Cerita bersambung
Rina terkejut. Bagaiamanapun ia tak ingin membuka aib suaminya.
“Benarkah?”
“Aaah, kamu ada-ada saja. Sudah, kamu cuci tangan dulu sana. Bau, tahu !”
“Biarin, aku masih belum selesai. Kamu mau nyamperin Dian kan?”
“Mas Diaaan… mas Diaaan..” suara Dina keras sekali.
“Oh, ada bu Rina, ada Dina..” kata Dian yang baru saja keluar dari rumah.
“Mas Dian, ayo jalan-jalan..” kata Dina.
“Jalan-jalan kemana? Aku mau bantuin ibu,” jawab Dian.
“Dian, kamu ikut saja, biar aku yang bantuin ibu,” sela Baskoro.
“Dian, Dina ingin mengajak kamu jalan-jalan. Itu om Leo sudah menunggu,” kata Rina.
“Tapi saya belum bilang sama ibu,” kata Dian ragu.
“Aku nanti yang bilang sama ibu. Buruan kalau mau dandan,” kata Baskoro lagi
“Boleh nggak ya sama ibu,” Dian tetap saja ragu-ragu karena dia tak pernah melakukan sesuatu tanpa ijin ibunya.
“Ya sudah, Dian, sana bilang dulu sama ibu, biar bu Rina nungguin disini,”
“Ayo bilang mas.. ayo..” Dina yang tak sabar kemudian menarik tangan Dian dan diajaknya kedepan untuk meminta ijin kepada Ika.
“Heran, anak kamu bisa kompak banget sama anaknya mbak Yanti. Dan kalau aku boleh bilang, wajahnya juga ada mirip-miripnya begitu. Pasti semua orang mengatakan bahwa mereka adalah saudara.”
“Iya. Aku juga heran,” kata Rina sambil duduk di kursi teras.
“Ya sudah, kamu nungguin disini, aku mau bantu mbak Yanti lagi ya,” kata Baskoro sambil kembali kedepan untuk membantu Ika.
“Heran aku, bisa-bisanya Baskoro mau membantu jualan sayur.. apa cinta membutakan segalanya? Lalu bagaimana sikapnya mbak Yanti, bukankah dia calon isteri orang? Hm, senang ya dicintai banyak orang, termasuk mas Leo juga yang aku yakin pasti masih punya rasa cinta terhadapnya,” gumam Rina sambil menatap kearah depan, dimana Baskoro sudah disibukkan dengan urusan bungkus membungkus sayur dan lain-lainnya.
“Ibuu… mas Dian boleh ikut kita..” teriak Dina sambil melonjak-lonjak.
“Tunggu sebentar ya bu, saya ganti baju dulu,” kata Dian kepada Rina, sambil langsung masuk kedalam.
Rina hanya mengangguk. Tadinya dia mengira Ika akan melarangnya karena takut Leo akan membawa kabur Dian.
“Hmh, apakah mas Leo sebodoh itu?” gumam Rina pelan.
***
“Semuanya sudah aku jelaskan kan mas, jadi menurut aku seharusnya kamu setuju,” kata Risma setelah bicara panjang lebar kepada Broto, yang terus saja mengangguk-angguk tanda mengerti.
“Apa kamu yakin aku bisa melakukannya Ris?”
“Mas Broto kok begitu, aku percaya lah kemampuan kamu. Dan kamu juga tidak perlu meninggalkan pekerjaan kamu kok. Kamu hanya akan memantaunya setiap sa’at, dan memberi pengarahan disaat hal itu dibutuhkan.”
“Iya, tampaknya memang mudah.”
“Mas, tolonglah, aku hanya bersama Baskoro, dan jaringan bisnis mas Arga itu sangat luas. Sesekali kita akan ke luar negri untuk mengeceknya dari dekat.”
Broto menatap wajah Risma yang tampak lelah. Wajah cantik yang dulu amat disayanginya, dicintainya dengan segenap jiwanya. Lalu takdir memisahkan mereka, karena ada kerja sama bisnis diantara orang tua keduanya, yang merasa bahwa penyatuan dua generasi diantara mereka harus disatukan. Baiklah, lalu Broto berusaha melupakannya, sampai ditemukannya Ika. Seorang janda yang dengan tetesan keringatnya mampu melakukan apapun demi anaknya. Broto sudah ingin meminangnya, apalagi ibu angkatnya, bu Kartiman yang selalu mendorongnya. Tapi kehadiran Baskoro membuat langkahnya surut. Mampukah dia bersaing dengan Baskoro? Dia lebih segalanya dibandingkan dirinya.
“Hei,.. halloooo.. kok malah ngelamun sih mas,” kata Risma agak keras sambil menepuk tangan Broto.
“Eeh, maaf…”
“Apa lagi yang mas pikirkan?”
“Tidak ada.. “
“Jadi mas setuju kan? Besok kita akan ke kantor cabang yang ada disini, nanti aku kenalkan mas dengan staf-staf aku.”
“Tapi aku harus ke kantor terlebih dulu.”
“Tidak masalah, aku jemput mas saat istirahat. Bagaimana ?”
“Baiklah, terserah kamu saja.”
“Tapi mantapkan dulu hati mas, jangan membantu dengan setengah-setengah.”
“Ya, baiklah,”
“Besok ketika aku nyamperin mas di kantor, mas harus sudah menemukan keputusan secara bulat. Aku lihat mas masih ragu-ragu.”
“Tidak, mengapa kamu mengatakan demikian ?”
“Aku lihat mas tampak melamun tadi.”
“Bukan masalah pekerjaan untuk kamu.”
“Ooh, hal lain? Apakah seorang gadis?”
“Tidak, kamu ada-ada saja.”
“Kamu sudah punya pacar mas? Atau calon ?”
“Tidak.. eh.. belum laku, kan aku sudah bilang.”
“Jangan terlalu memilih, mas itu sudah saatnya memiliki seorang pendamping.”
“Iya, nanti aku pikirkan kalau aku sudah berhasil membantu kamu.”
Tiba-tiba ponsel Broto berdering, rupanya dari bu Kartiman.
“Ya ibu?”
“Broto, kamu tidak pulang Minggu ini ?”
“Tidak bisa bu, ada urusan pekerjaan yang tidak bisa Broto tinggalkan. Mungkin Minggu depan bu.”
“Kamu baik-baik saja kan?”
“Iya bu, baik, atas do’a ibu dan om Kartiman pastinya.”
“Aku ingin kamu segera pulang, soalnya aku mau ketemu sama nak Ika.”
“Memangnya ada apa bu?”
“Pengin tahu rumahnya, dan pengin omong-omong tentang perjodohan.”
“Apa maksud ibu?”
“Ibu kan pernah bilang, nak Ika wanita yang baik. Biarpun dia sudah punya anak, dan hanya seorang tukang sayur, tapi dia itu baik dan cantik. Memangnya kenapa kalau tukang sayur? Bapakmu masih ragu-ragu, katanya.. masa seorang manager mau beristerikan seorang tukang sayur, tapi menurut ibu itu bukan masalah. Yang penting dia baik, apalagi cantik. Ibu sudah ingin sekali punya cucu, tahu!”
Broto tertawa.
“Iya bu, tunggu saja..”
“Tapi kamu suka kan sama nak Ika?”
“Nanti dulu bu, jangan terburu-buru, tunggu Broto pulang dulu ya bu.”
“Baiklah, ibu tunggu. Sekarang ibu sudah merasa sehat. Siap seandainya kamu menikah setiap waktu."
“Baiklah bu,” Broto tertawa.
Dan sambil menutup ponselnya, kata-kata ibu angkatnya terus terngiang dikepalanya. Ika.. Ika.. Ika.. berkali-kali dibisikkannya nama itu didalam hatinya. Lalu ia teringat Baskoro, dan angan itu kembali terbang.
“Memangnya ada apa, setelah menerima telpon kok seperti orang bingung,” tegur Risma.
“Bukan bingung. Ibu mengira Minggu ini aku akan pulang, ternyata tidak.”
“Oh, maaf ya, aku penyebabnya bukan?”
“Bukan, Minggu sebelumnya kan aku sudah pulang. Nggak apa-apa, kan masih ada Minggu depan."
“Kalau Minggu depan kita bisa sama-sama mas, pakai mobil aku saja.”
“Nggak bisa, aku biasanya kalau pulang suka muter-muter kemana-mana. Kalau memang mau bareng ya pakai mobil aku saja.”
“Baiklah, begitu juga boleh.”
***
“Bu, kamu itu jangan suka memaksakan kehendak,” tegur pak Kartiman.
“Memaksakan kehendak bagaimana sih pak?”
“Kamu ingin sekali Broto berjodoh dengan mbak Ika, apakah sudah pasti Broto akan menerimanya?”
“Masa nggak mau? Kalau pulang itu dia pasti main kesana kok. Kalau tidak suka mengapa selalu menemui dia setiap pulang?”
“Belum tentu juga, kan Broto bilang suka sama anaknya mbak Ika.”
“Suka sama anaknya, pasti karena suka sama ibunya.”
“Lho, ibu kok nekat begitu.”
“Kita ini sudah semakin tua pak, aku ingin sekali menimang cucu.”
“Baiklah, tapi ibu jangan memaksa Broto berjodoh sama wanita yang menurut ibu itu baik. Jakarta itu kota besar, banyak gadis-gadis cantik disana.”
“Gadis cantik dari kota besar itu belum tentu baik lho pak. Coba kalau bapak melihat acara di televisi itu, artis-artis cantik main kawin cerai. Apakah pernikahan itu hanya seperti sebuah permainan?”
“Lho, itu kan artis. Dan tidak semua begitu. Ibu kok ukurannya dari berita televisi.”
“Aku tahu, intinya bapak tidak suka sama nak Ika karena dia hanya tukang sayur, dan anak kita adalah manager perusahaan besar, begitu kan?”
“Bukan bu, aku hanya ingin agar ibu tidak memaksakan kehendak. Coba nanti kita bicara baik-baik sama Broto, apa benar dia suka sama mbak Ika, atau sudah punya pilihan lain. Itu lebih baik.”
“Ya sudah, terserah bapak saja. Kita pastikan nanti kalau Broto sudah pulang.”
***
“Hallo, ini Rina ya?”
“Iya, mbak Risma masih di Jakarta?”
“Masih untuk beberapa hari Rin, tapi Baskoro sudah pulang duluan.”
“Iya, aku tahu.”
“Sudah ketemu?”
“Ya, kebetulan ketemu.”
“O, Baskoro sedang ada didekat kamu?”
“Ya tidak mbak, aku lagi nungguin anak-anak lagi main tuh, sama mas Leo juga.”
“Kok kamu bisa nelpon aku, nanti Leo marah dikira kamu telponan sama Baskoro.”
“Nggak, mas Leo lagi main sama anak-anak tuh. Kami sedang berada disebuah taman bermain.”
“Bagaimana kandungan kamu? Sudah nggak suka muntah-muntah lagi?”
“Sudah berkurang banyak, hanya cepat lelah, makanya aku hanya duduk-duduk saja menunggu.”
“Kamu ketemu Baskoro dimana ?”
“Mm.. di.. dirumah tukang sayur..”
“Nah, itu yang menjadi pikiran aku. Tukang sayur itu sahabat yang kamu ceritakan itu kan?”
“Iya, memang dia tadinya langganan aku mbak, tapi sekarang sudah pindah.”
“Bagaimana Baskoro bisa kenal dia?”
“Ketika mengantarkan aku ke rumah sakit, dia juga ada. Nggak tahu juga kok Baskoro bisa langsung dekat sama dia.”
“Baskoro memang bilang suka sama dia, tapi aku belum merespon apa yang dia katakan. Kan kami lagi dalam suasana berkabung juga waktu itu. Tapi aku terus kepikiran sama kemauan Baskoro itu.”
“mBak Risma setuju, Baskoro jatuh cinta sama tukang sayur itu?”
“Nggak tahu aku. Kalau wanitanya itu kamu, nggak usah berpikir dua kali aku pasti setuju,” kata Risma sambil tertawa.
“Mbak Risma ada-ada saja,” Rina juga ikut tertawa.
“Itu benar..”
“Kami tidak berjodoh mbak..sudahlah.”
“Yah, memang sayang sekali, dulu Baskoro seperti orang gila ketika kehilangan kamu. Bahkan dia depresi sampai sekarang. Tapi akhir-akhir ini aku lihat wajahnya begitu cerah. Apa benar itu karena dia jatuh cinta sama si tukang sayur?”
“mBak pernah melihatnya?”
“Sekali. Baskoro mengajak kerumah ketika ada pengajian saat meninggalnya mas Arga.”
“Bagaimana menurut mbak?”
“Cantik, dan baik. Ada anaknya yang ganteng. Tapi itu saja kan tidak cukup untuk bahan pertimbangan.”
“Baiklah. mBak harus pastikan bahwa pilihan Baskoro benar-benar oke.”
***
“Aku heran, Dina dan Dian bisa begitu dekat ya mbak,” kata Baskoro ketika Ika sudah membersihkan bekas tempat ia berjualan. Dan Baskoro dengan tanpa kikuk membantunya. Dan mereka juga sudah membersihkan diri.
“Iya, karena dulu kan satu sekolahan, dan Dian sering membantu Dina saat mengerjakan pelajaran sekolah,” kata Ika menjelaskan, tanpa menunggu pertanyaan berikutnya dari Baskoro. Tapi ucapan selanjutnya membuatnya berdebar.
“Tapi menurut saya, wajahnya juga mirip, seperti saudara saja.”
Ika sangat tidak suka mendengar hal itu. Ia mengakui, memang mirip, dan memang mereka saudara, tapi mana mungkin ia menerangkan apa yang menjadi penyebabnya?
“Iya bukan?” Baskoro masih melanjutkan.
“Eh.. masa, aku kurang begitu memperhatikan.”
“mBak Yanti ini sebenarnya orang-orang memanggilnya mbak Ika, tapi saya terlanjur ikutan Rina, memanggil mbak Yanti, aneh nggak ya?”
“Ya nggak aneh mas, memang nama saya Ika Wijayanti, terserah mau memanggil apa.”
“Jadi teringat saat mendengar oerawat mengatakan, ketika Leo masih dirawat. Kata perawat itu, saat suhu tubuhnya tinggi, Leo suka memanggil-manggil nama Ika.”
Ika kembali terkesiap. Ia baru mendengarnya.
“Apa Leo punya selingkuhan ya? Aku khawatir yang dimaksud itu adalah Ika yang ini,” lalu Baskoro tertawa keras, karena mengira itu sebuah lelucon, bukan sungguhan.
Ika menata debar jantungnya. Benarkah Leo selalu menyebut namanya? Apakah Leo masih mencintainya? Aduhai, itu tidak boleh, Leo sudah punya Rina. Kalaupun masih tersisa rasa cinta itu, Ika selalu menepiskannya jauh-jauh. Cinta tak ada yang salah. Tinggal dimana kita akan meletakkannya, dan harus berada ditempat yang sepantasnya, sehingga tidak akan membabi buta dalam meraihnya.
“Ah, mas Baskoro bicara yang aneh-aneh saja. Ayo silahkan diminum tehnya. Pasti capek membantu pekerjaan seorang tukang sayur,” kata Ika setelah berhasil menenangkan batinnya, sementara Baskoro terus menerus menatapnya lekat.
“Nggak tuh, saya senang melakukannya.”
“Terimakasih banyak ya mas. Tapi mengapa mas Baskoro senang melakukan itu?”
“Supaya dekat dengan mbak Yanti,” tampaknya Baskoro ingin segera menembak langsung. Kelamaan. Kapan lagi? Toh berita tentang Broto yang katanya calon suami Ika itu tidak benar.
Tapi Ika sangat terkejut. Diangkatnya wajahnya, lalu menatap Baskoro. Keduanya bertatapan. Ada percikan api disana, membuat Ika kemudian menundukkan wajahnya dengan tubuh terasa panas dingin.
Ika tak tahu harus mengatakan apa. Lagipula ia merasa debur jantungnya menjadi melaju lebih cepat. Ia mulai mereka-reka, apa sebenarnya maksud Baskoro.
“Apa mbak Yanti keberatan ?”
“Aap.. apa?”
“Kalau saya dekat dengan mbak Yanti.”
“Ti.. tidaak..”
“Dekat dalam arti yang sesungguhnya lho.”
“Aap..apa ?”
Baskoro tersenyum melihat Ika tampak gugup. Tapi semuanya sudah terlanjur diucapkan, dan dia tak pernah surut dalam mencapai setiap keinginannya.
“Dekat dimata, dan juga dekat dihati.”
Wajah Ika pucat pasi. Barangkali dia sedang bermimpi. Seorang pengusaha kaya raya, pulang pergi ke luar negri, mengucapkan kata-kata yang membuat jantungnya semakin cepat berpacu.
“Apa mbak Yanti keberatan?”
“Aap.. apaa?”
“Aku sepertinya jatuh cinta sama mbak Yanti,” Baskoro memperjelas apa yang ada didalam hatinya. Ika bertambah pucat. Tangannya mulai gemetar. Bertahun-tahun lamanya belum pernah seorang laki-lakipun mengatakan cinta kepada dirinya. Hati yang beku itu terurai perlahan.
“Masih pantaskah aku jatuh cinta lagi?” bisik batinnya.
Laki-laki dihadapannya itu sangat sempurna sebagai laki-laki. Wajahnya bersih tampan, tubuhnya tinggi atletis, senyumnya teramat manis. Ika menggenggam tangannya sendiri yang mulai berkeringat. Alangkah mudahnya mencintai leki-laki seperti Baskoro. Selain itu dia juga sedikit kocak, dan setiap langkahnya banyak yang tak terduga. Seperti tiba-tiba membantu berjualan sayur. Ikut membersihkan bekas tempat berjualan. Tapi dia kemudian merenungi keadaan dirinya. Ika merasa seperti bumi dan langit. Ia akan mendongak terlalu tinggi.
“Aku yakin, aku benar-benar jatuh cinta,” Baskoro mengulang ucapannya, sambil terus menerus menatap Ika.
“Apa ucapanku sangat mengganggu?” kata Baskoro ketika melihat wajah Ika pucat.
“Ti..tidaak.. aku.. aku ini.. siapa.. mengapa.. mas mengucapkan itu?”
Tiba-tiba ponsel Ika berdering, masih gemetar tangan Ika ketika mengangkatnya, entah dari siapa, ia tidak melihatnya.
“Hallo,” sapanya.
“Nak Ika ? Ini ibu, bu Kartiman, suara dari seberang.
“Oh, iya bu.. tumben ibu menelpon? Apa kabar bu? Ibu sehat?”
“Iya nak, alhamdulillah ibu sehat, nak Ika dan Dian bagaimana?”
“Atas do’a ibu, kami baik-baik saja.”
“Syukurlah nak. Begini, hari Minggu mendatang nak Ika nggak pergi kemana-mana kan?”
“Iya bu, ada apa?”
“Nggak apa-apa. Cuma ibu ingin berkunjung kemari. Boleh kan?”
“Iya bu tentu saja boleh.”
“Hanya pengin omong-omong saja kok. Mungkin nanti akan bersama Brroto juga.”:
Sampai pembicaraan itu berakhir, Ika masih termangu.
==========
“Ada apa? Ada masalah?” tanya Baskoro ketika melihat Ika tampak termenung.
“Tidak ada.. hanya ibu Kartiman, pemilik rumah dimana dulu aku mengontrak.”
“Oh, ada .. masalah?” tanya Baskoro yang menduga Ika masih berhutang uang kontrakan.
“Tidak, hanya ingin berkunjung, karena sejak saya pindah kemari mereka belum pernah datang."
Baskoro mengangguk-angguk.
“Lalu.. bagaimana dengan … apa yang saya katakan tadi?”
“Aap..apa?” Ika kembali gugup.
“mBak Yanti.. aduh.. bolehkah saya memanggil Yanti saja?”
Ika tersenyum dan mengangguk. Dalam kegundahan hatinya itu, ia merasa tak mampu berkata banyak. Ia harus menenangkan perasaannya terlebih dulu.
“Yanti, apa jawabmu ?”
“Aap.. apa?”
“Aku jatuh cinta sama kamu.”
Ika meremas tangannya sendiri yang masih saja berkeringat.
“Aku ini siapa mas.. apakah mas Baskoro sadar ?”
“Sadar lah, memangnya aku pingsan?”
“Mas harus mengerti saya hanya seorang tukang sayur. Mas Baskoro terlalu tinggi bagi saya. Saya tidak berani mas,” akhirnya Ika mampu bersuara.
“Tidak terlalu tinggi, kalau perlu aku bisa berjongkok supaya kamu bisa memegang kepalaku.”
“Aduh.. “
“Kok aduh, apanya yang sakit?”
“Jangan bercanda, saya serius.”
“Aku juga serius. Aku tidak pernah mundur dalam mencapai keinginan aku.”
“Aku menyadari siapa aku, aku tidak berani mas..”
“Kamu akan bersama aku, masih tidak berani?”
Ika mendesah .. bingung.
“Baiklah, aku tidak tergesa menunggu jawaban kamu, tapi percayalah bahwa aku akan menunggu. Tetap menunggu. Dan ingat, bahwa aku hanya akan mundur apabila kamu mengatakan bahwa kamu tidak mencintai aku, atau sudah ada orang lain yang lebih kamu cintai.”
“Benar mas, mas Baskoro terlalu tinggi untuk aku. Aku seperti terlempar keatas, lalu aku akan jatuh, kesakitan.”
“Aku serius, aku ingin memiliki isteri dan kamu adalah pilihan aku. Percayalah, aku akan membahagiakan kamu dan Dian, dan tak akan pernah setetespun air mata duka membasahi matamu. Satu lagi, Dian butuh sosok seorang ayah.”
Air mata itu sudah mengambang di sepasang mata beningnya. Baskoro meraih tissue yang ada di atas meja, lalu mengusap lembut mata Ika.
“Apa aku harus bersujud dihadapan kamu supaya kamu percaya?”
Ika menatap Baskoro tak berkedip. Seperti mimpi rasanya mendengar bahwa laki-laki perlente dan bukan main itu mengatakan cinta padanya. Bahkan rela bersujud untuk membuatnya percaya.
“Tapi seperti aku mengatakannya tadi, aku akan menunggu kamu berfikir dan menimbang. Minggu depan aku akan kemari dan menunggu jawaban dari kamu,” lanjut Baskoro.
Ia masih terpaku ketika Baskoro berpamit lalu ia merasa bahwa alam sekitar tiba-tiba menjadi senyap.
“Mengapa aku ini? Jangan, jangan terpengaruh apa yang dikatakannya. Setiap laki-laki memang pandai merayu. Mengumandangkan kidung-kidung cinta, membuat aku terbuai dan seperti terbang ke awang, lalu menjatuhkan aku ke tanah, membuat aku terluka dan sakit,” katanya kepada diri sendiri.
Ika menyandarkan tubuhnya di kursi teras, merasa betapa sepi setelah si ganteng itu pergi. Merasa kehilangan canda dan kenekatannya. Kehilangan senyum memikat yang menggetarkan hatinya. Lalu Ika memaki dirinya sendiri.
“Gila.. gila.. gila.. aku terpesona ya? Tidak.. tidak.. aku akan terluka.. pergi.. pergi kamu..” gumamnya pelan, lalu ia menutup wajahnya dengan kedua tangan.
“Ibu.. aku sudah pulang..”
Ika terperanjat. Ketika melepaskan tangannya ia melihat Dian, Dina dan bu Rina berdiri di tangga teras.
Dian dan Dina segera naik dan mencium tangan Ika.
“Ya ampuun.. sudah pada pulang?”
“Tadi kami makan es krim,” kata Dina kemayu seperti biasanya.
“Aduuh, enak sekali,” kata Ika sambil tersenyum.
“Mas Dian sudah bawa sekotak, nanti boleh dimakan sama bu Yanti,” sambung Dina lagi.
“Terimakasih banyak Dina, terimakasih bu Rina, silahkan duduk.” Ika mempersilahkan Rina untuk duduk.
“Tidak, kami hanya mengantarkan Dian, sudah hampir sore,” kata Rina sambil melirik keatas meja, dan melihat dua buah cangkir yang telah kosong.
“Tidak akan duduk dulu?”
“Terimakasih mbak Yanti. Baskoro sudah pulang?”
“Baru saja pulang,” lalu Ika menyesali kata-katanya karena jawabannya seakan mengatakan bahwa Baskoro sangat lama berbincang dirumahnya.
“Oh, lumayan lama. Dia itu pintar bercanda, membuat kita tidak bosan bersamanya.”
Ika terdiam. Rina seakan menebak apa yang dirasakannya. Tak bosan berlama-lama bersama Baskoro.
“Ya sudah, aku pamit dulu ya mbak, mas Leo menunggu di mobil.”
“Sekali lagi terimakasih ya bu, sudah mengajak Dian jalan-jalan.”
“Mas Dian, aku pulang dulu, besok-besok jalan-jalan lagi ya?” kata Dina yang kemudian berlari-lari kecil mengejar ibunya yang sudah mendahuluinya.
“Bagaimana tadi? Kamu senang?” tanya Ika.
“Senang bu, tadi ke taman bermain, lalu makan di restoran, enak-enak makanannya. Om Leo memesan makanan untuk Dian bawa pulang, sudah Dian letakkan dimeja, untuk kita makan nanti. Om Leo juga membeli es krim untuk kita, sudah Dian masukkan ke dalam kulkas.”
Ika hanya mengangguk-angguk.
“Om Leo sangat sayang pada Dian. Dian diperlakukan seperti Dina, benar-benar seperti anaknya sendiri,” Dian masih mengoceh, dengan wajah berseri-seri.
Ika menghela nafas, tapi berusaha tersenyum.
“Dian merindukan sosok seorang ayah.. ia begitu bahagia dianggap anak oleh Leo. Ya Tuhan,” kata batin Ika. Lalu ia teringat kata-kata Baskoro barusan.
“Dan ingat, Dian membutuhkan sosok seorang ayah.”
“Ibu sudah makan? Ayo Dian temani, biarpun Dian sudah kenyang. Ada ayam goreng ragi juga. Sayangnya tidak ada tempe goreng kesukaan Dian,” kata Dian sambil menarik tangan ibunya.
Ika tersenyum. Di restoran mahal mana jual tempe goreng?
“Besok kalau Dian sudah bekerja dan punya banyak uang, Dian tetap akan suka tempe goreng,” oceh Dian lagi sambil menunjukkan bungkusan yang berisi banyak lauk yang enak-enak.
Ika merangkul kepala Dian dan menciumnya lembut.
“Benar kan bu, kalau hari Minggu ibu tidak usah memasak. Habis jualan harus istirahat. Beruntung kita tidak usah membelinya, karena sudah ada yang memberi. Ini rejeki bukan?”
Ika hanya mengangguk. Hatinya mengharu-biru, mengetahui anaknya begitu bahagia mendapatkan perhatian seperti perhatian seorang ayah.
***
“Mas Broto, lagi ngapain?” kata Risma ketika menelpon malam itu.
“Lagi ngelihat acara di televisi. Kenapa?”
“Mas sudah makan?”
“Belum, lagi mikir mau makan apa.”
“Makan yuk, udara sangat dingin, pengin mie rebus.”
“Boleh. Aku samperin. Kapan ?”
“Tahun depan!” seloroh Risma sambil tertawa.
“Baiklah, aku mandi dulu ya, bau asem.”
“Ya ampun, jam segini belum mandi?”
“Iya.. hahaa.. lagi males mandi.”
“Astaga. Mandi gih, aku nggak mau makan sambil mencium bau asem dari tubuh mas.”
Broto tertawa, lalu menutup ponselnya.
Terkadang Broto heran, sikap Risma masih seperti dulu, ketika mereka masih bersama, saling menyayangi dan memperhatikan. Apakah perasaan seperti dulu masih ada dihati mereka? Broto tidak tahu, karena bayangan Ika selalu memenuhi benaknya. Sayangnya bayangan itu selalu tertutup oleh bayangan yang lain, sosok tinggi gagah dan ganteng, yang tampak lebih menarik dari dirinya, yang bertubuh lebih kecil, dan kulit juga agak hitam. Ini mungkin akibat dari dulu diwaktu masih remaja, sering berpanas-panas saat menjajakan koran dijalan-jalan.
Broto mengibaskan semua itu, lalu bergegas kekamar mandi. Ada sebuah lagu rindu disenandungkannya, entah rindu sama siapa.
***
“Bas, kamu kemana saja? Dari siang tadi aku menelpon kamu nggak kamu angkat?”
“Maaf mbak, ponsel ketinggalan di mobil, jadi nggak dengar. Ini juga baru aku ambil dari mobil sejak pagi.”
“Gimana sih, ponsel ditinggal dimobil sejak pagi, kalau ada berita penting bagaimana?”
“Iya, maaf, nggak kepikiran.”
“Memangnya kamu ada dimana sejak pagi sampai malam begini?”
“Aku pergi pagi sampai siang, pulang terus tidur, bukannya pergi pagi sampai malam.”
“Baiklah, pergi kemana Minggu begini?”
“Ah, mau tahu aja sih mbak, kayak belum pernah muda.. hahaa.. sekarang juga mbak kan juga masih muda..”
“O, itu ya.. ke tukang sayur kecintaan kamu itu?”
“Iya, memang Baskoro cinta banget sama dia.”
“Bas, jatuh cinta itu jangan asal.”
“Jatuh cinta itu perasaan yang tanpa kita sadari sebelumnya. Bukan asal. Cinta tidak direncanakan, dan tidak memilih. Ia datang begitu saja,” kata Baskoro panjang lebar, seakan dia benar-benar memahami arti cinta.
“Aduuh.. aduuuhh… adikku ternyata pintar mengurai kata cinta. Dengar, baiklah cinta datang tiba-tiba, tapi jangan gunakan itu untuk menguasai cinta itu.”
“Apa maksudnya menguasai?”
“Karena kamu jatuh cinta, maka kamu merasa harus memiliki. Pikirkan apakah cinta itu jatuh di tetumbuhan yang benar.”
“Apa maksudnya tetumbuhan yang benar?”
“Manusia itu aku ibaratkan sebuah tetumbuhan. Apakah dia tumbuh ditempat yang subur, apakah di tempat yang kerontang, apakah tumbuhan liar dipinggir jalan. Kamu bisa memilihnya yang terbaik untuk kamu pelihara.”
“Ah, itu salah..”
“Apa maksudmu salah ?”
“Manusia bukan untuk dipelihara seperti tumbuhan, apalagi binatang.”
“Baiklah, tampaknya mas Broto sudah nyamperin aku untuk makan malam, debatnya dilanjutkan besok saja. Yang harus kamu pahami adalah, aku, kakakmu ini, ingin yang terbaik untuk kamu.”
Pembicaraan per ponsel itu berhenti karena Risma sudah harus pergi bersama Broto.
Baskoro tak mau memikirkan apa yang dikatakan Risma, ia sudah tahu bahwa kakaknya pasti memikirkan derajat seseorang. Dan seorang tukang sayur mungkin tidak akan masuk dalam hitungan.
***
“Senang ya, melihat kedua anak itu bermain sangat kompak. Yang kecil manja, yang besar melindungi,” kata Leo malam itu.
“Iya. Aku juga tahu. Namanya juga saudara.”
“Seandainya Ika mengijinkan aku bisa merawat Dian, aku akan berbahagia sekali.”
“Mas jangan memikirkan itu lagi. Hal yang tidak mungkin, kalau dipikirkan terus, justru akan membuat kita sakit.”
“Mengapa ya, Ika tak mengijinkan aku merawat Dian. Dengan demikian kan beban dia tidak terlalu berat.”
“Mas kok aneh. Dian itu anaknya. Anak yang dilahirkannya, ya nggak mungkin akan diberikannya begitu saja. Kecuali kalau mas mau mengambilnya sebagai isteri. Mereka bisa dua-duanya bersama mas.”
“Itu juga nggak mungkin kan ?”
“Ya nggak mungkin. Jadi sudahlah, cukup sekali-sekali saja bertemu dan membiarkan anak-anak kita bermain bersama. Mas tampaknya tak habis-habisnya menyesali keadaan ini.”
“Maaf Rina, aku juga terbebani atas dosa aku.”
“Mas sudah berusaha memperbaikinya, meminta maaf, berusaha menafkahi walau belum berhasil. Itu sudah cukup. Kalau mas begitu terus, aku jadi pusing.”
“Ya jangan pusing lah Rin..”
“Pusing mas, mendengarkan keluhan mas yang itu-itu saja. Hal yang tidak mungkin itu tidak usah dipikirkan terus. Sakit, tahu.”
Leo menghela nafas berat. Diletakkannya kepalanya pada sandaran kursi dengan kedua tangan menopangnya.
“Aku sudah berusaha..”
“Berusahalah terus sampai mas benar-benar bisa menghilangkannya. Ingat anak kita yang ada dalam kandungan ini mas. Aku tuh kalau terlalu banyak mendengar keluhan mas itu, pusing jadinya.”
“Rin, maaf ya.”
“Sekarang tidurlah, besok harus ke kantor.”
Rina berdiri, mendahului masuk ke kamar.
Leo yang merasa sendirian kemudian memang mengikutinya, setelah menjenguk kedalam kamar Dina, dan melihat bidadari kecilnya tertidur pulas.
***
“Kamu dari tadi kok seperti kesal begitu, nggak suka ya, makan aku temani?”
“Omong apa kamu itu, yang minta kamu supaya menemani aku itu siapa, aku sendiri kan, masa jadi nggak suka?”
“Tapi wajahmu tampak seperti orang lagi kesal begitu.”
“Iya, tadi aku menelpon Baskoro, jadi kesal aku, tampaknya dia lebih suka menuruti kemauannya sendiri, tidak mau mendengar kata-kata kakaknya.”
“Jadi seorang kakak itu kan harus sabar. Namanya orang, terkadang suka melakukan hal-hal yang tidak kita sukai. Asalkan tidak melenceng dari kebenaran, biarkan Baskoro melakukan apa yang menjadi kemauannya. Ia bukan anak kecil lagi kan?”
“Justru karena dia bukan anak kecil, aku jadi kesal mengapa dia tidak melakukan hal yang benar.”
“Hal yang benar itu apa, yang tidak benar dan dilakukan Baskoro itu apa? Apa dia melakukan kejahatan?”
“Bukan kejahatan. Tapi sesuatu yang tidak bisa dengan gampang aku terima.”
“Tidak gampang, berarti bisa kan?”
“Entahlah..”
“Risma, Baskoro bukan anak kecil. Dia tak mungkin melakukan hal yang menurutnya tidak benar.”
“Kamu salah. Baskoro itu kalau sudah punya keinginan, dia harus bisa mencapainya. Kalau nggak dia akan kacau. Repot semua orang.”
“Tapi kan keinginannya itu bukan sesuatu yang salah, maksudnya tetap dalam koridor kebenaran.”
“Seringnya begitu, tapi terkadang juga tidak.”
“Sebenarnya apa sih yang menjadi keinginan dia? Kalau boleh aku tahu?”
“Dia jatuh cinta sama seorang tukang sayur.”
Broto terkesiap. Dia sudah menduganya. Baskoro suka sama Ika yang dipanggilnya mbak Yanti. Tapi Ika kan gadis yang baik? Broto juga suka, tapi rasanya tak rela kalau Risma merendahkannya.
“Memangnya kenapa kalau dia tukang sayur? Dia perempuan kan?”
“Iya lah, perempuan, masa laki-laki? Tapi yaah.. gimana ya, aku nggak ingin dibilang merendahkan, tapi kok…”
“Maksudmu dia terbilang perempuan golongan rendahan? Tidak se level kamu dan Baskoro?”
“Oh ya, tampaknya kamu juga mengenalnya ya mas, bagaimana menurut kamu perempuan itu?”
“Dia baik, cantik.. tak ada cacat celanya kecuali dia hanya seorang tukang sayur. Tapi jangan memandang rendah apa yang dilakukannya. Keringat yang diteteskannya seperti butiran-butiran mutiara yang indah, karena dilakukannya untuk suatu tujuan yang mulia bagi seorang ibu.”
Risma menatap Broto, dan tampaknya Broto meyakinkan bahwa tukang sayur itu adalah perempuan yang baik.
***
“Rina..”
“Aduh, mbak Risma, kaget aku pagi-pagi sudah menelpon. Sudah pulang kesini ?”
“Belum, aku masih di Jakarta sampai Minggu depan. Masalah pekerjaan belum selesai.”
“Oh, kirain sudah balik kemari.”
“Belum, aku cuma mau tanya sama kamu.”
“Tampaknya penting nih?”
“Baskoro bilang dia jatuh cinta sama sahabat kamu yang katanya tukang sayur itu.”
“Oh, dia sudah berterus terang sama mbak Risma?”
“Ya, baru ngomong sekilas sih, tapi aku agak terganggu dengan predikat tukang sayur yang dia katakan.”
“Memangnya kenapa? mBak Risma tidak setuju?”
“Menurutmu dia itu perempuan yang bagaimana? Mengapa tiba-tiba Baskoro bisa tergila-gila sama dia?”
“Dia.. perempuan.. cantik.. baik.. tapi dia sudah punya anak yang saat ini sudah bersekolah di.. SMP.”
“Kemana suaminya?”
“Suaminya?”
“Baskoro pernah mengatakan kalau suaminya sudah meninggal. Tapi dia itu bicara sekilas-sekilas begitu. Aku belum bisa sungguh-sungguh mencernanya.”
“Ada sebuah cerita yang panjang, Sebenarnya aku tak ingin mengatakannya, tapi gimana sih..”
“Memangnya ceritanya bagaimana ?”
Rina tergelitik untuk mengatakan yang sebenarnya, tapi hatinya masih ragu. Ini menyangkut aib suaminya.
“Katakan Rin, please…”
Rina masih membisu.
Bersambung #17
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel