Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 19 Juni 2022

Jangan Bawa Cintaku #15

Cerita bersambung

Ketika Ika hampir keluar dari halaman sekolah, tiba-tiba Dian berlari-lari mendekat sambil berteriak memanggil ibunya. Ika berhenti menunggu.

“Ada apa?”
“Ibu, tadi om Leo kesini.”
“Kamu ketemu dia?”
“Hanya melihat dari jauh, ketika Dian mau mendekat, dia sudah pergi.”
“Oh, ya sudah, tidak apa-apa.”
“Ibu tadi mengapa datang ke sekolah?”
“Mm.. tidak apa-apa.. sekarang ibu pulang ya?”
“Ya bu.”
“Hati-hati nanti kalau pulang ya,” pesan Ika sebelum pergi.

Ika menahan kekesalan hatinya, tak ingin Dian melihat kemarahannya. Ika langsung ke rumah Leo. Ia harus menegurnya karena kelancangan yang dilakukannya. Tapi ketika sampai dirumah itu, dilihatnya rumahnya tertutup rapat.
“Tampaknya semua pergi. Oh ya, Dian sudah masuk sekolah dan Leo pasti sudah mulai masuk kerja. Tapi apakah bu Rina juga pergi ?”

Ika mendekati rumah yang tertutup. Tak tampak ada mobil didepan, jadi apakah Rina juga pergi?
Ika membalikkan tubuhnya, menghampiri motornya dan bermaksud keluar, tapi tiba-tiba terdengar seseorang memanggilnya.

“mBak Yanti !!”

Ika berhenti dan kembali membalikkan tubuhnya, lalu berjalan mendekat ke arah rumah. Rina heran melihat wajah Ika yang keruh. Tak biasanya dia begitu. Wajah cantik dan lembut itu selalu tampak berseri, senyumnya selalu manis tapi kali ini semua keindahan itu tersapu angin atau topan yang entah dari mana datangnya. Walau begitu Rina berusaha bersikap ramah, seperti biasa kalau dia menghadapi Ika.

“Silahkan masuk mbak Yanti.”
“Saya disini saja bu, hanya sebentar.”
“Sebentarpun kan boleh duduk mbak, kalau bicara sambil berdiri mana nyaman?” kata Rina sambil menarik tangan ika.
“Ada apa sebenarnya?”
“Sebenarnya saya ingin ketemu Leo.”
“Oh, mas Leo sudah mulai bekerja mbak, baru hari ini.”
“Iya, saya ingat setelah sampai disini.”
“Kalau mbak Yanti mau, mbak Yanti mau pesan apa, nanti saya sampaikan. Tapi kalau harus ketemu juga, ya nanti sore mbak. Maaf aku tadi sedang rebahan sebentar. Kepala agak pusing. Tapi untunglah pas keluar lalu dari pintu kaca terlihat ada mbak Yanti yang sudah hampir pergi.”
“Saya kecewa pada Leo,” kata Ika dingin.
“Apa yang dilakukan mas Leo?”
“Mustahil bu Rina tidak tahu.”
“Sungguh aku tidak tahu. Kenapa dia?”
“Saya tidak ingin dia lancang membayar sekolah Dian,” katanya sambil mengeluarkan sebuah amplop, yang tampaknya berisi uang.
“Ooo…”
“Bilang sama dia, jangan berlagak sok jadi pahlawan. Dian itu anak saya dan akan menjadi tanggung jawab saya selamanya. Saya tidak butuh campur tangan dia.”
“Ya Tuhan..”
“Itu benar.”
“Jadi mas Leo telah membayar sekolah Dian, dan karena itu mbak Yanti merasa tersinggung?”
“Maaf bu, memang iya.”
“Benar, Dian itu anak mbak Yanti. Benar bahwa Leo yang tidak tahu apa-apa tampak seperti menelantarkannya. Tapi mbak Yanti jangan terlalu kejam dengan mengatakan mas Leo itu lancang.”
“Oh ya?”
“Mas Leo dengan segala cara ingin menebus semua kesalahannya. Ingin membiayai sekolah Dian seperti orang tua membiayai anaknya. Apa itu salah? Baiklah, Dian itu anak mbak Yanti, tapi menurut aku, mbak Yanti itu terlalu sombong,” tandas Rina mengatakan itu. Bagaimanapun Leo adalah suaminya. Ia tak rela suaminya dibilang lancang sementara maksudnya adalah baik.

“Aku kira mbak Yanti yang lembut hati tak akan pernah bisa menyakiti perasaan orang lain. Tapi aku salah. Dibalik kelembutan itu aku menemukan kekejaman dimata mbak Yanti. Kekejaman yang susah diluluhkan. Keras dan seakan tanpa batas.”

Ika terdiam. Tak mengira Rina yang biasanya sangat baik itu bisa menatapnya dengan pandangan marah, dan mengucapkan kata-kata yang sangat keras. Ia yang datang dengan kemarahan, justru mendapatkan amarah.

“mBak Yanti tahu? Mas Leo sangat menderita. Ia teringat dosa-dosa masa lalunya dan ingin menebusnya. Mengapa mbak Yanti menutup hati dan selalu menghadapinya dengan pandangan sinis? Manusia boleh saja melakukan kesalahan, tapi kalau Allah Maha Pengampun, mengapa mbak Yanti yang hanya manusia biasa tak mampu memaafkannya? Apakah mbak Yanti akan membiarkan mas Leo memikul beban dosa itu selama hidupnya?”
“Saya sudah memaafkannya,” kata Ika lirih, sinar marah dari matanya sudah mulai meredup.
“Kalau mbak Yanti memaafkannya mengapa sikap mbak Yanti masih dingin dan tampak seperti tak mengenalnya? mBak Yanti sangat menyakiti mas Leo. Sungguh dia sangat menderita. Ia bahkan ingin meminta agar mbak Yanti mau dinikahi mas Leo. Bukan karena dia mata keranjang, bukan karena dia ingin menduakan isterinya, tapi semata hanya ingin menebus dosanya.”

Ika menatap Rina tak berkedip.

“Tapi aku ikhlas kok seandainya itu terjadi. Karena aku sangat mencintai mas Leo, dan tak ingin mas Leo terus menerus membawa beban itu dalam hidupnya. Cuma karena mbak Yanti tidak mau, ya tidak apa-apa. Hanya saja, janganlah mbak Yanti terus- menerus menyiksanya seperti itu. Jangan merasa bisa, kemudian mbak Yanti jadi sombong.”
“Tidak.. tidak.. bukan itu,” akhirnya Ika mampu bersuara, karena tak suka dibilang sombong.

Tapi kemudian setitik air matanya menetes. Benarkah dia sombong? Menolak apapun yang diberikan Leo, apakah itu sombong? Tidak, sesungguhnya Ika hanya ketakutan kalau suatu saat Leo akan mengambil Dian dari sisinya.

“Maaf kalau saya bicara terlalu keras. Saya hanya ingin menyadarkan mbak Yanti, bahwa memberi peluang orang lain untuk menebus kesalahannya itu juga termasuk perilaku mulia. Sekali lagi mohon mbak Yanti camkan itu, bahwa mas Leo hanya ingin menjadikan bebannya ringan. Tapi kalau mbak Yanti bersikukuh memegang prinsip bahwa tak akan mengijinkan mas Leo ikut memikirkan Dian sehingga hidupnya akan menderita selamanya, terserah mbak Yanti, dan masukkan amplop itu kembali ke dompet mbak Yanti, kembalikan sendiri kepada mas Leo.”
“Bu Rina,”
“Aku mohon maaf mbak, kepala tiba-tiba terasa semakin pusing. Biarkan aku istirahat sebentar. Kalau mbak Yanti ingin menunggu mas Leo pulang, tunggu saja, aku kira tak lama lagi dia akan pulang,” kata Rina yang tanpa sungkan kemudian berdiri.

“Saya mohon pamit saja,” kata Ika yang kemudian juga berdiri.
“Tolong bawa amplop itu kembali, jangan aku yang harus menerimanya.”
***

Setibanya dirumah, Ika segera masuk kedalam kamarnya dan menangis terisak-isak. Sakit hatinya dikatakan sombong. Bukan, Ika hanya ketakutan, yang tanpa disadari telah menyakiti orang lain. Ika mengurai semua yang telah dilakukannya. Menghindari pertemuan dengan Leo, menghindarkan anaknya agar tak dekat dengan Leo, bahkan kalau mungkin akan membawanya sejauh mungkin yang tak bisa Leo menemukannya. Itu pelampiasan sakit hatinya. Tapi bukankah Leo sudah mengatakan bahwa dia sudah berusaha mencarinya? Bahwa kemudian ketemu lagi setelah bayi yang dikandungnya terlahir lalu menjadi besar, itu seperti sudah diatur dari sana. Kepada siapa Ika harus menimpakan sesal dan kesalnya? Haruskah Leo menjadi tempat untuk menumpahkan sakit hatinya?
Ika terus menangis, meratapi hidupnya yang tak pernah mendapatkan ketenangan.

“Apakah aku salah melangkah ? Apa yang harus aku lakukan ?” isaknya.
“Berdosakah aku menolak semua kebaikan Leo? Haruskah aku biarkan Leo membawa Dian, atau menikahi aku? Tidaaak.. biar bu Rina mengatakan ikhlas, tak mungkin tak ada tangis dihatinya. Cinta tak akan bisa terbagi.”

Suara sepeda memasuki samping rumah terdengar jelas. Ika berlari kekamar mandi, membasuh mukanya, membasuh bekas dukanya, walau tak berhasil membasuh sakit hatinya.

“Ibuuu…”
“Ya nak, ibu di kamar mandi,” teriak Ika dengan suara serak.

Lalu tak terdengar apapun. Tampaknya Dian sedang masuk ke kamarnya, menyimpan tas sekolahnya dan mengambil baju gantinya. Lalu Ika keluar dari kamar mandi, menutupi wajahnya dengan handuk, sambil berjalan ke arah dapur, berharap Dian tak akan melihat bekas air matanya.

“Bersihkan kaki tanganmu dulu nak,” kata Ika dari arah dapur.

Ia mengeluarkan sayur yang dibuatnya pagi-pagi sekali. Sayur lodeh dan ikan layur yang digorengnya kering, lalu ia menggoreng tempe yang sudah dibumbuinya didalam kulkas, agar masih hangat saat disantap.
Ika sudah menata makan siang dimejanya, dengan lauk sederhana yang dihidangkannya.

“Hm.. ikan asinnya masih ada ya bu,” kata Dian sambil mendekati meja makan, dan siap duduk menunggu ibunya yang sedang mengentas tempe.

“Iya, sisa pagi tadi.”
“Wah, nanti Dian akan makan lebih banyak.”
“Bagus nak, dan ini tempe goreng kesukaan kamu,” kata Ika sambil meletakkan piring berisi tempe goreng yang masih panas.”
“Waaah.. enak sekali.”
“Ada cerita apa saja tadi, disekolah baru?”
“Teman-teman baru, guru-guru baru..” kata Dian sambil menyendokkan nasi kedalam piringnya.
“Lalu.. apa lagi..? Pembagian kelas, pastinya.”
“Benar bu, Dian mendapat kelas A. Lalu disuruh memperkenalkan diri satu persatu.”
“Teman-temannya baik kan ?”
“Baik..”
“Ibu tadi menangis ?” tiba-tiba kata Dian. Tadi ia hanya memperhatikan ikan asin dan tempe goreng kesukaannya, dan baru memperhatikan wajah ibunya ketika melihat ibunya tidak segera mengambil nasi untuk dirinya sendiri.

Ika mengusap wajahnya. Bingung harus menjawab apa. Jangan sampai Dian sedih melihatnya bersedih.

“Oh, ibu tampak seperti orang habis menangis ya?”
“Iya, suara ibu juga agak serak..”
“Itulah nak, tiba-tiba ibu kena flu, itu sebabnya ibu tidak memasak sayur yang baru, tapi tiduran dikamar.”
“Ibu sudah minum obat?”
“Sudah, “ kata Ika yang kemudian pura-pura batuk.
“Minum dulu bu, dan makan yang banyak, supaya segera sembuh,” kata Dian menirukan ibunya yang selalu mengingatkan agar saat sakit justru harus makan banyak supaya cepat sembuh.

“Iya, baiklah,” jawab Ika sambil mencoba tersenyum, lalu mengambil nasi dan makan bersama Dian.
***

“Ibuu… aku sudah pulang..” teriak Dina begitu memasuki rumah.
“Cuci kaki tangan kamu dulu dan ganti baju ya,” teriak Rina dari dalam kamar.

Perlahan dia bangkit, lalu keluar dari kamar. Dilihatnya Leo membawa bungkusan, yang pastinya berisi lauk, seperti janjinya yang akan selalu membeli lauk matang setiap pulang kantor, demi isterinya yang sedang mengandung.
Rina menerima bungkusan itu, dan memindahkannya kedalam mangkuk-mangkuk serta piring.

“Apa kabar kamu siang ini?”
“Pusing.”
“Lho, obatnya tidak dimakan ?”
“Sudah. Tadi mbak Yanti datang kemari.”
“Oh ya? Sama Dian ?”
“Ya enggak lah, pastinya Dian sekolah, seperti juga Dina.”
“Kenapa dia?”
“Mas merasa tidak melakukan apa-apa?”
“Ibu, Dina bisa ganti baju sendiri,” teriak Dina setelah keluar dari kamar mandi.
“Iya sayang, Dina memang pintar.”
“Apa maksudmu melakukan apa-apa?” tanya Leo penasaran.
“mBak Yanti datang kemari, dengan amarah yang meluap-luap.”
“Memangnya ada apa?”
“Mas tetap merasa tidak melakukan apa-apa?”
“Aku melakukan apa sih?” kata Leo masih dengan bingung.
“Mas membayar sekolah Dian, mbak Yanti dengan sombongnya menolak pemberian itu. Mengatakan mas itu lancang.”
“Ya Tuhan, iya.. tadi aku ke sekolah Dian, membayar uang sekolah sampai setahun. Maaf aku belum cerita sama kamu.”
“Ibunya marah-marah, aku akhirnya juga kesal, aku katakan dia itu sombong !”
“Kamu?”
“Aku berbalik mengata-ngatai dia. Kesal aku mas, dibantuin bukannya senang malah marah-marah. Tadi itu sudah membawa amplop. Yang pastinya berisi uang yang akan dikembalikannya pada mas.”
“Kamu terima uangnya?”
“Ya enggak lah mas, aku suruh bawa pulang, lalu aku tinggalkan dia, habis kepalaku pusing sekali.”
“Lalu dia duduk sendirian?”
“Tidak, dia juga kemudian pamit pulang, aku suruh bawa amplopnya kembali.”

Leo menghela nafas. Wajahnya tampak sedih.

“Ibu.. tadi Dina sedih deh,” kata Dina yang sudah berganti pakaian, lalu duduk didekat ibunya.
“Kenapa sedih?”
“Ketika istirahat, nggak ada yang bisa Dina ajak makan roti seperti biasanya.”
“Ooh, iya..apa tidak ada teman kamu yang lain, yang bisa kamu beri roti bekal kamu?”
“Nggak asyik.. yang asyik itu kalau ada mas Dian,” katanya kemayu.
"Ya sudah, nggak apa-apa, memang mas Dian kan sudah lebih besar, sekolahnya sudah lain sekarang.”
“Kapan kita main kerumah mas Dian?”
“Sudah, jangan mas Dian melulu, sekarang makan saja dulu,” kata Rina sambil menyendokkan nasi untuk Dina, sementara Leo hanya terdiam. Pasti sakit hatinya menerima kenyataan bahwa Ika menolak pemberiannya.
***

“Kalau ibu sakit, nggak usah jualan saja dulu,” kata Dian pagi itu ketika melihat ibunya sudah siap untuk pergi ke pasar.
“Nggak apa-apa nak, ibu sudah merasa sehat.”
“Kalau sakit jangan dipaksa bu.”
“Tidak, sungguh ibu sudah baik. Kemarin ada yang pesan daging dua kilo untuk dimasak rendang, dan ibu sudah sanggup. Kasihan kalau ibu tidak jualan.”
“Benar, ibu sudah sehat?”
“Sudah, jangan khawatir. Itu makan pagi kamu dan bekal sudah ibu siapkan di meja. Jangan lupa makan dulu, dan jangan lupa bekalnya dibawa, siapa tahu nanti kamu sudah harus pulang agak siang.”
“Ya ibu. Ibu sudah sarapan?”
“Sudah nak, tapi sambil menyiapkan sarapan kamu, sementara kamu mandi, ibu sudah sarapan, sekarang ibu berangkat ya.”
“Ibu hati-hati ya. Mejanya sudah Dian tata sekalian, nanti kalau ibu datang dari pasar tinggal meletak-letakkannya dimeja.”
“Baiklah nak, terimakasih. Kamu juga harus hati-hati ya.”

Ika mengeluarkan sepeda motornya, memasang keranjang belanjaan dibelakangnya, dan bersiap untuk berangkat ke pasar.
***

Ika agak bisa meredam perasaan gundah, ketika disibukkan dengan pembeli yang mulai berdatangan.

“mBak Ika, mana mas gantengnya, kok sudah berhari-hari tidak kelihatan?” tanya si genit Murni.
“Tidak kemari mbak Murni, kerja, pastinya,” kata Ika sekenanya.
“Dia masih lajang kan mbak?” tanya Murni lagi.
“Halaaah.. ngapain tanya-tanya lajang segala? “ salah seorang ibu mencela.
“Iya tuh, mbak Ika lagi repot ngejualin tuh, jangan nanya melulu.”
“Iih, cuma nanya aja, apa salah ?” kata Murni cemberut.
“Bukan cuma salah, nyebelin, tahu!”
“Sudah, jangan didengerin mbak Ika, tapi aku juga suka sih kalau ada dia ngebantuin disini,” kata ibu yang lain, lalu disambut tertawa ibu-ibu yang ada disitu. Ramai sekali pagi itu, membuat Ika tak bisa menahan senyum.

“Mas Baskoro bisa saja memukau ibu-ibu yang belanja disini,” kata batin Ika tanpa bisa menahan senyumnya.

Hari sudah agak siang, dagangan Ika sudah menipis. Semua sayuran malah sudah habis. Lalu Ika mulai memasukkan sisa dagangannya ke keranjang, dan membawanya kerumah. Ketika ia sedang membersihkan sisa bungkus atau kotoran yang masih terserak, sebuah mobil berhenti. Ika terkejut ketika mengenali mobil itu. Hatinya berdebar tak menentu, ketika Leo turun dari mobil lalu langsung mendekatinya. Ketika Ika sedang melipat taplak plastiknya, Leo membantunya tanpa sungkan. Ika membiarkannya. Diterimanya taplak yang sudah dilipat, lalu dibawanya masuk kerumah. Leo mengikutinya tanpa disuruh, lalu duduk begitu saja di teras.

Ika masuk kedalam rumah, mencuci kaki tangannya dan berganti pakaian bersih. Ketika keluar dia sudah membawa secangkir teh lalu diletakkannya dimeja. Kali itu Ika bersikap agak manis, setelah Rina mengatainya sombong.

“Laris dagangannya?” tanya Leo membuka percakapan.
“Lumayan,” jawab Ika singkat, tanpa berani menatap wajah Leo. Masih teringat betapa kemarin dia ingin melabraknya gara-gara Leo telah membayar uang sekolah Dian.

“Aku datang kemari untuk minta maaf, kemarin telah berlaku lancang.”

Ika terkesiap. Pasti Rina telah mengatakan semuanya. Mengatakan bahwa dia menuduhnya lancang.

“Harusnya aku bilang dulu sama kamu. Tapi aku melakukannya karena aku tahu bahwa kamu akan menolaknya apabila aku bilang sebelumnya.”

Ika tak menjawab. Ia menundukkan kepalanya.

“Aku tahu bahwa aku tak berharga dimata kamu. Baiklah, tampaknya kamu tak ikhlas kalau aku ikut membayar biaya sekolah anak kamu. Ini kuitansinya, berapa banyak yang aku keluarkan di sekolah Dian kemarin.”

Ika melirik ke arah meja, dimana Leo meletakkan kertas kuitansi disana.

“Kalau kamu tidak rela, itu jumlah yang aku keluarkan, kalau kamu mau menggantinya, aku akan menerimanya,” kata Leo dengan suara bergetar.

Ika mengangkat wajahnya, menatap wajah Leo yang tampak memerah. Tampak ada tangis yang ditahannya.

“Kembalikan uangku, kalau memang aku tak pantas melakukannya,” lalu air mata itu titik dan membasahi pipi Leo.

Ika menatapnya dengan perasaan tak menentu. Ia merasa dadanya dihunjam oleh ribuan pisau. Air matanyapun nyaris meluncur dari sepasang bola matanya yang membasah.

==========

“Maafkan aku,” kata Ika lirih. Tersedu dalam sendu yang mengharu biru, melihat laki-laki yang pernah dicintainya tampak terluka. Sementara dirinya sendiri juga penuh luka yang masih menganga, dan terkadang berdarah-darah. Aduhai, jangan hendaknya segala duka itu kembali mengusik ketenangan batinnya. Ia ingin menghalau semuanya. Membesutnya sehingga lembaran baru akan terbuka, lalu hilanglah sang nestapa.
Leo mengangkat wajahnya, meraih tissue yang ada diatas meja, lalu mengusap air matanya.

“Aku yang seharusnya minta maaf. Aku, laki-laki tak berguna ini terlalu lancang.”

Ika tertunduk kelu, setiap kata ‘lancang’ itu diucapkan Leo, hatinyalah yang terluka. Ada sesal memenuhi dadanya mengapa bisa mengeluarkan kata-kata itu.

“Terlalu kejamkan aku?” itulah yang berkali-kali dipikirkannya.
“Jangan begitu,” akhirnya Ika mampu membuka mulutnya.
“Aku merasa benar, bertindak bodoh, melakukan sesuatu yang dinilai lancang, sementara kalau harus bilang dulu aku takut kamu menolaknya, dan ternyata kamu memang menolaknya walau aku melakukannya tanpa seijinmu,” kata Leo lirih, lalu melanjutkannya ketika melihat Ika masih tertunduk.
“Aku salah, ternyata walau darahku mengalir didalam raganya, aku bukan orang yang berhak memilikinya. Sekarang aku mohon diri. Aku minta kembalinya uangku, agar kamu tak merasa terganggu. Akan aku ingat selalu, bahwa aku tak berhak melakukan apapun atas Dian. Aku titipkan darah dagingku kepada kamu, ibu yang mengandung, melahirkan dan membesarkannya, tanpa campur tanganku, laki-laki tak berguna ini.”

Tergetar hati Ika mendengar ucapan Leo. Haruskah ia mengambil uang lalu membayarkannya kepada Leo sebagai ganti pembayaran uang sekolah Dian? Ia menatap Leo, wajah ganteng yang dulu amat dipujanya. Yang diharapkan bisa menjadi pendamping dan pelindung selama hidupnya. Tapi nasib berkata lain. Jurang yang dalam memisahkannya, melemparkannya kedalam keterpurukan selama bertahun-tahun. Sekarang ia berharap hidupnya akan tenang.

Ika mulai menimbang-nimbang. Apa yang terbaik yang harus dia lakukan. Mengembalikan uang Leo dengan akibat melukai, atau membiarkannya karena Leo juga berhak menafkahi darah dagingnya.

“Kalau kamu mau mengembalikan uangku, aku akan menunggu. Kalau tidak, aku akan pulang sekarang,” kata Leo yang kembali mengusap wajahnya dengan tissue.

Ika menghela nafas panjang.

“Baiklah, aku biarkan kamu membayari biaya sekolah Dian, tapi ada syaratnya,” kata Ika sambil menatap Leo.

Leo menunggu, sambil menduga-duga syarat apa yang akan diajukan Ika kepadanya.

“Jangan pernah berharap membawanya dari aku,” kata Ika tandas.

Leo membalas tatapan Ika dengan wajah sedih.

“Apakah selamanya Dian tak boleh tahu bahwa aku adalah ayahnya?”
“Entahlah, mungkin pada suatu hari nanti, ketika dia sudah bisa berdiri kokoh, dan bisa menerima apapun yang didengarnya kelak.”
“Bolehkah untuk sementara dia menjadi ‘anak angkat’ aku? “ Leo masih menawar.
“Sejauh ini tahunya begitu.”
“Baiklah, sekarang aku mau pergi, sekali lagi aku minta maaf,” katanya sambil berdiri, menahan sembilu yang baru saja mengiris batinnya.

Ika mengantarkannya sampai di tangga teras. Dipandanginya punggung tegap yang melangkah lemah meninggalkan halaman rumahnya, sampai bayangan itu hilang. Ika masuk kedalam rumah, setelah mendengar deru mobil menjauh. Bagaimanapun ia merasa sedikit lega, seperti berhasil menyelesaikan sebuah masalah yang mengganggunya. Menuduh Leo lancang, dan dianggap bersikap sombong.
***

Ika baru saja masuk ke dapur ketika mendengar Dian sudah datang. Rupanya di hari-hari awal, Dian pulang lebih pagi.

“Ibu… aku sudah pulang,” kata Dian ketika masuk kerumah melalui pintu samping.
“Pulang pagi nak? Ibu baru mau memasak. Kamu sudah lapar?”
“Tidak bu, bekal yang ibu bawakan belum sempat Dian makan.”
“Oh, baiklah, dimakan saja dulu, jadi ibu bisa memasak tanpa tergesa-gesa.
“Tadi Dian melihat mobilnya om Leo, apa dia datang kemari?”
“Benarkah itu mobil om Leo?”
“Dian masih ingat, dikaca depan ada sticker gambar bintang.”
“Oh.. iya.”
“Kemari kah ?”
“Iya,” kata Ika sambil mengiris sayur.
“Tidak bersama Dina ?”
“Tidak, kan Dina masih sekolah?”
“Oh iya.”
“Om Leo mengatakan bahwa dia telah membayar sekolah kamu kemarin,” kata Ika berterus terang, daripada kalau nanti Dian bertanya keperluannya datang lalu Ika harus berbohong.

“Oh, pantesan kemarin Dian melihat om Leo datang ke sekolah. Om Leo baik ya bu.”
“Karena kamu kan anak angkatnya,” kata Ika.
“Dian tidak mengira, ada orang kaya mau menganggap anak seorang miskin.”
“Kamu kan kakaknya Dina?”
“Berarti om Leo itu orang yang kaya harta, dan juga kaya jiwanya, seperti yang ibu katakan kemarin.”

Ika tersenyum tipis.

“Sekarang cuci tangan dan kaki kamu lalu ganti baju, kemudian bekal yang ibu bawakan dimakan dulu,” kata Ika mengalihkan pembicaraan.
“Baiklah bu.”
***

“Mengapa bapak terlambat menjemput Dina?” tanya Dina ketika ayahnya menjemputnya, sementara tadi sudah lama Dina menunggu.

“Maaf Dina, bapak lupa kalau Dina pulang lebih pagi.”
“Tadi Dina sudah hampir menangis, tahu.”
“Lho, sudah semakin besar kok masih suka menangis?” kata Leo sambil tertawa.
“Habis, sudah nggak ada lagi temannya Dina disekolah, semua sudah dijemput.”
“Iya, maaf ya, bapak tadi…”
“Bapak lagi banyak pekerjaan ya?”
“Oh, iya, anak pintar.”
“Kalau ada mas Dian pasti dia mau menemani Dina sampai dijemput.”
“Iya ya, sayang mas Dian sudah lulus.”
“Besok kalau Dina sudah lulus, Dina mau sekolah di sekolahnya mas Dian juga ya, supaya bisa ketemu setiap hari.”
“Lho, kalau Dina lulus, mas Dian juga pasti sudah lulus dan harus masuk ke sekolah yang lebih tinggi.”
“O, gitu ya.. nggak pernah bisa satu sekolah ya pak?”
“Kalau nanti kuliah, mungkin, kalau kuliah di universitas yang sama.”
“Jadi.. masih lama ya pak?”
“Waktu itu, Dina sudah besar, sudah dewasa..”
“Kalau adik bayi sudah lahir belum?”
“Ya sudah, adik bayi juga sudah besar, sudah bisa kamu ajak jalan-jalan.”
“Horeee.. bisa jalan-jalan bertiga kan pak?”

Leo menatap Dina yang bertepuk tangan dengan wajah berseri. Benarkah kelak masih akan bisa selalu bersama Dian? Tiba-tiba wajah Leo berubah sendu. Tampaknya ia hanya akan bisa menjadi ‘ayah angkat’ untuk Dian. Siapa tahu Ika akan menjadi isteri seseorang lalu akan pergi jauh dari sini. Lalu terbayanglah wajah Broto yang katanya calon suami Ika.

“Kalau itu benar, barangkali Dian akan lebih cepat pergi,” bisiknya lirih.
“Apa bapak?” tanya Dina yang mendengar bapaknya bicara pelan, tapi tidak jelas apa yang dikatakannya.

“Tidak apa-apa. Oh ya, kita harus beli makanan nih, mau makan apa Dina?”
“Terserah bapak saja, pokoknya ada ayam goreng. Oh ya, aku juga pengin soto ayam.”
“Baiklah, kita beli soto dan ayam goreng.”
***

“Bagaimana tadi mas, katanya mau mengambil duit kembalian dari mbak Yanti?” tanya Rina setelah makan, dan setelah Dina tak ada lagi didekat mereka.
“Tidak jadi.”
“Apanya yang tidak jadi ? Mas tidak jadi kesana ? Kasihan sama dia ?” kata Rina bermaksud mengejek. Sungguh setelah Ika datang dan ‘memaki’ Leo, rasa suka Rina kepada Ika agak berkurang.

“Tidak dikembalikan. Boleh saja aku membayar biaya sekolah Dian, tapi ada syaratnya.”
“Wow, pakai syarat segala.”
“Aku tidak boleh meminta Dian dari dia.”
“Ya, aku sudah menduganya.”
“Jadi Dian tetap akan menjadi ‘anak angkat’ aku.”
“Mas menerima begitu saja?”
“Aku harus bagaimana ?”
“Dian anak kandung mas, mas berhak mengasuhnya.”
“Tidak bisa begitu, aku merasa tidak membesarkannya. Aku mengaku salah.”
“Menurutku mas sudah cukup memperhatikannya. Dulu mencari-carinya, dan kalau tidak ketemu, bukan salah mas kan?”
“Kenyataan bahwa dia menderita, membuat aku trenyuh.”

Rina diam saja. Ia mengakuinya, Ika memang menderita selama bertahun-tahun. Tapi ketika kemudian Leo ingin menebus kesalahannya, harusnya dia bisa membuka hatinya, memaafkannya.

“Dia bilang sudah memaafkannya.”
“Tapi aku tidak suka caranya. Menurut aku dia terlalu sombong. Merasa bisa melakukannya lalu tidak butuh orang lain. Bukankah itu sebuah kesombongan?”
“Yah, sudahlah, jangan diperuncing lagi, supaya hidup kita lebih tenang. Aku akan mencoba menerima semua ini. Yang penting Dian masih tetap menjadi ‘anak angkatku’.”
“Terserah mas saja, aku kan hanya membela mas.”
“Ibu, maukah besok Minggu kita kerumah mas Dian?” tiba-tiba Dina datang dan mendekati ibunya.

Wajak Rina masam, tak tampak ada senyuman.

“Kelihatannya ibu tidak bisa. Ibu harus banyak beristirahat,” jawab Rina sambil menyandarkan tubuhnya di sofa.
“Kalau dengan bapak?”
“Kalau dengan bapak, harus dengan ibu juga,” kata Leo sambil berdiri, dan bersiap kembali ke kantor.
“Tapi ibu nggak mau…”
“Dina, jangan rewel. Dina sudah semakin besar, jadi tidak semua permintaan Dina harus dipenuhi,” kata Rina.

Dina diam, tapi bibirnya cemberut.

“Dina, ibu sedang mengandung adik kamu, jadi jangan rewel, nanti adiknya juga ikut rewel lho. Gimana, apa nggak kasihan?” kata Leo sebelum melangkah keluar. Rina mengikutinya, sambil menggandeng tangan Dina, sementara Dina masih saja menampakkan wajah cemberut karena jawaban ibunya dianggap tak memuaskannya.
***

“Hallo… mbak Risma? Sudah di Indonesia lagi?” sapa Rina ketika ponselnya berdering.
“Ini aku. Syukurlah kamu yang menerima. Kalau suamimu, bisa-bisa terjadi gempa dirumah kamu.”
“Ngarang ah. Ada apa? Sudah pada pulang kemari nih ?”
“Sudah sih, tapi mbak Risma masih ada di Jakarta. Masih ada pembicaraan dengan rekan bisnisnya.”
“Oo, jadi nantinya akan pulang kemari juga?”
“Sepertinya begitu. Oh ya Rin, aku mau nanya nih, nomor kontaknya mbak Yanti berapa ya? Tolong dong, aku dikasih tahu.”
“Kok nggak nanya sendiri, padahal sudah sering ketemu.”
“Lupa mau nanya.”
“Baiklah, nanti aku kirimin. Tapi tampaknya kok seperti ada apa-apa nih.”
“Kamu jangan cemburu lah Rin..kamu kan sudah punya Leo, yang ganteng, yang baik hati.”
“Yaa, jangan ngaco deh, siapa yang cemburu? Cuma aku peringatkan kamu, dia itu sudah ada yang punya.”
“Baiklah, kamu juga pernah mengatakannya, tapi nanti aku akan bertanya langsung saja. Daripada mendengar dari mana-mana dan nggak jelas.”
“Baiklah, semoga berhasil,” kata Rina di akhir pembicaraan.
***

“Hallo mbak Yanti,” suara yang tampak ceria itu terdengar di ponsel Ika.
“Mas Baskoro? Lagi dimana ini ?”
“Sudah ada disini, sangat dekat dengan mbak Yanti”
“Apa?” tanya Ika heran. Kepalanya melongok ke jalanan, tapi tak tampak ada mobil, ataupun orang didepan rumah.

“Mana?”
“Maksudnya, saya sudah kembali ke kota ini.”
“Oooh, begitu cepat?”
“Segala sesuatunya kami selesaikan dengan sangat cepat. Jadi begitu selesai, kami langsung kembali. Tapi mbak Risma masih berhenti di Jakarta. Ada pembicataan bisnis dengan mas Broto.”
“Oh, begitu. Jadi mas Baskoro kembali kemari sendirian?”
“Iya, saya kepengin segera datang kerumah mbak Yanti, membantu mbak Yanti berjualan.”

Ika tertawa geli.

“Mas Baskoro ada-ada saja. Gara-gara mas Baskoro membantu saya waktu itu, beberapa hari berikutnya banyak ibu-ibu menanyakan, mana mas ganteng, mengapa tidak lagi membantu berjualan?”

Baskoro tertawa ngakak.

"Besok Minggu saya mau kemari lagi, membantu bungkus-bungkus, sambil nggodain ibu-ibu yang lagi belanja.”
“Jangan ah mas, itu kan pekerjaan kotor dan bau.”
“Tidak apa-apa, asyik saja saya melakukannya. Apa mas Broto juga sering melakukan seperti apa yang saya lakukan?”
“Apa? Mas Broto? Tidak. Hanya mas Baskoro yang keisengan seperti itu.”
“Hahaaa.. benarkah ? Tapi ngomong-ngomong, saya dengar mas Broto itu.. mm.. calonnya mbak Yanti? Apa benar ?”

Ika terkejut. Darimana Baskoro bisa mendapat berita seperti itu? Apa Rina yang mengatakannya? Karena seingat Ika, hanya kepada Rina Ika kelepasan bicara. Itupun berita yang tidak benar.

“Benarkah? Kalau benar ya syukurlah, setahu saya mas Broto itu baik," lanjut Baskoro.
“Tidaak.. tidaak..”
“Tidak ?” jawaban ini terdengar seperti bersorak.
“Memang tidak. Kami hanya berteman, karena dulu kan saya mengontrak dirumah orang tua mas Broto.”
“Syukurlah.”
“Kok syukurlah..?”
“Jadi nggak akan ada yang marah kalau aku sering-sering datang kemari.”
“Ada-ada saja..”

Ika termenung ketika pembicaraan itu berakhir. Ia mencoba mencerna arti kata yang diucapkan Baskoro, dan juga ucapan yang pernah diucapkan Broto.
***

“Dina, mengapa duduk disitu?” tanya Leo ketika melihat Dina duduk di tangga teras, berpangku tangan.

Dina tak menjawab. Ia memandangi burung-burung kecil yang berterbangan di dahan-dahan pohon, dari dahan yang satu ke dahan yang lain, dari pohon yang satu ke pohon yang lain.
Leo melangkah mendekat, dan duduk disampingnya.

“Kecil-kecil melamun,” kata Leo .
“Dina lagi kesal nih..”
“Lhoo.. kenapa kesal?”
“Ini kan hari Minggu, Dina pengin main sama mas Dian.”
“Oh, ya.. kalau begitu ayo kita jalan-jalan saja..”
“Jalan-jalan, lalu mas Dian diajak ya pak?”
“Coba bilang ibu, mau nggak ibu nyamperin mas Dian dulu.”

Dina pun lari ke dalam dan berteriak memanggil ibunya.

“Ada apa sih Dina, ibu sampai kaget.”
“Ibu, ayuk kita jalan-jalan..”
“Jalan-jalan kemana ?”
“Nggak tahu, bapak tuh yang mengajak..”
“Ibu ganti baju dulu ya..”
“Tapi nanti kita nyamperin mas Dian dulu ya bu.”
“Apa?”
“Kita ajak juga mas Dian jalan-jalan, pasti seru deh.”
“Tapi ibu kok agak males ya nak. Sama bapak sendiri saja sana.”
“Lho, ibu gimana, katanya mau ganti baju dulu, kok sekarang menyuruh Dina jalan-jalan sama bapak saja?”

Rina tak menjawab. Sejak Ika datang kerumah dan marah-marah, hati Rina masih sangat kesal. Itulah sebabnya ketika Dina mengajak nyamperin Dian, Rina tiba-tiba merasa segan.

“Bu… ayolah bu, Dina pengin jalan sama mas Dian.”
“Yang pengin itu kamu atau bapak?”
“Ya aku, masa bapak pengin jalan sama anak kecil?”
“Gimana ya.. kok tiba-tiba ibu agak pusing..”
“Aaah, ibu…”

Tapi melihat wajah Dina yang cemberut, membanting-banting kakinya karena kecewa, akhirnya Rina tak tega juga.

“Baiklah, ayo sama ibu,” kata Rina yang kemudian masuk ke kamarnya.
“Horeeee… Bapaak, ayo cepat ganti baju juga, ibu sudah mau tuh,” teriak Dina sambil melonjak-lonjak.
***

“Mas ganteeng, mas ganteeng… ini belanjaan saya, jadikan satu ya,” kata Murni genit sambil mendekati Baskoro yang datang pagi-pagi tadi, hanya karena ingin membantu Ika berjualan.”
“Iya, baiklah, mbak cantik,” kata Baskoro sambil tersenyum, lalu membuat Murni tertawa terkekeh.
“Habis itu punya saya, mas ganteng..”

Aduuh, pagi itu Ika benar-benar sibuk. Tiba-tiba saja pembelinya berjubel, dan semua minta agar Baskoro melayaninya. Lagi-lagi Ika tak dapat mencegahnya. Baskoro begitu telaten ikut membantu membungkus belanjaan mereka, dengan senyuman ramah yang memukau banyak ibu-ibu.
Tiba-tiba mobil Leo berhenti disana, tepat dibelakang mobil Baskoro.

“Apakah itu mobilnya Broto?” tanya Leo.
“Sepertinya bukan. Itu mobil Baskoro,” jawab Rina.
“Ibu, ayo turun.. “ kata Dina sambil melompat turun. Sebenarnya Rina enggan turun, tapi melihat Baskoro ada disana, hatinya jadi tergelitik untuk melihat seperti apa polah Baskoro setelah diberi tahu bahwa Ika adalah calonnya Broto. Agak penasaran Rina, melihat Baskoro tak mau mundur, Rina lebih heran lagi ketika turun, melihat Baskoro membantu membungkus belanjaan ibu-ibu yang berkerumun disana.

“Haa? Apa yang dilakukan Baskoro? Apa dia sudah gila?” gumam Rina sambil berjalan mendekat.

Dina tanpa disuruh sudah berlari langsung kebelakang, karena tidak melihat Dian didekat ibunya.
Melihat Baskoro, Leo tak jadi turun. Laki-laki bernama Baskoro itu selalu membuatnya cemburu. Kemarin-kemarin masih ingin mendekati Rina, sekarang dia mencoba mengambil hati Ika.

“Ya ampun Bas, apa yang kamu lakukan?” teriak Rina ketika sudah berada didepan kerumunan itu.

Ika dan Baskoro mengangkat kepalanya.

“Bu Rina ?”
“Ngapain kamu pagi-pagi kemari?” teriak Baskoro.
“mBak Yanti, Dina mau mengajak Dian jalan-jalan, boleh kan?” kata Rina.
“Dian ada didalam, tadi sedang bersih-bersih rumah, jawab Ika sambil masih sibuk melayani pembeli.

Rina meneruskan langkahnya, dan Baskoro mengikutinya.

“Bas, kamu jangan mencari masalah. Aku kan sudah bilang bahwa dia sudah ada yang punya?”
“Nggak apa-apa, sebelum ada janur melengkung, berarti dia masih belum jadi miliknya.”

Mereka berbincang pelan sambil berjalan kearah rumah.

“Kamu benar-benar nekat?”
“Kita lihat saja nanti.”
“mBak Risma belum tentu setuju, melihat latar belakang dia.”
“Oh ya, aku lupa bertanya. Dulu waktu masih dirawat dirumah sakit, suami kamu sering mengigau memanggil nama Ika, apakah Ika yang dimaksud itu dia? Bukankah orang-orang memanggilnya Ika?”

Bersambung #16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER