Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 22 Juni 2022

Jangan Bawa Cintaku #18

Cerita Bersambung

Ika masih menatap wajah Baskoro ketika Baskoro berdiri dari tempat duduknya.

“Aku mau pulang dulu, tapi nanti aku pasti kembali, kata Baskoro.
“Apakah ada sesuatu yang membuat mas marah?” tanya Ika khawatir.

Mendengar pertanyaan lembut itu seketika wajah marahnya memudar. Seperti bara yang tersiram air surgawi. Lalu senyumnya merekah. Aduhai, Ika benci kepada perasaannya sendiri. Ia memalingkan muka kearah halaman untuk membuat perasaannya merasa lebih tenang. Ada rasa syukur ketika ia tak sempat memberikan jawaban, lalu Baskoro buru-buru mau pergi. Tapi ketika ia melihat kearah halaman itu, sebuah nobil berhenti didepan pagar.

Ika berdebar, karena mengenali mobil itu adalah mobil Broto. Lalu dia teringat telpon bu Kartiman kemarin, yang mengatakan akan datang menjenguknya ditempat baru, setelah lama dia berada disana.
Baskoro menghentikan langkahnya, menunggu di teras, disamping Ika.

“Itu mobil mas Broto bukan?”
“Iya, itu, bersama pak Kartiman dan bu Kartiman.”

Ika menunggu ketiganya sampai ke depan rumah.

“Bas, kamu disini ?” sapa Broto.
“Iya, sudah mau pamit, mbak Risma barusan menelpon. Nggak tahu ada apa, aku disuruh segera pulang.”

Lalu Baskoro menyalami pak Kartiman dan bu Kartiman dengan amat santun. Pak Kartiman tersenyum senang. Jarang jaman sekarang ada anak muda begitu santun ketika bertemu orang tua.

“Ini siapa, kamu mengenalnya Broto?”
“Iya om, dia Baskoro, teman dekatnya mbak Ika,” Broto menandaskan kata ‘teman dekat’ itu agar bu Kartiman yang tampaknya sangat menginginkan punya menantu Ika akan berpikir sebelum nekat pada kemauannya.

Dan Bu Kartiman memang kemudian urung mengatakan sesuatu, menatap Baskoro tak berkedip. Teman dekat, apa artinya? Tampaknya laki-laki ini dan Ika punya sebuah hubungan khusus. Pikir bu Kartiman.

“Apakah aku datang terlambat?” bisik bu Kartiman pelan, lalu terkejut ketika suara hati itu melompat keluar dari bibirnya.

“Apa yang terlambat bu?” kata Broto dan pak Kartiman hampir bersamaan.
“Oh.. itu.. aku kan bilang sama nak Ika akan datang agak pagi, tapi ternyata setelah siang baru sampai kemari,” jawab bu Kartiman sekenanya.
“Seperti anak sekolah saja, datang kesiangan lalu menjadi terlambat. Ayo silahkan duduk pak, bu.. dan mas Broto. Masuk kedalam saja?” kata Ika ramah.
“Tidak, disini saja, lebih nyaman,” kata Broto yang kemudian menarik kursi agak mundur untuk dirinya sendiri, dan mempersilahkan kedua orang tua angkatnya duduk.

Baskoro urung mengundurkan diri. Agak merasa tenang ketika melihat sikap Ika dan Broto yang biasa-biasa saja. Tak ada tanda-tanda ada sesuatu diantara mereka. Namun kedatangan mereka membuat Baskoro merasa harus menahan langkahnya, karena rasa khawatir itu masih ada.

“Diaaan,” teriak Ika.
“Biar aku panggil dia,” kata Baskoro yang terus melangkah kedalam. Semuanya melihat bahwa Baskoro seperti sudah biasa masuk kedalam rumah. Iya lah, kan Baskoro selalu mencuci tangannya kedapur setiap selesai membantu Ika berjualan.

Bu Kartiman menatapnya dingin. Ia merasa seperti sudah mendapat jawaban atas keinginannya menjodohkan Broto dan Ika.

“Baskoro itu, adiknya teman saya yang semalam pulang bersama saya,” kata Broto menerangkan pada pak Kartiman dan isterinya.
“O, berarti dia juga pengusaha bukan?”
“Iya om, dia memiliki tugas penting di perusahaan itu. Sering ke luar negri juga.”
“Nantinya juga akan bekerja bersama kamu juga kan?” kata pak Kartiman.
“Iya om, pastinya.”
“Mas Broto kapan pulang kemari?” tanya Ika.
“Baru tadi pagi, jam lima pagi baru sampai rumah.”
“Masih capek dong mas.”
“Pastinya begitu, tapi ibunya mengajaknya segera bisa datang menemui mbak Ika. Sejak pindah rumah belum pernah menjenguk mbak Ika,” sambung pak Kartiman.
“Iya nak,” kata bu Kartiman singkat. Keinginan yang menggebu-gebu untuk segera mengatakan niatnya mengambil Ika sebagai menantu, jadi urung. Setidaknya tertunda sampai hubungan yang Broto menamakannya ‘teman dekat’ itu menjadi jelas baginya.

“Rumahnya enak ya mbak Ika, lebih bagus dari rumah saya yang dulu dikontrak mbak Ika kan?” kata pak Kartiman.
“Iya benar pak, tapi saya harus mendandaninya terlebih dulu, karena ketika itu banyak yang bocor, dan catnya sudah pada mengelupas. Sebenarnya sih rumah pak Kartiman tidak mengecewakan, tapi saya memikirkan tempat sekolah Dian. Nggak tega melepaskannya naik sepeda sendirian ke sekolah yang jaraknya lumayan jauh.”
“Bagaimanapun mbak Ika pasti senang, Dian bisa sekolah ke tempat yang tidak terlalu jauh.”
“Iya, memang itu tujuan saya pak,” kata Ika untuk menepiskan anggapan pak Kartiman bahwa dia mencari rumah yang lebih besar.

Tiba-tiba Baskoro muncul, mengiringi Dian yang membawa nampan, berisi cangkir-cangkir untuk tamu-tamu ibunya. Dan setelah dekat, Baskoro membantunya meletakkannya dimeja.

“Kamu rupanya yang membuat minuman ini Bas?” kata Broto sambil ikut menata cangkir-cangkir itu.
“Bukan aku mas. Dian, aku hanya membantu.”
“Nak Baskoro ini seorang pria, tapi luwes membantu Dian.”

Baskoro tertawa.

“Saya belajar dari Dian om,” kata Baskoro yang ikutan memanggil om seperti juga Broto.
“Mas Baskoro selalu repot untuk saya,” timpal Ika.
“Aku juga belajar dari kamu, Yanti,”

Haa.. Broto sekarang merasa, tampaknya mereka sudah sangat dekat. Dua mingguan yang lalu dia mendengar Baskoro memanggilnya mbak Yanti, sekarang sudah berubah menjadi Yanti. Dengan jiwa besar Broto memupus perasaannya.

“Barangkali mbak Ika akan lebih berbahagia disamping Baskoro,” kata batin Broto.
“Silahkan diminum, pak, bu.” Kata Ika mempersilahkan.
“Dian, mau kemana, sini, duduk dekat om sini,” panggil Broto sambil meneguk teh hangat yang sudah terhidang.
“Sebentar om, mau membersihkan dapur dulu, kata Dian sambil beranjak ke belakang, dengan membawa nampan yang telah kosong.

“Dian anak pintar,” kata Broto seperti kepada dirinya sendiri.
“Anak orang tak punya, harus bisa melakukan apa saja untuk membantu ibunya,” kata Ika.
“mBak Ika terlalu merendah. Menurut saya, mbak Ika itu punya banyak hal. Wajah yang cantik, hati yang baik, penuh kasih sayang dan keibuan. Kurang apa lagi?”

Broto dan Baskoro mengangguk-angguk. Seperti sudah sepakat sebelumnya, keduanya mengacungkan jempol bersama-sama, membuat Ika tersenyum lucu.

“Saya tersanjung..” bisik Ika pelan.
“Saya hanya melakukan apa yang pasti juga dilakukan semua orang,” lanjutnya.
“Baiklah, tampaknya saya harus mohon diri, untuk semuanya. Mas Broto, pak Kartiman, bu Kartiman, dan Yanti, juga Dian,” kata Baskoro ramah dengan menyebut mereka satu persatu.
“Kok buru-buru nak?” sapa pak Kartiman.
“Sebetulnya tadi saya sudah pamitan, tapi karena ada tamu, maka saya menunda sebentar. Sekarang benar-benar harus pamit karena ada keperluan,” kata Baskoro sambil berdiri, mengatupkan tangannya kepada semua orang, lalu mengacak rambut Dian dengan lembut. Dian tersenyum, mengantarkan Baskoro sampai ke mobilnya.

“Nak Ika, ini tadi ada oleh-oleh dari Broto untuk Dian,” kata bu Kartiman yang entah lupa atau memang belum sempat memberikannya, lalu hanya meletakkan sebuah bungkusan disampingnya.

“Aduh, mas Broto selalu memberi banyak barang untuk Dian. Terimakasih banyak,” kata Ika sambil menerima bungkusan yang diberikan bu Kartiman.
“Itu ada buku-buku bacaan untuk Dian dan Dina, sahabatnya,” sambung Broto.
“Oh, baiklah, pasti Dina juga akan senang. Mereka suka baca bersama-sama, nanti akan saya sampaikan,” kata Ika.
“Diaan, ini dari om Broto, nanti untuk berdua sama Dina,” kata Ika sambil mengulurkan bungkusannya kepada Dian yang sudah kembali dari mengantar Baskoro kee mobilnya.

“Terimakasih om,” kata Dian dengan wajah berseri.
“Tapi membacanya kalau libur lho ya, hari-hari biasa untuk belajar pelajaran sekolah kan?”
“Iya om,” kata Dian sambil membawa bungkusan kedalam. Tampaknya Dian ingin segera tahu isi bungkusan itu.

“Anak pintar biasanya suka sekali membaca,” kata pak Kartiman.
“Asalkan tidak salah bacaan saja,” celetuk bu Kartiman.
“Itulah pentingnya orang tua mengawasi anak. Ya kan mbak Ika.”
“Benar pak..”

Mereka berbincang cukup lama, tapi tak sedikitpun bu Kartiman bicara tentang keinginannya mengambil Ika sebagai menantu. Tapi ketika dalam perjalanan menuju ke arah mobil, bu Kartiman menarik tangan Ika, menjauh dari yang lainnya.

“Nak Ika, tahukah nak Ika apa yang sebenarnya aku inginkan?” bisik bu Kartiman sambil menggandeng lengan Ika.

“Apa itu bu?”
“Aku ingin sekali Broto bisa berjodoh dengan nak Ika.”
“Ah, ibu ada-ada saja.”
“Itu benar.”
“Banyak gadis-gadis cantik disekeliling mas Broto.”
“Seorang isteri bukan hanya harus cantik. Sebenarnya aku ingin nak Ika, tapi tampaknya nak Ika sudah punya pilihan.”

Ika ingin membantah, tapi mereka sudah sampai didepan mobil, dan Broto sudah membukakan pintu untuknya.

“Dian, mau ikut om Broto jalan-jalan ?” tanya Broto sambil menatap Dian.
“Maaf om, Dian punya pe er hari ini, nanti kalau jalan-jalan nggak bisa selesai.”
“Baiklah. Jadilah anak pintar yang bisa membanggakan orang tua ya.”
***

Seharian itu hati Ika benar-benar gelisah. Pernyataan cinta Baskoro yang belum terjawab, kemudian bu Kartiman ingin menjodohkan dirinya dengan Broto. Ika berpikir, apakah benar dalam hidupnya dia memerlukan pendamping? Duabelas tahun lamanya dia sendirian hanya bersama Dian, dan semuanya tampak baik-baik saja. Mengapa akhir-akhir ini banyak hal yang membebani pikirannya. Yang ingin menjadikannya isteri, yang ingin mengambilnya sebagai menantu. Tapi sebenarnya Ika juga berpikir, benarkah Dian tak pernah memikirkan hadirnya seorang ayah? Dian sangat perasa dan juga sangat menjaga perasaan ibunya. Hanya sekali dia menanyakan dimana ayahnya, yang dijawabnya sudah meninggal, lalu tak pernah lagi dia menanyakan masalah itu lagi. Bertanya dimana kuburnya saja tak pernah. Barangkali karena melihat wajah dirinya yang tampak murung ketika dia menanyakan perihal ayahnya. Entahlah.

“Apakah Dian sebenarnya ingin banyak bertanya, tapi hanya dipendamnya? Setiap kali main bersama Dina, Dian merasa senang karena katanya Leo amat menyayanginya seperti kepada Dina. Apakah Dian juga ingin memiliki sosok seorang ayah?”

Lalu Ika merasa sangat berdosa, seandainya sebenarnya Dian sangat menderita, seandainya Dian sangat menginginkan sosok seorang ayah, seperti dikatakan Baskoro. Dan ingatan tentang Baskoro membuat hatinya bergetar-getar.
***

“Apa yang salah dengan dirimu, maka kamu begitu tergila-gila pada tukang sayur itu Bas?”
“Nama tukang sayur itu Yanti, atau Ika mbak.”
“Baiklah, siapapun nama dia, aku ingin tahu mengapa kamu tergila-gila sama dia.”
“Aku bukan tergila-gila. Aku menyayangi dia, mencintai dia.”
“Apa menurutmu yang membuat kamu ingin memperisterikan dia? Kamu tahu kan, seorang isteri tidak hanya harus cantik, tapi banyak pertimbangan lain yang harus kamu perhitungkan. Kamu pernah mengalami kegagalan berumah tangga bukan? Kamu tidak lupa bukan ?”
“Yanti bukan seperti itu. Dia sempurna untuk menjadi isteri aku.”
“Omong kosong. Dia hanya mau sama harta kamu,” kata Risma keras, karena merasa kesal atas jawaban adiknya.
“mBak Risma yang omong kosong! Dia bukan perempuan seperti itu. Dia bahkan menolak cinta aku, karena merasa tak sepadan. Kalau dia gila harta, dia tak akan berfikir dua kali untuk menerima aku.”
“Halaaaah.. itu kan siasatnya saja, supaya tidak kelihatan gila harta.”
“Hentikan menghujat dia mbak, dosa apakah yang diperbuatnya sehingga mbak mengata-ngatainya dengan keji ?”
“Aku bukan sembarang berkata. Lihat latar belakang dia. Bagaimana dia bisa punya anak. Apa kamu tahu ? Dia tidak pernah menikah. Hadirnya Dian adalah hasil pergaulan bebas yang dijalaninya. Dia bukan perempuan baik-baik. Tahu ? Tanyakan sama dia, siapa laki-laki yang telah meneteskan benih di rahim Yanti, aku yakin dia juga tak akan tahu.”

Baskoro tertegun. Benarkah apa yang dikatakan kakaknya? Hadirnya Dian karena pergaulan bebas yang dilakoninya?

“Aku tidak percaya.”
“Kalau kamu tidak percaya, terserah. Pokoknya aku tidak suka kamu dekat dengan dia. Kamu itu tidak tahu malu, bantu-bantu jualan sayur.. aduuh Bas, sadar dong Bas, kamu itu siapa? Sedih aku memikirkan kamu Bas, aku ini kakak kamu, pengganti kedua orang tua kita. Nurut lah Bas, jangan melakukan hal yang akan membuat orang tua kita kecewa. Ingat, aku ini pengganti bapak sama ibu. Hanya kamu yang aku miliki, dan hanya aku yang kamu miliki.”
“Kalau begitu biarkanlah aku mencari kebahagiaanku.”
“Kebahagiaan sesaat. Nanti kamu akan menyesalinya.”

Baskoro tak menjawab. Ia berdiri lalu masuk kedalam kamarnya, dan menguncinya dari dalam.
Risma menarik nafas panjang. Kesal dan marah bergumpal didadanya.
***

Broto menghampiri bu Kartiman yang termenung sendirian di teras.

“Ibu ngapain duduk sendirian disini ?”
“Tidak ngapa-ngapain.”
“Ibu tampak sedih begitu? Ada yang sakit? Ibu merasakan sakit?”
“Tidak, ibu merasa sehat beberapa bulan terakhir ini.”
“Syukurlah bu, ibu tidak boleh sakit ya, harus sehat.”
“Ibu hanya memikirkan kamu le.”
“Mengapa ibu memikirkan saya?”
“Kamu itu sudah semakin tua, ibu ingin kamu segera punya isteri,”

Broto tertawa.

“Ibu, Broto itu kan laki-laki. Tidak apa-apa kan terlambat sedikit saja. Nanti kalau sudah ada yang cocok pasti akan saya bawa kehadapan ibu untuk meminta restu.”
“Kapan le?”
“Nanti, pada suatu hari.”
“Kamu tahu nggak, sebenarnya tadi itu dirumah nak Ika, ibu mau langsung bilang pada nak Ika bawa ibu ingin mengambilnya sebagai menantu. Tapi kenyataannya, dia seperti sudah punya seseorang. Ya kan ?”
“Jodoh itu sudah ada yang mengaturnya bu, bersabarlah.”
“Benarkah laki-laki ganteng itu tadi calonnya nak Ika?”
“Mungkin saja bu. Biarkan saja, nanti Broto pasti akan menemukannya untuk ibu.”

Tiba-tiba ponsel Broto berdering. Dari Risma, menyapa sambil terisak.

“Mas, kamu dimana?”
“Dirumah, sedang santai sama ibu nih. Ada apa?”
“Datanglah kemari mas, aku butuh kamu.”
“Memangnya ada apa?”
“Nanti aku cerita, pokoknya sekarang datang saja dulu, sebelum aku pingsan.”
“Ya ampun Ris, kamu membuat aku ketakutan saja. Baiklah, aku akan segera kesana.”

Broto menyimpan ponselnya, lalu beranjak dari hadapan bu Kartiman.

“Broto mau pergi sebentar ya bu.”
“Kemana ?”
“Ada teman ingin bertemu. Sebentar saja kok bu.”
***

“Kemana Broto tadi bu?”
“Nggak tahu aku pak, tadi pergi dengan tergesa-gesa. Katanya akan bertemu dengan seorang teman.”
“O, barangkali soal pekerjaan. Teman yang semalam bersama itu kan ?”
“Mungkin. Broto tidak mengatakan apa-apa.”
“Ya sudah, biarkan saja. Lha ibu itu dari tadi aku cari, biasanya tidur siang, kok ternyata ada disini.”
“Lagi patah hati aku pak.”

Pak Kartiman tertawa.

“Patah hati bagaimana? Cinta kamu ditolak, lalu patah hati, begitu?”
“Bukan cinta aku pak. Keinginan aku, sudah patah.”
“O, pasti karena laki-laki ganteng bernama Baskoro itu kan? Lalu ibu patah hati karena merasa gagal meminang mbak Ika?”
“Aku pikir aku akan berhasil pak.”
“Ya sudah, tidak usah ibu pikirkan. Jodoh itu sudah digariskan dari sana. Biar saja mbak Ika berbahagia bersama laki-laki yang di cintainya. Nanti Broto pasti juga akan menemukan jodohnya.”
“Rasanya nggak sabar aku pak.”
“Ibu harus sabar. Tidak usah terlalu dipikirkan. Sekarang ibu harus istirahat. Dokter kan selalu mengingatkan bahwa ibu harus banyak istirahat. Ya kan.”

Bu Kartiman mengangguk. Ia memang merasa sangat letih, dan ingin tidur.
***

Broto memarkir mobilnya dihalaman, lalu langsung turun dan masuk kedalam rumah, karena pintu depan terbuka lebar.
Ia melihat ke sekeliling, dan melihat Risma sedang duduk di sofa, sambil menangis.
Broto mendekat, lalu tiba-tiba Risma menubruknya dan menangis didadanya.

“Risma, tenanglah, jangan begini. Ayo duduklah dan katakan ada apa,” kata Broto sambil mendorong tubuh Risma pelan, lalu dituntunnya agar duduk.
“Ada apa Ris?”
“Baskoro pergi dari rumah,” isaknya.

Broto terpana.

==========

“Baskoro pergi ?” tanya Broto sambil membelalakkan matanya.
“Iya mas.. aku takut dia nekat. Baskoro itu sebenarnya sangat rapuh. Dulu saat putus dengan Rina sempat mau bunuh diri. Aku takut mas, aku takut,” kata Risma dengan sesenggukan.
“Kamu sudah menghubunginya?”
“Ponselnya mati.”
“Sebenarnya ada apa? Kamu marahin dia?”
“Sebenarnya aku bukan memarahi dia mas. Aku ingin mengatakan mana jalan baik yang harus ditempuhnya.”
“Ini masalah apa sih? Dia melakukan hal tidak benar apa?”
“Dia itu tergila-gila sama si tukang sayur itu. Aku katakan bahwa dia perempuan nggak bener. Dia kan bisa memilih perempuan lain yang baik. Karena bukankah menikah itu kalau bisa ya untuk seumur hidup? Tapi dia selalu membantah. Marah, masuk kamar dan menguncinya dari dalam. Aku pikir dia tidur, barusan aku buka kok kamarnya tidak terkunci, tapi dia nggak ada. Sebagian pakaian dia bawa. Aku lihat mobilnya ada, jadi dia pergi begitu saja. Aku menelponnya nggak diangkat, tak lama kemudian ponselnya dimatikan. Aku bingung, harus bagaimana mas, aku hanya bisa berkeluh sama kamu.”

Broto menatap Risma tajam. Kurang suka mendengar Risma menyebut nama Ika dengan si tukang sayur. Nggak suka mendengar Risma mengatakan Ika perempuan nggak bener.

“Mengapa kamu mengatakan bahwa Ika perempuan nggak bener?” tanya Broto dengan wajah muram dan kata-kata yang tajam.
“Mas, kamu kan nggak tahu, dia itu seperti apa. Lalu siapa bapaknya Dian, adakah yang tahu? Dengar mas, Dian terlahir karena dulu si penjual sayur itu…”
“Namanya Ika..” kata Broto memotong ucapan Risma.
“Baiklah, Dian terlahir karena Ika terhanyut dalam pergaulan bebas. Siapa yang menghamilinya, tak ada yang tahu. Bahkan Ika sendiri pasti juga ttdak tahu.”

Wajah Broto semakin gelap.

“Dengar Risma. Ika bukan penganut pergaulan bebas. Dia gadis baik-baik yang diperkosa pacarnya yang waktu itu dalam keadaan tidak sadar karena dibius teman-temannya. Hentikan tuduhan buruk itu,” kata Broto masih dengan ucapan yang tajam.
“Bagaimana kamu tahu mas? Dia pasti tidak mau mengatakan hal yang sebenarnya. Dia hanya menginginkan harta Baskoro bukan?”
“Dia datang pada kedua orang tua angkatku untuk mengontrak rumah, dalam keadaan mengandung. Ketika itu kandungannya masih kecil dan belum kelihatan. Dia sangat menderita. Setelah pacarnya tidak mau bertanggung jawab, kedua orang tuanya meninggal. Dia sebatang kara dan sendirian memikul derita. Dia jual rumah orang tuanya yang sederhana, untuk mengontak rumah, lalu berjualan sayur keliling kampung. Dia melahirkan tanpa seorangpun menunggui. Dia membesarkan anaknya sampai sekarang sudah kelas satu SMP, tak ada yang menumpunya. Dia gadis luar biasa. Bukan gadis murahan yang terhanyut oleh pergaulan bebas.”
“D..dia?”
“Ya, dia.. apa kamu tidak melihat matanya? Mata yang begitu indah dan teduh. Bukan mata liar pemilik nafsu dan pecandu laki-laki. Dia susah ditundukkan,” kata Broto dengan berapi-api, karena sudah mendengar semuanya dari ibu angkatnya.

“Ya Tuhan, mengapa Rina bisa mengatakan itu?”
“Kalau kamu melihat derajatnya, ia memang hanya seorang tukang sayur. Tapi dia perempuan mulia yang memiliki derajat tinggi karena akhlaknya yang baik, budi yang luhur dan mulia. Kamu harus mengenalnya sebelum menghujatnya.”
“Ya Tuhan.. ya Tuhan..” Risma menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, tersedu dalam sesal dan duka. Menyesal karena telah menghujat seseorang dengan kata-kata buruk. Berduka karena Baskoro pergi entah kemana.

Melihat Risma menangis, kemarahan yang semula memenuhi perasaannya memudar. Risma hanya terburu nafsu karena kata-kata orang lain yang mungkin saja ingin memfitnahnya.

“Dia bukan gila harta. Dia justru suka memberikan pertolongan. Kamu tahu, ketika ibu angkatku sakit dan membutuhkan biaya, lalu bapak angkatku meminta agar Ika membayar kontrakannya setahun kedepan, padahal masa kontraknya masih dua bulan lagi, tapi dia memberikannya karena bapak angkatku memerlukannya untuk berobat . Sementara sebenarnya dia sudah bersiap untuk pindah dari sana agar dekat dengan sekolah anaknya. Apakah kamu masih akan berpikir buruk tentang dia?”

Risma melapaskan tangannya, mengambil tissue untuk mengusap wajahnya.

“Kalaupun kamu seorang milyader, tapi kamu tak boleh merendahkan martabat seseorang karena kedudukannya. Profesi seseorang bukan menunjukkan derajatnya. Dihadapan Allah, kita semua sama. Perilaku kita yang dinilai olehNya. Kamu masih ingat bukan? Saat kuliah aku bekerja di bengkel sambil menjajakan koran sebelum masuk kerja?”
“Maafkan aku, maafkan aku.. Aku menyesal telah termakan kata-kata Rina. Sekarang tolong antarkan aku kepada Ika.. aku harus meminta maaf. Siapa tahu juga Baskoro ada disana.”

Broto merasa lega. Risma menyadari kesalahannya. Lalu dia bersedia mengantarkan Risma ke rumah Ika.
***

“Dina, ayo dong makannya, kok dari tadi cemberut saja,” tegur Rina ketika makan siang di restoran bersama suami dan anaknya.
“Dina kesal sama ibu,” sungut Dina.
“Kenapa sih, kok kesal sama ibu ?”
“Habisnya, tadi ibu nggak mau nyamperin mas Dian, Dina jadi nggak ada temannya.”
“Tadi kan kita sudah mampir kesana, tapi ada mobil-mobil didekat rumahnya mas Dian. Ya nggak enak dong, disana lagi ada tamu.”
“Itu kan tamunya bu Yanti. Mas Dian pasti mau kalau diajak.”
“Tapi ya nggak enak dong Din, masak sih, disana lagi ada tamu lalu kita datang terus mengajak mas Dian pergi.”
“Besok saja, kalau liburan kita kesana, sudahlah, jangan rewel,” kata Leo yang sebenarnya juga kecewa nggak bisa mengajak Dian jalan-jalan dihari Minggu.

Memang benar, tadi Leo sudah membawa Dina untuk nyamperin Dian, tapi Rina menolak turun karena ada dua mobil parkir didekat pagar rumah Ika. Apalagi salah satunya adalah mobil Baskoro, dan karena itu ia meminta Leo agar langsung saja jalan, untuk mencari makan tanpa Dian.
Dina masih cemberut. Nasi dipiringnya hanya dimainkannya dengan sendok.

“Dina, sini ibu suapin ya..”
“Nggak mau. Dina nggak mau makan,” sungut Dina.
“Disuapin bapak ya?”
“Nggak mau !”
"Dian nggak boleh gitu ah, nih lihat.. adiknya yang didalam perut ibu bisa mendengar lho kalau mbak Dina marah-marah. Malu dong, sudah besar masih suka ngambeg.”
“Bohong, masak adik bisa mendengar? Kan ada didalam perut ibu?”
“Ya bisa dong, kan deket sama mbak Dina. Makanya sekarang nggak boleh rewel seperti itu. Malu dong sama adiknya. Sini, ibu suapin, kan bapak sudah janji kalau lain kali kita akan nyamperin mas Dian.”
“Nggak mau, aku nggak mau disuapin, malu sama adik,” kata Dina sambil menyuap makanannya.

Rina tersenyum senang.

“Memangnya siapa sih tadi, tamunya Ika? Kalau mobil satunya seperti mobilnya Broto,” kata Leo tanpa sungkan.
“Satunya itu mobilnya Baskoro.”
“Ngapain mereka kesana?”
“Ngapain juga mas nanya? Dia itu cantik, wajar lah kalau bunga cantik dikerubutin kumbang-kumbang,” kata Rina dengan wajah masam.

Leo diam. Melihat wajah masam isterinya cukup membuatnya tak harus bicara banyak tentang Ika. Ia memendamnya dalam hati rasa ‘cemburu’ yang masih saja tersisa. Susah ya melupakan cinta pertama? Apalagi ada benih dititipkannya disana.

“Ibu, makanannya hampir habis. Bilang sama adik bahwa mbak Dina sudah makan dan tidak rewel," kata Dina.
“Anak ibu pintar sekali. Adik juga pasti senang melihat Dina makan banyak. Habiskan ya mbak, biar sehat, gitu kata adik "

Dina tersenyum. Ingatan akan adiknya mampu menghalau rasa kecewanya karena urung jalan-jalan sama Dian.
Tiba-tiba ponsel Rina berdering. Dilihatnya dari Risma.

“Ya mbak.. lagi makan nih, sama mas Leo dan Dina,” sambut Rina menjawab telponnya,
“Aku mau tanya sama kamu.”
“Apa tuh mbak?”
“Tentang kebenaran apa yang kamu katakan pagi tadi.”
“Apa maksudnya ?”
“Lupa, kamu cerita apa?”
“Iya sih, mengapa mbak Risma menanyakan itu?”
“Aku ingin tahu, apa itu benar?”
“mBak Risma nggak percaya?”
“Aku lagi mencari kebenarannya.”
“mBak Risma lagi dimana?”
“Lagi diluar, mau mencari Baskoro, dan mau ketemu yang namanya Yanti atau Ika.”
“Baiklah mbak, nggak enak bicara di telpon, nanti saja kalau ketemu, supaya lebih enak.”

Dengan perasaan tak nyaman, Rina menutup ponselnya.

“Ada apa?” tanya Leo curiga.
“Itu, mbak Risma.”
“Kenapa dia?”
“Tampaknya marah-marah dan nggak setuju kalau Baskoro suka sama Ika.”
“Jadi Baskoro suka sama Ika? Mengapa dia mengatakannya sama kamu?”
“Nggak apa-apa, sekedar curhat.”
“Kamu juga meladeninya, seperti kurang kerjaan saja,”omel Leo.

Tapi Rina berdebar. Ia merasa telah menjelek-jelekkan Ika. Bagaimana kalau Ika tahu, lalu marah sama dia? Rina menyesali semuanya. Ia heran pada dirinya, mengapa bisa sejahat itu. Ia menambah-nambahi cerita supaya Ika tampak buruk dimata Risma. Apakah Risma kemudian curiga lalu menanyakan apa yang dikatakan itu benar? Aduh, pasti Rina harus menjawabnya dengan berbohong lagi. Benar adanya, bahwa untuk menutupi kebiohongan harus ada kebohongan yang lain. Itu sangat menjeratnya. Lalu Ika merasa sangat gelisah.

“Kok sudah makannya?” tegur Leo karena Rina tidak menghabiskan makanannya.
“Tiba-tiba aku merasa mual. Kalau sudah semua, ayo kita pulang, kepalaku sangat pusing.”
“Dina sudah selesai?” tanya Leo.
“Sudah pak, lihat, ini sudah habis,” kata Dina sambil menutupkan sendok garpunya diatas piring.
“Baiklah, kalau sudah kita akan segera pulang.”
“Bolehkah membelikan sesuatu untuk mas Dian lalu kita mampir kesana?”
“Ibu sangat pusing nak, kita harus langsung pulang,” kata Rina sambil memijit kepalanya.
“Iya Dina, lain kali saja ya?” bujuk Leo.

Dina mengangguk ketika melihat ibunya sedang memijit-mijit kepalanya.
***

“Aku heran, kalau itu bohong, mengapa Rina melakukannya? Tampaknya mereka sahabatan. Bahkan ketika Rina sakit, katanya Yanti juga yang mengantarnya, menjaganya. Mengapa ya Rina melakukannya?” kata Risma dalam perjalanan kerumah Ika, setelah menelpon Rina dengan jawaban yang tidak memuaskannya.

“Sedekat apa Rina dengan Ika?”
“Nggak tahu. Katanya tadinya hanya langganan beli sayur setiap hari. Tapi Rina itu dulu kan pacaran sama Baskoro. Ketika Rina dipaksa menikah dengan Leo, Baskoro seperti orang kehilangan pegangan. Dia nyaris tewas karena berusaha minum obat tidur kelewat banyak. Baskoro itu rapuh, itu sebabnya aku takut ketika tiba-tiba dia pergi tanpa pamit.”
“Kalau mendengar sesuatu jangan ditelan begitu saja. Yakinkan bahwa itu benar dengan mencari sumber yang lain. Sekarang kamu menyesal bukan?”
“Aku tidak yakin Rina akan membohongi aku. Dia harus menjelaskan semuanya. Mungkin juga dia mendapat berita itu dari orang lain.”
“Aku kesal ketika kamu mengata-ngatain Ika. Setahuku dia itu baik.”
“Tampaknya kamu juga suka sama dia?”
“Suka itu kan macam-macam. Suka karena dia baik, suka karena dia cantik, suka karena jatuh cinta.”
“Kamu suka yang mana ?”
“Entahlah, tapi menurut aku, aku suka karena dia baik, dan dia itu pejuang kehidupan. Seperti aku, melakukan semua hal untuk mencapai sesuatu. Dulu aku berdagang koran disetiap lampu merah agar aku bisa membiayai kuliah aku. Ika rela berpanas-panas keluar masuk kampung berdagang sayuran, untuk menghidupi dan menyekolahkan anaknya. Apakah itu buruk?”
“Aku minta ma’af karena salah menilai orang. Masih jauhkah rumahnya?”
“Tidak, setelah perempatan kita masuk gang, kekanan.”
“Semoga benar, Baskoro ada disana.”
“Kalau dia ada, apa kamu masih akan memarahinya?”
“Tidak, akan aku biarkan dia memilih jalan hidupnya.”
“Kalau dia ingin menikahi Ika?”
“Aku akan merestuinya.”
“Aku lega mendengarnya,” kata Baskoro sambil tersenyum, walau serasa ada yang hilang dari hatinya. Melakukan sesuatu dengan ikhlas, ternyata melegakan.
***

“Dian, sudah selesai belajarnya?” tanya Ika ketika melihat Dian sudah menutup bukuny dan memasukkannya kedalam tas, sambil menyiapkan buku pelajaran untuk besok pagi.

“Sudah selesai bu.”
“Hari masih siang, benar sudah selesai?”
“Sudah, kan sehabis mandi siang tadi, Dian langsung belajar dan mengerjakan PR.”
“Bagus, anak pintar.”
“Aku kan anaknya ibu. Karena ibu pintar, aku juga harus pintar.”
“Ibu hanya sekolah sampai SMA, karena kakek tidak bisa membiayai kuliah ibu. Tapi ibu tidak menyesal menjadi anak orang tak punya.”
“Seperti Dian, Dian juga tidak menyesal menjadi anak pedagang sayur.”
“Benarkah?”
“Benar dong bu.”
“Apakah kamu pernah memikirkan sesuatu? Mm.. maksud ibu.. menyesali sesuatu?”
“Apa maksud ibu ?”
“Mungkin saja, kamu punya keinginan.. tapi tidak bisa ibu penuhi..”
“Tidak, Dian mendapatkan semuanya dari ibu.”
“Mungkin kamu punya impian..”
“Impian itu apa? Bedakah impian dengan keinginan?”
“Beda dikit..”
“Beda dikit?”
“Keinginan itu biasanya sesuatu yang nyata. Misalnya.. ingin makan enak.. ingin baju bagus.. ingin apalah.. pokoknya sesuatu yang nyata. Kalau impian.. itu sesuatu yang tidak nyata.. biasanya .. aduh.. apa ya.. susah ibu mengatakannya..”
“Ingin punya ayah..?”

Ika terkejut, menatap anaknya dengan mata terbelalak. Apa yang keluar dari bibir kecil anaknya seperti sesuatu yang meluncur begitu saja. Tapi tampaknya memang itu yang diinginkan Dian. Benarkah?

“Maaf bu, apakah aku mengucapkan kata yang salah?”

Ika menggeleng keras, lalu merangkul anaknya erat.

“Sayang sekali kamu.. tidak…”
“Tapi aku tidak menyesal kok bu. Aku senang menjadi anak ibu. Ibu jangan sedih ya?”

Mendengar ucapan itu, air mata Ika justru mengambang. Tak mampu ditahannya, kemudian mengalir di sepanjang pipinya.

“Maafkan ibu ya?”
“Mengapa ibu minta maaf ?”
“Pada suatu hari nanti, ibu akan bercerita banyak tentang hidup ibu, sejak ibu kecil, kemudian menjadi remaja.. pokoknya semuanya.. sampai kamu dilahirkan dan menjadi besar.”
“Benarkah ?” kata Dian sambil mendongakkan kepalanya, menatap wajah ibunya, lalu mengusap pipinya yang basah dengan telapak tangan kecilnya.

“Benarkah kamu bahagia menjadi anak ibu?”
“Dian sangat bahagia,” katanya sambil merangkul ibunya.
“Baiklah, belajar yang rajin, Raih cita-cita kamu setinggi bintang dilangit. Ibu akan selalu bersamamu.”
***

Hari sudah menjelang sore, ketika Ika menerima telpon dari bu Kartiman.

“Ada apa bu?”
“Mau menanyakan saja, apakah Broto ada disitu?”
“Mas Broto ? Tidak bu, sejak kemari bersama ibu, mas Broto tidak datang lagi.”
“Oh, ya sudah, aku cuma mau mengingatkan, katanya mau pulang sore, kok malah pergi dan sampai sekarang belum kembali.”
“Mungkin masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan bu.”
“Ya sudah nak, maaf kalau ibu mengganggu.”
“Tidak apa-apa bu.”

Begitu ponsel dimatikan, Ika melihat mobil berhenti didepan pagar rumahnya.
Ika melongok untuk melihat siapa yang datang, lalu dengan heran Ika melihat Broto datang bersama seorang wanita cantik. Ika mencoba mengingat ingat.

“Lhoh, itu kan kakaknya mas Baskoro ? Aku pernah datang ke rumahnya saat ada pengajian ketika suaminya meninggal,” kata Ika dalam hati,
“Selamat sore mbak Ika..” sapa Broto.
“Sore mas, barusan bu Kartiman menelpon mencari mas.”
“Oh iya, pasti ibu mengira aku kembali sore ini. Oh ya, ini Risma, sudah kenal kan?”
“Iya, aku tahu, kan aku pernah ke rumahnya waktu ada pengajian?”
“Iya benar.”
“Silahkan masuk mbak Risma..”
“Terimakasih. Kok sepi?”
“Dian sedang ada di kamarnya. Paling baca-baca buku yang dibelikan mas Broto kemarin.”
“Apakah Baskoro ada disini ?”
“Mas Baskoro? Apa dia bilang akan datang kemari?”
“Berarti tidak ada?” tanya Risma yang wajahnya kemudian berubah pucat.
“Jadi dia tidak ada disini?”

Ika menggeleng dengan heran. Lebih heran lagi ketika melihat mata Risma berkaca-kaca.

Bersambung #19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER