Cerita bersambung
Ketika Rina menggandeng tangannya memasuki koridor Rumah Sakit, telapak tangan Ika berkeringat. Tak pernah dibayangkan ia harus bertemu Leo, lalu sekarang harus bicara.
“Ya Tuhan, kuatkanlah aku, berikan yang terbaik untuk hidupku,” bisiknya dalam hati.
“mBak Yanti, apa yang mbak Yanti takutkan?” tanya Rina ketika menyadari bahwa Ika tampak gemetar dan telapak tangannya berkeringat.
“Entahlah,” kata Ika sambil meremas tangan Rina yang menggenggamnya.
“Jangan takut. Yang mbak Yanti lakukan adalah sebuah kebaikan. Apa yang mbak Yanti takutkan?”
Benarkah Ika takut? Mungkin bukan perasaan takut. Ada rasa bercampur aduk dalam hatinya. Menemui laki-laki yang pernah dicintainya, lalu mengatakan bahwa dulu dia meninggalkan benih dirahimnya. Aduhai. Lalu teringat kembali ucapannya ketika itu.
“Aku belum siap menikah, orang tuaku akan murka.”
Ingatan itu membuatnya geram, kesal, sedih. Lalu tiba-tiba dia menghentikan langkahnya.
“mBak Yanti, tolonglah. Buat suasana apapun yang akan terjadi, akan segera selesai. Kita hadapi berdua, jangan takut."
“Berdua?”
“Iya, berdua, aku akan ada di pihak mbak Yanti. Percayalah.”
Rina kembali menarik tangan Ika, melangkah perlahan, dan mulai memasuki lorong yang menuju kearah kamar Leo.
“Bu Rina..” suara itu membuat langkah mereka berhenti.
“Dokter Puji…” sapa Rina.
“Bagus, bu Rina sudah tampak sehat. Tapi harus selalu berhati-hati ya.”
“Baik dokter.”
“Ada berita baik lagi. Pak Leo sudah bisa bangun, duduk.. dan hari ini infus sudah saya suruh buka. Besok pagi, mungkin sudah bisa rawat jalan.”
“Oh, terimakasih dokter.”
“Tapi ingat, makan harus tetap berhati-hati. Lemak, kasar, asam, jangan dulu. Kalau bu Rina makan yang asam-asam boleh, kan lagi ngidam,” kata dokter Puji sambil tertawa.
Rina dan Ika pun menahan senyumnya.
“Baiklah, silahkan menemui pak Leo, dia akan sangat bahagia akan mendapatkan anak keduanya,” kata dokter Puji sambil berlalu.
***
Leo sedang menelpon seseorang, wajahnya merah padam.
“Ya ini aku, aku dapatkan nomor ini dari perawat jaga. Ternyata kamu Baskoro?”
“Oh ya, Leo, ada yang bisa aku bantu? Kamu menginginkan sesuatu?”
“Jangan sok baik kamu. Siapa suruh kamu mengurusi aku? Apa yang kamu inginkan dari kebaikan yang kamu buat-buat itu?”
“Yaah, jahatnya kamu, aku berbuat baik bukan aku buat-buat. Aku tulus melakukannya, tahu.”
“Oh ya? Tulus? Katakan siapa yang menyuruh kamu mengurus aku? Rina? Kamu masih ngarep ya, masih ingin agar Rina memperhatikan kamu?”
“Kamu benar-benar jahat dan hatimu busuk ! Kamu tidak memperhatikan isteri kamu, membuatnya menangis, sementara dia sedang mengandung anak kamu.”
“Datang kemari dan mari kita bicara sebagai laki-laki.”
“Oh, ya, kapan.. dimana. Siapa takut? Jangan ingkar kamu. Untuk menutupi aib kamu, kamu berlaku kasar pada isteri, sementara dia sangat mencintai kamu.”
“Apa kamu bilang? Aib apa? Cerita apa Rina sama kamu?”
“Bukan Rina, perawat yang menjaga kamu mengatakannya, kamu mengigau memanggil-manggil perempuan lain. Suami macam apa kamu?”
“Diaaam !!”
Ketika berteriak itu Rina masuk. Terkejut melihat suaminya sudah duduk dan memaki-maki seseorang dalam bertelpon.
“Mas, ada apa?”
“Ini, selingkuhan kamu.”
“Selingkuhan apa sih mas? Aku tidak punya selingkuhan.”
“Baskoro? Bukan ya?”
“Ya ampun mas, dia banyak membantu kita. Membawa aku kerumah sakit ketika aku pingsan, mengurus baju ganti kamu dan mencari perawat khusus yang menjaga kamu sementara aku dirawat.”
“Itu karena dia masih menginginkan kamu.”
“Jahat kamu mas. Dia menolong kamu dengan tulus dan kamu menuduhnya begitu buruk. Kalau tidak ada dia entah bagaimana aku ini. Bingung memikirkan sakit aku, dan bersamaan dengan itu kamu juga sedang dirawat. Kamu menuduhnya begitu kejam.”
“Bukankah dia melakukannya karena masih mencintai kamu?”
“Mencintai atau tidak, tapi dia melakukannya dengan tulus,” kata Rina sambil merebut ponsel yang masih digenggam Leo. Dan ternyata Baskoro masih ada diseberang sana.
“Bas, ma’af ya.. “
“Untung kamu datang, aku hampir menemuinya dan menonjok wajahnya yang tampan biar penyok sekalian.”
“Sabar Bas, kan aku sudah minta ma’af. Lupakan semuanya, demi aku Bas, sehingga kepulangan kamu nanti tidak dengan membawa ganjalan apapun.”
“Hanya karena kamu aku mengalah, tapi aku benar-benar sakit hati Rin.”
“Lupakanlah, aku sekali lagi minta ma’af, lain kali aku akan menemui kamu dan mbak Risma sebelum kalian pergi.”
Rina menutup ponselnya dan menyerahkannya kembali kepada Leo yang wajahnya masih merah padam oleh amarah yang tak jelas ujung pangkalnya.
“Dengar Rin, aku marah sama dia karena aku cemburu.”
“Oh ya? Cemburu?”
“Itu benar. Bukankah dia itu sejak dulu suka sama kamu?”
“Jadi selama ini .. bertahun-tahun aku melayani kamu, berusaha menjadi isteri terbaik kamu, kamu masih memikirkan masa lalu yang sudah lewat dan mengungkitnya dengan cara yang sangat buruk ?”
“Maaf Rina.. “ akhirnya Leo merebahkan tubuhnya lagi ditempat tidur.
“Sungguh aku masih cemburu sama dia,” katanya lirih. Tapi kemudian dari sudut matanya, Leo melihat bayangan lain didepan pintu. Ia menoleh dan berteriak keras.
“Ika ?”
Ika melangkah perlahan, lalu berdiri disamping Rina.
“Ika, sudah lama aku ingin ketemu kamu,” kata Leo sambil bangkit lalu duduk ditepi tempat tidur.
“Bicaralah, aku mau keluar saja,” kata Rina sambil membalikkan tubuhnya, tapi Ika mencengkeram lengannya.
“mBak Yanti bicara saja, aku keluar .. supaya lebih enak,” katanya sambil melepaskan pegangan Ika.
Ika terpaku ditempatnya.
“Ika, terimakasih mau menemui aku.”
“Apa yang ingin kamu katakan?”
“Aku minta ma’af, dulu aku mencari-cari kamu. Tapi kamu hilang entah kemana. Itu ketika aku menolak dijodohkan. Lama sekali baru aku menjawab, sampai aku putus asa dan terpaksa menerima perjodohan itu karena orang tua kedua belah terus mendesak. Rina juga sudah punya pacar, Baskoro. Dia memutuskan hubungan dengan Baskoro demi orang tuanya, terutama bapaknya yang sudah sakit-sakitan. Kami menikah tanpa memiliki rasa saling menyukai."
Ika mencoba mengerti. Tak sepatah katapun ia menjawabnya. Kepalanya menunduk kelu.
“Rina gadis yang baik. Ia bisa menjalani semuanya demi orang tuanya, lalu akhirnya kami bisa melewati semuanya.”
“Tapi Tuhan menghendaki kita bertemu lagi, tanpa diduga,” lanjut Leo.
“Ika, kamu mau mema’afkan aku?”
“Aku sudah mema’afkannya.”
“Terimakasih. Bolehkah aku memegang tangan kamu?”
“Tidak,” Ika mundur selangkah.
“Baiklah, sekarang katakan, apakah Dian darah dagingku?”
Ika mengangguk dengan perasaan yang sangat berat.
“Kalau begitu bawalah dia agar menemui aku. Ijinkan aku memeluknya.”
“Harus ada alasan kuat untuk itu. Aku tak ingin anak sekecil itu ikut merasakan derita ibunya, walau semua sudah berlalu.”
“Ika, sebagai rasa tanggung jawabku, aku ingin kita menikah.”
Mata Ika membulat.
“Tidak!” keras sekali itu diucapkannya.
“Aku ingin menebusnya.”
“Tidak dengan cara itu. Kamu memiliki isteri yang baik. Jangan lagi melukainya.”
“Aku akan bicara sama Rina.”
“Tidak.”
Lalu Ika bersiap membalikkan tubuhnya.
“Aku harap ini pertemuan kita yang terakhir. Bahagialah bersama isteri kamu.”
Leo terpaku diatas tempat tidurnya, lalu disadarinya bahwa cinta itu masih ada.
***
“mBak Yanti.. mbak Yanti..” Rina mengejarnya ketika melihat Ika sudah melangkah keluar dan bergegas pergi.
Ika berhenti, Rina melihat air mata mengambang disana.
“Aku tadi menjemput mbak Yanti, sekarang aku harus mengantarkan juga.”
“Tidak bu, terimakasih banyak. Saya bisa pulang sendiri.”
“Jangan begitu mbak..”
“Barangkali suami bu Rina ingin bicara lebih banyak.”
“Dia mengatakan apa? Ingin menikahi mbak Yanti? Lakukanlah mbak, aku ikhlas berbagi. Lakukan dan kita akan menjadi saudara.”
“Tidak.”
“mBak Yanti..” Rina terus mengiringi langkah Ika yang tetap tak mau berhenti.
“Manusia apa aku ini, kalau aku sanggup merusak rumah tangga bu Rina yang begitu baik?”
“Tidak, mbak Yanti tidak merusaknya. Sungguh.”
“Tidak, biarkan aku pergi.”
“Apakah sudah ada laki-laki lain ? Calon suami?”
Ika menatap wanita yang berjalan mengiringi langkahnya dan memegangi lengannya.
“Laki-laki yang datang bersama mbak Yanti pada acara perpisahan anak-anak kita?”
Dan tiba-tiba saja Ika mengangguk. Entah sadar atau tidak, tapi dia ingin mengakhiri perdebatan yang melelahkan itu segera.
“Oh, ma’af ya mbak Yanti.”
Ika tersenyum tipis, lalu merasa malu kepada dirinya sendiri, mengapa mengakui seorang laki-laki asing yang belum lama dikenalnya, sebagai calon suami. Aduhai.
“Biarkan saya pulang sendiri bu, Leo butuh teman bicara.,” kata Ika sambil melepaskan pegangan Rina.
Rina mengeluh perlahan, lalu membalikkan tubuhnya, kembali kekamar inap suaminya.
***
Ika kembali mengusap setitik air matanya, lalu melangkah cepat menuju pintu keluar. Tapi tiba-tiba dilihatnya Baskoro, bergegas masuk.
“mBak Yanti ?” sapa Baskoro.
“Oh, mas Baskoro? Mau bezoek pak Leo ?”
“Tidak, mau menghajarnya,” katanya dengan marah.
Ika terkejut.
“Kenapa mas?”
“Dia itu laki-laki tak tahu diuntung. Kasar, bicara sembarangan. Biar aku menghajarnya.”
“Mas, jangan mas, sabar.. sabar ya. Ayo pulang saja, aku boleh numpang nggak?” kata Ika mengalihkan kemarahan Baskoro.
“Tapi aku masih marah nih, panas rasanya dadaku kalau belum menghajarnya.”
“Jangan mas, dia kan masih sakit, lagi pula ini kan rumah sakit, tidak baik membuat keributan. Ayo pulang saja mas, aku mau numpang nih. Tolong mas, boleh kan aku numpang?”
Baskoro melihat sepasang mata bening itu seperti bekas menitikkan air mata. Baskoro heran. Apa itu ada hubungannya dengan Leo?
“Ayolah mas, maukah menolong saya?”
Ika setengah memaksa, bermaksud mencegah Baskoro melakukan sesuatu yang bisa memicu keributan.
Baskoro membalikkan tubuhnya.
“Baiklah, aku antar mbak Yanti dulu.”
***
Didalam mobil itu wajah Baskoro masih masam. Ika menatapnya dari arah samping. Heran karena Baskoro melakukan banyak hal untuk Leo, tapi sekarang Baskoro marah-marah dan seperti tak tekendali.
“Mas Baskoro marah sama pak Leo?”
“Siapa yang tidak marah, aku bantu isterinya ketika sakit, aku bantu dia mencarikan perawat untuk menjaganya, aku ambilkan pakaiannya dari laundry, ee.. dia bicara yang enggak-enggak, mengira aku mencari perhatian Rina. Aneh kan?”
“Maksudnya.. pak Leo cemburu sama mas Baskoro?”
“Nah, itulah mbak. Cemburu buta. Bodoh, goblog dia itu. Kalau dulu aku bawa lari saja Rina, bisa apa dia?”
“Sst.. mas, nggak boleh dong ngomong kasar begitu,” cela Ika lembut, seperti seorang ibu memberi petuah kepada anaknya.
Baskoro menoleh kesamping, kearah perempuan cantik yang duduk disebelahnya.
“Perempuan ini mirip Rina, lembut dan baik hati, tak segan menolong orang lain,” kata batinnya.
“Endapkan amarah dengan tersenyum. Ketika seseorang tersenyum, maka separuh amarah itu sudah hilang dengan sendirinya, tinggal mengendalikan amarah yang masih separo lagi, itu tidak berat lho.”
Baskoro menoleh lagi. Ia ingat almarhum ibunya. Kalau dia sedang kesal, ibunya selalu menyuruh agar dia tersenyum, agar separuh amarah itu hilang.
“Hayoo.. mana senyumnya… anak baik nggak boleh marah.. ayo.. beri ibu senyuman..”
Lalu Baskoro tersenyum, dan ibunya merangkulnya erat-erat. Itu benar, Baskoro seorang yang gampang marah. Merasa menjadi anak bungsu, bawaannya suka ngambeg. Hanya ibunya yang bisa membujuknya. Sekarang wanita disampingnya berkata-kata dengan lembut, lalu Baskoro tersenyum sambil menoleh lagi kesamping. Ikapun menatapnya, dan sungguh, Baskoro merasa bahwa amarah itu sudah hilang.
“Saya turun di pertokoan saja ya mas, seperti dulu itu,” kata Ika tiba-tiba.
“Tidak, jangan. Saya akan mengantarkan mbak Yanti sampai didepan rumah.”
“Kan aku sudah bilang bahwa lewat disitu lebih dekat.”
“Tapi kan mbak Yanti masih harus berjalan. Kalau aku berhenti didepan rumah, jalannya kan tinggal melangkah sedikit, sudah sampai rumah.”
“Cuma berjalan sedikit saja kok mas, kasihan mas Baskoro kalau harus muter, lumayan jauh lho.”
“Nggak apa-apa.”
Ika tak bisa lagi membantah. Ketika mobilnya berhenti didepan rumah, dilihatnya Dian sedang duduk di teras. Anak kecil itu segera berlari menjemput ibunya kearah mobil.
“Itu sudah dijemput sama si anak ganteng,” kata Baskoro sambil tersenyum.
“Terimakasih banyak ya mas,” kata Ika sambil turun dari mobil.
***
“Ibu lama sekali..?” tegur Dian.
“Lama ya? Habis belum selesai nganterin bu Rina.”
“Mengapa bukan bu Rina yang mengantar ibu?”
“Bu Rina sedang sibuk mengurus suaminya. Kamu sudah makan?”
“Belum, aku nungguin ibu.”
“Baiklah, sesiang ini belum sarapan, kamu pasti lapar. Masih ada tempe gorengnya?”
“Masih ada, kan sebelum berangkat ibu sudah menggoreng.”
“Ibu kira kamu sudah makan pakai sayur bening dan tempe goreng.”
“Nggak enak makan tanpa ibu.”
“Baiklah, ibu ke kamar mandi dulu, lalu ganti baju, trus kita sarapan bareng deh.”
Ika mengelus kepala Dian. Ada rasa sesak didadanya ketika teringat bahwa Leo ingin memeluknya. Aduh, alasan apa yang akan dikatakannya seandainya Leo benar-benar melakukannya? Masa orang yang jarang ketemu lalu tiba-tiba main peluk saja. Tapi ada rasa lega dihati Ika ketika dia sudah memenuhi janjinya pada Rina. Menemui Leo dan mengatakan semuanya. Pertemuan yang lumayan singkat, tapi Leo sudah mengerti semuanya.
“Oh ya bu, tadi ponsel ibu ketinggalan, ada telpon tuh.”
“Iya, habis berangkatnya buru-buru. Telpon dari siapa?”
“Dari om Broto.”
Berdebar hati Ika. Ia teringat ketika didepan Rina dia mengakui bahwa Broto adalah calon suaminya.
“Ya tuhan,” keluhnya pelan.
“Kenapa bu?”
“Oh eh, tidak.. kok bisa ponsel ibu ketinggalan.”
“Besok Sabtu om Broto mau datang kemari.”
Jantung Ika berdetak lebih kencang. Ia merasa kebohongannya sangat keterlaluan.
***
Leo berbaring di tempat tidurnya, sementara Rina duduk di dekatnya.
“Sudah mendengar dari Ika tentang semua yang mas ingin tahu kan?”
“Aku ingin ketemu Dian. Tapi Ika melarangnya.”
“Itu sebabnya mas tampak sedih ?”
“Dia bilang, belum ingin mengatakannya, takut Dian ikut merasakan kesedihannya.”
“Itu benar. Lalu apa rencana mas selanjutnya?”
“Apakah kamu keberatan seandainya aku menikahi Ika?”
“Jadi mas ingin menikahinya?”
“Dia menolaknya.”
“Sudah aku duga. Dan aku juga sudah tahu sebabnya.”
“Apa?”
“Dia sudah punya calon. Laki-laki yang bersamanya ketika ada perayaan perpisahan disekolah Dina.”
==========
Leo menatap ke langit-langit putih yang terbentang disepanjang kamar inapnya. Ada sesuatu yang terasa hilang dari hatinya.
“Kalau mas mau aku akan bicara lagi sama dia. Barangkali dia berubah pikiran, dan mau menerima tawaran mas,” kata Rina bersungguh-sungguh.
“Dia itu tak akan tergoyahkan. Percayalah dia tak akan mau.”
“Lalu mas harus melakukan apa?”
“Aku ingin bertemu Dian, dan memeluknya. Aku pernah menghardiknya, nyaris menamparnya ketika dia hampir tertabrak mobil aku,” katanya sambil matanya terus menerawang ke langit-langit.
“Banyak alasan untuk bisa memeluknya. Aku akan membantu mas.”
“Ika tidak mengijinkannya.”
“Nanti kita akan mencari cara.”
“Rina.. kamu sangat baik..”
“Nggak usah ngerayu..”
“Itu benar, ma’afkan aku ya..”
“Kamu selalu aku ma’afkan..”
“Apakah kamu percaya bahwa aku sangat mencintai kamu?”
Rina menatap suaminya, yang mengucapkan semuanya tanpa memandang kearahnya. Tapi ia menangkap kesungguhan dalam ucapan itu. Hati Rina bergetar. Selama menjadi isterinya, Leo belum pernah mengucapkan cinta.
“Kamu yakin dengan ucapan kamu?”
“Tentu saja aku yakin.”
“Sejak kapan kamu merasa bahwa kamu mencintai aku? Rasanya bukan aku yang kamu cintai, tapi wanita lain.”
Leo tak menjawab. Perasaan hatinya terhadap Ika ditimbang-timbangnya. Sepertinya rasa suka itu masih ada . Tapi itu kan karena ia terbebani dengan kisah masa lalu yang pahit. Leo ingin membela diri atas perasaan itu.
“Entahlah, yang jelas aku pernah merasa cemburu ketika Baskoro mendekati kamu. Bukankah itu cinta?”
“Bisa jadi karena ego kamu. Bukan cinta.”
Leo menghela nafas.
“Kamu adalah ibu dari anakku, sudah hampir dua anak kita. Aku tak ingin kehilangan kamu.”
“Lalu mengapa kamu ingin punya dua isteri sekaligus?”
“Hanya karena ingin menebus dosa.”
“Cinta itu sudah tak ada?”
Leo bingung menjawabnya. Masih ada atau tak ada lagikah cinta itu? Barangkali getarnya sudah tidak sama, tapi dia tak akan melupakan Ika, ataupun membenci Ika. Tidak, dia bahkan ingin bisa berdekatan dengannya.
“Dia wanita yang baik. Kalaupun harus berbagi, aku ikhlas kok. Tapi tampaknya dia tak akan mau.”
“Benar. Dia tak akan mau. Tapi ijinkan aku mendekati anakku.”
“Kita bisa membantunya dan membiayai sekolahnya sampai dia menjadi orang. Kita juga bisa menafkahi mbak Yanti dan anaknya.”
“Kamu benar.”
“Ya sudah, mas istirahat saja, supaya mas sehat dan besok benar-benar diijinkan pulang. Kalau mas ingin mendekati Dian, aku akan memberi tahu bagaimana caranya dan apa alasannya.”
“Benarkah.”
Rina hanya mengangguk, lalu berdiri.
“Kamu mau kemana?”
“Pulang, aku ingin istirahat dulu.”
“Baiklah, kamu pulang saja, aku sudah nggak apa-apa, kasihan anak kamu.”
***
Rina melangkah pulang dan merasa sangat lelah. Ia benar-benar ingin beristirahat. Pernyataan suaminya bahwa dia sangat mencintainya, tak begitu membuatnya bergetar-getar seperti remaja mendengarkan rayuan cinta. Ia sudah menjalani rumah tangga itu selama bertahun-tahun, dan tak pernah berbekal cinta pada awalnya. Tapi ia benar-benar mengabdi pada keutuhan rumah tangganya, meladeni suaminya dengan ikhlas, menjadi naungan yang teduh bagi anaknya. Ungkapan cinta? Apakah itu dibutuhkannya? Tidak, bahkan kalau Leo menginginkan wanita lain dengan menyingkirkan dirinya, dia akan menjalaninya dengan ikhlas, walau hati menangis.
“Ini adalah jalan hidupku.. lebih baik aku menjalaninya saja, seperti orang berjalan, ia akan menapakkan kakinya dimana ia harus melangkah. Jalanan berbatu, berlumpur, berkelok-kelok.. harus diterjangnya, sampai kesebuah muara, dimana ia akan berhenti. Dalam suka, bahagia, kecewa.. entahlah.
Rina mengendarai mobilnya pelan, menikmati jalanan siang yang mulai ramai. Tapi ia tidak akan langsung pulang. Rina kangen pada Dina, dan berita akan kehadiran sang adik harus dikabarkannya. Bukan hanya kepada Dina, tapi juga kepada ibunya.
Rina tersenyum lebar ketika begitu turun dari mobil maka yang ditanyakan Dina adalah Dian.
”Ibuuuu… mas Dian mana?” teriak Dina sambil merangkul pinggang ibunya.
“Ma’af Dina, ibu tidak dari rumah mas Dian. Besok ya, ibu ajak mas Dian kemari..”
“Benar ?”
“Benar. Eeh.. jangan gantungkan tubuh kamu diperut ibu..”
“Ibu sakit perut ?”
“Tidak, didalam perut ibu ada adik..”
“Apa? Ada adik? Adiknya Dina?”
“Iya, adiknya Dina."
“Horeee… simbaaah.. simbaaah…” Dina berteriak-teriak sambil lari kedalam rumah, diikuti ibunya yang tersenyum-senyum.
“Ya ampuun.. Dina, simbah kaget, mendengar kamu berteriak-teriak..”
“Dengar mbah, Dina mau punya adik..”
Sang nenek menatap Rina, yang kemudian mengangguk dengan wajah berseri-seri.
“Iya bu, baru menginjak dua bulan, mohon do’a restu ya bu.”
“Pasti ibu do’akan, semuanya, anak, cucu, menantu. Kalian harus sehat, bahagia, mulia dunia akhirat,” katanya sambil mencium pipi Rina.
“Aamiin, terimakasih bu.”
“Besok aku mau bilang mas Dian, kalau aku mau punya adik. Mas Dian pasti senang kan bu?”
“Iya, mas Dian juga pasti senang.”
“Jadi… Dina punya kakak, lalu sekarang mau punya adik..” dan seperti biasa Dina melonjak-lonjak kegirangan. Kemudian dia lari keluar rumah, memanggil teman-temannya untuk diberitahukannya kabar gembira itu.
“Bagaimana suami kamu? Masih dirumah sakit?”
“Sudah baik bu, kata dokter besok pagi sudah boleh pulang.”
“Syukurlah. Ibu senang .”
“Ibu, aku nanti boleh tidur disini ya? Kangen ngelonin Dina.”
“Tentu saja boleh, ini kan juga rumah kamu. Ayo sekarang makan dulu, lalu kamu istirahatlah. Hamil muda tidak boleh terlalu capek.”
“Iya bu, ibu masak apa hari ini?”
"Hanya sayur bayam, lalu goreng ayam. Anakmu selalu minta itu.”
“Ya bu, kangen makan bersama Dina, sudah semingguan tidak makan bersama dia.”
***
“Ibu, apa ibu sakit?” tanya Dian ketika melihat ibunya duduk diteras seperti memikirkan sesuatu.
“Tidak. Mengapa kamu mengira ibu sakit ?”
“Dari tadi ibu diam saja didepan.”
“Ibu sedang memikirkan .. mm.. dimana sebaiknya ibu harus berjualan. Sudah seminggu lebih ibu tidak mencari uang.”
“Bagaimana kalau berjualan dirumah saja?”
“Dirumah ?”
“Iya bu, didekat pagar itu kan ada pohon besar, jadi kalau pagi ibu berjualan disitu, tidak akan kepanasan.”
Ika menatap anaknya tak percaya. Ide yang dikatakannya benar-benar cemerlang. Ya, mengapa tidak? Letakkan bangku disitu, lalu dia menggelar sayur dan lauk-pauk yang biasa dijajakannya. Dia tidak perlu berputar-putar dari kampung ke kampung dan bersaing dengan pedagang lainnya.
Dian senang melihat ibunya mengangguk-angguk.
“Gimana bu, bagus kan usulnya Dian?”
“Bagus sekali nak. Iya, kayaknya ibu akan setuju. Nanti ibu akan menemui pak tukang yang dulu membetulkan rumah ini, agar membuatkan bangku, atau meja untuk jualan.”
“Meja yang agak tinggi saja bu, supaya ibu melayani pembeli bisa sambil berdiri atau duduk di kursi, jadi ibu nggak capek.”
“Iya nak, bagus sekali.”
“Dian mau memanggil dia sekarang saja ya bu.”
“Kamu tahu rumahnya?”
“Ya tahu lah bu, kan hanya dibelakangnya bapak yang punya rumah itu.”
“Baiklah, nggak apa-apa sekarang nak.”
Dian bergegas pergi untuk mencari orang yang bisa disuruhnya membuat meja, ibunya duduk menunggu sambil tersenyum-senyum.
“Dian memang luar biasa.”
***
Hanya sehari meja itu sudah jadi. Tak perlu ada pelitur atau cat, Ika hanya memberi taplak plastik dengan warna cerah.
“Plastik mudah dibersihkan,” pikirnya.
Dan esok harinya dagangan itu mulai digelar. Belum banyak sih. Hanya separo dari yang dia biasa membelinya. Ada satu dua ibu yang membeli, dan Ika dengan sabar melayaninya. Lalu esok harinya bertambah banyak. Kali itu Dian yang masih belum masuk sekolah bisa membantu ibunya. Membungkus sayur, atau memasukkannya ke kantung plastik yang sudah disediakan, dan menghitung kembalian. Dian suka melakukannya.
“Ibu, ternyata berjualan itu menyenangkan,” kata Dian ketika membantu menghitung uang hasil berjualan hari itu.
“Menyenangkan kalau bisa laku banyak.”
“Bagaimana kalau misalnya ada daging yang tersisa, atau sayur yang tidak terjual.”
“Ibu akan menjualnya sebagai masakan matang. Jadi barang yang tersisa tidak terbuang.”
“Wah, ibu pintar sekali ya.”
“Dulu juga ibu sudah melakukannya. Kalau ada yang tersisa, ibu memasaknya, lalu dijual pada keesokan harinya.”
“Ooh, baru sekarang Dian tahu.”
“Kan ibu berangkatnya pagi-pagi, kamu juga langsung kesekolah.”
“Dian senang sekarang ibu tidak harus berkeliling dari kampung-ke kampung. Pasti ibu capek.”
“Didunia ini, tak ada yang bisa diraih tanpa capek nak. Dan hasil dari keringat yang mengucur itu sangat nikmat.”
“Iya ya bu..?”
“Iya nak, tapi jangan lupa juga untuk bersedekah, berbagi. Kalau kita mendapat penghasilan, yang 2.5 % dari penghasilan kita, bukan milik kita, bukan hak kita. Itu namanya ber zakat, dan kita harus melakukannya.
“Iya, Dian sudah tahu. Kan disekolah diberi pelajaran seperti itu.”
“Bagus nak. Lakukan semua pelajaran yang baik, untuk menjadi bekal hidup kamu, sehingga kelak kalau kamu menjadi orang berada sekalipun, jangan pernah melupakan bahwa banyak orang-orang dibawah kita yang membutuhkannya.”
“Baiklah bu.”
“Sudah selesai menghitungnya?”
“Ini bu, sudah selesai.”
“Bagus, yang ini untuk belanja besok, yang ini untuk ditabung, yang ini untuk diberikan kepada yang membutuhkan. Ibu selalu melakukannya sambil belanja.”
“Iya bu. Tapi sebentar lagi Dian sudah masuk sekolah, Dian tidak bisa lagi membantu ibu berjualan.”
“Tidak apa-apa nak. Membantu itu kalau kamu punya waktu. Kewajiban kamu adalah menuntut ilmu. Ibu ingin kamu menjadi orang. Orang yang baik, yang bermartabat, yang bisa menjadi kebanggaan ibu.”
Dian memeluk ibunya erat-erat. Ia sudah tahu, betapa ibunya rela bersusah payah demi dirinya, dan ia berjanji akan bisa mewujudkan semua impian ibunya.
“Besok kalau Dian sudah bekerja, ibu nggak boleh jualan sayur lagi,” kata Dian bersemangat.
“Lalu.. ibu harus ngapain.”
“Duduk dirumah, masak buat kita berdua, jalan-jalan berdua.. ya kan bu?”
Air mata Ika menitik. Direngkuhnya Dian dan diciuminya berkali-kali.
“Anakku, kesayangan ibu, ibu hanya punya kamu.”
“Dian sayang sama ibu..”
Dan keduanyapun berpelukan erat, seakan tak ingin melepaskannya lagi.
***
Sudah beberapa hari Leo pulang kerumah, dan seperti biasa Rina melayaninya. Belanja dan memasak untuknya. Hanya saja Rina lebih banyak beristirahat karena ia juga masih terkadang merasa mual. Leo tak sampai hati melihat Rina kadang-kadang tampak lelah.
“Rina, besok kamu nggak usah belanja, dan nggak usah memasak.”
“Apa maksudmu mas, mas yang akan belanja dan memasak, begitu?”
“Bukan, beli saja makanan diluar, sehingga kamu nggak terlalu capek.”
“Nggak salah aku mendengarnya mas? Beli makanan diluar? Bukankah mas nggak suka makan makanan dari luar?”
“Aku tak sampai hati melihat kamu lelah. Kamu kan sedang mengandung?”
“Bener, nanti nggak akan mengeluh? Masakan nggak enak, terlalu pedas, terlalu manis.. terlalu berlemak..”
“Tidak, aku janji. Kamu harus beristirahat yang benar-benar istirahat. Aku tak ingin melihat kamu bersusah payah meladeni aku.”
Rina tersenyum. Perhatian yang belum pernah ditunjukkan suaminya selama ini, sangat membuatnya senang. Dulu ketika ada simbok, ia bisa bergantung pada simbok, tapi ketika simbok pulang kampung, semuanya dikerjakannya sendiri karena suaminya tak suka makan makanan dari luar. Leo seperti tak peduli isterinya lelah, yang penting, makanan harus dimasaknya sendiri. Tapi sekarang, Leo seperti baru memperhatikan isterinya. Tak ingin isterinya lelah, aduhai.
“Aku bersungguh-sungguh. Kamu boleh menghubungi catering mana yang kamu suka, sehingga kamu tidak usah bersusah payah membeli keluar.”
Rina tersenyum dan mengangguk.
"Besok aku sudah akan masuk ke kantor."
“Benar kamu sudah sehat?”
“Sudah, masa harus dirumah terus. Setengah bulan aku meninggalkan pekerjaanku.”
“Baiklah, tapi mas harus hati-hati, terutama dalam makanan. Tidak boleh sembarang mencomot makanan yang disediakan di kantor. Aku juga akan memesan makanan yang sekiranya bagus untuk kesehatan mas.”
“Iya aku tahu.”
“Menurut aku, mas mulai kerja besok Senin sekalian, besok kan hari Sabtu.”
“Oh iya, baiklah, aku nggak ingat hari karena lama tidak bekerja.”
“Nanti sore aku mau jalan-jalan saja, pegel juga dirumah terus,” lanjutnya.
“Aku temani ?”
“Tidak, nanti kamu kecapekan.”
***
Sore itu Ika sedang duduk santai di teras rumah, ditemani Dian. Ika baru saja menggoreng pisang yang pagi tadi dibelinya di pasar. Sedianya mau dijual, tapi karena nggak laku maka digorengnya sore itu untuk camilan.
“Pisangnya manis ya bu, apa ibu menambahkan gula pada tepungnya?” tanya Dian yang sudah menghabiskan dua potong.
“Yang manis pisangnya atau tepung yang membalutnya?”
“Tepungnya agak manis, tapi pisangnya sendiri juga manis.”
“Tepungnya itu, memang dikasih gula sedikit, garam sedikit, vanili dan telur juga. Jadi rasanya memang agak manis, dan harum karena ada vanilinya.”
“Mengapa di kasih garam juga?”
“Supaya manisnya mantap. Tidak banyak, hanya seujung sendok kecil.”
“O, pantesan rasanya manis dan mantap. Hm,ibu itu bukan hanya pintar cari uang, tapi juga pintar masak.”
“Masakan itu kalau dibumbui kasih sayang, rasanya sedap.”
“Bumbu kasih sayang itu apa sih bu, dimana belinya?” kata Dian sambil tertawa.
“Kasih sayang itu tidak usah dibeli. Ia ada disetiap hati. Disini,” kata Ika sambil menunjuk kearah dadanya.
“Maksudnya bagaimana ?”
“Ketika seseorang memasak, lalu memasaknya dengan sepenuh hati, dengan rasa sayang, dengan cinta, maka akan sedaplah rasa masakan itu.”
“Oh, begitu?” kata Dian sambil mengangguk-angguk.
“Iya nak.”
“Pantesan masakan ibu selalu enak, soalnya ibu memiliki kasih sayang yang besar untuk Dian. Ya kan bu.”
“Iya sayang, ibu hanya memiliki kamu, karenanya ibu sangat sayang sama kamu.”
“Dian juga sayang sama ibu.”
“Iya, ibu tahu, kamu sudah sering mengucapkannya, dan ibu sangat bahagia mendengarnya.”
“Bu, ini kan hari Jum’at, pasti om Broto sudah pulang.”
“Kok tiba-tiba ngomongin om Broto?”
“Waktu telpon itu, om Broto bilang hari Jum’at akan pulang, lalu Sabtunya mau main kemari. Om Broto bilang, dia kangen sama Dian.”
“O, begitu.” Lalu Ika berdebar sendiri, teringat apa yang pernah dikatakannya pada Rina, bahwa Broto itu calon suaminya.
Dan tiba-tiba Dian melihat sebuah mobil berhenti didepan pagar.
“Tuh kan bu, itu om Broto sudah datang,” teriak Dian kegirangan, lalu dia segera berlari ke arah mobil itu.
“Dian !!” Ika berteriak keras memanggil Dian yang sudah hampir sampai di mobil itu, karena Ika tahu bahwa itu adalah mobilnya Leo.
Bersambung #13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel