Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 17 Juni 2022

Jangan Bawa Cintaku #13

Cerita bewrsambung

Ika berdebar, ia berharap Leo datang bersama Rina, ternyata tidak. Leo turun sendiri, dan Dian sudah sampai didepannya, menatapnya heran. Tentu saja karena Dian mengira yang datang adalah Broto. Dian sudah mengenal Leo, karena pernah bertemu ketika bersama Dina. Waktu itu Leo bersikap biasa-biasa saja, kalau tak mau disebut acuh terhadapnya. Karenanya ia terkejut ketika tiba-tiba Leo mengacak rambutnya, dan tersenyum sangat manis.

“Dian, apa kabar?”
Dian menyalami lalu mencium tangan Leo. Ingin sekali Leo memeluknya, tapi dilihatnya Ika menatapnya tajam. Leo menahan keinginannya, lalu melangkah mendekati Ika.

“IKa…”

Leo mengulurkan tangannya untuk bersalaman, tapi Ika menyambutnya hanya dengan mengatupkan kedua belah telapak tangannya.
“Mana bu Rina ?”
“Dia tidak ikut, harus banyak istirahat. Boleh aku duduk?” tanya Leo yang tanpa menunggu jawaban sudah duduk begitu saja di kurai teras.
“Darimana tahu rumah aku? Maksudku, rumah dimana aku tinggal ?”
“Rina yang memberitahu. Rina juga mengijinkan aku datang kemari.”
“Aku kan sudah bilang bahwa kita tak usah bertemu lagi?”
“Maaf Ika, kamu tidak boleh begitu. Aku sudah memohon maaf , sudah mengakui kesalahan aku.. tolong jangan membenci aku.”
“Aku tidak benci kamu. Tolong juga mengerti perasaan aku, yang masih ingat luka masa lalu. Dan sekarang jangan bicara apapun, aku tak ingin Dian mendengarnya.”
“Oh ya, baiklah, sebenarnya aku datang kemari untuk menjemput Dian.”

Ika terkejut, matanya terbelalak, dan tampak ketakutan.

“Jangan takut Ika, aku akan mengajak Dian menemui Dina. Kata Rina, Dina sangat ingin ketemu Dian.”

Ika menghela nafas lega.

“Mengapa bukan bu Rina yang datang?”
“Kan aku sudah bilang bahwa Rina harus banyak istirahat. Dia yang menyuruh aku menjemput Dian, kalau kamu tidak percaya, kamu boleh menelpon Rina.”
“Om mau mengajak ketemu Dina?” kata Dian yang tiba-tiba muncul sambil membawa dua cangkir teh, lalu diletakkannya di meja.
“Eh, Dian pintar sekali. Terimakasih Dian.”
“Ibu yang menyuruh, kalau ada tamu, Dian harus bisa menyiapkan suguhan teh hangat.”
“Bagus, boleh bapak..eh.. om minum sekarang?”
“Silahkan om.”

Leo meraih cangkir dan meneguk teh buatan Dian.

“Hm, enak sekali.. pintarnya Dian membuat teh.”
“Ibu, benarkah Dian boleh ketemu Dina?”

Ika menatap anaknya, melihat sinar gembira dimatanya. Ia tahu kedua anak itu bersahabat. Setiap pertemuan pasti menyenangkan.

“Benarkah bu?”
“Benar Dian, tadi neneknya Dina bilang bahwa dia ingin kamu datang kesana.”
“Ibu..” Dian menatap ibunya, menunggu jawaban. Ika masih diam.

Leo menatap Ika, seperti juga Dian, menunggu jawaban.

“Kamu ingin menelpon Rina ?”

Ika ragu-ragu.

“Jangan lama-lama,” akhirnya itulah yang dikatakan Ika.
“Horee… aku ganti baju dulu ya bu.”

Sampai hatikah Ika mematahkan kegembiraan anaknya? Bukankah Dian tak tahu apa yang terjadi?

“Benarkah kamu akan segera mengantarkan pulang?”
“Kamu takut aku membawa lari anak kita?”
“Anakku..” kata Ika meralatnya.
“Baiklah. Anakmu. Jangan takut, aku tak akan membawanya pergi, hanya ingin mengajaknya bertemu Dina.”
“Segera antarkan dia pulang.”
“Ibu, aku sudah selesai..” kata Dian sambil mendekati ibunya.
“Baiklah.. cepat pulang ya nak, ibu sendirian,” pesan Ika, berharap nanti Dian akan segera meminta pulang saat teringat bahwa ibunya sendirian.

“Iya bu, aku tahu.”

Tapi sebelum Dian memasuki mobil Leo, sebuah mobil lain datang dan berhenti dibelakang mobil Leo.

“Om Broto !!” Dian berteriak dan urung menaiki mobil.
“Dian, ingat, Dina menunggu kamu,” kata Leo yang sudah siap naik ke mobilnya.
“Sebentar om, baru ada om Broto,” kata Dian. Leo terpaksa mengikuti kemauan Dian, menunggu Leo turun, kan dia juga pernah mengenalnya.

“Dian, mau kemana ?” sapa Broto ketika turun.
“Mau ketempatnya Dina om. Ini sama om Leo.”
“Oh, pak Leo, apa kabar,” kata Broto sambil menyalami Leo dengan hangat.
“Kabar baik. Ini liburan?”
“Iya, saya baru dari Jakarta langsung kemari, sedianya mau ketemu Dian dulu, tapi nggak apa-apa kalau Dian mau pergi."
“Om Broto sama ibu dulu ya, Dian mau ketemu Dina.”
“Baiklah.”
“Mari, mas Broto,” kata Leo sambil naik keatas mobilnya. Wajahnya sedikit masam, tidak seramah Broto.

Ia segera berlalu, sementara Broto kembali ke mobilnya, mengambil beberapa bungkusan, dibawanya masuk untuk menemui Ika.

“Selamat sore mbak Ika.”
“Sore mas Broto, sudah ketemu Dian?”
“Iya, sayang sekali Dian sedang mau bepergian.”
“Iya, mau ketemu sahabatnya.”
“Saya baru saja datang, langsung kemari.”
“Apa tidak capek mas?”
“Capek sih, tapi saya ingin menurunkan ini dulu, oleh-oleh untuk Dian dan untuk mbak Ika.”
“Mas Broto selalu repot untuk kami.”
“Tidak apa-apa, saya dan Dian kan sudah seperti sahabat.”
“Terimakasih banyak mas.”

Tapi Broto tidak lama berada dirumah Ika. Ia hanya menurunkan oleh-oleh yang dibawanya, kemudian pergi. Ia bahkan menolak ketika Ika mau membuatkan minuman.
Ika bersyukur Broto tidak lama berada dirumahnya. Tanpa adanya Dian, Ika tak bisa menemui seorang laki-laki yang bukan siapa-siapanya.
***

“Siapa sih om Broto itu?” tanya Leo yang penasaran melihat Dian dan Ika begitu dekat dengannya. Ia ingat kata Rina, bahwa dia adalah calon suami Ika. Apa itu benar? Ada rasa tak senang membayangkan Broto sedang berduaan dengan Ika, sementara Dian tak ada dirumah. Senang barangkali, tak ada yang mengganggu.

“Om Broto itu, anaknya pak Kartiman.”
“Pak Kartiman itu siapa?”
“Itu yang punya rumah. Rumah lama bukan rumah yang sekarang.”
“Sudah lama dong kenal sama dia.”
“Belum juga. Hanya ketika bu Kartiman sakit, lalu om Broto datang. Kan kerjanya di Jakarta.”
“O.. belum lama ya? Apa.. dia.. calonnya ibu kamu?”
“Calon apa?” tanya Dian tak mengerti.
“Calon.. ya calon.. mm.. calon bapak kamu?”
“Tidak..”
“Tidak?” Leo hampir bersorak karena senang.
“Tapi saya juga tidak tahu om.”

Leo diam. Tapi mengapa pula dia merasa risau? Ika bukan apa-apanya. Dia sudah punya isteri yang baik. Ah, Ika juga baik, lalu Leo ingat bahwa sesungguhnya kedatangannya ke rumah Ika hanya ingin memeluk Dian, dan Rina mengusulkan agar dia beralasan mempertemukannya dengan Dina.
Dia juga tak bisa serta merta memeluk Dian. Dian akan bertanya-tanya atas perubahan sikapnya, tapi Rina sudah memberi tahu apa yang harus dilakukannya.
Alangkah mulia hati isterinya. Ia rela mempertemukannya dengan wanita masa lalunya. Tidak marah mendengar apa yang terjadi kala itu, Tidak marah ketika mengetahui bahwa Dian adalah darah dagingnya. Ia bahkan memberi tahu bagaimana caranya mendekati Dian tanpa menyakiti ibunya.
Aduhai, keterlaluan kalau dia masih memikirkan Ika dan mengharapkannya. Tapi mengapa dia kesal melihat Broto dekat dengan Ika?

“Apa aku sudah gila?” katanya dalam hati, memaki dirinya sendiri.
“Sebentar lagi Dina masuk sekolah. Mengapa masih ada dirumah neneknya?” kata Dian tiba-tiba.
“O, itu karena om sakit. Lalu Dina dititipkan disana. Nanti pasti akan pulang kalau sudah saatnya masuk sekolah.”

Dian hanya mengangguk.

“Dian..”
“Ya om ..”
“Kamu tahu bahwa Dina sangat sayang sama kamu?”
“Dian juga sayang sama Dina. Dia itu lucu, cerewet, tapi dia juga pintar.”
“Itu karena kakaknya juga pintar,” Leo mulai membuka percakapan agar Dian bisa menerima sikapnya. Itu juga Rina yang memberitahunya.

“Kakaknya?”
“Bukankah Dina menganggap kamu adalah kakaknya?”
“Ooh.. iya..” Dian tertawa. Leo menoleh kearahnya.
“Alangkah gantengnya anakku..” bisik Leo. Pelan. Dian mendengarnya, cuma saja tidak jelas apa yang dikatakannya, lalu ia menoleh kearah Leo. Leo juga menatapnya.

“Dian, kalau kamu menganggap Dina adalah adik kamu, berarti kamu juga harus menjadi anakku,” kata Leo sambil berkali-kali menoleh kearah Dian.
“Ah..”
“Kok ah.. “
“Om kan orang kaya, sedangkan ibu itu miskin..”
“Menurut kamu, kaya dan miskin itu apa?” Leo sedikit bingung, karena tadi Rina tidak memberi pelajaran tentang kaya dan miskin.

“Kan om punya mobil, punya rumah bagus, sedangkan ibu hanya punya motor buruk, aku hanya punya sepeda.”
“Ooh, gitu ya..? Lalu apa hubungannya dengan.. mm.. yang tadi om katakan? Tentang.. mm.. Dina dan kamu yang menjadi kakak adik?”
“Mana mungkin om mau punya anak seperti saya? Anak orang miskin..”
“Kamu itu anak orang kaya..”
“Apa ?”

Leo kembali bingung harus menjawab apa.

“Saya bukan anak orang kaya.”
“Tidak apa-apa.. kamu kaya atau tidak, om mau kok punya anak seperti kamu. Maksudnya, karena Dina mau agar kamu menjadi kakaknya, maka aku mau menjadikan kamu juga anakku.”

Dian hanya tertawa. Ia berfikir, untuk merasa senang ia tidak harus menjadi anak orang kaya. Ia bahagia punya ibu Ika. Ibu yang baik, yang lembut dan sangat mencintainya.

“Mengapa tertawa?”
“Dian sudah menjadi anak ibu..”

Leo meraih tangan Dian, dan digenggamnya erat.

“Kamu tetap menjadi anak ibu kamu, tapi kamu juga akan menjadi anak aku.”

Mobil leo sudah memasuki halaman rumah mertuanya. Dina yang sedang duduk diteras bersama neneknya, berlari mendekat begitu ada mobil ayahnya.

“Bapaak… mana ibu?” teriaknya.

Tapi ketika melihat Dian turun, Dina bersorak kegirangan.

“Mas Diaaaan…”

Dina langsung menggandeng Dian, melangkah ke rumah sambil melonjak-lonjak.
Leo tersenyum.

“Leo, kamu sudah sehat?” sapa mertuanya ketika Leo mencium tangannya.
“Sudah bu, itu sebabnya saya kemari, sambil membawa Dian, agar Dina senang.”
“Isteri kamu baik-baik saja?”
“Dia masih harus banyak beristirahat.”
“Ayo duduklah, biar ibu buatkan minum dulu untuk kamu,” kata mertuanya sambil beranjak masuk.

Leo menatap Dina dan Dian yang sedang berbincang tentang buku cerita yang baru saja dibacanya. Leo belum pernah melihat keakraban itu, ada haru menyelinap didadanya. Mereka mempunyai darah yang sama. Darahnya mengalir disana, di dua anak yang tampak akrab berbincang. Siapa yang menyuruhnya? Apakah dari masing-masing sanubari sudah saling berkata bahwa mereka adalah saudara?

“Oh, ya ampuuun.. mas Dian, aku lupa ngomong..” tiba-tiba Dina berteriak kemayu.
“Ngomong apa?”
“Aku mau punya adik, masih di dalam perut ibu.”
“Iya, aku sudah tahu..”
“Yaaah.. kok sudah tahu sih..” kata Dina dengan mulut cemberut. Ia berharap Dian akan kaget mendengar ceritanya, ternyata Dian sudah tahu.

“Ya, aku sudah tahu, karena ibuku yang mengantar bu Rina ketika diperiksa dirumah sakit. Tapi aku seneng. Kamu juga seneng kan?”
“Iya aku seneng. Sekarang aku punya kakak mas Dian, dan juga mau punya adik yang masih ada didalam perut ibu. Besok kalau adikku perempuan, aku beri nama dia Dita.”
"Kok Dita sih ?”
“Kata simbah, namaku Dina, kakakku Dian, adikku Dita..”

Lalu keduanya tertawa terkekeh. Dian benar, Dina memang lucu. Leo yang memandangi mereka ikut tersenyum-senyum.

“Dina, Dian.. sini.. “ tiba-tiba Leo memanggilnya.

Dina berdiri, dan mendekati ayahnya sambil menggandeng Dian.

“Sini. Dina disebelah sini, Dian sebelah sini.”

Keduanya menurut, Dian berdiri disebelah kanannya, Dina disebelah kiri, sementara Leo masih duduk di kursinya. Sekarang Leo tak canggung merangkul Dian. Kalau Dian bertanya, ia sudah tahu akan menjawab apa.

“Dengar, Dina suka kan punya kakak mas Dian?”
“Suka.. suka.. suka..” kata Dina sambil melonjak-lonjak.”

Leo tak melepaskan pelukannya. Bahkan ia memeluk Dian lebih erat, lalu menciuminya bertubi-tubi. Dian agak merasa heran.

“Bapak sangat bahagia, Dina punya kakak Dian.”

Lalu Leo merengkuh keduanya erat, menahan tetesan air mata nyang nyaris tumpah.

“Dian sekarang harus benar-benar menganggap Dina sebagai adik kamu, ya sayang?”

Dian mengangguk. Ia sudah lebih besar dari Dina, dan ia melihat air mata mengambang di mata bapaknya Dina, lalu ada setitik yang membasahi pipinya. Entah siapa yang menyuruhnya, tiba-tiba tangan Dian mengusap pipi Leo yang sedikit basah. Leo tertegun, lalu memeluk Dian lebih erat, menyembunyikan kepalanya dibahu Dian yang kecil, dan membiarkan air matanya membasahi baju Dian.

“Bapak, aku juga mau dipeluk seperti mas Dian,” protes Dina.

Leo tersenyum, melepaskan pelukannya pada Dian, lalu memeluk Dina erat-erat.

“Adduuh.. bapak.. sakit…” teriak Dina yang kesakitan karena Leo memeluk terlalu erat.
“Bapak sangat bahagia, sangat bahagia, memiliki dua anak yang cantik dan ganteng,” bisik Leo agak bergetar.
“Lho, ada apa ini, kok nggak mau main malah mengganggu bapak?” tegur neneknya Dina sambil meletakkan nampan berisi minuman dan cemilan.

“Bapak senang, Dina punya kakak mas Dian, mbah.”
“Oh, gitu ya? Iya tuh Leo, tiap hari anakmu menanyakan terus, kok mas Dian nggak kemari, begitu.”
“Nanti mas Dian tidur disini kan?”
“Tidak Dina, mas Dian harus bapak antarkan pulang.”
“Kenapa, dulu itu boleh kok tidur disini, ibu yang bilang sama ibunya mas Dian.”
“Tapi tadi ibunya mas Dian bilang bahwa mas Dian harus cepat pulang, soalnya ibunya dirumah sendirian.”
“Aaah.. “ Dina cemberut.
“Besok gantian Dina yang kerumahnya mas Dian, bagaimana?”
“Benarkah?
“Sekarang Dina nggak boleh rewel, besok bapak jemput, lalu kita sama-sama kerumah mas Dian.”
“Horeee.. aku suka.. aku sukaa..” teriak Dina kegirangan, lagi-lagi sambil melonjak-lonjak.
***

Ika merasa lega ketika Leo benar-benar mengantarkan Dian dan tidak terlalu malam. Leo juga tidak berlama-lama dirumah Ika. Ia tak ingin membuat Ika ketakutan. Kebersamaannya dengan Dian membuat semuanya menjadi menyenangkan. Barangkali itu sudah cukup. Dan Leo juga lega melihat Broto tak ada lagi dirumah itu.

“Tamunya sudah pulang?” tanya Leo sebelum pulang.
“Tamu siapa?”
“Tadi…”
“Mas Broto ?”
“Ya, itu…”
“Sudah, hanya menurunkan oleh-oleh buat Dian, lalu pulang. So’alnya baru datang dari Jakarta.”
“Tampaknya Dian sangat dekat sama dia.”
“Ya.. mereka seperti sahabat.”
“Sahabat?”
“Ya.”
“Baiklah, aku bahagia kalau kamu mendapatkan pendamping yang baik, tidak seperti aku,” kata Leo sambil melangkah pergi.

Ika tertegun. Tampaknya Rina sudah mengatakan kepada Leo tentang lidahnya yang terpeleset ketika itu.

==========

Ika memasuki rumah dengan berbagai macam perasaan yang bercampur aduk. Ia menangkap rasa tidak suka dihati Leo kepada Broto. Kalaupun bilang merasa senang, tapi itu terdengar sangat tidak ikhlas. Ika menghela nafas panjang.

“Leo sudah memiliki isteri yang cantik dan baik, mengapa masih ada perasaan itu terhadapku? Leo.. mari kita lalui jalan hidup yang bersih dan benar. Kalaupun cinta itu masih ada, sadarilah bahwa cinta tak harus memiliki,” kata hati Ika.
“Ibu… sini deh, Dian mau cerita,” kata Dian sambil menarik ibunya, diajaknya duduk di kursi bersebelahan dengan dirinya.



“Ada apa sih, anak ibu ini.. bukannya ngajakin tidur.. ini sudah malam lhoh, dan belum makan pula.”
“Bu, tadi tuh.. om Leo baik banget sama Dian.”
“Oh ya.. baik bagaimana sih ?”
“Ya baik, pokoknya Dian sampai ingin menangis tadi.”

Ika menatap Dian tak berkedip. Apa yang diperbuat Leo, sehingga anak laki-lakinya sampai ingin menangis.?

“Ceritakan semuanya…”
“Tadi kan Dina sama Dian dipeluk sama om Leo, dia senang Dina menganggap Dian sebagai kakaknya. Lalu Dian dipeluk sambil menangis..”
“Menangis?”
“Pokoknya air matanya sampai keluar, lalu dipeluknya Dian, sampai baju Dian di bagian pundak ini basah lho bu.”

Mata Ika membulat lebar.

“Dian juga pengin nangis.. Dia itu kan orang kaya, kok mau menganggap Dian yang miskin ini menjadi anaknya ya bu.”

Kalau saja Dian tahu. Tapi menurut Ika belum saatnya dia tahu. Ika takut hal itu akan mengganggu perasaan Dian. Dian harus jadi orang, entah bagaimana caranya nanti, barulah Ika akan berterus terang.

“Mengapa ya bu, om Leo sampai begitu?”
“Mungkin dia senang, karena Dina juga sayang sama kamu.”
“Bolehkah Dian memanggil bapak pada om Leo?”
“Tidak,” kata Ika buru-buru.
“Mengapa bu ?”
“Karena dia itu bapaknya Dina..”
“Tapi kata om Leo, karena Dian kakaknya Dina, jadi Dian itu juga anaknya om Leo..”
“Nggak, tetaplah menjadi anak ibu saja, tidak apa-apa Dina menjadi adik kamu.”
“Besok om Leo mau kemari..”
“Apa?” Ika terkejut.
“Akan diajaknya Dina kemari, karena tadi Dina meminta Dian tidur di rumah neneknya seperti dulu, tapi pak Leo menolaknya, jadi pak Leo janji sama Dina, bahwa besok akan diajaknya kemari.”
“Hm, sekarang akan banyak alasan Leo untuk datang kemari. Ya Tuhan, ini sangat mengganggu perasaanku. Aku tidak mau hatiku menerima dia kembali. Tidak.. semuanya sudah berlalu. Luka ini masih menyisakan perih bila mengingatnya,” kata batin Ika.
“Ya sudah, ayo kita makan dulu, lalu tidur.”
"Tadi om Broto ketemu ibu kan?”
“Ya, ada oleh-oleh buat kamu, belum ibu buka, besok saja.”
***

“Bagaimana, sukses kan?” tanya Rina ketika melihat Leo melamun sambil duduk di ruang tengah.
“Terimakasih Rina.”
“Terimakasih untuk apa?”
“Karena kamu, aku bisa memeluk darah dagingku.”
“Lalu apa?”
“Yang jelas aku bahagia. Sekarang aku sedang berpikir untuk bisa melakukan sesuatu untuk Dian.”
“Silahkan saja, tapi harus dengan cara yang baik. Soalnya aku tidak yakin mbak Yanti mau menerima begitu saja.”
“Tampaknya Ika memang punya rasa angkuh..”
“Bukan angkuh. Dia orang yang tak bisa begitu saja menerima kebaikan..”
“Katakan bagaimana caranya supaya dia bisa menerimanya.”
“Kita pikirkan nanti. Pelan-pelan.”
“Aku tadi ketemu Broto disana.”
“Oh ya? Mas cemburu dong..”
“Ah.. kamu..”
“Ngaku saja kalau memang cemburu. Aku tahu mas masih suka sama dia.”
“Apa kamu cemburu ?
“Kalau aku bilang cemburu.. lalu aku melakukan apa? Melabrak dia, mengamuk, atau apa? Kalau aku bilang tidak cemburu, pasti kelihatan aneh. Suaminya menyukai perempuan lain, dan tidak cemburu? Mas pikirkan sendiri jawabannya. Jangan bertanya sama aku.”

“Rina..”
“Aku pusing mas, sebelum merasa mual dan muntah, lebih baik aku bawa tidur sekarang,” kata Rina sambil melangkah masuk kedalam kamar, dan membaringkan tubuhnya, lalu memejamkan matanya.

“Tidak cemburu? Ya cemburu lah, aku kan masih manusia, biar aku bilang ikhlas, tapi hatiku menangis, tahu,” jerit batin Rina.



Tapi Rina sadar, Ika wanita yang baik. Ia tak mungkin akan merusak keluarganya.

“Dia sahabat baikku..” bisiknya pelan. Lalu Rina terkejut ketika merasa seseorang mengelus pipinya.
“Dia sahabat baik kamu kan?” Leo membisikkan itu di telinganya.

Rina membuka matanya. Dilihatnya Leo menatapnya lalu mengelus rambutnya.

“Aku sayang kamu. Kamu isteri terbaik untuk aku. Tetaplah dia menjadi sahabatmu. Aku tak akan merusaknya,” katanya lembut.

Rina menatap suaminya yang kemudian berbaring disisinya.

“Jangan mengganggu aku, aku sedang hamil muda,” kata Rina sambil mendorong Leo agar menjauh dari sisinya.
Leo tersenyum tipis.

“Aku tahu.”
***

Pagi itu Ika sedang di kerubutin ibu-ibu yang belanja sayur dagangannya. Dian masih membersihkan rumah sehingga belum membantunya. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti. Ika mengira itu Broto, tapi bukan. Ika seperti mengenali mobil itu.

“mBak Ika, kembaliannya belum,” kata seorang ibu yang sudah membawa bungkusan belanjaannya. Ika tersenyum, gara-gara memperhatikan mobil itu sampai lupa memberikan kembalian.



“Oh, maaf bu, ini ya bu,” kata Ika sambil mengambilkan kembaliannya.
“mBak Yanti…”

Ika menoleh kearah datangnya suara.

“Mas Baskoro ?”
“mBak Ika, bayamnya tinggal satu ya?” tanya seorang pembeli.
“Oh, masih ada.. masih ada bu, ini.. masih banyak kok,” kata Ika sambil menunduk, dan mengambil sayur yang masih di simpannya di bawah meja.
“Naah, begitu dong. Kalau hanya seikat nanti kalau sudah direbus cuma jadi sekepal..” kata ibu itu sambil tertawa.
“Mau berapa bu, biar saya bungkus,” tiba-tiba Baskoro sudah mengambil sebuah tas keresek untuk pembungkus, dan memasukkan bayam ke dalamnya, sambil tersenyum manis. Ika menatap Baskoro, ingin melarangnya, tapi Baskoro meletakkan jari telunjuknya di bibir, pertanda dia melarang Ika bicara.

Ika terkejut, tapi tak mungkin berebut diantara ibu-ibu yang belanja, jadi dibiarkannya saja Baskoro membantu membungkus sayur dan apa saja yang dibeli oleh para ibu itu.

“Waah, pembantunya ganteng.. pasti laris dagangannya..” celetuk seorang ibu. Lalu seorang gadis mendekat kearah Baskoro..

“Mas, tolong dibungkusin ini, sayuran yang sudah aku pilih ya,” kata gadis itu sambil melirik genit ke arah Baskoro. Baskoro melayaninya sambil tersenyum manis. Senyuman itu membuat gemas gadis tersebut dan juga ibu-ibu yang melihatnya.

“Sama ini mas, wortelnya.. tomat.. Eh, mbak Ika, mana ayam yang tadi saya pilih..?”
“Ini mbak Mur. “
“Ini mas, jadikan satu ya mas..” katanya seperti memaksa Baskoro supaya melayani dirinya. Baskoro tersenyum manis.
“Ini, mbak cantik…” kata Baskoro sambil mengulurkan belanjaan yang sudah dibungkusnya. Gadis itu terkekeh sambil menowel lengan Baskoro. Senang hatinya dipuji cantik.



“Besok mbantuin jualan lagi kan mas?” katanya sebelum pergi.



Baskoro mengacungkan ibu jarinya sambil mengerdipkan sebelah matanya, lalu gadis itu pergi sambil melambaikan tangannya.

“Ihh.. kegenitan tuh Murni.”
“Emang genit.”
“Masnya ngladenin saja sih.” Celetuk ibu-ibu yang masih sibuk memilih sayuran.

Ika tersenyum. Bisa-bisanya Baskoro membantu jualan sayur, sementara karena sibuk Ika tak sempat melarangnya.
Ketika Dian datang untuk membantu, hanya tinggal seorang ibu yang belanja. Baskoro masih membantu memasukkan belanjaan ibu itu kedalam keresek.

“Lho.. kok ada tamu bantuin jualan?” kata Dian heran.
“Iya tuh nak, tamunya nekat, tolong antar om Baskoro ke belakang untuk cuci tangan, pasti tangannya kotor dan bau.”

Baskoro hanya tertawa, lalu mengikuti Dian masuk ke belakang.

“Itu tadi siapa mbak Ika? Pacarnya ya?” tanya ibu terakhir yang belanja dan sedang dilayani Ika.
“Ah, bukan bu, itu saudara. Sudah bu, belanjanya?”
“Sudah mbak, berapa semuanya? Oh lupa, ada pala nggak?”
“Pala bubuk atau pala yang masih butiran bu?”
“Yang butiran saja mbak, nanti saya bubuk sendiri. Kurang mantap rasanya kalau beli bubukan.”
“Baiklah bu.”
“Jadi semua berapa mbak Ika?”
“Semua limapuluh tiga ribu.”
“Baiklah.”

Ketika pembeli mulai sepi, Ika meninggalkan dagangannya, beranjak ke belakang. Dilihatnya Baskoro sudah duduk di teras, dan Dian sudah menyuguhkan secangkir teh, lalu berlari ke depan, menunggui dagangan ibunya, barangkali masih ada yang beli.

“Mas Baskoro ada-ada saja, sudah berpakaian rapi, tiba-tiba membantu orang jualan sayur,” kata Ika sambil berlalu ke belakang untuk mencuci tangannya juga.
“Nggak apa-apa, pengin ngerasain, ternyata asyik juga ya jualan sayur. Mengapa Dian tidak membantu ibunya ?”
"Tadi Dian harus bersih-bersih rumah.”
“Anak pintar, baguslah, sejak kecil sudah diajarin bekerja.”
“Iya, mas Baskoro benar,” kata Ika sambil mengusap keringatnya dengan tissue yang ada dimeja. Baskoro menatapnya lekat-lekat. Wajah ayu itu tampak berkilat karena keringat yang membasah. Tapi itu wajah aslinya. Wajah sederhana tanpa make up, lalu membuatnya terpana. Baskoro merasa belum pernah melihat wajah polos yang justru tampak mempesona.
Ika menyapu wajahnya dengan telapak tangan.

“Ada yang aneh ya? Wajah saya terkena kotoran? Kurang bersih saya mengelapnya?”

Baskoro tertawa.

“Tidak,.. tidak ada kotoran apapun. Cantik kok.”

Ika tersipu. Baskoro memujinya tanpa sungkan. Tapi sorot mata itu tampak begitu polos. Ika mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia merasa ada yang aneh pada hatinya. Laki-laki perlente ini baru sekilas berkenalan, tapi bersikap sangat lugas, seperti sudah lama kenal. Ucapannya ceplas-ceplos, seenaknya. Kelakuannya juga tak terduga. Seperti tadi, begitu turun dari mobil lalu membantu dirinya berjualan. Sikapnya sangat manis, dan Ika melihat sorot-sorot mata kagum dari ibu-ibu yang sedang belanja, terlebih gadis yang bernama Murni, yang begitu tak tahu malu menggodanya. Ika tersenyum mengingatnya.

“Mas Baskoro kok tiba-tiba ada disini? Dan tiba-tiba juga membantu saya berjualan. Duuh, itu kan kotor dan bau.”
“Nggak tuh, wangi nih tangan saya.. hm.. wangi.. bener deh,” kata Baskoro sambil mencium tangannya berkali-kali.
“Iya, sekarang, coba tadi. Mengambil sayur, mengambil ikan mentah..”
“Tidak, menyenangkan. Kalau saya masih lama disini, mau kok membantu setiap pagi.”
“Ada-ada saja. Mana ada orang hebat seperti mas Baskoro mau melakukannya lagi.”
“Benar..”
“Tapi mas Baskoro belum menjawab pertanyaan saya. Mas Baskoro disuruh bu Rina ya?”
“Nggak, aku belum ketemu Rina sejak dia pulang dari rumah sakit. Mau ke rumahnya jadi segan. Habisnya kalau ketemu Leo rasanya pengin nonjok mukanya aja.”
“Ssst, nggak boleh begitu,” kata Ika bersungguh-sungguh. Dan lagi-lagi Baskoro terpana. Teringat almarhumah ibunya. Kalau ia mengucapkan kata-kata yang buruk, ibunya selalu bilang, ssst.. nggak boleh begitu.

“Rasa benci kepada seseorang itu sesungguhnya akan menyakiti diri kita sendiri,” lanjut Ika.

Ika mengatakannya karena ia merasakannya. Bertahun-tahun ia membenci Leo, dan dadanya terasa sakit. Sekarang, setelah ketemu, lalu melihat sikapnya, tiba-tiba kebencian itu perlahan lenyap, dan rasa sakit di dadanya juga sudah berkurang.

Baskoro menatap Ika.

“Perempuan ini bukan saja cantik, polos bersahaja, tapi juga sangat bijak dan memiliki sejuta ucapan yang menyejukkan,” kata Baskoro dalam hati.
“Apa saya berkata salah?”
“Tidak. Saya sedang berpikir, mbak Yanti ini sangat mirip almarhumah ibu saya,” kata Baskoro sendu.
“Masa sih, ibunya mas Baskoro mirip saya?”
“Bukan wajahnya, tapi setiap ucapan yang mbak Yanti katakan.”
“Oh ya?”
“Itu sebabnya saya suka.”
“Aaap.. apa?” kata Ika sambil membelalakkan mata.
“Ibuuu.. buah papaya ini harganya berapa?” tiba-tiba Dian yang sejak tadi menunggui dagangan ibunya berteriak. Rupanya ada yang menanyakan harga buah papaya yang dijualnya.

“Sepuluh ribu nak,” jawab Ika agak keras, lalu dilihatnya Dian mengangguk. Dian bisa membantu berjualan, asalkan yang gampang-gampang menurut Dian. Misalnya harga bayam seikat tiga ribu rupiah, harga sawi berapa, kangkung berapa. Dan setiap bumbu sudah dibungkus-bungkus, yang per bungkusnya harganya sudah hafal diluar kepala.

“Dian sangat pintar ya..”
“Anak orang tak punya harus bisa mengerjakan apa-apa. Kalau saya memasak, dia memasak nasi. Kalau saya berjualan, dia membersihkan rumah dulu baru membantu. Tapi kalau dia sekolah saya mengurangi tugas membantu dirumah. Nomor satu harus belajar.”

“Ibunya hebat, anaknya juga luar biasa. Semoga nanti saya punya anak sepintar Dian,” kata Baskoro sambil melirik ke arah Ika.

Tiba-tiba terdengar mobil berhenti diluar sana, dan Dian berteriak kepada ibunya.

“Ibuu.. ada om Broto.”
“Ada tamu ya, apa saya mengganggu?” kata Baskoro yang sedikit kecewa mendengar Dian meneriakkan nama seorang laki-laki.
“Itu sahabatnya Dian.”

Lalu terlihat seorang laki-laki itu melangkah masuk mendekati rumah, dan Baskoro terkejut karena merasa mengenal laki-laki itu.

“Mas Broto ya?”
“Lho, Baskoro ?” Broto juga terkejut melihat Baskoro.

Ika bergantian menatap keduanya, heran ternyata sudah saling kenal.

“Mas Broto itu dulu pacarnya mbak Risma,” kata Baskoro menerangkan.
“Silahkan duduk mas,” kata Ika sambil beranjak ke belakang.
“Kok kita bisa ketemu di sini?” kata Baskoro.
“mBak Ika ini sebelum pindah kemari, mengontrak dirumah orang tua angkat aku. Aku juga membantunya ketika pindah kemari. Belum lama, kira-kira baru sebulan.

“Oh, mbak Yanti.. eh.. siapa tadi mas Broto memanggilnya? mBak Ika? Namanya Ika?”
“Aku malah belum pernah tahu siapa nama lengkapnya, tapi orang-orang memanggilnya mbak Ika.”
“Aku tahunya mbak Yanti.”
“Mungkin nama panjangnya ada Yanti-nya. Oh ya, bagaimana kabarnya Risma?”
“Dia lagi disini mas, besok baru mau kembali lagi ke Amerika. Mas Broto nggak ingin ketemu? Besok sudah kembali lho.”
“Disini sama suaminya?”
“Tidak, suaminya kan sakit-sakitan mas, kasihan mbak Risma. Menikah terpaksa hanya karena bisnis orang tua, tapi ternyata suaminya sakit-sakitan.”

Broto menghela nafas.

“Anaknya berapa?”
“Belum punya. Pernah mbak Ris mengandung, tapi baru tiga bulan keguguran.”
“Aku ikut prihatin.”
“Ternyata sudah saling kenal,” kata Ika sambi meletakkan minuman untuk Broto.
“Mantan calon ipar,” lalu keduanya tertawa.

Tiba-tiba ponsel Baskoro berdering.

“Ya mbak, ini.. lagi main kerumah mbak Yanti. Eh mbak.. aku ketemu mas…..”
“Cepat pulang Bas, mas Arga meninggal,” kata Risma sebelum Baskoro menyelesaikan ucapannya.”
“Apa? Meninggal?” teriak Baskoro.
“Jenazahnya akan dibawa kemari. Cepat pulang, aku butuh seseorang untuk memikirkan semuanya.”
“Baiklah, aku pulang sekarang.”
“Siapa yang meninggal?” tanya Broto.
“Mas Arga, suami mbak Risma. Aku mau pulang sekarang.”
“Aku ikut Bas,” kata Broto sambil meneguk teh yang dihidangkan Ika, kemudian keduanya berlalu, dan berpamitan sambil beranjak keluar. Ika tak mengucapkan apapun, tak tahu harus bilang apa.

Ketika ika dan Dian sedang membawa sisa dagangannya kebelakang, tiba-tiba didengarnya seseorang berteriak’

“Mas Diaaaan…”
“Itu suara Dina.”

Lalu Dian mencuci tangannya dengan terburu-buru, kemudian lari ke luar. Dilihatnya Dina sudah menaiki teras, dan di belakangnya di lihatnya Leo dan Rina.

“Diaan.” Teriak Leo dan Rina hampir bersamaan.

Dian menjemput ke halaman dan mencium tangan mereka.

“Silahkan duduk dulu om, tante, saya mau memanggil ibu dibelakang.”

Leo dan Rina duduk, dan melihat dua cangkir bekas teh yang masih terletak di atas meja.

“Tadi ada tamu ya Dian?”
“Iya, om Broto, dan om Baskoro. Maaf, biar saya bawa ke belakang sekalian,” kata Dian sambil membawa cangkir-cangkir itu.

Rina dan Leo saling pandang. Broto, dan Baskoro ?

Bersambung #14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER