseorang membawanya masuk. Aku memburunya dengan limbung, dan entah bagaimana kami berada dalam sebuah kamar dengan perasaan aneh. Gampangnya, mereka mencekoki kami dengan obat perangsang.”
“Ya Tuhan..”
“Ketika sadar pada keesokan harinya, dia memaki-maki aku, dan meminta aku bertanggung jawab. Tapi waktu itu aku masih kuliah, dan tidak berani melakukan apapun. Lalu aku tak pernah bertemu dia lagi. Setelah lulus, dan bekerja, aku berusaha mencarinya, tanpa hasil. Rumahnya sudah ditempati orang lain, ayah ibunya sudah meninggal. Dalam keadaan limbung aku dinikahkan dengan seorang gadis, yang sebenarnya tidak mencintai saya juga.”

Penjual roti itu tampak menghela nafas. Mungkin merasa iba atas cerita si tampan yang tiba-tiba ingin mencurahkan semua penderitaannya.

“Belum lama ini aku bertemu dia. Ternyata dia mengandung benih aku. Melahirkan dan membesarkannya seorang diri. Dengan bekerja sebagai tukang sayur.”

Tukang roti itu terbelalak. Seandainya si tampan tahu, pasti ia melihat ada buliran bening menetes dari sepasang matanya.

“Aku ingin menikahi dia, tapi dia menolak karena aku sudah punya isteri. Dia juga menolak ketika aku ingin merawat anaknya.”
“Wanita itu bernama Ika Wijayanti. Seorang wanita yang baik, tak ada duanya, dan aku masih tetap mencintainya, biarpun tak bisa memilikinya,” lanjutnya.

Tukang roti itu terpana oleh cerita yang didengarnya. Ia kemudian berdiri.

“Mas tukang roti, maaf ya, dan terimakasih sudah mendengarkan cerita aku. Aku merasa sedikit lega, karena baru kali ini aku bisa menumpahkan semua derita yang menyesak dada.”

Tukang roti itu mengangguk-angguk.

“Hari mulai senja pak..”
“Aku mau pulang, sekali lagi terimakasih. Besok ketemu lagi disini ya.”

Tukang roti mengangguk lagi, tapi sambil berlalu ia melihat laki-laki tampan itu mengambil sebuah caping lebar yang sejak tadi terletak disampingnya, lalu dikenakannya. Ia baru melepaskannya setelah masuk kedalam mobilnya lalu melemparkan caping itu entah kemana.

Bersambung #20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER