Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 21 Juni 2022

Jangan Bawa Cintaku #17

Cerita bersambung

“Rin.. kamu masih disitu?”
"Oh.. eh.. masih mbak.. Gimana ?”
“Kamu itu lho, ayo ceritain tentang si tukang sayur itu dong. Kamu tadi sepertinya mau ngomong, kok sepertinya ragu sih Rin?”
“Iya.. ini mbak.. aduh.. nggak jadi deh, takut salah.”
“Apa maksudmu Rin? Kalau sekedar cerita saja mana bisa salah.”
“Itu mbak.. ceritanya panjang. Besok saja kalau ketemu ya?”
“Rin, ketemunya kan masih lama. Aku baru akan pulang Minggu depan. Bagaimana kalau sekarang saja?”
“Nggak enak ngomong di telpon begini mbak, pasti nggak jelas.”
“Soalnya aku ingin segera tahu, kok Baskoro bisa tergila-gila, seperti apa sebenarnya dia? Aku pernah melihatnya sama anaknya ketika di acara pengajian itu. Memang sih dia cantik. Tapi aku kan harus tahu seperti apa dia itu. Nggak suka aku sama sifat Baskoro yang terkesan terburu-buru. Kenalnya belum lama kan?”
“Ya belum mbak, waktu aku sakit itu. Aku juga heran Baskoro begitu cepat jatuh cinta.”
“Kamu percaya guna-guna tidak sih Rin?”
“Apa maksudnya mbak?”
“Kalau guna-guna itu ada dan memang mujarab, jangan-jangan Baskoro kena guna-guna beneran tuh.”
“Ah, mbak Risma ada-ada saja.”
“Bukannya menuduh, hanya kepikiran saja, siapa tahu iya.”
“Nggak tahu kalau itu mbak. Yang penting mbak harus berhati-hati, soalnya pernikahan itu kan bukan mainan, diharapkan bisa seumur hidup. Apalagi Baskoro pernah mengalami gagal dalam pernikahannya. Ya kan?”
“Iya, kamu benar. Jadi aku menunggu bisa ketemu kamu secepatnya Rin, aku penasaran menunggu cerita kamu tentang dia, terutama tentang bekas suaminya. Harus jelas cerai karena mati atau karena apa.”
“Ya mbak, nanti kalau ketemu ya.”

Tapi setelah ponsel itu ditutup, Rina masih berpikir tentang apa yang harus dikatakan pada Risma tentang ayahnya Dian. Sampai hatikah dia membuka aib suaminya? Tapi entah darimana datangnya, ada rasa tidak suka dihati Rina melihat Baskoro bisa dekat dengan Ika.

“Heran aku. Beberap waktu yang lalu, Baskoro masih bilang tak bisa melupakan aku, eeh.. baru kemarin ketemu.. sudah bilang jatuh cinta sama mbak Yanti. Benarkah ada sesuatu yang tak wajar? Lalu bagaimana dengan Broto yang katanya adalah calonnya? Bukankah mbak Yanti sendiri yang mengatakannya? Mengapa tiba-tiba ada Baskoro dan mbak Yanti seperti membiarkannya? Hmh, tiba-tiba aku kok jadi kurang suka sama mbak Yanti.”

Yah, terkadang hati yang baik bisa juga ternoda oleh rasa iri hati yang tak terkendali. Rina yang semula baik, ramah, panuh pengertian terhadap orang yang disebut sahabatnya, tiba-tiba terbit rasa iri, dengki, mengotori sebuah kebaikan yang sudah dilakukannya.
Masih dengan wajah masam ketika ia menutup ponselnya kemudian masuk kedalam kamar untuk membaringkan lagi tubuhnya, karena kepalanya masih sering terasa pusing.
***

“mBak Ika, kenapa mas ganteng nggak bantuin jualan?”
“Iya.. kok sendirian mbak Ika?”
“Waah.. banyak yang kecewa nih mbak..”

Itu celetuk ibu-ibu yang berbelanja pagi itu. Ika tersenyum menanggapi. Sungguh tidak enak kalau tiap hari dibantuin Baskoro, dan mana mungkin? Baskoro kan harus kerja juga. Dan ungkapan cinta dari Baskoro kembali melintas di benaknya. Seperti semalam dia hampir tak bisa tidur karena memikirkannya. Untunglah Dian segera menegurnya ketika melihat ibunya tak juga memejamkan matanya.

“Lhoh.. mana sayangku mas ganteng?” si genit Murni tiba-tiba datang dan matanya mencari-cari.
“Hiih.. ini lagi,” kata seorang ibu yang sebal melihat tingkah Murni.
“Dia kan harus kerja juga mbak,” akhirnya Ika menjawab sambil tersenyum ramah. Keramahan itu adalah hal menarik yang membuat ibu-ibu suka belanja pada Ika, walau sebelumnya mereka belanja di tempat lain.

“Oh.. iya.. kerja ya?” kata Murni dengan nada kecewa.
“Ya kerja lah, mas ganteng kan bukan pengangguran,” sahut ibu yang baru saja datang.
***

Ika menekuni hari-harinya dan berusaha melupakan Baskoro. Tapi alangkah susah menyibakkan bayangan itu. Laki-laki tampan yang kocak dan baik, apalagi kaya-raya. Tidak, Ika tak boleh mengingatnya. Ia harus menolak cinta Baskoro. Ia tak ingin disebut mau karena hartanya. Ika sudah cukup bahagia dengan keadaannya. Harta tak harus melimpah, ketenangan adalah kebahagiaan yang selalu disyukurinya.
Ia sudah selesai memasak dan sedang menata makan siang dimeja makan, ketika mendengar suara sepeda Dian di samping rumah.
Belum lama terdengar suara sepeda tersandar di dinding, teriakan Dian sudah menggema memenuhi seisi rumah.

“Ibuu… Dian sudah pulang.”

Senyuman Ika mengembang. Dian adalah hidupnya, nafasnya, bahagianya. Hidupnya hanya untuk Dian, bukan untuk dirinya sendiri.

“Ibu sudah selesai masak ?”
“Sudah. Kamu lapar ?”
“Iya bu, lapar.”
“Bekal yang ibu bawakan tidak kamu makan?”
“Ma’af bu, bekal yang ibu bawakan Dian berikan kepada orang. Berikut wadahnya juga.”

Ika menatap anaknya lekat-lekat.

“Orang siapa?”
“Ada seorang laki-laki, duduk diuar halaman sekolah, dibawah pohon trembesi yang besar itu. Dia tampak kurus dan lelah. Dian hampir membuka bekal itu sa’at istirahat, tapi kasihan melihat bapak tua itu. Jadi bekal yang ibu bawakan Dian berikan semuanya.”

Mulut Ika ternganga mendengar cerita Dian. Lalu matanya tampak berlinang.

“Apakah ibu marah? Tempat makan itu masih baru kan bu, belum lama ibu membelikannya untuk Dian.”

Ika merengkuh anaknya erat.

“Sayang, ibu tidak marah, sama sekali tidak marah nak. Kamu melakukan sebuah perbuatan yang sangat mulia. Ibu bangga sama kamu nak.”
“Jadi ibu tidak marah biarpun wadah makan itu masih baru?”
“Tidak nak. Tidak. Ibu senang kamu bisa mengerti setiap apa yang ibu ajarkan. Mengasihi sesama, tak peduli walau kita sedang lapar. Anak ibu luar biasa. Ibu menangis karena bahagia nak. Lakukan terus perbuatan mulia itu. Jadilah anak kebanggaan ibu selamanya.”
“Syukurlah ibu tidak marah. Tadi Dian sudah takut kalau ibu marah.”
“Dian, ibu tidak akan marah kalau kamu melakukan perbuatan baik.”
“Mulai besok, Dian minta bekal dobel boleh? Satu untuk Dian, satu lagi untuk bapak tua itu. Yang untuk bapak tua boleh dibungkus kertas atau daun saja, asalkan ibu beri sendok didalamnya. Supaya ibu tidak setiap hari membeli tempat makan.”
“Anak pintar. Baiklah, besok ibu siapkan seperti permintaan kamu. Tapi apakah bapak tua itu setiap hari ada didepan sekolah kamu?”
“Dian sering melihatnya disana bu, tapi baru tadi Dian mendekati, lalu Dian merasa kasihan sama dia.”
“Ya, ibu sudah tahu apa yang harus ibu kerjakan. Besok bawa makan dan minum teh yang akan ibu tempatkan di wadah plastik. Jadi Dian bisa memberi dia makan dan minum.”

Dian mengangguk, lalu berlari ke kamarnya untuk berganti pakaian lalu membersihkan kaki tangannya sebelum duduk di kursi makan dimana ibunya sudah menunggu.

“Adakah tempe goreng kesukaan Dian?”
“Selalu ada tempe goreng kesukaan Dian..”

Benar, bahagia itu sederhana. Bisa memberi itu juga bahagia. Bukan hanya harta melimpah dan gemerlap permata yang tampak indah. Hidup penuh syukur itu juga indah.
***

“Nah, sekarang mas sudah bergabung di perusahaan aku, jadi tanggung jawab di kantor ini sekarang ada di tangan mas,” kata Risma saat makan siang bersama Broto setelah kembali dari kantor cabang milik Risma.

“Aku akan berusaha melakukannya. Tapi kamu tidak bisa juga langsung melepaskan aku, aku masih awam disitu.”
“Iya itu soal gampang, yang penting kamu sudah tahu apa dan bagaimananya. Sambil jalan kamu kan sudah mempelarinya secara detail.”
“Baru mau seminggu, tapi aku masih membutuhkan kamu.”
“Ya, aku tak akan melepaskan mas begitu saja. Oh ya.. kita akan pulang hari Sabtu malam bukan?”
“Iya, kalau aku tidak pulang ibuku bisa marah-marah.”
“Sepertinya ada yang penting mas, jangan-jangan mas mau dijodohin dengan seseorang.”

Broto tertawa.

“Kemungkinan besar iya.“
“Enggak ah Ris, aku tuh masih ingin sendiri.”
“Itu kan kamu, tapi orang tua kamu mana bisa sabar menunggu datangnya menantu dan pastinya seorang cucu.”
“Sudah, jangan bicara soal itu, nanti selera makan aku bisa hilang.”

Risma tertawa.

“Kamu masih seperti dulu..” lanjut Risma.
“Itu kan sebuah lagu, aku masih seperti dahulu, menunggumu sampai akhir hidupku..” kata Broto sambil berlagu.
“Haa, ternyata suara kamu masih bagus juga ya mas. Dulu aku sering terbuai mendengar suara kamu.”
“Kalau sekarang .. nggak terbuai lagi ya?”
“Mungkin sudah berkurang, karena alamnya sudah lain..”
“Berarti sekarang kita sedang berada di alam lain dong.”
“Ya, dulu alam remaja, sekarang alam tua. Eh, aku yang sudah tua, sedangkan kamu masih lajang berarti masih muda.”
“Risma, kamu juga masih terlihat seperti remaja..”
“Gombal ah.”
“Benar. Masa aku bohong? Justru aku yang kelihatan lebih tua, soalnya kulitku kehitaman ya, jadi tampak sudah tua."
“Siapa bilang. Sudah tua itu lebih enak. Sebentar lagi masak..”
“Memangnya aku mangga?”

Keduanya tertawa renyah, mengingtatkan mereka ketika masih seperti sepasang kekasih yang saling mencintai. Tapi Risma masih dibalut duka. Kebersamaan yang dirasakannya barulah sebatas ketemu sahabat lama lalu saling berbincang ria. Risma merasa terhibur sa’at bersama Broto.

“Sebenarnya aku ingin segera bertemu Rina.”
“Oh, ada bisnis sama dia?”
“Tidak. Rina berjanji akan mengatakan banyak hal tentang yang namanya Yanti.”
“Ya ampun, kamu sedang menyelidiki seorang perempuan. Seperti ditektif saja.”
“Aku harus yakin seperti apa perempuan yang disukai Baskoro.”

Broto terdiam. Ia sudah tahu tentang Ika. Ibu angkatnya pernah menceritakan semuanya. Saat Ika menderita karena hamil tanpa suami, lalu membesarkan Dian sendiri. Hanya saja bu Kartiman tidak tahu siapa laki-laki yang meneteskan benih di rahim Ika sehingga lahirlah seorang Dian.

“Dia perempuan baik.”

Broto tak ingin mengatakan apapun tentang Ika. Bagaimanapun Ika adalah perempuan yang istimewa. Menurutnya Ika tidak ada cacat celanya, dan dia sudah pernah mengatakan itu pada Risma, tanpa menampakkan rasa ketertarikannya karena tak ingin merusak hubungan Ika dan Baskoro, kalau memang hubungan itu benar-benar ada.

“Itu tidak cukup mas, aku ingin tahu secara detail tentang perempuan itu. Benarkah suaminya sudah meninggal, atau bercerai, dan kalau bercerai, karena apa.”
“Satu yang harus kamu mengerti Ris, bahwa tak ada manusia sempurna didunia ini.”
***

“Mengapa ya, ini sudah hari Sabtu tapi Broto belum juga sampai rumah?” kata bu Kartiman di sore hari itu.
“Mungkin dia baru berangkat dari Jakarta.”
“Biasanya Sabtu pagi pasti sudah sampai disini lho pak. Jum’at sepulang kantor berangkat dari sana.”
“Kesibukan anakmu kan ya macam-macam bu. Mungkin sangat sibuk sehingga belum bisa pulang, siapa tahu.”
“Aku mau tilpun dia ya pak.”
“Jangan. Kamu itu mengganggu saja bu. Kalau dia sedang menyetir mobil bagaimana? Ya ditunggu saja, pasti nanti juga sampai disini.”
“Aku agak curiga. Tampaknya Broto agak kurang suka ketika aku berbicara soal nak Ika.”
“Ibu jangan memaksakan kehendak begitu. Biarkan Broto memilih wanita yang dia suka, jangan kamu yang memaksa-maksa.”
“Ibu tuh nggak sabar kalau menunggu Broto. Aku harus ikut memikirkan dan memilihkan, kalau menunggu dia, kelamaan pak, kita sudah semakin tua.”
“Mencari isteri itu kan berbeda dengan kalau kita membeli baju. Bisa dipilihkan, kalau nggak cocok ditukar. Lha kalau kita mencarikan isteri, yang dicarikan nggak mau, bagaimana?”
“Ya coba nanti Kalau Broto sudah datang. Aku akan marah kalau dia menolak untuk dijodohkan.”
“Lho, kok pakai mau marah segala.”
“Habisnya ibu nggak sabar. Wong cah bagus, pinter, sudah punya penghasilan bagus, kok nggak cepet-cepet cari isteri.”

Pak Kartiman yang kesal mendengar omelan sejak sore harinya, memilih masuk kedalam rumah. Sesungguhnya ia memang ragu, apakah Broto mau menerima saran ibu angkatnya. Tiba-tiba didengarnya isterinya sudah bicara dengan seseorang melalui ponselnya. Pak Kartiman urung melanjutkan langkahnya, menguping dibalik pintu.

“Iya nak, cuma memastikan, juga mengingatkan. Besok nak Ika jangan kemana-mana ya, ibu mau datang kemari, sama bapak, sama Broto juga… iya nak.. tapi sampai sekarang Broto juga belum mengabari kok. Nggak tahu kenapa, biasanya Sabtu pagi sudah sampai. Lha ini Sabtu sore kok ya belum datang. Iya nak, benar, mungkin sibuk.. iya nak.. oh baiklah nak, maaf kalau mengganggu. Sampai besok ya nak.”

Pak Kartiman menghela nafas panjang.

“Isteriku benar-benar keterlaluan. Nanti kalau perjodohan itu nggak jadi, dia pasti kecewa berat. Sudah dikasih tahu kok ya masih ngeyel.”
***

“Hallo Yanti..”

Ika berdebar, itu suara Baskoro. Besok hari Minggu, pasti Baskoro akan datang. Dia sudah mengatakan bahwa akan menunggu jawabannya minggu ini.

“Yanti, kok diam sih..”

Ika ingin menutup ponselnya, tapi tak sampai hati.

“Ya, ada apa mas?”
“Besok kan kamu ke pasar pagi-pagi. Aku mau nitip ya.”
“Nitip apa?”
“Aku mau dibelikan bubur grendul, sama ketan yang ada juruhnya.”

Ika menghela nafas. Sudah bisa dipastikan Baskoro akan datang. Ika ingin pergi menghindar, tapi kan dia harus jualan?

“Bisa kan ?”
“Oh, iya.. bisa. Tapi .. mengapa mas Baskoro mau kemari lagi?”
“Aku kan punya tugas untuk menjadi pembantu penjual sayur setiap libur.”
“Siapa yang memberi tugas itu ?”
“Aku sendiri.”

Ika tersenyum. Bagaimanapun dia tak sampai hati menolak permintaan itu. Lalu Ika teringat bahwa besok bu Kartiman akan datang. Baiklah, karena banyak orang, jadi Baskoro pasti tak akan sempat menanyakan jawabannya atas pernyataannya Minggu lalu.

“Halloooo… kamu masih disitu ?”
“Iya mas, iya..”
“Baiklah, dan jangan lupa, aku berharap besok sudah ada jawaban untuk aku.”
“Tapi mas..”
“Menerima, atau menolak, besok adalah kepastiannya. Aku menunggu dan akan menerima apapun keputusan kamu. Okey?”

Ika termenung setelah itu. Ia duduk diteras dan memandangi cuaca yang mulai meremang. Menatap bayangan pohon yang mulai menghitam, lalu terkadang bergoyang oleh tiupan angin.

“Ternyata aku tidak bisa tenang,” bisiknya sendu.
*Ingat, Dian memerlukan sosok seorang ayah.*

Ucapan Baskoro terngiang kembali. Tapi sungguh Ika sangat takut. Ia merasa tidak pantas memimpikan seorang laki-laki yang menurutnya sangat jauh dari jangkauannya. Begitu tinggi dan Ika sangat takut akan terjatuh lalu kesakitan karena luka yang berdarah-darah. Tapi bagaimana dengan perasaan hatinya? Bukankah Baskoro laki-laki yang sangat sempurna dan memukau. Ika mengibaskan perasaan itu. Menenggelamkannya dalam-dalam didasar hatinya, bersama malam yang semakin hitam.
***

“Rina, kamu sudah tidur ?”
“mBak Risma? Sudah hampir tidur nih, baru meninggalkan kamar Dina setelah minta didongengin. Sudah sampai rumah?”
“Belum, baru setengah perjalanan. Besok begitu sampai, aku akan langsung menemui kamu.”

Rina berdebar. Kalau Risma datang ke rumah, bagaimana dia akan bicara? Ini hari Minggu, Leo tak akan pergi kemana-mana.

“Kok diam Rin, kamu belum tidur kan? Jangan-jangan aku ngomong kamu tinggalin tidur nih.”
“Nggak mbak. Tapi jangan kerumah deh, aku saja yang akan datang kerumah mbak Risma. Kabari kalau sudah sampai,” kata Rina sambil memperpelankan suaranya, takut Leo mendengarnya.

“Oh, baiklah kalau begitu, lebih baik kamu yang datang. Oh ya, hari Minggu kan Leo ada dirumah. Bagus, aku tunggu kamu dirumah ya Rin.”

Rina menutup ponselnya dengan gelisah. Dia terlanjur mengatakannya, lalu Risma mendesak agar dia menceritakan semuanya. Tapi mengapa tidak? Kalaupun itu aib suaminya, ia percaya Risma tak akan mengatakannya kepada siapapun. Rina harus meminta agar Risma merahasiakannya nanti.

Ketika memasuki kamarnya, dilihatnya Leo sudah berbaring diranjang, memejamkan matanya. Nafas halus yang didengarnya, menandakan bahwa suaminya sudah tertidur. Wajah tampannya tampak polos, dada bidangnya naik turun dengan teratur, begitu tampak lelahnya, lalu Rina menyadari, betapa ia sangat mencintainya.

==========

Perlahan Rina berbaring disamping suaminya. Perlahan pula ia menyibakkan rambutnya yang sebagian menutupi dahi. Leo memejamkan matanya, tampak damai tak ada beban. Ia benar-benar pulas.

“Sebenarnya kamu baik mas, hanya ada setitik dosa kamu. Tapi yang setitik itu telah menjadi air bah yang nyaris menghanyutkan semuanya. Aku terlalu mencintai kamu, dan tak ingin kehilangan kamu. Apakah aku salah kalau mengatakan tentang Ika yang pernah kamu nodai? Aku hanya ingin bercerita tentang Ika, tapi kamu pasti terseret kedalamnya. Mampukah aku membawa kamu kedalam masalah ini?” bisik Rina lirih.

Diangkatnya kepalanya, bertumpu dengan sebelah tangannya. Ditatapnya suaminya tak berkedip. Suami yang semula tak dicintainya, tapi perlahan cinta itu tumbuh, bersamaan dengan hadirnya Dina didalam rahimnya. Lalu seorang penjual sayur telah membuat suaminya kalang kabut, Rina marah dan terluka ketika Leo mengatakan bahwa Ika adalah pacar lamanya. Rina lebih terluka ketika Leo mengatakan bahwa masuk dalam keluarganya adalah kesalahannya. Aduhai. Tapi Rina berusaha tegar, ia bahkan berusaha menyatukan Leo dan Ika. Lalu semuanya menjadi baik-baik saja karena Ika sudah menyatakan sikap bahwa tak ingin merusak keluarganya. Ika sungguh wanita yang baik dan berhati mulia. Setidaknya itulah yang dirasakannya beberapa waktu yang lalu. Kemudian hadirlah Baskoro, yang begitu saja jatuh cinta pada Ika. Baskoro yang sebelumnya berkata tak bisa melupakannya, depresi karena memikirkannya, tiba-tiba saja jatuh cinta pada Ika, mbak Yanti yang semula dikaguminya. Semula dikaguminya, itu benar, tapi rasa iri kemudian menggelitik hatinya. Baskoro yang nyaris tewas karena bunuh diri setelah putus darinya, dalam beberapa kali pertemuan telah jatuh cinta pada mbak Yanti. Dan Rina merasa bahwa mbak Yanti sungguh hebat. Mengalahkan dirinya. Membakar egonya.

“Baskoro telah melupakan aku. Aku bukan lagi seseorang yang selalu dikenangnya, disayang dan dicintainya,” keluhnya perlahan.

Tiba-tiba Leo menggeliat, memeluknya, lalu menyebut sebuah nama yang sangat membuatnya semakin kesal.

“Ika..”

Rina menepiskan tangan Leo dengan kasar, membuat Leo membuka matanya.

“Ada apa?”
“Dalam tidur kamu, Ika juga yang kamu mimpikan,” katanya sambil membalikkan tubuhnya, memunggungi suaminya.

“Apa?” tanya Leo sambil merangkul Rina dari belakang.
“Aku bermimpi sangat mengerikan. Melihat Ika hanyut dalam sungai besar, lalu berteriak minta tolong, untunglah aku berhasil menolongnya, ” kata Leo perlahan, tanpa melepaskan pelukannya.

Rina membiarkannya, tanpa menjawab sepatah katapun. Ia merasa, Ika sangat luar biasa. Memukau banyak laki-laki, dan membuat bekas pacarnya tak bisa melupakannya.
Rina tertidur ketika malam menjelang pergi. Ketika kokok ayam tetangga terdengar bersahutan.
***

“Mau kemana kamu, pagi-pagi sudah dandan cantik?” tanya Leo ketika sedang membaca koran Minggu di teras.
“Mau belanja,” katanya berbohong.
“Belanja nanti saja, aku antar.”
“Tidak, belanja buat sarapan, aku pengin memasak sendiri hari ini.”
“Apa kamu merasa lebih enakan?”
“Bukan begitu, hanya pengin sesekali masak.”
“Sebenarnya aku ingin bercerita, aku menunggu sampai kamu bangun.”
“Bercerita tentang apa?”
“Tentang mimpi aku semalam.”
“ Tidak usah,” Rina membalikkan tubuhnya.
“Rina..”
“Aku sudah tahu mimpi kamu semalam,” kata Rina sambil menjauh, lalu masuk kedalam mobil yang sudah disiapkannya.
“Kesambet dimana dia, pagi-pagi begini?” keluh Leo yang tidak sadar bahwa semalam telah mengatakan mimpinya.

Ia membuka lembaran korannya dan melanjutkannya membaca.

“Bapaaak..” tiba-tiba Dina sudah ada didekatnya.

Leo merangkulnya.

“Mana ibu ?”
“Ibu pergi belanja.”
“Mengapa Dina tidak diajak ?”
“Karena Dina masih tidur. Ibu hanya sebentar. Dina sudah mandi?”
“Belum, nungguin ibu.”
“Dina belum bisa mandi sendiri?”
“Bisa, tapi Dina pengin dimandiin ibu,” kata Dina sambil menghentakkan sebelah kakinya.
“Anak bapak yang cantik, nggak boleh marah. Ibu kan lagi pergi, sebaiknya mandi saja sendiri, jadi kalau nanti ibu pulang, Dina sudah cantik. Bagaimana ?”

Dina menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Dina kan sebentar lagi mau punya adik, nggak boleh dong sedikit-sedikit marah. Ayo, anak pintar, mandi sendiri ya?”

Dina membalikkan tubuhnya, kemudian berlari kearah kamar mandi.
Leo menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum.

“Seandainya Dian ada.. alangkah senangnya Dina.”
***

“mBaak… mbak…” Rina berteriak-teriak karena bel tamu tak mampu membuat penghuni rumah membukakan pintu untuknya.

Lalu Rina berjalan memutar. Dilihatnya garasi terbuka, tapi mobilnya tak ada disana.

“Apakah mereka pergi? Barusan mbak Risma mengabari kalau dia sudah sampai sejak jam lima pagi.”

Rumah itu sepi, lalu Rina kembali ke depan. Memencet bel tamu beberapa kali lagi, lalu berteriak memanggil.

“mBak Rismaaaa..”

Rina menghela nafas kesal.

“Rupanya mereka pergi, kemana sepagi ini ?” gumamnya sambil membalikkan tubuhnya.
“Jangan-jangan pergi kerumah. Duuh, aku kan sudah melarangnya dan bilang bahwa aku saja yang akan datang. Bisa ribut nanti mas Leo,” gumamnya lagi sambil membuka pintu mobil, bermaksud segera pulang.

“Rinaaa!”

Teriakan itu membuatnya urung membuka pintu mobilnya. Dilihatnya Risma sedang berdiri diteras, sambil mengurai rambutnya. Rina membalikkan tubuhnya, melangkah kembali ke rumah.

“Kok mau pergi sih?”
“Habis, aku sudah lama berteriak-teriak, dan tak ada suara . Aku pikir mbak Risma sama Baskoro pergi, soalnya aku melihat mobilnya nggak ada di garasi.”
“Baskoro yang pergi pagi tadi. Nggak tau kemana dia, pagi-pagi sudah mengeluarkan mobil. Nggak pamit mau kemana.”
“Oh, kayaknya aku tahu tuh dia pergi kemana?”
“Ke .. itu.. tukang sayur?” kata Risma sambil menarik Rina diajaknya duduk diruang tengah.
“Mau minum apa? Aku buatkan coklat susu panas ya?”
“Nggak usah mbak, perutku masih sering mual, apalagi kalau minum susu.”
“Jadi mau minum apa?”
“Nggak usah, nanti gampang,”
“Baiklah..”
“mBak Risma baru mandi tadi?”
“Iya, dan keramas juga, sudah seminggu aku nggak membersihkan rambutku.”
“Pantesan aku berteriak-teriak mbak Risma nggak dengar.”
“Aku dengar, dan aku juga sudah berteriak menjawab lho.”
“Oh ya, aku nggak dengar, makanya mau langsung pulang.”
“Ya ampuun, aku kan sudah janji mau menunggu kamu. Okey, sekarang ngomong dong, penasaran benar aku.”

Rina menyandarkan tubuhnya di sofa.

“Kamu tahu banyak tentang dia kan ? Aku ingin kamu mengatakan semuanya Rin, soalnya Baskoro tampaknya sudah sangat ngebet tuh.”
“mBak Yanti seorang janda. Eh.. janda apa bukan ya namanya kalau demikian itu..”
“Janda apa bukan, bagaimana tuh?”
“Dia punya anak, tapi nggak punya suami.”
“Aduh… jadi.. dia itu gadis tapi punya anak ?”
“Benar. Anak muda mbak, kalau imannya nggak kuat ya begitu, terseret arus pergaulan bebas.”
“Ya Tuhan..”
“Lalu…?”
“Ya sudah.. lalu dia pergi dalam keadaan mengandung.. sampai melahirkan..dan menjadi tukang sayur.”
“Dimana kedua orang tuanya?”
“Sepertinya sudah meninggal. Dia tak punya siapa-siapa lagi.”
“Ya ampun, mengapa Baskoro bisa tergila-gila?”
“Dia kan cantik mbak.”
“Ya nggak bisa begitu Rin. Orang menikah bukan hanya karena dia cantik. Banyak pertimbangan lainnya kan. Bibit, bebet, bobot. Kalau orang Jawa pasti tahu itu.”

Rina tak menjawab.

“Lalu siapa yang menghamili ? Sampai sekarang nggak ketahuan? Atau dia nggak mau mengaku ?”

Rina mengangkat bahu, ia tahu tapi tak mau mengatakannya. Menurutnya apa yang dikatakannya pada Risma sudah cukup. Lalu dia berdiri.

“Lho, mau kemana lagi? Ngomongnya belum selesai kan?”
“Sudah mbak, hanya itu. Lagian aku tadi pamit sama mas Leo bahwa aku mau belanja. Kalau kelamaan dia bisa curiga.”
“Ya ampuun.. Baiklah kalau begitu. Aduh.. jadi ingat Baskoro, pergi kemana tadi? Oh ya, kamu tadi bilang bahwa dia pergi ke tukang sayur itu? Pagi-pagi begini ?”
“Dia itu suka ngebantuin mbak Yanti jualan didepan rumahnya.”
“Apa?” Risma membelalakkan matanya.
“Yuk mbak, aku pulang dulu,” kata Rina sambil berlalu. Bagaimanapun dia tak ingin bicara lebih banyak. Ada perasaan tak enak karena sudah mengatakannya pada Risma. Sungguh sebenarnya dia menyesal, karena jiwa aslinya bukanlah jiwa yang jahat. Tapi ada sesuatu yang mendorongnya, dan sesuatu itu adalah dengki dan iri hati.
***

“Broto, ini minumnya, dan sarapan dulu. Ibu belikan nasi liwet untuk kamu,” kata bu Kartiman.
“Terimakasih bu, sudah lama Broto tidak makan nasi liwet.”
“Itulah, ibu sudah tahu.”
“Mana om Kartiman?”
“Itu, baru selesai mandi. Minumlah dulu, itu kopi tanpa gula kesukaan kamu kan.”
“Iya bu, kopi tanpa gula, konon lebih sehat.”
“Bapaaak, ini lho, ditungguin diruang makan.”

Pak Kartiman mendekat, sudah rapi dan wangi. Lalu duduk disamping Broto.

“Capek ya, nyetir sendiri dari Jakarta?”
“Capek sih om, tapi kan sudah biasa Broto nyetir sendiri.”
“Nanti setelah makan, kita sama-sama kerumah nak Ika ya?” kata bu Kartiman sambil membuka bungkusan nasi liwet, lalu diletakkan dihadapan suaminya.

“Bu, Broto kan baru tadi datang, masa sudah mau diajak pergi. Biarlah dia istirahat dulu barang satu atau dua jam.”
“Apa kamu capek le?”

Broto tertawa. Ya capeklah, nyetir sendiri dari Jakarta, gitu lhoh. Tapi Broto tak ingin mengecewakan ibu angkatnya.

“Tidak kok bu, kan sudah biasa..”
“Tuh.. kan.. Anakku ganteng gagah, mana bisa gampang capek. Ayo dimakan dulu nasi liwetnya. Boleh nambah, tadi ibu beli banyak,” kata bu Kartiman sambil sibuk melayani suami dan anak angkatnya.
“Ibu tuh sudah janji sama nak Ika, bahwa mau kesana pagi ini.”
“Tapi agak siang kan juga nggak apa-apa bu?” tanya Broto.
“Kalau bisa ya pagi, supaya ibu lega. Kan sudah janji mau datang.”
“Broto mandi dulu ya bu.”
“Selesaikan dulu sarapannya nak, nggak usah buru-buru, nanti malah tersedak kamu,” timpal pak Kartiman.
“Ya om.”
“Jam berapa kemarin dari Jakarta?”
“Sudah agak malam.”
“Biasanya Sabtu pagi kamu sudah sampai sini. Ee.. ini hari Minggu pagi baru datang,” kata bu Kartiman.
“Iya bu, masih ada yang harus diselesaikan. Tadi malam juga Broto pulang kemari bersama teman, tidak sendiri.”
“O.. bersama teman? Lha mana temannya, kok nggak disuruh kemari sekalian?”
“Dia punya rumah disini om. Dan sekarang Broto bekerja di perusahaannya juga.”
“Jadi kamu bekerja dobel ?” tanya bu Kartiman.
“Iya bu. Kebetulan teman saya mempercayakan perusahaannya sama saya.”
“Berarti kamu bekerja di dua tempat ?”
“Iya om, dua tempat. Tapi yang satu ini tidak harus saya tungguin setiap hari. Saya hanya bertugas memantau dan mengendalikan.”
“Nah le, kamu berarti sudah benar-benar mapan. Ibu berharap kamu segera menikah,” timpal bu Kartiman bersemangat.

Broto hanya tertawa. Ia menghabiskan sebungkus nasi liwetnya.

“Enak nasi liwetnya bu.”
“Ya enak, itu langganan ibu. Ayo nambah lagi..”
“Sudah kenyang bu. Tadi ketika memasuki kota, kami sudah makan bubur lemu di pasar Legi.”
“Walah, malah sudah makan pagi namanya.”
“Sudah om, teman saya tadi bilang lapar, lalu kami mencari bubur. Ibu-ibu paling pintar kalau masalah cari makanan.”
“Lho, teman kamu tadi itu perempuan?”
“Iya om, yang punya perusahaan dimana-mana, lalu saya disuruh membantu untuk cabangnya yang di Jakarta.”
“O, perempuan ? Jangan-jangan kamu pacaran sama dia,” kata pak Kartiman menyelidik.

Broto hanya tertawa..

“Dia baru saja kehilangan suaminya om.”
“Oo, janda to?” sela bu Kartiman.
“Baru saja suaminya meninggal di Amerika.”
“Berarti sudah berumur, mengingat punya perusahaan dimana-mana,” kata pak Kartiman.
“Tidak om, dia masih muda. Umurnya dibawah saya.”
“Wah, jangan-jangan kamu pacaran sama dia.”
“Tidak om.. kami kenal baik. Iya sih, kami pernah dekat, tapi kemudian dia menikah dan tinggal di luar negri. Baru ketika suaminya meninggal dua minggu lalu kami bertemu lalu bicara tentang usaha.”

Bu Kartiman tampak tak suka dengan pembicaraan mengenai perempuan teman Baskoro yang seorang perempuan, dan tampaknya suaminya sangat tertarik, bahkan menduga bahwa mereka pacaran. Dia diam saja sampai Broto pergi ke kamar mandi.

“Cepet ya le, aku janji mau datang pagi.”
“Ibu itu, biarlah dia istirahat dulu kenapa sih.”

Bu Kartiman bersungut-sungut, lalu membersihkan meja makan, kemudian berganti pakaian.
***

“Mas ganteng, aku dulu ya, aku yang lebih dulu belanja nih,” seru seorang ibu ketika Baskoro melayani pembeli lainnya.
“Oh iya bu, baiklah.. mana belanjaan ibu?” kata Baskoro ramah.
“Ini, sudah ditumpuk disini.”
“Ini ya bu, sudah di hitung mbak?” tanyanya kepada Ika.
“Sudah, ibu mau tamba apa lagi?”
“Oh iya.. gula jawa seperempat kilo. Ini kan, ini per bungkusnya seperempat kilo kan?”
“Iya bu..”
“Nah, masukkan sekalian mas ganteng, jadi tambah berapa tadi, mbak Ika.”
“Tambah delapan ribu saja bu.”
“Ini uangnya. Terimakasih ya mas ganteng,” kata ibu tadi sambil menowel lengan Baskoro. Baskoro tertawa manis, dan tawa itu selalu memukau ibu-ibu yang sedang belanja.

“Untung hari ini Murni tidak belanja. Kalau belanja bisa heboh nih, dari kemarin nanyain mas ganteng terus,” kata seorang ibu.
“Iya bu, tapi sepi nggak ada dia,” kata Baskoro sambil terus tersenyum.
“Iih, jangan sampai mas ganteng terpesona ya, dia itu genit kepada setiap laki-laki,” kata yang lain, dan diamini sebagian besar ibu-ibu yang ada disana.

Baskoro hanya tertawa.
Ika heran, Baskoro yang pengusaha kaya, tampak tidak canggung melayani para pembeli, tidak jijik memegang sayuran yang pastinya ada yang kotor, juga ikan yang berbau amis.
Ketika pembeli sudah sepi, dan Ika membersihkan kotoran bekas Ika berdagang, Baskoro juga tidak canggung memegang sapu dan ikut membersihkannya.
***

“Mengapa mas Baskoro melakukan semua itu?” tanya Ika yang sudah berganti pakaian bersih, lalu menghidangkan teh panas buatan Dian kehadapannya.

“Yanti, aku sudah sering menjawabnya, bahwa aku suka melakukannya. Kalau mbak Yanti mau, besok kita akan menyewa tempat yang lebih besar, dan berjualan sayur dalam jumlah lebih banyak, dilengkapi dengan buah-buahan dan…”
“Apa maksud mas Baskoro?”
“Memperbesar usaha kamu ini Yanti.”
“Jangan melakukan apapun untuk aku mas, biarkan saya melakukan semuanya sendiri. Saya cukup bersyukur dengan ini.”

Baskoro menyandarkan tubuhnya di kursi teras, setelah meneguk teh hangat buatan Dian.

“Baiklah. Sekarang aku menunggu jawaban kamu.”
“Jawaban apa mas ?”
“Jangan pura-pura lupa Yanti, semalam aku tidak bisa tidur gara-gara menunggu hari ini. Hari dimana aku akan mendengarkan vonis dari kamu.”
“Vonis, seperti pengadilan saja,” Ika bergumam.
“Baiklah, aku anggap ini pengadilan, yang akan menentukan nasib aku. Aku akan bebas dan bisa meraih cinta aku, atau aku akan terpenjara karena penolakan kamu.”

Ika benar-benar bingung. Ia diam untuk menata debar jantungnya. Sungguh ia menyukai laki-laki dihadapannya ini, tapi ia tak berani melangkah. Ika menyadari siapa dirinya, lalu Ika siap mengatakan bahwa ia harus menolaknya. Tapi sebelum satu katapun terucap, ponsel Baskoro berdering.

“Ya mbak,” sapanya membalas telpon kakaknya.
“Pulanglah sekarang.”
“Ada apa mbak?”
“Pokoknya pulang, atau aku akan menyusul kamu ke situ.”

Ika berdebar, wajah Baskoro tampak memerah, seperti menahan marah.

Bersambung #18

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER