Cerita bersambung
“Mereka berdua?” tanya Leo.
“Kok bisa datang berdua?” Leo mengangkat pundaknya.
Lalu dilihatnya Ika sudah keluar. Rupanya dia sudah mandi dan berganti baju yang lebih bersih.
“Bu Rina, bagaimana keadaannya sekarang? Sudah lebih baik kan?” tanya Ika sambil duduk didepan tamu-tamunya.
“Sudah mbak Yanti.. hanya kadang-kadang saja merasa mual. Ini tadi mas Leo mengajak ke rumah ibu, karena sudah janji sama Dina.”
“Ooh, iya, Dian juga sudah bilang. Mereka itu kompak sekali.”
“Mana sekarang dia ?” tanya Leo.
“Paling sudah lari kedalam, bicara tentang cerita di buku bacaan mereka,” kata Rina.
“Iya bu, benar, lagi ngobrol tentang sebuah dongeng yang baru dibaca tampaknya.”
Tapi tiba-tiba Dian keluar sambil membawa nampan berisi tiga cangkir teh hangat, Dina mengikuti dibelakangnya.
“Wah, Dian pintar ya,” puji Rina.
“Biar aku.. biar aku yang naruh di meja..” kata Dina tak mau kalah.
“Baiklah, hati-hati, jangan sampai tumpah,” Dian memperingatkan.
“Aku sudah hati-hati. Ini untuk bapak, ini untuk ibu, ini untuk bu Yanti,” kata Dina kemayu sambil meletakkan cangkir-cangkir itu.
“Tidak nak, bu Yanti tidak usah, ini untuk Dina saja,” kata Ika.
“Dina sudah, mas Dian meletakkannya didalam,” kata Dina sambil lari kedalam, diikuti Dian.
Ketiganya tersenyum.
“Kalau Dina sering bersama Dian, pasti dia bisa lebih banyak belajar. Coba lihat mas, tanpa disuruh, Dian sudah bisa menyuguhkan teh hangat untuk tamunya,” puji Rina.
“Iya benar, kalau begitu setiap ada waktu, biar mereka bermain bersama,” kata Leo. Ada yang menghentak dadanya, ketika menyadari Dian tumbuh besar dan pintar, tanpa campur tangannya.
“Dina kan masih kecil, sedangkan Dian jauh lebih besar. Nanti kalau tiba sa’atnya pasti dia akan mengerti dan bisa melakukannya,” kata Ika.
“Tapi kalau tidak ada yang dicontohnya, pasti juga akan berbeda. mBak Yanti mendidik Dian dengan sangat bagus. Dia bukan hanya pintar di sekolah, tapi juga bisa melakukan hal-hal baik lainnya.”
“Tidak, semua orang tua pasti juga melakukannya,” kata Ika merendah.
“mBak Yanti ini beda. Dia wanita yang luar biasa,” puji Rina tak henti-hentinya.
Sementara Leo tak banyak bicara. Ia lebih berusaha menahan gejolak penyesalan yang terus menghantuinya.
“Sebentar lagi mereka masuk sekolah kan?”
“Iya benar.”
“Nah, bagaimana kalau Dian tinggal dirumah aku saja, jadi Dina bisa belajar bersama,” kata Rina mengejutkan Ika.
“Apa? Tinggal disana ?”
“Maksudku… biar mereka…..”
“Tidak…” Ika memotong ucapan Rina yang belum selesai. Ucapan itu sangat membuatnya takut. Awalnya biar belajar bersama, lalu apa…
“Maaf mbak Yanti, bukan harus terus tinggal disana. Misalnya kalau libur dia bisa pulang.”
“Sekolah Dian kan didekat sini, kalau dirumah bu Rina kan jauh. Susah payah saya pindah kesini agar Dian dekat dengan sekolahnya,” kata Ika.
“Iya, aku tahu, tapi kan mas Leo setiap pagi mengantar Dina kesekolah, jadi bisa sekalian diantar,” Rina masih mencoba merayu.
“Tidak, saya minta maaf. Kalau Dina butuh bantuan, biar Dina datang kemari. Kalau Dian tidak ada, saya sama siapa?”
“Baiklah mbak Yanti, saya mengerti. Maaf, saya hanya bermaksud baik, lupa bahwa mbak Yanti akan sendirian.”
Ketika mereka pulang, Ika masih termangu dikursi teras.
“Ya Tuhan, jangan biarkan mereka membawa cintaku,” bisiknya pelan.
***
Risma sangat terkejut melihat Broto datang bersama Baskoro. Tak mengira setelah sekian tahun tidak ketemu.
“Mas Broto?”
“Ikut berduka cita atas meninggalnya suami kamu Ris,” kata Broto.
“Terimakasih mas. Dia sudah lama sakit. Pernah operasi jantung juga. Tapi aku sama sekali tidak mengira dia akan pergi ketika aku sedang mengurus usahanya yang ada disini. Ketika aku berangkat, dia baik-baik saja,” kata Risma sendu.
“Tak seorangpun tahu, kapan kita akan dipanggil olehNya. Kamu harus kuat dan tabah.”
“Terimakasih mas. Apa kabar kamu?”
“Beginilah, aku masih bekerja di Jakarta.”
“Itu kabar terakhir yang aku dengar. Anakmu sudah berapa?”
Broto tersenyum pahit.
“Aku belum laku.”
“Masa mas?”
“Sejak kita berpisah, aku belum memikirkan untuk menikah. Biar saja menjadi perjaka tua.”
“Jangan begitu mas, seorang laki-laki butuh wanita yang bisa merawat dan mengurusnya. Keburu tua..”
“Biarkan dulu. Kalau sudah tiba saatnya pasti jodohku akan datang.”
“Bagaimana kamu bisa ketemu Baskoro ?”
“Lagi sama-sama main dirumah seseorang. Barangkali Tuhan mengatur semuanya, supaya aku bisa ketemu kamu. Sayangnya dalam suasana sedih.”
“Yah, mau bagaimana lagi.”
“Siapa yang mengurus jenazahnya disana?”
“Ada kerabat yang mengurusnya. Kalau ternyata memerlukan waktu lama untuk pulang, mungkin akan dimakamkan disana saja. Baskoro sedang berkomunikasi dengan mereka.”
“Kalau terlalu lama ya lebih baik begitu Ris. Kasihan.”
“Iya, kamu benar. Tapi aku baru bisa pulang kesana besok. Semoga masih bisa menghadiri pemakamannya.”
“Aku ikut prihatin. Semoga semuanya lancar.”
“Aamiin, terimakasih atas perhatiannya.”
“Apakah nanti kamu akan menetap disana setelah ini?”
“Mungkin tidak mas, aku disana karena merawat suami aku, lebih baik aku mengurus usaha yang disini. Kalau Baskoro, entahlah, bagaimana maunya dia, semuanya belum terpikirkan sekarang.”
“Iya benar. Fokus dulu pada pemakaman suami kamu.”
***
“Mengapa om Broto dan om Baskoro pulang terburu-buru?” tanya Dian.
“Ada kerabat om Baskoro yang meninggal, kalau tidak salah kakak iparnya.”
“Apa ibu akan melayat ?”
“Entahlah. Meninggalnya di Amerika.”
“Wah, jauh banget.”
“Iya. Mereka pengusaha besar. Punya usaha disini, punya usaha disana.”
“Pasti mereka itu orang kaya ya bu.”
“Ya, pastinya banyak duitnya. Tapi ukuran kaya miskin itu tidak ada dihadapan Allah. Semua umatnya sama. Yang paling mulia bukan kaya harta, tapi kaya jiwanya.”
“Jiwanya kaya itu bagaimana bu?”
“Kalau seseorang berjiwa kaya, ia bisa melakukan banyak hal yang mulia. Berbaik hati kepada sesama, berbagi kepada sesama, saling mengasihi.”
“Kalau miskin bagaimana?”
“Jiwa yang miskin, dunianya terasa sempit. Hatinya beku. Tidak pernah memperhatikan orang lain, tidak suka berbagi, dan banyak hal baik yang tidak bisa dilakukan. Karena itu jangan terpana kepada harta yang melimpah, tapi kagumilah jiwa yang bersih, jiwa yang kaya akan kebaikan.”
“Kalau orang kaya harta, tapi jiwanya juga kaya?”
“Itu perilaku yang mulia. Tidak bangga karena hartanya, tapi bersyukur karena dikaruniai harta dan jiwa yang kaya.”
“Aku mau jadi dua-duanya. Memiliki jiwa yang kaya dan harta yang banyak, supaya ibu tidak usah jualan sayur.”
“Aamiin. Asalkan harta itu dipergunakan untuk kebaikan, untuk membantu orang kekurangan, berbagi kepada sesama. Dan satu yang harus kamu pegang, jangan sombong dan bangga seandainya kamu dikaruniai harta yang berlimpah.”
“Iya bu. Aku harus bersyukur kan bu?”
“Kita harus mensyukuri semua yang diberikan Allah kepada kita nak. Apapun itu.”
Dian mengangguk-angguk.
“Ibu mau mengambil seragam kamu yang pastinya sudah jadi, karena minggu depan kamu sudah masuk sekolah.”
“Aku ikut ya bu.”
“Baiklah, sekalian dicoba, barangkali ada yang kurang pas.”
"Sekarang ya bu.”
“Ya, sekarang saja.”
***
“Dian, bagaimana kalau hari ini ibu tidak memasak? Sekali-sekali beli lauk diluar ya?” kata Ika ketika dalam perjalanan pulang.
“Iya bu, enak barangkali sekali-sekali ibu istirahat, tidak usah memasak.”
“Boleh..”
“Kalau Minggu ya bu, jadi setelah jualan, ibu istirahat saja.”
“Baiklah, sekarang pengin beli apa?”
“Terserah ibu saja.”
“Bagaimana kalau sate ayam?”
“Iya bu, sudah lama Dian tidak makan sate ayam.”
Lalu Ika mengendarai sepeda motornya ke arah Nonongan, dan berhenti didepan sebuah warung sate yang kebetulan belum begitu ramai.
Ketika sedang memesan sate, tiba-tiba sebuah teriakan terdengar.
“Mas Diaaan..”
Dian dan Ika terkejut, ternyata Leo dan anak isterinya sedang makan didalam warung itu. Ika ingin menghindar tapi Dina terlanjur melihatnya, lalu berlari mendekat kearah mereka.
“Mas Dian, ayo kita makan..” kata Dina sambil menarik tangan Dian.
“mBak Yanti, ayo masuk, kita makan bersama didalam,” kata Rina yang sudah menyusul Dina mendekati Ika.
“Terimakasih bu Rina, ini.. saya sudah memesan untuk dibawa pulang.”
“Tidak apa-apa sudah memesan, kan bisa dimakan nanti sore.”
Ika ingin menolak, tapi Dina sudah menarik Dian masuk ke dalam.
“Tuh, Dina senang sekali ketemu kakaknya.”
Ika melangkah dengan berat hati. Sesungguhnya sering ketemu Leo membuatnya sangat tidak nyaman. Berbagai perasaan bisa mengaduk-aduk hatinya.
“Tapi baiklah, aku harus belajar meredam semua perasaan yang membuat aku gundah,” kata batin Ika sambil mengikuti Rina masuk ke dalam, karena Rina dengan nekat menggandeng tangannya. Leo hanya tersenyum tipis lalu menatap kedua anak yang duduk berdekatan dengan wajah berseri. Dina tak henti-hentinya mengoceh, sementara Dian hanya tersenyum dan mengangguk-angguk. Leo tampak menikmati keakraban kedua darah dagingnya itu.
“Ayo mbak Yanti, mau minum apa, oh ya, sate lontong ya makannya?”
“Ya, terserah bu Rina saja.”
“Dian juga sate lontong kan ?”
“Ya bu Rina.”
Ika merasa bahwa dunia begitu sempitnya. Bersembunyi atau menghindar kemanapun, ada saja saat untuk bertemu. Sayangnya mereka bukan berjodoh, dan Ika dengan besar hati mengikhlaskan kebahagiaannya bersama Leo yang sirna tergilas masa.
***
Tapi ketika sampai di rumah, Ika terkejut melihat Baskoro sudah duduk diteras.
“Ada om Baskoro bu,” teriak Dian.
“Iya, tuh.”
“Dari mana mbak Yanti ?”
“Dari mengambil baju seragam Dian, lalu mampir makan. Mas Baskoro sudah lama ?”
“Baru saja, saya hampir pulang kalau mbak Yanti tidak segera datang.”
“Bukankah mas Baskoro sedang menunggu kepulangan jenazah suaminya mbak Risma?”
“Ternyata pertimbangan keluarga adalah terlalu lama kalau dibawa kemari. Beberapa prosedur yang harus dilalui sangat memakan waktu. Kasihan mas Arga. Jadi sore ini juga akan dimakamkan disana.”
“Oh.. Tapi benar sekali, Sebaiknya dimakamkan secepatnya. Saya ikut berduka ya mas.”
“Terimakasih mbak. Besok saya dan mbak Risma baru mau berangkat kesana, karena tidak bisa hari ini.”
“Ya sudah mas, hati-hati dijalan ya, dan sampaikan rasa duka cita saya untuk mbak Risma. Saya belum mengenalnya tapi pernah melihatnya.”
“Iya benar, di toko roti kan.”
“Iya, di toko roti.”
“Minumnya om,” kata Dian yang sudah membawa secangkir teh lalu diletakkannya di meja.
“Om mau cepat-cepat pulang sebenarnya, karena ini tadi juga cuma mampir, saat sedang ada urusan keluar.”
“Tidak apa-apa mas, diminum dulu.”
“Dian mau ikut om?” tanya Baskoro sambil meneguk teh hangatnya.
“Kemana om ?”
“Ke Amerika, naik pesawat..”
“Wah, naik pesawat, pasti menyenangkan,” kata Dian sambil tersenyum.
“Lain kali Dian akan om ajak jalan-jalan keluar negri.”
“Terimakasih om.”
“Dian kan sebentar lagi sudah mau masuk sekolah.”
“Iya, saya tahu. Tapi maaf, saya harus pergi sekarang,” kata Baskoro sambil berdiri.
“Iya, kan banyak persiapan untuk pergi besok. Selamat jalan ya mas.”
“Suatu hari saya akan kembali, membantu mbak Yanti berjualan lagi.”
Ika tersenyum lucu.
Dan dalam melangkah ke mobilnya, tiba-tiba Baskoro ingat akan igauan Leo ketika di rumah sakit. Kata perawat, Leo selalu menyebut nama Ika dalam mengigau. Apakah Ika yang dimaksud adalah Yanti? Dalam hati Baskoro berjanji akan mengorek semuanya dari Rina, pada suatu hari nanti.
***
“Kamu kemana saja sih Bas, kok ilang-ilangan begitu, aku bingung, tahu,” keluh Risma kesal.
“Aku kan mbak suruh ngurusin orang-orang yang akan mengadakan pengajian dirumah, gimana sih?”
“Lama banget, mereka kan hanya orang-orang didekat sini saja.”
“Iya, itu.. pesen makanan buat mereka, jauh kan, jadi agak lama.”
“Ya sudah, semuanya beres kan ?”
“Beres, besok kita tinggal berangkat, dan aku tak usah banyak-banyak membawa barang, karena akan kembali secepatnya.”
“Ya tidak bisa cepat-cepat dong Bas, aku sekalian mau ngurusin usahanya mas Arga, pokoknya aku serahin saja sama kepercayaan mas Arga, aku akan memantaunya dari sini.”
“Iya, aku setuju.”
“Atau kamu mau, aku tinggal saja kamu disana, supaya kamu saja yang ngurusin.”
“Eh, nggak dong mbak, aku ikut mbak Risma saja disini.”
“Kok? Kemarin-kemarin kamu bilang mau kembali ke sana.”
“Sekarang udah beda lagi, lebih suka kembali kemari.”
“Ada yang menarik ?”
“Do’akan saja.”
“Gadis ?”
“Janda.”
“Kamu tertarik pada seorang janda?”
“Memangnya kenapa? Aku sendiri juga duda kan?”
“Iya sih. Pasti dia sangat istimewa.”
“Lebih dari isimewa.”
“Lebih baik dari Rina?”
“Kurang lebih sama, dia lebih lembut. Rina sedikit galak.”
“Siapa sih dia? Apa aku mengenalnya?”
“Belum, tapi mbak pernah melihatnya.”
“Oh ya? Dimana ?”
“Disebuah toko roti.”
“Toko roti… oh, dia yang katanya sahabatnya Rina ?”
“Ya, betul mbak. Cantik kan ?”
“Siapa sebenarnya dia?”
“Seorang tukang sayur.”
“Apa? Tukang sayur? Nggak salah nih? Kamu tertarik pada seorang tukang sayur?” kata Risma dengan mata terbelalak.
“Memangnya kenapa mbak? Tukang sayur.. atau tukang apapun juga, tapi dia wanita yang sangat sempurna. Begitu melihat dia, aku langsung bisa melupakan Rina.”
“Ah, entahlah Bas, kepalaku bertambah pusing memikirkan kamu. Ya sudah, lain kali aku ingin mengenalnya lebih dekat. Sekarang ayo bantu aku mengurus semuanya, juga suruh orang untuk menata tempat yang akan dipergunakan untuk pengajian nanti.”
“Ya sudah mbak, semua sudah ada yang mengurus, mbak tenang saja.”
“Baiklah, soalnya besok kita harus berangkat dan saat itu semuanya harus sudah selesai.”
***
Sore itu Ika sangat terkejut, karena Baskoro yang katanya harus kembali esok harinya, tapi sore itu muncul lagi dirumahnya.
“Ada apa mas? Nggak jadi pergi?”
“Jadi mbak, tapi sore ini ada pengajian dirumah. Ikut yuk.”
“Saya? Ikut mas Baskoro?”
“Iya, nggak apa-apa kan mbak, sekalian kenalan sama kakak aku, dan mengucapkan bela sungkawa juga."
“Oh, baiklah,” kata Ika sambil menatap kearah Dian.
“Dian ikut saja, nggak apa-apa. Ya Dian.”
Meskipun ragu, Ika tak bisa menolaknya. Keinginan mengucapkan ikut bela sungkawa itu tak bisa dihindarinya.
“Baiklah mas, tapi nggak sampai malam kan?”
“Begitu selesai pengajian, saya antarkan mbak pulang.”
Bersama Dian, Ika mengikuti Baskoro kerumahnya. Ketika sudah sampai disana, dilihatnya sudah ada beberapa orang yang duduk diatas karpet yang digelar. Diluar rumah juga banyak kursi berjajar. Beberapa orang duduk disana, dan Ika menatap seseorang sedang berbincang dengan seorang wanita. Seseorang itu adalah Broto, dan seorang wanita itu adalah Risma, yang pernah dilihatnya disebuah toko roti bersama Baskoro.
“Om Brotoo!” teriak Dian.
Broto menoleh, lalu duduknya bergeser sedikit dari Risma. Ada rasa sungkan ketika Ika melihatnya sedang ber akrab ria bersama wanita lain. Apa sih yang dirasakannya?
==========
Baskoro mendekati Risma, diikuti Ika dan Dian.
“mBak, ini mbak Yanti, ini Dian putranya,” kata Baskoro memperkenalkan Ika kepada kakaknya.
Ika segera menjabat tangan Risma.
“Saya ikut berduka cita ya mbak,” kata Ika sambil tersenyum. Risma menatapnya lekat-lekat.
“Inikah wanita yang dimaksud Baskoro? Memang cantik dan tampak lembut, matanya bening teduh, pasti hatinya baik. Tapi benarkah dia tukang sayur?” kata batin Risma.
Ika merasa sungkan karena Risma menatapnya tak berkedip. Ia ingin melepaskan tangannya, tapi Risma masih mengenggamnya.
“Terimakasih banyak, mbak Yanti,” katanya sambil melepaskan genggamannya.
Risma kagum ketika Dian yang masih kanak-kanak, tanpa disuruh lalu mencium tangannya.
“Pinter, ini siapa?”
“Dian,” jawab Dian singkat.
“Anak saya mbak.”
“Oh, iya.. pintar anaknya. Silahkan duduk.”
Dian juga menyalami dan mencium tangan Broto, yang terpaku ditempat duduknya, karena tak mengira bertemu Ika disitu. Ada perasaan tak senang melihat Baskoro begitu dekat dengan Ika.
'Sejauh apa sih hubungan mereka?' kata batin Broto.
“Mas Broto kenal dengan mereka?” tanya Risma.
“Aku ? Oh.. iya.. kenal, dia dulu mengontrak dirumah orang tua angkat aku.”
Baskoro mengajak Ika duduk didalam, diatas karpet yang digelar, diantara banyak orang yang sudah hadir.
“Apakah dia seorang tukang sayur ?”
“Kok kamu tahu ?”
“Ya atau bukan ?”
“Benar. Darimana kamu tahu ?”
“Baskoro pernah mengatakannya.”
Broto mengangguk pelan. Ia termangu ketika Risma mengajaknya masuk kedalam.
“Ayuk kedalam.”
Broto mengikutinya, lalu duduk diantara tamu lainnya. Namun perasaan gundah telah membuatnya tak bisa mengikuti acara pengajian itu. Ada rasa aneh yang dipendamnya terhadap Ika, lalu ada rasa cemburu ketika melihat Ika datang bersama Baskoro. Ada apa diantara Baskoro dan Ika. Perasaan itu sebenarnya sudah ada ketika ia datang kerumah Ika dan melihat Baskoro ada disana. Sedianya sa’at itu ia ingin menyatakan isi hatinya kepada Ika, tapi ketika bertemu Risma, keinginan itu mendadak buyar. Apakah masih ada rasa cinta dihatinya terhadap Risma? Kalau ya, mengapa dia masih memikirkan Ika?
Sampai pengajian berakhir Broto sama sekali tak mengikutinya. Ia kaget ketika Ika menyapanya.
“Saya kira mas Broto sudah pulang ke Jakarta.”
“Oh.. eh.. iya, belum jadi.. karena .. karena merasa harus mengikuti acara ini.”
“Jadi terpaksa diundur ya mas?”
“Ya, mungkin satu dua hari lagi. Saya sudah mengabari ke kantor.”
“mBak Yanti mau pulang sekarang ?” tiba-tiba Baskoro mendekati mereka.
“Bagaimana kalau bareng aku saja Bas,” kata Broto.
“Jangan mas, tadi aku yang mengajaknya, sekarang harus aku juga yang mengantarkannya.”
“Mas Broto mau pulang sekarang? Sebenarnya aku masih ingin ngobrol,” kata Risma tiba-tiba.
“Tapi…”
“Tapi ya sudahlah, kelihatannya waktunya tidak tepat. Besok saja sa’at aku pulang, mau langsung ke Jakarta menemui mas Broto. Ini kan masalah penting, dan aku butuh bantuan dalam mengurus usaha. Sayang kalau aku serahkan kepada orang lain.”
“Baiklah, nanti kita bicarakan lagi,” kata Broto yang kemudian beranjak berdiri.
“Jadi mau pulang sekalian ?” tanya Baskoro.
“Ini sudah malam, dan Risma tampaknya butuh waktu untuk menenangkan diri,” kata Broto sambil menyalami Risma.
“Jangan lupa, aku akan langsung menemui kamu di Jakarta nanti,” kata Risma sebelum Broto pergi.
“Baiklah, silahkan saja,” jawab Broto.
Ika yang bingung mau bareng sama siapa, hanya berdiam diri saja. Tapi ia mengikuti Baskoro ketika Baskoro sudah menggandeng tangan Dian dan diajaknya naik ke mobilnya.
***
“Mungkin aku tidak akan lama di Amerika,” kata Baskoro tanpa ditanya.
“Kata mbak Risma masih banyak yang harus diurus?”
“Ya, mbak Risma selalu sibuk, semua ditangani sendiri, tapi dia pasti juga tidak akan lama juga nantinya.”
“Masih muda dan banyak yang harus diurusnya. Betapa capeknya.”
“Dia sudah melakukannya selama bertahun-tahun. Almarhum mas Arga mengajarinya untuk mengurus semua bisnisnya, dan mbak Risma mampu melakukannya.”
“Luar biasa. Itu bukan pekerjaan mudah.”
“Semua pekerjaan tidak ada yang mudah, kalau kita menginginkan hasil yang baik.”
“Itu benar.”
“Aku lupa.. tidak mengabari Rina tentang meninggalnya mas Arga.”
“Kok bisa lupa, kan bu Rina juga mengenalnya?”
“Kalau sama mbak Risma dia kenal, sama mas Arga tidak. Begitu menikah langsung mbak Risma dibawa ke Amerika. Baru tiga tahun mereka menikah, sempat mengandung, tapi ke guguran.”
“Sayang ya.”
“Mungkin karena terlalu capek. Tadi mbak Risma ingin supaya mas Broto membantu bisnisnya. Nggak tahu mas Broto mau apa tidak.”
“Mengapa mas Baskoro tidak segera mengabari mbak Rina, nanti dia kecewa.”
“Iya sih, sebenarnya agak segan, jangan-jangan suaminya yang menerima, males aku. Bagaimana kalau minta tolong mnbak Yanti saja?”
“Kok saya sih mas, nggak nyambung dong.”
“Lho, kan mbak Yanti tinggal bilang kalau habis ketemu mbak Risma. Aku tuh males kalau ketemu Leo.”
“Ya sudah, saya kirim pesan singkat saja ya, bahwa suaminya mbak Risma meninggal. Gitu ya mas.”
“Ya, nggak apa-apa, yang penting dikabari, kalau nggak nanti dia mencak-mencak,” kata Baskoro.
Ika sudah menuliskan pesan singkat untuk Rina. Ia juga enggan menelpon, khawatir kalau Leo yang menerima.
“Sudah mas, sudah aku kabarin,” kata Ika sambil menutup ponselnya.Tapi tidak lama kemudian, ponsel Ika berdering.
“Dari bu Rina,” katanya sambil mengangkat ponselnya lagi.
“Ya bu,”
“mBak Yanti dapat kabar dari siapa?” kata Rina dari seberang.
“Dari .. mas Baskoro..”
“Oh.. lalu dimakamkan kapan? Bukankah suaminya ada di Amerika?”
“Iya sih, dimakamkan disana juga katanya. “
“Aduh, aku harus ketemu mbak Risma ini. Tapi mbak Risma masih ada disini kan?”
“Ketemu saja bu, so’alnya besok pagi sudah berangkat ke sana.”
“Lhoh, mbak Yanti malah tahu banyak, aku tidak mendengar apa-apa,” kata Rina agak tersinggung,
Ika agak bingung bagaimana menjawabnya, sejenak dia menatap Baskoro, lalu Baskoro mengambil ponsel Ika.
“Ya, Rina.. bagaimana ?”
“Lho, ada kamu juga Bas?”
“Iya, baru saja ada pengajian di rumah, ini lagi mengantarkan mbak Yanti pulang.”
“Lhoh.. mbak Yanti malah bisa menghadiri pengajian dirumah kamu? Kok aku baru dikabarin sih Bas.”
“Ceritanya tadi aku sedang ada dirumah mbak Yanti, ketika mbak Risma mengabarkan bahwa suaminya meninggal. Jadi aku langsung pulang dan sibuk mengurus semuanya, sampai lupa mengabari kamu. Sebenarnya bukan lupa, tapi segan juga kalau aku pas menelpon lalu Leo ada. Bisa dihajar aku nanti., Takuuutt…” kata Baskoro berusaha melucu.
“Jadi dimakamkan disana ?”
“Iya. Besok jam tujuh kami sudah berangkat dari rumah, nggak tahu masih bisa menghadiri pemakamannya atau tidak, soalnya mungkin segera dimakamkan. Kasihan kalau kelamaan.”
“Baiklah, besok aku pagi-pagi akan menemui mbak Risma. Tapi ngomong-ngomong, sepertinya kamu lagi mendekati mbak Yanti ya?” tanya Rina memancing.
Baskoro tertawa keras.
“Aku ingatkan kamu Bas, mbak Yanti sudah punya calon suami.”
“Masa ?”
“Broto itu calon suaminya.”
“Bohong!”
“mBak Yanti sendiri yang bilang.”
Baskoro terdiam. Ia melirik kearah Ika, yang seakan tak peduli pada pembicaraan dengan Rina.
“Ya sudah, aku lagi nyetir nih, lagian aku nggak ingin kemalaman, kasihan mbak Yanti.”
Baskoro menutup ponselnya, sekali lagi melirik kearah Ika, ingin menanyakan kebenaran ucapan Rina barusan. Tapi diurungkannya.
“Tadi ketemu disana, kelihatannya biasa saja. Tadi pagi juga dirumah mbak Yanti juga tak ada tanda-tanda ada hubungan khusus diantara mereka. Masa mas Broto itu calonnya? Kalau calon, mengapa tadi tidak mau pulang bersama mas Broto?”
***
“Ada apa?” tanya Leo ketika Rina selesai bertelpon.
“Suami mbak Risma meninggal..”
“Oh, yang di Amerika ?”
“Ya.”
“Sakit apa dia ?”
“Sudah lama sakitnya. Jantung kelihatannya. Besok pagi-pagi sekali aku mau kesana.”
“Kesana kemana?”
“Aku harus menemui mbak Risma, sekedar mengucapkan bela sungkawa. Mas mau ikut kan?”
“Nggak. Aku kan harus ke kantor.”
“Sebelum ke kantor.”
“Nanti aku jadi tergesa-gesa. Kamu saja yang pergi, tapi jangan lama-lama.”
“Iya, lagian mereka harus segera berangkat.”
“Tadi yang menelpon kamu Ika kan?”
“Iya, memangnya kenapa?”
“Kok bisa Ika.”
“Nggak tahu bagaimana jelasnya, tapi ketika Baskoro ada dirumah mbak Yantilah kabar itu didengarnya.”
“Ngapain Baskoro ada disana?”
“Suka-suka dia dong mas, kan mbak Yanti itu lajang Baskoro juga lajang. Kok mas yang ribet.”
“Bukan ribet, cuma nanya aja dibilang ribet. Lagian katanya Ika itu sudah punya calon. Broto kan? Tadi dua-duanya ada disana.”
“Nggak tahu aku mas, biarkan saja. Dia itu kan cantik, lembut, baik, tidak aneh kalau banyak yang suka sama dia. Mudah-mudahan mbak Yanti mendapatkan jodoh terbaik yang bisa melindunginya.”
Leo tak menjawab. Kembali penyesalan memenuhi dadanya.
***
Ketika Rina datang, Risma dan Baskoro sudah bersiap mau pergi.
“Ya ampun, aku ikut berduka ya mbak. Baru semalam aku mendengar dari mbak Yanti dan Baskoro.”
“mBak Yanti itu yang katanya sahabat kamu itu kan?”
“Iya, benar. Sakit apa sebenarnya mas Arga?”
“Sudah lama dia sakit. Sudah pernah operasi jantung juga. Tapi aku juga terkejut, ketika berangkat dia baik-baik saja. Sedih nggak bisa menunggui sa’at-sa’at terakhirnya,” kata Risma sendu.
“Iya mbak, aku bisa mengerti. Siapa orangnya yang nggak sedih ditinggal pergi orang yang dicintai.”
“Tapi aku tidak lama disana Rin, setelah selesai semuanya, termasuk mengurus bisnisnya mas Arga, aku lebih baik pulang saja kemari.”
“Nanti aku kemari lagi mbak, bicara banyak. Sekarang tampaknya sudah siap mau berangkat.”
“Ya Rin, aku pergi dulu, hati-hati menjaga kandungan kamu.”
“Ya mbak, terimakasih banyak.”
Rina segera pulang karena Risma sudah siap berangkat, dan Baskoro juga masih sibuk mengurus apa-apa yang harus dibawanya, sehingga Rina tak sempat berbincang. Lalu pikirannya melayang ke arah sikap Baskoro yang tampaknya juga menyukai Ika. Kalau demikian, bagaimana dengan Broto yang kata Ika adalah calonnya?
***
Ketika sampai dirumah, suaminya juga sudah siap berangkat ke kantor. Ada Dina yang juga menunggunya dan duduk di teras rumah.
“Sudah mau berangkat mas? Nggak sarapan dulu ?”
“Nggak usah, nanti aku suruh orang membeli sarapan untuk aku.”
“Baiklah, hati-hati, jangan makan yang pedas-pedas dan berlemak banyak.”
“Iya, aku tahu. Dina juga belum sarapan.”
“Nggak apa-apa, nanti aku buat nasi goreng saja untuk aku sendiri dan Dina.”
“Jangan terlalu capek. Untuk makan siang aku beli sa’at istirahat saja.”
“Iya mas, ya sudah, berangkat saja, nanti terlambat.”
Leo berangkat setelah Rina dan Dina mencium tangannya.
“Dina, nanti makan nasi goreng saja ya?”
“Sama ayam goreng?”
“Belum ada ayam goreng, nanti siang biar bapak saja yang beli, Sekarang nasi goreng sama telur ceplok ya.”
“Baiklah, Dina bantu ibu masak nasi goreng,” kata Dina sambil melonjak-lonjak.
“Anak pintar, ibu ganti pakaian dulu ya.”
“Cepetan bu, supaya Dina pintar seperti mas Dian.”
Rina tersenyum. Ia ingat keinginannya membawa Dian ke rumah ini tapi tak berhasil.
***
Pagi itu ketika Ika masih sibuk melayani pembeli didepan rumah, tanpa diduga Broto datang. Dian yang sedianya ingin membantu ibunya lalu mengajaknya masuk kedalam dan mengajaknya duduk di teras.
“Kata ibu, om Broto sudah pulang kemarin sore,” sapa Dian ketika menghidangkan secangkir teh.
“Belum jadi, mungkin baru sore nanti, soalnya kemarin sore harus ke pengajian.”
“Om juga kenal sama yang meninggal itu?”
“Tidak, tapi om kenal sama isterinya.”
“O, yang kakaknya om Baskoro.”
“Iya benar. Apa om Baskoro sering kemari?”
“Beberapa kali om Baskoro mengantarkan ibu.”
“Dia baik bukan ?”
“Baik, seperti om Broto juga baik.”
“Kamu suka sama om Baskoro?”
“Nggak ada alasan untuk tidak suka. Kan saya bilang dia baik, seperti om Broto yang juga baik.”
Broto ingin memancing-mancing tentang hubungan Baskoro dengan Ika, tapi tampaknya Dian tidak mengerti apa-apa. Menurutnya Baskoro dan dirinya itu baik. Hanya itu, tapi sejauh apa hubungan Ika dan Baskoro, susah mengoreknya dari Dian.
“Silahkan diminum om.”
“Baiklah, terimakasih Dian.”
“Ibu masih lama, tuh, pembeli masih banyak. Waktu om Baskoro kemarin datang kemari, om Baskoro membantu ibu jualan.”
“Apa? Membantu ibu kamu jualan ?”
“Iya, ikut membungkus sayur, membungkus ikan. Pokoknya apa saja, om Baskoro membantu sampai pembeli hampir habis. Yang beli pada senang. Katanya penjual sayurnya punya pembantu ganteng,” kata Dian sambil tertawa.
Broto tersenyum, tipis dan sama sekali tidak manis. Dia merasa kalah satu langkah karena Baskoro mau membantu Ika jualan. Ia ingin turun dan ikutan membantu seperti dilakukan Baskoro, tapi sungkan, nanti dikira ikut-ikutan.
Akhirnya dia hanya duduk menunggu, sambil termangu, dan dibiarkannya Dian lari ke depan ketika melihat pembeli semakin banyak.
Sebenarnya Broto ingin mengutarakan niatnya, ingin mempersunting Ika, seperti bu Kartiman selalu mengingatkannya, tapi kehadiran Baskoro membuatnya ragu. Bagaimana kalau Ika memilih Baskoro? Baskoro lebih segalanya dibandingkan dengan dirinya. Ia pengusaha kaya, Ia lebih ganteng, ia mungkin juga lebih akrab dengan Ika dibandingkan dengan dirinya. Dan akhirnya Broto hanya mengatakan bahwa kedatangannya untuk berpamitan saja, karena sore nanti mau kembali ke Jakarta.
***
Ini hari pertama Dian masuk ke sekolahnya yang baru. Begitu pembeli sudah sepi, ia ingin kesekolah Dian untuk menanyakan keperluan apa saja yang dibutuhkannya, selain uang masuk yang digratiskan karena nilai Dian yang bagus. Ika punya sedikit tabungan, yang diprioritaskan untuk kepentingan pendidikan Dian. Ia ingin membayar semua biaya pendidikan selama setahun, supaya lebih ringan Ika memikirkannya.
Memasuki kantor guru, Ika segera mengutarakan niatnya.
“Ibu ingin membayar uang sekolah Dian selama setahun?”
“Iya pak, supaya saya merasa lebih ringan.
“Tapi belum lama ini kan uang sekolah Dian sudah dibayar selama setahun?”
Ika terkejut bukan alang kepalang.
“Siapa yang membayarnya?”
“Lhoh, itu bukan bapaknya Dian? Dia bilang bahwa dia itu bapaknya. Apa dia tidak bilang sama ibu bahwa telah membayarnya?”
Wajah Ika muram seketika. Bukannya gembira karena ia tak harus memikirkan biaya untuk Dian, tapi ia merasa bahwa Leo terlalu lancang telah melakukan semuanya. Ika marah sekali.
Bersambung #15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel